Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Ketemu Brondong




Aku duduk di emperan pinggir jalan depan terminal dan sibuk memasang headset untuk mendengarkan musik Dari handphone. Tiba-tiba ada laki-laki berhenti dengan motornya dengan gerak-gerik mencurigakan. Modus pikirku.

Tiba-tiba ada suara mendekat.
"Lagi nunggu siapa?" tanya laki-laki itu sembari duduk di sampingku.
Oh no! Tidak bisakah dia diam saja. Seolah tidak bisa tenang melihat perempuan sendirian di pinggir jalan.
Aku pun menjawab pendek, "Jemputan"
"Udah lama?" tanyanya
"Setengah jam."
"Lho kok lama jemputnya dari mana?"
"Dari K."
"Rumahku juga daerah K."
Kesalahanku adalah meresponnya, "K sebelah mana?"
"Di daerah B."
"Kok sama?" tanyaku lalu menyesal kemudian. Seharusnya aku mengabaikannya dan membuat jarak.
"Daerah B juga? Sebelah mana?"
"Daerah T," jawabku kemudian diikuti penyesalan. Beruntung mulutku berhenti bertanya dan memancing penasaran lebih.
"Boleh minta nomernya?"
Pertanyaan itu berujung pada ketepatan tebakanku. 
"Buat apa? Ga bakal ketemu lagi juga," jawabku mencoba menepis.
"Kan rumahnya deket. Tetanggaan. Masa ga boleh."
"Masih kuliah?" tebakku.
"Nggak udah kerja. Baru lulus tahun kemarin," jawabnya.
"Aku udah tua lho," kataku berusaha mengskakmatnya.
"Masak memangnya umur berapa?" Dia malah balik bertanya.
"Tiga puluh tahun," jawabku yang ternyata Membuatnya Tak Percaya.
"Masa sih? Bohong?"
"Serius." Aku masih berusaha meyakinkannya.
Pikiranku mulai melayang apa yang membuatnya tak percaya. Ah, rata-rata perempuan diusia itu tak mungkin keluyuran sendirian sepertiku. Sialnya aku tak punya dalih untuk itu karena memang di posisi sendirian dan mulutku tak bisa berbohong. Sekelibat aku menyanjung diri sendiri mungkin karena wajahku yang terlihat masih muda untuk usia kepala tiga. 
"Ya silaturahmi aja boleh dong," pintanya seraya menyodorkan handphonenya. Bodohnya jemariku menuliskan nomer yang benar. 
Tiba-tiba temennya serombongan datang. Kelihatan benar-benar baru lulus kemarin. Dalam hati masih terlalu jauh nak. Banyak fase kehidupan yang belum kau dilewati. Jatuh bangun bertahan dalam pekerjaan dan percintaan.
"Radja," sebutnya. "Duluan ya mbak!"
Hidupku mendadak seperti sinetron. Begitu dia menyebutkan namanya dia pun melambai pamit diikuti teman-temannya yang mengklaksonku.
Gila mimpi apa aku semalam. 
Lagi-lagi aku menarik orang yang salah batinku berkata. 
Selang beberapa menit anak itu mengirim pesan. 
"Sudah dijemput?"
Aku tak merespon. 
"Halo mbak aku yang tadi di terminal." Tulisnya kemudian.
"Oh yang tadi. Iya sudah."
"Sudah sampai rumah?" 
Rasanya seperti dejavu puluhan bahkan ratusan kali pada orang-orang yang selama ini mendekati. Bosan melihat template itu. Akhirnya tidak aku balas. 
Ketika malam hari muncul lagi notif pesan. 
"Sudah tidur mbak?" 
Tidak kurespon hanya ku read dengan centang biru yang kumatikan. 
"Selamat tidur." 
Keesokan hari kuceritakan pada seorang teman dan berakhir dengan ditoyor kepalaku. 
"Ih, gemes!" 
"Kenapa sih?" 
"Itu kesempatan yang diberi oleh semestamu tahu."
"Trus biar aku dikira tante-tante gaet bocah?" 
"Dicoba dulu kali jangan terus langsung di cut." 
"Buang-buang waktu tahu. Yang ada nanti kena karma karena mempermainkan perasaan bocah. Kan mending dari awal biar ga dikira dikasih harapan. Menyakitkan mana sudah kenal dekat tapi terluka atau belum kenal tapi terluka. Kalau sama-sama akhirnya terluka lebih baik Dari Awal Kan. Ntar lama-lama juga gampang lupa."
"Ih, ga ngerti lagi sama pola pikirmu. Kayaknya kamu itu kena problem trust issue. Kamu itu sepertinya butuh orang yang bisa mematahkan argumen-argumenmu."  
"Emang."
"Ya orang seperti itu kan pasti awalnya juga pakai basa-basi. Prakata-prakata. Belum tahu kedalamannya udah main cut. Itu anak orang lho."
"Kan di awal aku udah bilang usiaku kepala tiga, aku sudah tua. Tapi dia ga peduli. Aku sudah meng-cut itu dari awal kan. Seharusnya dia berpikir." 
"Ih, ya kan harus diomongin. Belum tentu pikiran dia sama denganmu. Buktinya dia masih belum paham dan mengirimmu pesan." 
"Kamu tahu kan aku bosen dengar orang basa-basi. Ujung-ujungnya kebanyakan ngomong nggak ada actionnya. Kepala tiga itu adalah fase dimana sudah lelah mendengar basa-basi. Sudah lelah kenal orang baru karena harus memulai step dari titik nol lagi." 
"Sebenarnya apa sih yang kamu cari?" 
"Ketenangan jiwa, kebahagiaan sejati, harmonisasi jiwa." 
Sebuah buku mendadak mendarat di kepalaku. 
"Dasar anak senja," katanya seraya menimpukku dengan buku. 
"Ya kan aku bener. Cari pasangan yang bisa membuat hati tenang, bahagia lahir batin dan kalau bisa yang sejiwa. Sama-sama jiwa tua biar imbang." 
"Ah, panjang bahas beginian. Aku mau ngopi mau ikut?" 
"Ikut." Aku pun menutup laptopku. 
"Cari helm sendiri. Aku cuma bawa satu." 
"Siap bos." 


-------






















This post first appeared on CERPENIK, please read the originial post: here

Share the post

Ketemu Brondong

×

Subscribe to Cerpenik

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×