Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Sejarah Kelam Majapahit Dari Kudeta, Perang, Hingga Bencana

KEBESARAN nama Majapahit yang pernah mencapai puncak kejayaan semasa pemerintahan Hayam Wuruk itu ternyata menyimpan sejarah kelam. Fakta menunjukkan, bahwa semenjak pemerintahan Dyah Wijaya hingga Ranawijaya, Majapahit telah dilanda dengan berbagai persoalan baik yang ditimbulkan oleh kudeta (pemberontakan), perang, maupun bencana alam.

Menyingkap sejarah kelam Majapahit adalah sangat penting. Tentu saja, hal tersebut tidak dimaksudkan untuk membuka aib sejarah, melainkan meluruskan kebenaran sejarah itu sendiri. Terutama sejarah Majapahit yang selama ini hanya dibaca (diketahui) oleh sebagian besar orang pada puncak kejayaannya. Puncak kejayaan yang ditandai dengan penguasaan wilayah-wilayah Nusantara semasa pemerintahan Hayam Wuruk dan semasa puncak karir Gajah Mada. Puncak kejayaan yang ditandai dengan kemunculan karya-karya sastra.

Selain mengalami puncak kejayaan, Majapahit pula mengalami masa kelam yang meliputi pemberontakan, perang, dan bencana. Sejarah kelam yang terjadi dari masa ke masa yakni dari era pemerintahan Dyah Wijaya hingga era pemerintahan Dyah Ranawijaya. Untuk mengetahui lebih jauh tentang masa kelam Majapahit, simak uraian di bawah ini.

Pemberontakan Semasa Pemerintahan Dyah Wijaya

BERDASARKAN Kakawin Nagarakretagama, nama pendiri Kerajaan Majapahit adalah Dyah Wijaya yang di dalam Serat Pararaton dikenal dengan nama Raden Harsawijaya, Nararya Sanggramawijaya (Prasasti Kudadu), atau Jaka Susuruh (Babad Tanah Djawi). Sebelum Majapahit berdiri pada tahun 1293 atau seusai Singhasari digulingkan oleh Adipati Jayakatwang dari Daha pada tahun 1292, Dyah Wijaya yang cenderung disebut oleh para sejarawan dengan nama Raden Wijaya tersebut hidup terlunta-lunta beserta pengikutnya. Para pengikuti Dyah Wijaya yang selalu setia menyertainya, antara lain: Ranggalawe, Lembu Sora, Nambi, Mahesa Anabrang, dan masih banyak yang lain.

Berkat usulan Aria Wiraraja yang merupakan dalang tergulingnya kekuasaan Kertanagara dari takhta Singhasari oleh Jayakatwang, Dyah Wijaya kemudian mendapatkan wilayah Tarik sebagai tempat pedukuhannya. Manakala pasukan Tartar datang di tanah Jawa untuk berbalas dendam pada Kertanagara, Dyah Wijaya memanfaatkan pasukan tersebut untuk menggulingkan kekuasaan Jayakatwang atas bumi Singhasari.

Sesudah kekuasaan Jayakatwang berhasil digulingkan dan pasukan Tartar dapat diusir dari tanah Jawa, Dyah Wijaya menobatkan diri sebagai raja di Majapahit. Pada saat itulah, Dyah Wijaya yang telah menjabat sebagai raja Majaphit dengan gelar Prabu Kertarajasa Jayawardhana (Nararya Sanggramawijaya Sri Maharaja Kertarajasa Jayawardhana Anantawikramottunggadewa) memberikan anugerah kepada seluruh pengikut setianya yang turut berjuang di dalam mewujudkan impiannya sebagai raja Majapahit.

Oleh Dyah Wijaya, Aria Wiraraja yang turut mendirikan Kerajaan Majapahit itu diberi kedudukan dengan pangkat pasangguhan dan anugerah berupa wilayah Lumajang hingga Blambangan. Ranggalawe mendapatkan kedudukan dengan pangkat pasangguhan dan diangkat sebagai Adipati di Tuban. Nambi mendapatkan kedudukan dengan pangkat patih atau perdana menteri. Sementara Lembu Sora diangkat sebagai patih Daha (Kadiri).

Berangkat dari pemberian anugerah dan kedudukan di muka, Ranggalawe menilai bahwa Dyah Wijaya memiliki sifat tidak adil dan kurang bijaksana. Menurut pandangan Ranggalawe, seharusnya Lembu Sora yang harus memangku jabatan sebagai patih (perdana menteri) dan bukan Nambi. Mengingat pengabdian Lembu Sora pada Dyah Wijaya lebih besar ketimbang Nambi.

Apa yang dirasakan Ranggalawe atas ketidakadilan itu diungkapkan di hadapan Dyah Wijaya. Akan tetapi, Dyah Wijaya tetap bersikukuh pada sabda pandhita ratu tan bisa wola-wali. Artinya, Dyah Wijaya tetap bersikukuh pada keputusannya, sekalipun dianggap tidak adil dan kurang bijaksana oleh Ranggalawe. Atas keputusan Dyah Wijaya yang tidak dapat diubah lagi itu, Ranggalawe merasa kecewa dan kemudian pulang ke Tuban.

Selagi Ranggalawe pulang ke Tuban, Mahapati (Halayuda) melakukan fitnah di hadapan Nambi. Kepada Mahapatih Majapahit itu, Mahapati melaporkan bahwa Ranggalawe yang kecewa atas pengangkatan Nambi sebagai Mahapatih dan bukan Lembu Sora itu bermaksud akan memberontak pada Majapahit. Mendengar laporan Mahapati; Nambi beserta pasukan Majapahit pergi ke Tuban untuk menangkap Ranggalawe dan menghadapkannya pada Dyah Wijaya.

Dalam penyerbuan dari pasukan Majapahit itu, Ranggalawe yang didakwa akan melakukan pemberontakan melakukan perlawanan. Singkat cerita, melalui pertempuran yang sengit di Sungai Tambak Beras, Ranggalawe tewas di tangan Mahesa Anabrang pada tahun 1295. Karena masih memiliki hubungan kekeluargaan, Lembu Sora yang tidak merelakan kematian Ranggalawe keponakannya itu kemudian menikam Mahesa Anabrang dari belakang.

Rahasia kematian Mahesa Anabrang di tangan Lembu Sora kemudian dilaporkan oleh Mahapati pada Dyah Wijaya. Reaksi Dyah Wijaya yang mendengar laporan dari Mahapati itu adalah memutuskan untuk membuang Lembu Sora. Karena menolak atas keputusan Dyah Wijaya itu; Lembu Sora yang mendapatkan dukungan dari Gajah Biru dan Juru Demung berniat memberontak pada Majapahit. Namun sebelum hasratnya itu terealisasi; Lembu Sora, Gajah Biru, dan Juru Demung dibunuh beramai-ramai oleh pasukan Majapahit.

Pemberontakan Semasa Pemerintahan Jayanagara

JAYANAGARA merupakan putra Dyah Wijaya yang lahir dari permaisuri Indreswari (Kakawin Nagarakretagama) atau Darapetak (Serat Pararaton). Selama menjabat sebagai raja, Majapahit dilanda oleh serangkaian pemberontakan yang diawali dengan pemberontakan Mandana, Pawagal, dan Ra Semi (1316); Patih Nambi (1316); hingga Ra Kuti (1319).

Dari sekian pemberontakan di Majapahit semasa pemerintahan Jayanagara tersebut hanya pemberontakan Ra Kuti yang mendapatkan dukungan dari Ra Yuyu, Ra Tanca, dan Winehsuka itulah, yang mampu memaksa Jajayanagara terusir dari dalam istana bersama pasukan Bhayangkari dan pimpinannya yakni Bekel Gajah Mada. Namun melalui Gajah Mada, pemberontakan Ra Kuti tersebut dapat ditumpas dengan baik. Bahkan Ra Tanca (tabib istana Majapahit) yang telah membunuh Jayanagara sewaktu sakit itu mampu dibinasakan oleh Gajah Mada.

Pemberontakan Semasa Pemerintahan Tribhuwana Wijayatunggadewi

TRIBHUWANA Wijayatunggadewi (Dyah Gitarja) yang merupakan putri dari Dyah Wijaya dan selir Gayatri naik takhta sesudah Jayanagara tewas di tangan Ra Tanca. Ketika menjabat sebagai raja Majapahit (1328-1350), Tribhuwana didampingi oleh suaminya yang bernama Kertawerdhana.

Semasa pemerintahan Tribhuwana, Majapahit mulai menunjukkan titik kejayaan yang ditandai dengan perluasan wilayah kekuasaan, antara lain: pulau Bali serta sisa-sisa wilayah kekuasaan Sriwijaya dan Melayu. Fakta ini tidak dapat dilepaskan dengan peran Gajah Mada yang dinobatkan oleh Tribhuwana sebagai patih Majapahit berkat usulan Aria Tadah.

Sekalipun Majapahit mulai menunjukkan titik kejayaan, namun masih ada dua wilayah yakni Sadeng dan Keta yang ingin melepaskan diri dari Majapahit. Namun niatan orang-orang Sadeng dan Keta di bawah kepemimpinan Wirota dan Wiragati untuk merdeka dari kekuasaan Majapahit melalui pemberontakan itu dapat ditumpas oleh Tribhuwana sendiri pada tahun 1331.

Perang Bubat

MAJAPAHIT mengalami puncak kejayaan semasa pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389). Prestasi besar yang diraih oleh Majapahit tersebut bukan hanya diperjuangkan oleh Hayam Wuruk, namun pula oleh Gaja Mada beserta pasukan Bhayangkari. Melalui Gajah Mada dengan Sumpah Palapa-nya, Majapahit dapat menguasai wilayah-wilayah di Nusantara. Menurut Mohammad Yamin, wilayah kekuasaan Majapahit yang memiliki perbatasan dengan wilayah kekuasaan Sin (Syangka), Thai, Dharmanagara, Martaban (Birma), Kalingga (Rajapura), Singanagari, Campa, Kamboja, serta Annam (Yawana).

Sekalipun Majapahit telah mampu melakukan ekspansi kekuasaan pada sebagian besar di kepulauan Nusantara, namun belum mampu menguasai (menaklukkan) Kerajaan Sunda. Karenanya Hayam Wuruk yang menghendaki Sunda takluk di bawah kekuasaan Majapahit dengan cara halus itu berhasrat menyunting Dyah Pitaloka Citraresmi – putri raja Sunda Prabu Linggabuana – sebagai permaisurinya. 

Apa yang dikehendaki oleh Hayam Wuruk itu ternyata mendapatkan sambutan hangat dari Prabu Linggabuana. Karenanya dengan diikuti oleh para pendherek, Prabu Linggabuana menuju Majapahit untuk menyerahkan Dyah Pitaloka sebagai calon mempelai, dan bukan sebagai persembahan (tanda takluk).

Namun oleh Gajah Mada yang belum sanggup merealisasikan Sumpah Palapa-nya dengan sempurna itu, Prabu Linggabuana dipaksa agar penyerahan Dyah Pitaloka pada Hayam Wuruk sebagai tanda takluk kerajaan Sunda pada Majapahit.  Karena Prabu Linggabuana bersikeras untuk tidak memenuhi permintaan Gajah Mada itu, maka terjadilah perang antara pasukan Majapahit dan pasukan Sunda di pesanggrahan Bubat pada tahun 1357. Karena kalah jumlah dan persiapan, maka pasukan Sunda dapat dikalahkan oleh Pasukan Majapahit. Seluruh pasukan Sunda (termasuk Prabu Linggabuana) tewas dalam perang tersebut. Sementara Dyah Pitaloka yang dibiarkan hidup oleh Gajah Mada kemudian bela pati dengan cara bunuh diri.

Perang Paregreg dan Kelaparan

SEBAGAI raja kelima Majapahit adalah Gagak Sali (Wikramawardhana) yang merupakan menantu Hayam Wuruk sesudah menikah dengan Kusumawardhani. Putri Hayam Wuruk yang lahir dari rahim permaisuri Sri Sudewi. Sementara Gagak Sali sendiri merupakan putra dari Dyah Nertaja (adik Hayam Wuruk).

Karena Gagak Sali yang notabene bukan putra mahkota (sekadar menantu Hayam Wuruk) itu mengangkat Kusumawardhani sebagai Bhre Lasem, maka Bhre Kertabhumi yang pula mengangkat Nagarawardhani sebagai Bhre Lasem kemudian sakit hati. Sejak itu, Bhre Kertabhumi yang telah mendirikan istana timur berniat untuk melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Wikramawardhana.

Pada tahun 1406, pasukan istana barat yang dipimpin oleh Bhre Tumapel (putra Wikramawardhana) menyerbu istana timur. Dari penyerbuan itu mengakibatkan Bhre Wirabhumi menderita kekalahan. Bhre Wirabhumi melarikan diri dengan menggunakan perahu pada malam hari. Sesudah tertangkap, Bhre Wirabhumi dibunuh dengan dipenggal kepalanya oleh Bhra Narapati (Raden Gajah) yang menjabat sebagai Ratu Angabhaya. Oleh Bhra Narapati, kepala Bhre Wirabhumi diserahkan pada Wikarmawardhana. Jenazah Bhre Wirabhumi kemudian dicandikan di Lung dengan nama Girisa Pura.

Duapuluh tahun sejak berakhirnya Perang Paregreg atau tepatnya pada tahun 1426, Majapahit dilanda bencana kelaparan. Sebagaimana Perang Paregreg, bencana kelaparan pun telah menelan korban ribuan nyawa rakyat Majapahit. Terdapat dugaan, bahwa bencana kelaparan itulah yang menyebabkan Kaisar Yung Lo untuk membebaskan hutang Wikramawardhana pada Dinasti Ming.

Akibat dari bencana kelaparan yang melanda Majapahit itu tidak hanya membawa korban rakyat kecil, namun pula anggota keluarga istana. Mereka yang turut menjadi korban dari bencana itu, antara lain: Bhre Tumpel, Bhre Lasem, dan Bhre Wengker. Bhre Tumapel yang meninggal pada tahun 1427 itu dicandikan di Lokerep dengan nama Asmarasaba.

Hukuman Pancung Semasa Pemerintahan Suhita

SRI Suhita yang memerintah Majapahit dari tahun 1429 hingga 1447 tersebut merupakan putri Wikramawardhana yang lahir dari rahim Bhre Daha II (putri Bhre Wirabhumi). Dengan demikian, Sri Suhita masih merupakan cucu dari Bhre Wirabhumi yang tewas di tangan Bhra Narapati sewaktu meletus Perang Paregreg. Berdasarkan dari silsilah inilah, Sri Suhita kemudian menjatuhkan hukuman pancung pada Bhra Narapati sebagai bentuk balas dendam atas tewasnya sang kakek – Bhre Wirabhumi.

Gempa Bumi dan Pemberontakan Semasa Pemerintahan Kertawijaya

Dyah Kertawijaya yang dikenal dengan nama Raden Hardiwijaya atau Brawijaya I merupakan putra Wikramawardhana yang lahir dari isteri selir. Karena itu, Kertawijaya masih bersaudara dengan Sri Suhita dan Bhre Tumapel yang pula lahir dari isteri selir Wikramawardhana. Demikian pula, Kertawijaya masih bersaudara dengan Rajasa Kusuma (Hyang Wekasing Sukha) yang lahir dari permaisuri Kusumawardhani dan meninggal sebelum menjabat sebagai raja.

Semasa pemerintahan Dyah Kertawijaya (1447-1451), Majapahit dilanda tiga persoalan besar, yakni:

Gempa Bumi dan Gunung Meletus

Majapahit tidak pernah luput dari peristiwa gempa bumi dan gunung meletus. Peristiwa semasa pemerintahan Dyah Kertawijaya ini pernah pula terjadi semasa pemerintahan Tribhuwana Wijayatunggadewi. Tepatnya peristiwa tersebut terjadi saat kelahiran Hayam Wuruk dan pengikraran Sumpah Palapa oleh Gajah Mada (1334).

Pembunuhan Penduduk Tidung Galating

Dyah Kertawijaya memiliki keponakan yang bernama Bhre Paguhan. Entah apa motivasi yang melatarbelakanginya, Bhre Paguhan melakukan pembunuhan pada penduduk Desa Tidung Gelating. Dari peristiwa pembunuhan itu telah mengukuhkan kebenaran pendapat, bahwa kejayaan Majapahit tak lepas dari lumuran darah dan tumbal nyawa.

Kudeta Rasajawardhana

Selain kedua peristiwa di muka, kekuasaan Dyah Kertawijaya mendapatkan serangan kudeta dari Rasajawardhana sehingga menyebabkan kematiannya. Serat Pararaton menyebutkan bahwa Rajasawardhana yang kelak naik takhta sebagai raja Majapahit ke-7 pada tahun 1451 itu diidentikkan dengan Bhre Pamotan, Bhre Keling, atau Bhre Kahuripan. Pengertian lain, Rajasawardhana di muka bukan Bhre Matahun yang hidup semasa pemerintahan Hayam Wuruk (versi Kakawin Nagarakretagama) atau Raden Larang (versi Serat Pararaton). Pendapat yang lain mengatakan, bahwa Rajasawardhana adalah putra Kertawijaya yang nama aslinya tercatat dalam Prasasti Waringin Pitu sebagai Dyah Wijayakumara.

Perebutan Kekuasaan Suryawikrama Versus Samarawijaya

RAJASAWARDHANA naik tahta pada tahun 1451, sesudah berhasil mengkudeta kekuasaan Dyah Kertawijaya. Namun baru 2 tahun menjabat sebagai raja di Majapahit, Rajasawardhana wafat pada tahun 1453.

Sepeninggal Rasajawardhana, terjadilah kekosongan pemerintahan di Majapahit dari tahun 1453 hingga 1456. Hal ini disebabkan oleh suatu peristiwa perebutan kekuasaan antara Suryawikrama dan Samarawijaya (putra sulung Wijayakumara atau menantu Suryawikrama).

Dalam perebutan kekuasaan takhta Majapahit antara mertua dan menantu tersebut dapat dimenangkan oleh Suryawikrama. Karenanya, Suryawikrama kemudian naik takhta sebagai raja Majapahit dengan gelar Girishawardhana Dyah Suryawikrama. Semasa pemerintahannya menginjak pada tahun ke-8 atau tepatnya pada tahun 1462, Majapahit dikejutkan dengan peristiwa gunung meletus.  Peristiwa alam tersebut merupakan yang ke tiga kalinya sesudah pemerintahan Tribhuwana Wijayatunggadewi di Majapahit.

Kudeta Bhre Kertabhumi

SEPENINGGAL Girishawardhana pada tahun 1466, takhta kekuasaan Majapahit diduduki oleh Singhawikramawardhana. Semasa pemerintahannya, terjadilah pemberontakan yang dilakukan oleh Bhre Kertabhumi. Putra Rajasawardhana yang merasa berhak atas warisan takhta Majapahit. Pemberontakan yang dilakukan oleh Kertabhumi pada tahun 1474 tersebut ternyata membawa hasil gemilang. Hingga Winghawikramawardhana meninggalkan istana Majapahit yang beribukota di Majakerta menuju Daha. Tempat yang semula menjadi ibukota Kadiri.

Kudeta Girindrawardhana

GIRINDRAWARDHANA Dyah Ranawaijaya merupakan putra dari Singhakiramawardhana. Karena merasa sebagai pewaris atas bumi Majapahit, maka Girindrawardhana melakukan pemberontakan atas kekuasaan Bhre Kertabhumi. Pemberontakan itu membawa hasil. Bhre Kertabhumi tewas. Istana Majapahit yang di Majakerta dibumihanguskan. Sebagai penggantinya, istana Majapahit dipindahkan oleh Girindrawardhana di Daha. Di sana, Girindrawardhana menjadi raja Majapahit dengan gelar Sri Wilwatikta Jenggala-Kadiri.

Perang Demak-Majapahit

RUNTUHNYA Majapahit yang beribukota di Majakerta memicu Raden Patah (Sultan Jin-Bun) – penguasa Kesultanan Demak (1478-1518) yang merupakan putra Bhre Kertabhumi – berhasrat mendapatkan legitimasi sebagai pewaris Majapahit. Karenanya, Raden Patah berkehendak untuk menaklukkan Majapahit yang telah berada di bawah kekuasaan Girindrawardhana Dyah Suprabhawa.

Perang antara Demak dan Majapahit tidak dapat dihindari lagi. Dalam perang tersebut, pasukan Demak unggul dan Girindrawardhana dapat ditangkap. Namun berkat kebijakan Raden Patah, Girindrawardhana mendapatkan ampunan. Mengingat Girindrawardhana masih merupakan adik ipar dari Raden Patah.

Sepeninggal Raden Patah pada tahun 1518, Girindrawardhana yang melakukan kerjasama dengan Portugis itu berniat memberontak pada Kesultanan Demak. Dimana waktu itu, Demak telah berada di bawah kepemimpinan Sultan Tranggana. Pada tahun 1524, perang kembali pecah antara Demak dan Majapahit. Dalam perang besar itu, Sunan Ngudung (pihak Demak) tewas di tangan Raden Kusen atau Arya Damar yang masih saudara tiri Raden Patah (pihak Majapahit).

Perang Demak-Majapahit berakhir pada tahun 1527. Pasukan Demak yang dipimpin oleh Sunan Kudus (putra Sunan Ngudung) dapat menaklukkan Majapahit. Girindrawardhana tewas. Raden Kusen yang masih merupakan mertua dari Sunan Kudus itu ditawan secara terhormat. Dengan demikian, berakhirlah riwayat kerajaan Majapahit yang beribukota di Daha.[Sri Wintala Achmad]



This post first appeared on Digstraksi, please read the originial post: here

Share the post

Sejarah Kelam Majapahit Dari Kudeta, Perang, Hingga Bencana

×

Subscribe to Digstraksi

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×