Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Teladan Baik Bapak Bangsa dalam Menyikapi Perbedaan Politik



Politisi Masyumi telah memberi contoh yang membuktikan bahwa tidak ada masalah dengan perbedaan politik, baik sesama muslim atau bukan Muslim

Mohammad Natsir dan Mr Mohammad Roem

SUATU hari, Mohamad Roem (1908-1983) ditanya oleh Oei Tjoe Tat (1922-1996), “Roem, kok bisa ya kita ini berhadapan dalam politik? Padahal kita toh enggak ada apa-apa.” Roem pun menjawab dengan berbisik, “Oe, kita kan sama dididik Belanda. Jadi, kita harus menghargai orang lain. Perbedaan pendapat itu biasa.” (J.B. Sudarmanto, Politik Bermartabat: Biografi I.J. Kasimo, 179)

Alangkah sejuknya jika sikap antara Roem dan Oie yang bersebrangan secara ideologis dan partai tapi tetap menjaga perkawanan dan menghargai pendapat lawan ini dijadikan teladan di tengah memanasnya bangsa Indonesia di tahun-tahun politik menuju Pilpres 2019.

Penulis jadi teringat budayawan Betawi, Ridwan Sa’idi, dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) selasa malam lalu (18/9/2018). Pada acara yang dihelat TV One itu setiap hari Selasa ini, beliau menyampaikan statemen menarik. Bila Pilpres 2019 kedepan diibaratkan sebagai pertandingan; maka, harapan beliau, pertandingan ini semoga menjadi pertandingan menarik, sekaligus mengurangi atau tidak mengeluarkan kata-kata kotor selama berlangsung.

Pesan inti yang diambil dari Babe Ridwan adalah tidak masalah berbeda dalam pilihan politik. Tapi, dalam berpolitik silakan bermain yang cantik; tak saling hina dan caci maki. “Karena, kata-kata kotor, tuturnya, hanya akan merusak gelombang udara, mempengaruhi diri sendiri dan rezeki pun akan jauh,” tuturnya menyitir hikmah orang Betawi.

Selain itu, penulis buku “Islam dan Nasionalisme Indonesia” ini menyampaikan pengalamannya dengan M. Roem, yang patut diteladani bagi orang yang berbeda haluan politik. Mantan Wakil Pimpinan Masyumi ini, telah memberi contoh yang membuktikan bahwa tidak ada masalah dengan perbedaan politik, baik sesama muslim (yang waktu itu memang partai Islam bukan hanya satu, seperti NU misalnya) maupun pemeluk agama lain.

Pada suatu kesempatan, Ridwan diajak M. Roem, “Ridwan nanti besok kamu datang, kamu duduk saja, gak boleh ngomong!” Rasa penasaran pun menyeruak di dalam jiwanya. Rupanya, yang diundang saat itu adalah I.J. Kasimo dan Leimena (yang merupakan tokoh Kristen).

Dialog hangat pun berlangsung di antara tokoh yang berbeda baik agama dan haluan politiknya itu. Dalam pertemuan tersebut, mereka terlihat menjaga kekerabatan, senda gurau dan lain sebagainya. Uniknya, perbedaan agama Dan Pilihan Politik di antara tokoh-tokoh tersebut tidak sampai menghalangi hubungan pertemanan dan pergaulan di antara mereka.

Apa yang diceritakan oleh sejarawan Betawi itu, sangat relevan sekali dengan kondisi saat ini. Ketika anak bangsa hampir saja terpecah, saling caci, saling menyudutkan di media sosial, gara-gara perbedaan pilihan politik. Kondisi seperti ini mestinya segera diredam dengan meneladani tokoh-tokoh bangsa Indonesia terdahulu yang mampu mengatasinya dengan baik.

Bila ditilik dalam lembaran sejarah Indonesia, ternyata bukan hanya Roem, yang bisa dijadikan teladan dalam masalah ini, dari sosok M. Natsir pun terdapat contoh yang tak kalah baiknya  untuk diteladani.

Dalam majalah Tempo edisi khusus 20 Juli 2008 yang mengangkat tema “Natsir; Politik Santun di antara Dua Rezim” disebutkan dengan sangat menarik bagaimana Natsir bisa menjalin pergaulan multikultural. Kisah-kisah terkait pergaulan Natsir dengan orang yang berbeda haluan bisa dilihat pada halaman 88 dan 89.

Dengan D.N. Aidit (Pimpinan PKI) Natsir secara ideologis sangat bertentangan, bahkan kata Yusril, dalam debat di parlemen Natsir sering tak bisa menahan emosi ketika debat dengan Aidit, kata Pak Natsir, “rasanya ia ingin menghajar kepada Aidit dengan kursi.”

Walau demikian, itu hanya kekesalan wajar dan tak benar-benar dilampiaskan di dunia nyata. Karena setelah rapat usai, mereka terlihat bersahabat. Mereka berdua bahkan saling ngopi dan ngrumpi bareng mengenai keluarga masing-masing. Dan itu terjadi berkali-kali.

Bahkan, dengan tokoh lain seperti I.J. Kasimo, F.S. Hariyadi (tokoh Katolik), J. Leimena, A.M. Tambunan (dari partai Kristen Indonesia) Natsir (Pimpinan Masyumi) juga berbeda secara ideologis dan pilihan politik. Namun, mereka tetap berkawan baik. Ketika Natsir mengajukan Mosi Integral dalam Sidang Parlemen Republik Indonesia Serikat (3/4/1950), justru tokoh-tokoh non-muslim tersebut mendukungnya.

Perkawanan tersebut rupanya tidak putus walau Natsir sudah tak terjun dalam dunia politik. Menurut cerita Sitti Mucliesah (putri Natsir), pada waktu tahun baru, abahnya tetap mengirimkan bunga kepada Kasimo dan Leimena, yang menunjukkan bahwa meski mereka ideologinya tak sehati, tapi tetap menjaga hubungan pertemanan.


Kisah menarik lain adalah dari KH. Isa Ansari (salah satu tokoh Masyumi). Kiai ini dikabarkan sering mengajak Aidit dan Njoto makan sate setelah berdebat. Menurut cerita Adnan Buyung Nasution, kalau Aidit ke Sukabumi, ia menginap di rumah Isa Ansari.

Tokoh Masyumi lain, seperti Prawoto Mangkusaswito, akrab dengan Kasimo. Bahkan kabarnya, Kasimo pernah membelikan rumah untuknya di Yogyakarta. Bahkan M. Roem, menurut penuturan Joesoef Isak, sering bertemu Oei Tjoe Tat (Tokoh Tiionghoa dan bekas menteri Kabinet Dwikora), padahal pada era Demokrasi Terpimpin, secara idolologis dan haluan politik bersebrangan.

Ada lagi contoh yang cukup mengharukan. Ketika Sjafruddin Prawiranegara dipenjara gara-gara terlibar peristiwa PRRI, Farid (anak Sjafruddin) kesulitan mendapatkan sekolah. Akhirnya, Sjafruddin menulis surat yang ditujukan kepada Kasimo. Farid pun kemudian bisa sekolah. (Sudarmanto, 2011: 180)

Itulah di antara sekian contoh yang patut diteladani dalam menghadapi memanasnya perbedaan politik tajam seperti saat ini. Silakan bertanding ide, gagasan, program-program ketika itu semua ditujukan untuk kepentingan bangsa dan Negara. Namun jangan sekali menggunakan kekerasan atau cara-cara kotor yang mengorbankan persatuan dan kesatuan anak bangsa.*/Mahmud Budi Setiawan


This post first appeared on Misteri Dunia Unik Aneh, please read the originial post: here

Share the post

Teladan Baik Bapak Bangsa dalam Menyikapi Perbedaan Politik

×

Subscribe to Misteri Dunia Unik Aneh

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×