Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Mengokohkan Tauhid Dan Meminta Ampun - TAFSIR QS Muhammad: 19



Oleh: Rokhmat S. Labib, MEI

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada ilah(sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang Mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.” (TQS. Muhammad [47]: 19)

Agar selamat di dunia daan akhirat, manusia harus mengetahui jalan yang harus ditempuhnya ketika menjalani kehidupan. Tatkala sudah diketahui, maka dia harus istiqamah menjalaninya. Perkara inilah di antara yang dijelaskan Ayat Ini.

Memahami Dan Meyakini Tauhid

Allah SWT berfirman: Fa’lam annahu laa ilaaha illaaLlaah(maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada ilah[sesembahan, tuhan] selain Allah). Dalam ayat sebelumnya diberitakan tentang datangnya hari Kiamat yang tiba-tiba. Tanda-tandanya telah diberitakan. Ditegaskan pula, ketika hari Kiamat datang, maka tak berguna lagi kesadaran dan penyesalan mereka.

Ayat ini kemudian menjelaskan tentang beberapa perkara yang dapat mengantarkan kebahagiaan ketika hari Kiamat datang. Perkara yang diperintahkan adalah perkara tauhid.

Khithaab (seruan) ayat ini ditujukan kepada Rasulullah . Kata i'lam merupakan fi'l al-amr (kata perintah) dari kata al-’ilm. Menurut al-Raqhib al-Asfahani, pengertian al-'ilm adalah idraak al-syay‘i bi haqiiqatihi (menjangkau sesuatu sesuai dengan keadaannya yang sebenarnya). Perkara diperintahkan untuk diketahui adalah perkara tauhid, yakni: Laa ilaaha illaal-Laah. Bahwa tidak ada ilaah yang haq kecuali Allah SWT. Dalam bahasa Arab, kata al-ilaah bermakna al-ma'buud, yang disembah dan ditaati. Dengan demikian, kalimat tauhid ini bukan sekadar meyakini keberadaan Allah SWT, namun juga meyakini bahwa hanya Allah SWT Dzat yang sah dan berhak untuk disembah dan ditaati. Tidak ada yang lainnya.

Inilah perkara yang diperintahkan kepada Rasulullah untuk diketahui. Maknanya: ”Ketahuilah wahai Muhammad, tidak ada sesembahan yang patut dan layak memiliki hak ketuhanan, dan boleh bagimu dan seluruh makhluk untuk disembah, kecuali Allah SWT yang menjadi pencipta semua makhluk dan pemilik segala sesuatu. Semua selain-Nya wajib mengakui ketuhanan-Nya.

Patut dicatat bahwa sebelum ayat ini turun, sesungguhnya pengetahuan itu telah ada pada diri beliau. Jika demikian halnya, lalu untuk apa perintah tersebut?

Menurut Fakhruddin al-Razi, ada dua makna tentangnya. Pertama, ”Tetaplah kamu berada di atas ilmu yang telah ada padamu!" Pernyataan ini sebagaimana ucapan seseorang terhadap orang yang duduk dan ingin berdiri, ”Duduklah!" Yakni, janganlah kamu berdiri. Makna ini juga dikemukakan oleh al-Zamakhsyari dan al-Syaukani. Kedua, khithab yang ditujukan kepada Nabi itu sesungguhnya ditujukan kepada kaumnya. Dua pendapat ini juga dikemukakan oleh al-Khazin.

Selain itu, al-Mawardi, sebagaimana dikutip oleh Imam al-Qurthubi, juga mengungkap ada tiga penafsiran tentang makna ayat ini. Pertama, ketahuilah bahwa Allah SWT telah mengajari kamu bahwa tidak ada tuhan yang haq kecuali Allah SWT. Kedua, apa yang telah engkau ketahui melalui bukti-bukti, maka ketahuilah pula melalui berita yang yakin. Ketiga, ingatlah bahwa tidak ada tuhan yang hak kecuali Allah SWT. Kata ”Ingatlah!" diungkapkan dengan kata ”Ketahuilah!” karena terjadinya pengetahuan itu berasal dari-Nya.

Memohon Ampunan

Kemudian Allah SWT berfirman: Wa [i]staghfir li dzanbika wa li al-mu‘miniin wa al-mu‘minaat (dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi [dosa] orang-orang Mukmin, laki-laki dan perempuan). Menurut Fakhruddin al-Razi, pengertian al-ghufraan (ampunan) adalah al-satr 'alaa al-qabiih (menutupi sesuatu yang tercela). Diterangkan Abdurrahman al-Sa'di, ampunan tersebut didapatkan dengan mengerjakan berbagai sebab didapatkannya maghfirah atau ampunan seperti taubat, doa meminta ampunan, kebaikan yang menghapus, meninggalkan dosa-dosa, dan ampunan dari kejahatan.

Mengenai istighfar Nabi diriwayatkan dalam banyak hadits. Di antaranya adalah doa berikut: “Ya Allah, ampuni kesalahan saya, kebodohan saya, sikap saya yang melewati batas, dan apapun yang engkau ketahui dari saya. Ya Allah, ampuni canda saya, keseriusan saya, kesalahan saya, kesengajaan saya, kesemuanya yang saya lakukan” (HR. Bukhari).

Menurut dhahirnya ayat, perintah istighfar dalam ayat ini ditujukan kepada Nabi . Padahal, sebagai nabi dan rasul, beliau adalah ma'shum, terbebas dari dosa. Lalu, bagaimana memahami perintah istighfar tersebut?

Menurut Imam al-Qurthubi, hal ini mengandung dua kemungkinan makna. Pertama, mohonlah ampunan kepada Allah SWT terhadap dosa yang akan menimpamu. Kedua, mohonlah ampunan kepada Allah SWT agar Dia melindungimu dari dosa-dosa.

Sedangkan menurut Fakhruddin al-Razi, yang dimaksud dengan al-dzanb (dosa) bagi Nabi adalah meninggalkan yang lebih utama. Makna ini juga dikemukakan oleh al-Syaukani. Sehingga, ayat ini bermakna: ”Mohonlah ampun dari apa yang mungkin engkau lakukan berupa meninggalkan yang lebih utama.”

Makna lainnya, adalah permohonan diberikan taufik dalam mengerjakan perbuatan yang baik dan meninggalkan perbuatan yang buruk.

Selain untuk dirinya, beliau juga diperintahkan pula untuk memintakan ampunan bagi orang-orang Mukmin, baik laki-laki maupun perempuan. Diterangkan Abdurrahman al-Sa'di, karena sebab keimanan mereka, maka itu merupakan hak bagi setiap Muslim dan Muslimah. Menurut al-Khazin, ini merupakan pemuliaan dari Allah SWT kepada umat ini lantaran memerintahkan Nabi-Nya untuk memintakan ampun terhadap dosa-dosa mereka, sementara dia adalah pemberi syafaat yang dikabulkan bagi mereka.

Diterangkan Fakhruddin al-Razi, dalam ayat ini terkandung perintah yang halus bahwa Nabi memiliki tiga keadaan, yakni keadaan dengan Allah SWT, keadaan dengan dirinya sendiri, dan keadaan dengan orang lain. Adapun dengan Allah, maka tauhidkanlah Dia. Sedangkan dengan dirinya sendiri, maka beristighfarlah atas dosamu dan mohonlah al-ishmah (terlindung dari dosa) dari Allah. Dan kepada orang Mukmin, beristighfarlah untuk mereka dan mintakanlah ampunan bagi mereka.

Diketahui Allah SWT

Kemudian ayat ini ditutup dengan firman-Nya: Wal-Laah ya'lamu mutaqallibakum wa matswaakum (dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal). Menurut Abdurrahman al-Sa'di, pengertian mutaqallibakum adalah perilaku dan gerakan-gerakan kamu, kepergian dan kepulangan kamu. Sedangkan matswaakum adalah yang kamu tinggal di situ. Maka Dia mengetahui kalian tatkala bergerak dan diam, lalu Dia membalasmu atas semua itu dengan balasan yang paling sempurna dan memenuhinya.

Menurut Ibnu Katsir, makna ayat ini adalah Dia mengetahui tindak-tanduk kalian pada siang hari dan tempat tinggal kalian di malam hari. Ini juga merupakan pendapat Ibnu Juraij dan al-Thabari.

Setelah mengutip beberapa penafsiran yang berbeda-beda, Imam al-Qurthubi menegaskan bahwa pendapat yang umum adalah berlaku untuk semua. Sehingga, tidak ada yang samar bagi Allah SWT, baik berupa pergerakan Bani Adam maupun diamnya mereka. Demikian pula dengan semua makhluk-Nya. Dia Maha Mengetahui secara terperinci, baik yang pertama maupun yang terakhir. Maha Suci Allah SWT yang tidak ada tuhan (yang hak) kecuali Dia. WalLaah a'lam bi al-shawaab.[]

Ikhtisar:

1. Rasulullah diperintahkan untuk terus berada di atas ilmu dan keyakinan atas tauhid.

2. Beliau juga diperintahkan untuk beristighar dan minta ampun, baik untuk diri beliau sendiri maupun untuk kaum Muslimin.

3. Selama tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa itu khusus untuk beliau, maka perintah itu juga untuk umatnya.[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 174



This post first appeared on NEOPLUCK, please read the originial post: here

Share the post

Mengokohkan Tauhid Dan Meminta Ampun - TAFSIR QS Muhammad: 19

×

Subscribe to Neopluck

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×