Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Berburu Sunrise di Gunung Bromo

Cemorolawang suatu sore. Gelap dan sepi. Belum terdengar Azan Magrib, rumah-rumah Sudah terang benderang. Tak ada gorden penutup jendela. Nyala ruang depan, terlihat dari luar. Kosong, hanya ada kursi dan lemari. Satu dua rumah, jaraknya berjauhan. Bertetangga dengan kebun, atau rimbunan pohon-pohon tinggi.

Gelapnya desa di kaki Gunung Bromo itu seperti sudah tengah malam. Anginnya, menelusup ke pori-pori. Jalanan kecil beraspal terus menurun dan menanjak. Lebarnya mungkin hanya lima sampai tujuh meter.

Inilah salah satu pintu masuk mencapai kawasan Wisata Gunung Bromo. Lokasi persisnya, ada di Kabupaten Probolinggo. Selain Desa Cemorolawang, ada tiga akses lainnya. Desa Wonokitri di Pasuruan, Ngadas Tumpang Malang, dan Burno Lumajang.

Menembus gelap, lelaki itu mengemudikan bus. Usianya terbilang cukup tua. Namun dua matanya tampak masih awas memelototi kondisi jalan di depan. Dari Kota Surabaya, dia membawa sekitar 60 penumpang. Semuanya wartawan, fotografer, dan awak Telkomsel.

Beda saat melintasi jalanan di Surabaya menuju Probolinggo, laju bus kali ini memang tak terlalu kencang. Padahal sebelumnya, lelaki asli Jawa Timur itu tampak begitu gagah di belakang kemudi, membawa bus ke jalur kanan, terus menyalip kendaraan di jalanan Surabaya.

Kini, di jalan sempit memasuki kawasan Gunung Bromo, kecepatan bus sedang-sedang saja. Beberapa kali bahkan terasa mengendur. Apalagi saat jalan menanjak atau menikung. Butuh kecermatan luar biasa tampaknya berkendara di medan seperti itu.

Saya ada di bus itu. Duduk di deretan kursi tengah. Sepanjang jalan, di kiri kanan gelap menyapa. Hanya sedikit cahaya terang dari rumah penduduk berpendar di antara kegelapan. Sisanya, cuma lampu bus tumpangan saya, dan kendaraan lain yang melintas.

Berjam-jam duduk di kursi bus, pegal mulai melanda. Mulut pun asam tak bisa merokok. Berbalut dingin, saya gelisah. Sesekali berdiri, lantas duduk lagi. Namun, saya tak boleh hilang kesabaran. Gunung Bromo sudah di ambang mata.

Ya, jauh-jauh dari Bandung, saya memang sudah membayangkan keindahan pesona Gunung Bromo. Ini kali pertama saya ke sana. Biasanya, sunrise, hamparan padang pasir, kaldera dan banyak lagi daya tarik Bromo, hanya saya baca di buku pariwisata atau mbah google.

Maka, Jumat (13/9) subuh, saya membulatkan tekad tak mau melewatkan sedikit pun keindahan Bromo. Tak sendiri memang, tapi bersama rombongan Telkomsel dan sejumlah wartawan lainnya. Kami terbang ke Surabaya dengan Lion Air pukul 06.00 WIB, dan tiba pukul 08.00 WIB.

Dari Surabaya, perjalanan berlanjut ke Probolinggo setelah sebelumnya beristirahat dan Salat Jumat. Bromo sendiri letaknya 85 Km dari Surabaya. Berangkat pukul 14.00 WIB, perjalanan katanya memakan waktu enam jam. Berarti kemungkinan, saya baru tiba di kawasan Bromo sekitar pukul 20.00 WIB.

Bus yang saya tumpangi akhirnya berhenti di Terminal Cemorolawang. Saya tak lagi ingat jam berapa saat itu. Kemungkinan sekitar pukul 19.00 atau 19.30 WIB. Dari terminal, saya dan rombongan harus menaiki elf. Sudah terbayang, seperti apa perjalanan nanti menaiki elf.

Singkat cerita, saya tiba di penginapan. Istirahat adalah tujuan utama. Besok pagi, pukul 02.00 dini hari, saya harus bangun, berburu sunrise di Pananjakan. Namun tak lengkap rasanya menikmati malam tanpa kopi panas. Dingin menyungkup tubuh. Sekejap saja, kopi panas sudah terasa dingin.

Pagi-pagi sekali, Hendra (26) sudah bersiap. Dia tampak gagah duduk di belakang kemudi Hardtop. Waktu di kawasan Gunung Bromo masih menunjukkan pukul 02.30 WIB. Saya dan empat teman, berjalan menuju Hardtop. Lengkap dengan jaket, kupluk, syal, dan sarung tangan.

Tanpa ba bi bu, Hendra cepat melajukan Hardtop. Dia seperti berburu dengan waktu. Di mana-mana, mobil yang sama berseliweran. Depan belakang, kiri kanan. Tujuannya mereka sama, Penanjakan View, lokasi terbaik melihat fenomena sunrise di Gunung Bromo.

Perjalanan dari penginapan menuju Penanjakan View memakan waktu sekitar 45 menit. Di Penanjakan View, ribuan orang sudah tumplek di posisi terbaik melihat fenomena sunrise. Saya melangkah cepat mencari tempat. Nyaris saja tak kebagian lokasi.

Pukul 05.00 WIB yang dinantikan tiba. Bulatan merah terlihat di ufuk Timur. Dia ditingkah saputan awan kejinggaan. Sebagian tampak berwarna ungu. Ribuan pasang mata pun tak henti menatap fenomena itu. Moncong kamera mengarah ke Timur, terus mengabadikan sang matahari.



This post first appeared on Kabar Matahari, please read the originial post: here

Share the post

Berburu Sunrise di Gunung Bromo

×

Subscribe to Kabar Matahari

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×