Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Pak Daeng Nurjamal: Uang Semir Jadi Madrasah


Tiga tahun jadi pejabat sementara, Daeng Nurjamal belum bisa menyejahterakan 12 orang guru honorer. Uang SPP hanya Rp 6.000,- per siswa tiap bulannya. Madrasah yang dipimpinya sempat rusak berat.

Sepeninggal H.R. Subarna, 14 Februari 2001, jabatan Ketua Yayasan kosong. Kemudian, itu diisi oleh kakak sepupuku, tapi tak bertahan lama. Akhir Desember 2001, rapat pengurus mendaulat aku, Daeng Nurjamal, menjadi Pejabat Sementara (Pjs) Ketua Pengurus Yayasan Al-Fatmah. Mengelola MTs Miftahul Fallah, di Dusun Garela, Kecamatan Selawi, Kabupaten Garut. Saat itu, M.Ts Miftahul Fallah memiliki tiga ruang kelas lama dan dua ruang kelas baru.

Sejak MTs berdiri tahun 1994, tiga ruang kelas lama belum pernah direnovasi. Keadaannya memilukan. Lantai tanahnya rusak dan berdebu, atap bocor, dinding pun kusam karena sudah lama tak dicat.

Sedangkan dua ruang kelas lainnya, sedang direnovasi, namun belum selesai. Sudah beratap, berpintu dan jendela, namun belum ada kacanya. Lantai masih tanah pecah-pecah, dinding bata belum diplester, belum berplafon. Tapi sudah digunakan karena ruang kelas lama sama sekali tak bisa digunakan.

Tiga tahun jadi Pjs, aku tak bisa berbuat banyak untuk membangun sekolah. Apalagi meningkatkan kesejahteraan 12 guru honorer. Uang kas Yayasan hanya ada Rp 400.000,-. Honor 12 guru sangat ala kadarnya. Berasal dari SPP (Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan) para siswa Rp 6.000,- per bulan. Itu pun tak pernah masuk lebih dari 60% setiap bulannya.

Jika dihitung-hitung, honor guru bervariasi antara Rp 28.000,- hingga Rp 118.000,- per bulannya. Dengan jumlah siswa 10 orang dan latar belakang ekonomi keluarga yang bervariasi. Bahkan, mayoritas mendambakan sekolah gratis. Tak kuasa rasanya melihat perjuangan para guru demi memajukan generasi bangsa.

Menjalani berbagai kenyataan dengan keterbatasan finansial, membuatku ingin mengundurkan diri. Aku rela serahkan jabatan Ketua Yayasan kepada siapa saja yang mau. Tapi, istriku, Riris Resmiyati, selalu menghibur dan mengingatkan. “Kalau mau mundur, itu hak Akang. Tapi ingat, bukankah ini lahan perjuangan untuk mencerdaskan anak-anak bangsa?”

Istriku juga berkata, bahwa mundur dari jabatan sosial itu perkara mudah. Banyak orang bisa melakukannya. Itu berarti lari dari tanggungjawab. “Bukankah itu sama saja lari dari medan perang?” tanya istriku.

Subhanallah, nasihat dari istri tercinta terjawab pada 9-11 Mei 2003.

Aku diajak ikut training ESQ Angkatan Ke-17 oleh salah satu sahabat. Ia yang membayari. Luar biasa. Itulah kalimat yang terlontar dari bibirku. Allah membukakan pintu hati dan pola pikirku. Kutahu bahwa aku harus terus melakukan aksi total melalui sekolah ini.

Pasca pelatihan, aku selalu ingin hadir di mana pun ada training ESQ. Jarak Bandung-Jakarta tak menyurutkan langkahku untuk menjalin persaudaraan penuh kebersamaan. Selain itu, aku pun jadi lebih peduli pada bidang pendidikan. Apalagi terlibat dalam merintis kelahiran program ESQ Peduli Pendidikan Jawa Barat, ikut membina anak bangsa secara nonprofit oriented.

Berkali-kali datang ke tempat pelatihan ESQ, ada keinginan untuk bertemu Pak Ary Ginanjar. Jika diperbolehkan, meminta agar uang semir sepatu pada pelatihan ESQ Angkatan ke-19, Juli 2003, dapat digunakan untuk menyelesaikan ruang kelas M.Ts Miftahul Fallah.

Alhamdulillah, Kak Ridwan trainer, memanggilku untuk menerima uang hasil semir sepatu hari itu, yang berjumlah Rp 4.800.000,-. Aku didaulat untuk berbicara di hadapan peserta. Masih kuingat apa yang aku ucapkan kala itu: “Jika di Hotel Aryaduta ini bapak dan ibu menjatuhkan jarum, akan mudah untuk diambil. Namun, di sekolah saya, jika pensil atau pulpen yang jatuh, maka tidak akan mudah mengambilnya. Karena, barang itu akan masuk ke dalam lantai tanah yang pecah-pecah.”

Subhanalllah, kalimat itu ternyata membuat Pak Ary tersentuh. Kemudian Pak Ary mengajak peserta untuk berinfak kembali. Dan disambut baik oleh peserta. Dari infak putaran kedua, terkumpul dana Rp 15.600.000,-, 10 real, 2 euro, dan 5 dollar. Walhasil, aku pulang ke Bandung dengan sukacita dan hati berbunga-bunga.

Dengan uang itu, aku mulai menyelesaikan dua lokal kelas baru. Tak lupa aku mengajak para orangtua siswa, tokoh masyarakat, untuk bermusyawarah menghimpun dana. Aku pun membuat proposal dan mengajukkannya ke Departemen Agama, Pendidikan Nasional Garut dan Provinsi Jawa Barat.

Hasilnya luar biasa. Tiga kali berturut-turut, kami mendapat bantuan RKB (Ruang Kelas Baru). Jumlahnya fantastik, hampir Rp 200.000.000,-.

Menginjak tahun 2004, SPP yang masuk dari siswa, nol rupiah. Saat itu mulai ada BOS (Bantuan Operasional Sekolah), per siswa mendapat jatah bantuan Rp 17.500,- per bulan.

Ada 70 orang siswa yang masuk kriteria untuk kuota dana BOS itu. Kuota 70 orang, kami kelola agar bisa dinikmati oleh 110 orang. Tahun 2005-2006, semua siswa kami masuk kuota mendapat dana BOS.

Lima tahun kemudian, tepatnya Juli 2008, suasana haru dan bangga itu berulang dalam nuansa berbeda. Kami, pengurus yayasan, para guru, komite sekolah, dan para orangtua siswa berkumpul di sekolah dalam suasana haru dan bahagia. Itu adalah acara pelepasan siswa kelas tiga. Kami sangat bangga karena bisa melepas lulusan M.Ts Miftahul Fallah.

Rasa haru tak terbendung. Isak-tangis mewarnai suasana kala itu. Aku berkeliling sambil menyalami dan memeluk anak didikku. Aku bangga pada anak didik dan orangtua mereka. Merekalah yang memercayakan putra-putrinya untuk sekolah di M.Ts Miftahul Fallah.

Di tengah memberi kalimat sambutan, mataku beberapa kali melirik bangunan sekolah yang tampak megah itu.

Ingatan pun terlintas pada lima tahun silam. Terbayang kondisi awal bangunan sekolah. Hingga saat menerima uang hasil semir sepatu. Sungguh perjuangan yang sangat tak terduga. Dan Allah ada di balik semua itu.

Aku menatap seluruh bangunan M.Ts Miftahul Fallah, tampak cukup megah. Kemudian aku mengalihkan tatapan pada para siswa yang tampak ceria dan menggerombol bersama kedua orangtuanya.

Khusus hari itu, tempat upacara sekaligus lapangan voli disulap agar tampak indah dengan panggung dan tenda biru.

Lambat-laun tak terasa suaraku makin parau. Airmata mengalir membasahi pipi. Sambil berujar, “Selamat jalan anak-anakku, semoga kalian menjadi anak yang saleh dan salehah. Anak-anak yang mencintai Allah dan dicintai Allah.”

Kemeriahan acara hari itu berakhir. Ditutup dengan pembacaan doa oleh Acep Jalalludin, sesepuh masyarakat setempat.

Setelah itu, senandung dzikir Asmaul Husna berkumandang. Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahiim, Ya Malik… Airmata kembali berderai. Begitu dalam makna yang terkandung, hingga tak terasa airmata ini kembali luluh di pipi. Kali ini, aku coba menatap lima, sepuluh, bahkan 15 tahun ke depan. Anak-anak itulah yang akan menjadi pewaris masa depan.

Sungguh, hari itu aku larut dalam suasana haru dan bangga mendalam. Aku bahkan baru tersadar ketika seorang guru mengajak untuk makan siang bersama orangtua. Saat makan siang itulah, salah seorang tokoh masyarakat bercerita bahwa M.Ts ini merupakan sekolah paling “jreng” se-Kecamatan. Dan muridnya paling banyak di antara M.Ts yang ada.

Jika dihitung, jumlah lokal kelasnya sudah ada tujuh. Semuanya lokal baru dan masih ada tiga kelas lama yang masih belum direnovasi. Tiga kelas lama itu sudah ada rencana direnovasi dan akan digunakan untuk membuka TK/RA dan TKA/TPA.

Selesai makan siang, tinggal panggung dan tenda biru yang jadi saksi. Sejatinya, ada satu hal lagi yang cukup mengharu-birukan hatiku. Tanah lapang tempat upacara dan bermain voli siswa, sebenarnya belum menjadi milik yayasan alias masih menjadi milik perorangan. Dan sang pemilik pun sudah menanti. Bahkan, beberapa kali menanyakan, kapan pihak yayasan akan melunasi pembayarannya.

Saat ini, kami sedang mengajak masyarakat termasuk alumni ESQ untuk merealisasikan tiga target besar di 2008-2009. Pertama, membebaskan tanah lapang tempat upacara dan olahraga seluas 320 meter persegi. Kedua, melengkapi fasilitas pendukung KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) untuk tujuh ruang kelas baru. Ketiga, merenovasi tiga lokal kelas lama yang akan dialihfungsikan untuk membuka TK/RA dan TKA-TPA. Agar bisa dimanfaatkan pagi dan sore.

 Aku sangat bersyukur atas kondisi saat ini. Bermula dari uang semir sepatu akhirnya kami bisa memiliki gedung yang lebih nyaman. Serta dukungan dan partisipasi semua pihak yang berharap keridhoan Allah. DITULISKAN KEMBALI OLEH : Dede Hermawan


This post first appeared on Mts Miftahul Fallah, please read the originial post: here

Share the post

Pak Daeng Nurjamal: Uang Semir Jadi Madrasah

×

Subscribe to Mts Miftahul Fallah

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×