Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Lima Menit Dengan Iwan Kurniawan Lukminto, Pria di Balik Tumurun Private Museum

Terletak di pinggir jalan, Tumurun Private Museum yang berada di Kota Surakarta (solo), Jawa Tengah ini cukup sulit ditemukan lantaran tidak ada plang atau penanda apapun, ditambah dengan pagar yang tinggi sehingga bangunan museum nyaris tidak terlihat.

Museum yang berada di tengah Kota Solo, dekat dengan Taman Sriwedari ini berdiri di atas tanah seluas 1.800-meter persegi. Bangunan ini dirancang dengan standar ruang pamer modern yang didominasi dinding berwarna putih, langit-langit yang tinggi serta pencahayaan mumpuni memberikan keleluasaan dalam menikmati karya seni.

Terdapat dua ruangan di dalam museum, lantai atas memuat karya-karya old master Indonesia seperti karya maestro ekspresionisme Affandi, Bapak Seni Rupa Indonesia Modern S.Sudjojono, hingga karya pelukis luar negeri yang pernah berkarya di Indonesia seperti Lee Man Fong, hingga Antonio Blanco.

Namun sayangnya, karya di lantai atas tidak boleh di akses publik karena mempertimbangkan keamanan karya yang kebanyakan merupakan karya-karya tua. Area yang boleh di akses publik berada di lantai bawah museum, pada area ini terdapat karya-karya seni rupa kontemporer Indonesia yang tidak kalah bagus nya dengan karya-karya seniman Old Master.

Terdapat karya patung “Floating Eyes” Wedhar Riyadi yang merupakan karya ikonik dari pagelaran Art Jog 10 pada tahun 2017 lalu. Ada juga karya dari seniman kontemporer legendaris Indonesia Heri Dono yang pernah mewakili Indonesia dalam ajang Venice Biennale pada tahun 2003 dan 2015.

Karya patung Wedhar Riyadi “Floating Eyes” dan mobil antik Mercedes Benz tahun 1972 berdiri megah di bagian depan ruang pamer Tumurun Private Museum. (Dok. Riski Januar)

Selain karya seni rupa, juga terdapat tiga mobil antik yang turut dipajang di museum, diantaranya mobil bermerek Dodge tahun 1932 dan 1948 serta mobil bermerek Mercedes Benz tahun 1972.

Mobil-mobil antik tersebut merupakan koleksi warisan dari mendiang H.M Lukminto yang merupakan pendiri perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara, PT. Sri Rejeki Isman (Sritex). Setelah beliau wafat, Iwan Kurniawan Lukminto yang merupakan anak ke empat nya mendirikan museum untuk memamerkan mobil-mobil tersebut dan memajang karya seni rupa koleksinya.

Iwan merupakan Wakil Direktur Utama dari PT. Sri Rejeki Isman, pria 35 tahun ini mulai mengoleksi karya seni rupa pada tahun 2015 lalu. Koleksinya hingga saat ini telah mencapai kurang lebih 150 karya seni rupa.

Walau masih tergolong sebagai kolektor baru, Keberagaman karya koleksi Museum Tumurun sekiranya mampu menghadirkan sebuah cuplikan sejarah perkembangan seni rupa Indonesia mulai dari zaman sebelum kemerdekaan hingga saat ini.

Berikut ini adalah wawancara mendalam kami dengan Iwan tentang pengelolaan museum dan karya koleksinya.

Hal Apa yang membuat anda tertarik mengoleksi karya seni rupa?

Sudah dari dulu saya suka seni rupa namun arahnya kemana itu masih belum jelas. Lalu saya bertemu dengan paman istri saya [Tirto Juwono Santoso] kebetulan beliau adalah seorang advisor dari situ saya mulai belajar lebih lanjut mengenai seni rupa. Karena menjadi kolektor seni rupa itu sebenarnya pekerjaannya banyak, harus rajin membaca, kita harus sering melihat museum, galeri, dan pameran. Menjadi kolektor seni rupa itu mengharuskan kita untuk selalu belajar.

Apa yang melatarbelakangi anda membangun museum ini?

Awalnya adalah untuk men-display mobil-mobil kuno koleksi almarhum ayah saya, dimana dulu cuma berada di garasi, berdebu dan tidak bisa di nikmati. Dan kebetulan saya juga kolektor seni rupa Indonesia, jadi kita buatlah sebuah tempat untuk bisa menikmati karya seni dan mobil antik.

Apa tujuan anda membangun museum ini?

Tujuannya untuk memberikan sebuah edukasi atau wawasan bagi para seniman muda, pelajar, mahasiswa dan masyarakat untuk menambah wawasan seni rupa.

Kenapa anda membangun museum di Solo, padahal pusat seni rupa ada di Yogyakarta?

Sebetulnya saya ingin menggugah seniman-seniman di Kota Solo, karena Kota Solo itu potensi seniman nya cukup luar biasa namun kurangnya akses atau wadah yang membuat mereka sulit untuk berkembang. Kalau di Jogja kan sudah menjamur galeri dan ruang-ruang lainnya, gantian lah di Solo.

Apa arti dari nama Tumurun?

Tumurun itu saya ambil dari kata turun-temurun, seperti almarhum ayah saya mewariskan koleksi mobil kuno nya kepada saya sebagai penerus, harapan saya koleksi di sini bisa terus dinikmati ke generasi berikutnya.

Apa bagian tersulit dalam mendirikan museum ini?

Lebih ke bagaimana kita men-display dan mengelola. Apalagi Sari [guide museum] di sini sendiri memberikan edukasi dan aturan kepada pengunjung, misal kayak aturan dilarang menyentuh karya dan aturan-aturan dasar lainnya. Kita memberikan edukasi kepada mereka supaya mengapresiasi bukan dengan cara memegang karya

Apa saja kriteria anda dalam mengoleksi karya?

Yang pertama pasti kita melihat siapa pelukisnya, lalu track record seniman, konsep karya nya, sudah di pamerkan dimana saja, galeri siapa yang membawa seniman itu dan yang terpenting adalah kualitas dari seniman itu sendiri. Dimana track record itu juga harus jelas, karena zaman sekarang ini orang kalau sudah bisa pegang kuas dan menaruh cat di kanvas tau-tau sudah merasa jadi seniman. Karena menjadi seniman bukan proses yang instan kan.

Karya Heri Dono, Bad Man And Super Bad, 2003. Merupakan salah satu karya koleksi Tumurun Private Museum. (Dok. Riski Januar)

Saya tidak melihat karya seni media baru di museum anda, apakah anda tidak mengoleksinya?

Belum ketemu yang pas, tapi kita juga terus melihat karya-karya yang seperti itu. Kita masih terbuka sih untuk media-media baru.

Kalangan apa yang paling sering mengunjungi museum?

Yang paling intens adalah para pelajar dan mahasiswa. Kalau untuk anak SD saya merekomendasikan yang kelas lima dan enam, karena kalau kelas lima ke bawah saya pikir belum bisa menikmati karya. Arsitek, desainer dan kontraktor juga banyak yang datang ke sini. Selain dari Solo, para pengunjung juga banyak dari luar kota Solo.

Bagaimana cara untuk mengunjungi museum?

Caranya untuk mengunjungi museum dengan by reservasi dulu. Jadi sebelum kunjungan, reservasi dulu melalui What`s App, email, telepon yang ada di website.

Museum ini selalu ramai di kunjungi setiap harinya, adakah karya yang rusak?

Kalau karya yang rusak sih enggak ada, karena sebelum masuk kita briefing dulu. Kita juga menjaga kapasitas pengunjung, jadi setiap pengunjung yang masuk maksimal 30 orang, agar nyaman dan aman buat karya-karya di sini.

Adakah karya yang tidak boleh di akses publik?

Biasanya kalau open house, area yang di atas [karya-karya old master] tidak dibuka untuk umum karena karya-karya tersebut sudah tua dan rentan kalau kenapa-kenapa. Yang boleh mengakses lebih ke benar-benar para pecinta seni seperti kurator, kolektor dan seniman. Juga kapasitasnya enggak boleh banyak-banyak karena cukup padat dan sempit di area atas.

Apakah ada rencana membuka museum ini untuk publik?

Kalau dalam jangka waktu pendek ini belum, karena desain dari museum ini memang tidak dibuat untuk bisa diakses publik karena memang desain dari museum ini tidak dibuat untuk diakses publik banyak, karena pengelolaannya pun juga masih terbatas.

Bagaimana strategi kurasi karya di museum ini?

Sekarang ini memang kita belum ter program secara kuratorial, sekarang hanya terbatas bagaimana kita bisa men-display ini dengan baik, untuk rolling karya saya sendiri yang mengaturnya. Ke depannya ada rencana sih memakai kurator agar karya yang tampil lebih bercerita.

Adakah program khusus untuk masyarakat?

Itu yang masih kita pertimbangkan dan kita pengen rancang nanti seperti itu, dimana lebih tertata. Setiap pengunjung yang datang kita tanya masukannya apa, kurangnya apa, kita kasih mereka kertas untuk mengisi kritik dan saran. Kalau untuk anak sekolah, kita bilang sama gurunya untuk diberikan tugas. Jadi ada feedback nya untuk kita dan mereka

Bagaimana pandangan anda terhadap seni rupa kontemporer Indonesia?

Kalau kita lihat sekarang ini sudah bisa dibilang setara dengan seni rupa internasional, karya-karya kontemporer Indonesia itu sudah banyak di koleksi kolektor luar negeri. Namun kembali lagi kepada kualitas seniman nya sendiri, makanya konsistensi dari seniman itu penting, juga diharapkan seniman lebih memprioritaskan kualitas karya dan tidak melihat nilai value karya itu dalam proses penciptaan nya.

Apa harapan anda untuk museum ini ke depannya?

Untuk ke depannya kita berharap bisa terus berkontribusi untuk masyarakat seni rupa khususnya di kota Solo. Dan harapannya seniman-seniman muda ini bisa mendapatkan wawasan dan menginspirasi mereka untuk membuat karya yang baru.

Apa hal yang belum tercapai dari museum ini?

Masih banyak sih, misal dari koleksi old master secara kronologi dan histori masih banyak bolong-bolong nya. Ke depannya kita harapkan benar-benar bisa memberikan suatu kronologi sejarah seni rupa Indonesia dari awal sampai sekarang ini.


Tumurun Private Museum

Jalan Kebangkitan Nasional No.2, Sriwedari, Laweyan, Solo, Jawa Tengah.

0271-746 332 0 / +628 122 700 215 2

www.tumurunmuseum.com

The post Lima Menit Dengan Iwan Kurniawan Lukminto, Pria di Balik Tumurun Private Museum appeared first on Sarasvati.



This post first appeared on Seni Rupa, please read the originial post: here

Share the post

Lima Menit Dengan Iwan Kurniawan Lukminto, Pria di Balik Tumurun Private Museum

×

Subscribe to Seni Rupa

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×