Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Di Negeri Ini Apa Yang Tidak Palsu?

Jakarta – KabarNet: Bangsa kita adalah bangsa yang munafik, tegas KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dalam sebuah seminar Pemilihan Presiden secara langsung beberapa tahun lalu, ketika menanggapi perilaku politisi kita. begitu pula, Oom Pasikom malahan mengatakan sekarang dinegeri ini apa sih yang tidak palsu : sumpah palsu, janji palsu, gelar palsu, vonis palsu, gigi palsu…..(Kompas, 27 mei 2000). Bukankah ini sama dengan topeng segala topeng?

Lihat saja putusan praperadilan menjadi kontroversi, Seperti diketahui, ini ketiga kalinya KPK harus menelan pil pahit. Pertama, kala KPK harus menerima kekalahan saat gugatan praperadilan Komjen Pol Budi Gunawan dikabulkan oleh PN Jaksel. Kedua, permohonan praperadilan atas tersangka yang disematkan KPK kepada mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin, dikabulkan oleh hakim praperadilan PN Jaksel. Terakhir adalah putusan terkait mantan Ketua BPK, Hadi Poernomo.

Demikian juga ambil salah satu contoh, eksistensi kewibawaan hakim kembali lagi sedang dipertanyakan ditengah masyarakat, sejak disinyalir oleh berbagai media cetak atau online tentang seorang hakim yang tertangkap tangan sedang menyidangkan perkara 320 perdata menggunakan handycam di PN Jakarta Barat, “Majelis Hakim yang terdiri Harijanto, SH, MH (Hakim Ketua), Sigit Hariyanto, SH, MH (Hakim Anggota), dan Julien Mamahit, SH (Hakim Anggota), Dan salah satu anggota hakim bernama Sigit Hariyanto, SH, MH menggunakan kamera video merekam saat sidang berlangsung dan kemudian persidangan tersebut ditutup tanpa ada agenda jadwal sidang berikutnya oleh Ketua Majelis bernama Harijanto, SH, MH. Kejadian peristiwa memalukan itu mestinya menjadi momen para hakim untuk menunjukkan sikap “kesejatian” mereka, sebagaimana sikap hakim yang dilambangkan dalam kartika, cakra, candra, sari, dan  tirta itu  merupakan  cerminan  perilaku  hakim  yang  harus  senantiasa diimplementasikan dan direalisasikan oleh semua hakim dalam sikap dan perilaku hakim yang  berlandaskan pada prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, adil, bijaksana dan berwibawa, berbudi luhur, dan jujur. Tak aneh, jika masyarakat pencari keadilan menganekdotkan akronim H A K I M yang menyebutkan (Hubungi Aku Kalau Ingin Menang) sepatutnya lah menjadi dasar evaluasi sikap dan perilaku para hakim untuk kembali ke jalan Tuhan, dan tentunya permasalahan-permasalahan tersebut masih banyak lagi lainnya.

Bilamana kita berbicara terminologi munafik pada mulanya berkonotasi religius, yaitu orang berpura-pura percaya pada agama padahal sesungguhnya dia tidak percaya, dan saat ini menjadi bermakna luas. Munafik adalah orang yang tidak satu dalam kata dan perbuatan. Dan kemunafikan berarti sikap lain dikata lain di hati, lain anjuran lain tindakan. Kemunafikan juga berarti ketidakjujuran karena kepura-puraan sikap dan perbuatan (JS Badudu dan Moh Zain, Kamus Umum Bahsa Indonesia, 1994).

Seperti halnya tentang Kepalsuan adalah merupakan salah satu ciri kemunafikan juga. Ibarat hantu, kepalsuan dan kemunafikan ada dimana-mana dan sulit diindera. Sang politikus yang berjanji membawa aspirasi rakyat tetapi kenyataan menindas rakyat (KKN) berarti sumpahnya palsu. Dan sang ekonom yang katanya membela kesejahateraan masyarakat tetapi buktinya memperkaya diri dan golongannya-pun berjanji palsu. Serta sang penguasa yang ngebodohin publik lewat iklan yang tidak sesuai dengan kenyataannya juga berbisnis secara palsu. Semua menjadi “Disclamer” istilah asing diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh para pakar keuangan, yang artinya rancu.

Kejujuran adalah bahagia, kepalsuan itu derita

Di negeri ini kepalsuan itu sekarang sedang sekarat barangkali di ibaratkan sampai masyarakat tak mampu lagi beli sebutir beras, dimana masyarakat harus ekstra waspada dan hati-hati dalam memilih beras untuk dikonsumsi. Pasalnya beras palsu yang terbuat dari limbah plasktik buatan China sudah mulai beredar di pasaran. Beras palsu ini terbuat dari gabungan kentang, ubi jalar dan limbah plastik yang direkayasa sedemikan rupa sehingga berbentuk menyerupai beras. Beras palsu ini sangat berbahaya jika dikonsumsi karena bisa memicu kanker. Untuk membedakan antara beras palsu dengan beras asli sangat sulit saat masih mentah. Tapi setelah dimasak, beras palsu dapat dibedakan dengan beras asli dari rasanya. Beras palsu akan terasa keras dan kenyal atau serasa masih ada bagian yang mentah padahal proses memasaknya sama. Sedangkan beras asli lebih terasa empuk dan lembut saat di kunyah. Makan tiga mangkuk nasi palsu ini sama saja dengan makan satu kantong plastik.

Tak kunjung usai beras palsu, kini muncul kemiri palsu. Bumbu masak yang berwarna putih ini ditemukan karena kandungannya setelah dimasak dalam makanan terasa lain di lidah. Kemiri tersebut telah dipalsu yang diduga dari bahan berupa tepung. Sebab saat dicek beberapa sisa kemiri, bentuk dan wujud bumbu masak itu ternyata berasal dari bahan tepung.

Barngkali juga masih ingat berapa tahun lalu, ada beberapa penggalan kalimat lakon Dalam Topeng-topeng karya Rachman Sabur yang dimainkan kelompok teater Kupu-Kupu Perak asal Bandung, “Wajah Kita adalah topeng-topeng”. Segala wajah, semua bertopeng. Topengku dan topengmu saling menerjemahkan isyarat. Ayo! Siapa diantara kita yang berani meninggalkan topeng? Jangan pernah percaya pada wajah dibalik topeng. Ia bisa menjelma siapa saja dan menjadi apa saja. Realitas drama teater politik dinegeri ini selalu dibalut dengan “topeng-topeng” muncul silih berganti dengan segala pernik yang menyertainya. Ada politisi mempertontonkan ke-tidak populisannya tentang konsep fundamentalisme keadilan, persamaan dan hakikat kemanusiaan. Ada juga politisi melakukan sewenang-wenang (on his own right), diman rakyat dibekukan ruang kebebasan hingga mengalami gradasi dalam berbangsa dan bernegara. Dinegeri ini topeng para politisi telah terjangkiti paralisis (kelumpuhan akal dan moral).

Banyak politisi mirip dengan apa yang diperankan oleh sosok Waska tetang manusia yang penuh keboborokan namun ingin terlihat sebaliknya penyayang, santun, arif dan bijaksana. Para politisi berlomba-lomba mengenakan topeng Semar, hingga seorang seolah-olah sosoknya terlihat bak seorang pelindung yang dimahkotai kepedulian (ke-empati-an) pada setiap orang. hanya saja, ia menjadi berbeda ketika ditengah orang banyak dan ketika ia disaat sendiri. Saat sendiri, dia menjadi sosok Waska sesungguhnya. Sosok Waska yang selalu melangkah membuat rakyat terjepit hidupnya. Sosok Waska yang isyarat-isyarat atau perintah-perintahnya selalu siap dikerjakan oleh siapapun. Hanya cuma satu-satunya tidak setia kepada sosok diri Waska adalah alam itu sendiri, tempat ia hidup dan berpijak. Politisi dimanapun berada selalu memiliki kecenderungan untuk bersikap dan bertindak dalam bingkai moralitas palsu. Berbagai fenomena kehidupan nyata menunjukkan mengenai sikap seorang manusia yang tak pernah netral secara moral. Kerapkali orang akan bertindak dan berlaku secara berbeda dengan yang diucapkannya. Bahkan, pada saat yang sama-pun orang selalu mengatakan tentang perlunya keadilan, kebenaran, persamaan dan kebenaran. Hal ini berbeda dengan sikap orang yang bijak dan para pahlawan yang mengatakannya demi kejujuran dan kebenaran. Sementara para politisi mengatakan hal itu secara hipokrit demi kepentingan sendiri. Dalam hal ini, kampanye para politisi yang selama berabab-abab selalu berbicara tentang keadilan, persamaan, dan kemanusiaan selalu diwujudkan dalam topeng-topeng moral yang sesungguhnya sarat dengan kepalsuan.

Merosot

Dalam serat Sabdatama karya pujangga Ronggo Warsito, puncak zaman yang penuh penderitaan ini semakin ditandai dengan terjadinya kemerosotan kesadaran sehingga kian memperburuk keadaan, sehingga kian memperburuk keadaan. Padahal kata kunci pemahaman kesadaran, seperti kata ungkapan Inggris : Yakni tugas dalam pengertian jamak (plural) maknanya adalah large than life, artinya lebih jauh dan lebih luas dari kehidupan orang seorang. apalagi bahsa kesadaran kita tentang kekuasaan tak pernah terkait dengan kehendak mewujudkan keadilan.

Tak ada yang bicara, berkuasa berarti pelayanan. ebaliknya, berkuasa berarti minta pelayanan, minta diagungkan. Kekuasaan dianggap tahta suci tak tersentuh. Sementara kemerosotan kesadaran intelektual terlihat banyak, para ahli berlomba-lomba mengemukakan pendapat-pendapat itu justeru membuat keadaan hidup semakin sulit.

Panggung politik di Indonesia dipenuhi drama cerita kutil-mengutil terjadi secara kontinyuitas (episode-per-episode). Lebih anehnya perilaku KKN mendapat perlindungan hingga mengundang libido para pelaku kejahatan kelas super kakap yang memperoleh tindak kejahatan berefek sangat luas digedung-gedung mewah serba tertutup atau dikantor pemerintahan serba eksklusif. Anehnya, mereka tanpa bisa disentuh hukum sudah kehabisan energi untuk menegakkan keadilan. Hingga hukum tak lebih hanya mengusut bayang-bayang si-pelaku-KKN. Amat logis bila perilaku itu akan terus berkembang, serta KKN akan terus-menerus diadopsi menjadi sebagai cara hidup (life style). Hidup seakan-akan tidak terasa indah tanpa di mahkotai dengan perhiasan KKN (Korupsi, Nepotisme dan Kolusi).

Duit adalah nervus rerum (urat saraf segala hal), orang Yunani menyebutnya. makin banyak duit makin banyak keinginan bisa dicapai. tak heran para politisi menjadi penjilat dan bersedia menjual diri kepada kekuasaan tanpa moral. Para politisi memperjuabelikan kepecayaan. hedonisme merajalela, budaya malu menghilang dari tanah air, semua menjadi muka tembok. Oleh karena itu, tak berlebihan jika penyair Taufiq Isamail menjuluki kumpulan seratus puisinya. Malu (Aku) jadi Orang Indonesia. Gugatan sang penyair terhadap keboborokan akhlak yang lebih luas dari sekadar kekuasaan politik.

Lengkaplah sudah semakin hari kehidupan ini semakin paradox dan kehidupan ini semakin tidak asing lagi bagi kita yang hanya bisa menelan ludah.

Penulis: JJ Amstrong Sembiring, SH MH

(Pemerhati Sosial Politik/ Praktisi Hukum)


Filed under: Analisa, Hukum, Kabar Umat, Penderitaan Rakyat


This post first appeared on KabarNet.in, please read the originial post: here

Share the post

Di Negeri Ini Apa Yang Tidak Palsu?

×

Subscribe to Kabarnet.in

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×