Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Para Wanita Pejuang Baitul Maqdis

 

Para pejuang Al-Quds tidak hanya pria, ada Maryam kemudian yang ahli ibadah, ada Maimunah Binti Saat, yang berhidmat di Baitul Maqdis

DALAM sejarah Islam, para pejuang Baitul Maqdis dan Palestina secara umum tidak hanya diisi oleh para lelaki. Jatuh bangunnya Baitul Maqdis, juga diwarnai oleh para pejuang wanita yang namanya tidak sepopuler para pejuang laki-laki.

Jauh sebelum Nabi Muhammad lahir hingga menjadi nabi dan rasul, telah dikenal figur wanita suci bernama Maryam. Ini bisa dibaca dalam surah Ali Imran ayat 35 sampai 37 yang mengisahkan bagaimana Ibu Maryam (Hannah binti Faqud) yang bernazar bahwa anak yang dikandungnya akan dipersembahkan untuk beribadah dan berkhidmat di Baitul Maqdis.

Umumnya, pada waktu itu, anak laki-laki yang menjadi kebanggaan orang tua dan diorientasikan untuk mengabdi di Baitul Maqdis. Rupanya, kehendak Allah lain, Hannah melahirkan perempuan. Meski demikian, perempuan ini adalah perempuan luar biasa yang akan melahirkan manusia pilihan dan tetap diberikan tempat tersendiri untuk berkhidmat dan beribadah kepada Allah di Baitul Maqdis. Dialah Maryam binti Imran.

Ibnu Katsir menjelaskan dalam kitab Qashasul Anbiyaa bahwa yang dimaksud dengan kata muharraran adalah menahan diri (menetap) di Baitul Maqdis. Doa Hannah dikabulkan.

Maryam kemudian menjadi perempuan ahli ibadah, dan berkhidmat di Baitul Maqdis hingga nanti dipilih Allah menjadi wanita luar biasa yang akan melahirkan Nabi Isa. Dari peristiwa Hannah dan Maryam ini, jelaslah bahwa ada peran-peran wanita dalam menjaga dan memperjuangkan Baitul Maqdis.

Pada zaman Nabi Muhammad, ada juga wanita yang perhatian terhadap masalah Baitul Maqdis.

Pertama misalnya mantan budak wanita Rasulullah bernama Maimunah binti Sa’ad:


عَنْ مَيْمُونَةَ، مَوْلَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفْتِنَا فِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ قَالَ: «أَرْضُ الْمَحْشَرِ وَالْمَنْشَرِ ائْتُوهُ فَصَلُّوا فِيهِ، فَإِنَّ صَلَاةً فِيهِ كَأَلْفِ صَلَاةٍ فِي غَيْرِهِ» قُلْتُ: أَرَأَيْتَ إِنْ لَمْ أَسْتَطِعْ أَنْ أَتَحَمَّلَ إِلَيْهِ؟ قَالَ: «فَتُهْدِي لَهُ زَيْتًا يُسْرَجُ فِيهِ، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَهُوَ كَمَنْ أَتَاهُ»

Dari Maimunah mantan budak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata: “Wahai Rasulullah, berilah kami fatwa berkenaan dengan Baitul Maqdis, ” Beliau bersabda: “Ia adalah bumi Al Mahsyar dan Al Mansyar (tempat dikumpulkannya manusia pada hari kiamat), datangi dan shalatlah kalian di sana, sebab shalat di dalamnya seperti shalat seribu kali di tempat lainnya. ” Aku bertanya, “Bagaimana pendapat tuan jika saya tidak bisa ke sana?” beliau menjawab: “Memberi minyak yang dengannya lampu bisa dinyalakan di dalamnya, barangsiapa melakukan itu, maka ia seperti telah mendatanginya. “ (HR. Ibnu Majah)

Maimunah sampai meminta fatwa tentang Baitul Maqdis, ini mengindikasikan bahwa pada saat itu tempat ini menjadi buah bibir atau perbincangan hangat di kalangan sahabat.

Sebagai perempuan, ini juga antusias untuk mendapat kemuliaannya. Dikatakan oleh Nabi bahwa tempat suci itu adalah tempat dikumpulkannya manusia pada hari kiamat.

Tak hanya itu, shalat di dalamnya seperti shalat 1000 kali di tempat lainnya (selain Masjidil Haram dan Nabawi).

Fatwa Nabi, Maimunah dan muslim dan muslimah pada umumnya agar datang ke sana untuk melakukan ibadah.

Kalau pun tidak bisa, maka dengan menunjukkan kontribusi kepedulian untuk masjid misalnya membantu kebutuhan lampu masjid dan semacamnya sehingga meski tak bisa ke sana, tapi tetap berkontribusi sehingga tempat suci itu bisa dipakai oleh umat yang ada di dalamnya dan yang sedang berkunjung ke sana.

Sayangnya, kebanyakan muslim saat ini, lebih fokus mendatangi masjidil Haram dan masjid Nabawi, sementara itu, Al-Aqsha menjadi terabaikan sehingga Zionis semakin leluasa dalam bertindak sewenang-wenang dan melancarkan penjajahannya.

Selain Maimunah binti Saat, dalam riwayat Muslim, ada wanita yang berazam ingin pergi ke Baitul Maqdis:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ قَالَ: إِنَّ امْرَأَةً اشْتَكَتْ شَكْوَى، فَقَالَتْ: إِنْ شَفَانِي اللهُ لَأَخْرُجَنَّ فَلَأُصَلِّيَنَّ فِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ، فَبَرَأَتْ، ثُمَّ تَجَهَّزَتْ تُرِيدُ الْخُرُوجَ، فَجَاءَتْ مَيْمُونَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُسَلِّمُ عَلَيْهَا، فَأَخْبَرَتْهَا ذَلِكَ، فَقَالَتْ: اجْلِسِي فَكُلِي مَا صَنَعْتِ، وَصَلِّي فِي مَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: «صَلَاةٌ فِيهِ أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ مِنَ الْمَسَاجِدِ، إِلَّا مَسْجِدَ الْكَعْبَةِ»

Dari Ibnu Abbas bahwa ia berkata: Ada seorang wanita menderita sakit, lalu ia berkata: “Kalau Allah memberikan kesembuhan padaku, aku benar-benar akan keluar menuju Baitul Maqdis dan shalat di sana.” Lalu wanita itu pun sembuh dari penyakitnya, maka ia pun segera mempersiapkan perjalanan. Kemudian ia mendatangi Maimunah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia mengucapkan salam atasnya dan mengabarkan tentang perjalanan yang akan ia lakukan. Maka Maimunah pun berkata: “Duduk dan makanlah apa yang kamu inginkan. Lalu shalatlah di Masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Satu Shalat di dalamnya lebih utama daripada seribu shalat di masjid lain selain Masjid Ka’bah.’“ (HR. Muslim)

Hadits ini juga sedikit memberi gambaran betapa ada wanita pada masa Nabi Muhammad yang memiliki azam kuat pergi ke Baitul Maqdis. Tekad ini mustahil muncul jika sebelumnya tidak mendapat informasi tentang keutamaan Baitul Maqdis dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Lebih dari itu, dalam buku “ath-Thariq ila al-Quds” (hal: 61) dikisahkan bahwa Shafiyyah binti Huyay bin Ahthub, istri Nabi,setelah pembebasan yang dilakukan masa Umar bin Khattab beliau pergi ke Baitul Maqdis untuk shalat di sana, kemudian naik ke bukit Zaitun dan shalat di sana. Beliau melakukan ini karena mengerti kemuliaan Baitul Maqdis. Dan kepedulian terhadap Baitul Maqdis, sudah dijelaskan keutamaannya oleh Rasulullah.

Keberhasilan Shalahuddin Al-Ayyubi membebaskan Al-Aqsha dari cengkraman tentara salib pada 1187 M, tidak bisa dilepaskan dari peran-peran para pejuang wanita di balik layar yang konsentrasi dalam melahirkan generasi sekaliber Shalahuddin Al-Ayyubi.

Selain guru-guru besar dan luhur seperti Abdul Qadir Jailani dan Imam Ghazali, ada juga peran-peran wanita yang menyiapkan para generasi menuju pembebasan Al-Aqsha.

Dalam buku “Hakadza Zhahara Jilu Shalaahuddin wa Hakadza ‘Aadat al-Quds” (2002), Dr. Majid I’rsan Al-Kailani menganalisis keberhasilan Shalahuddin dalam membebaskan Al-Aqsha.

Secara menarik dijelaskan di dalamnya bahwa, keberhasilan Shalahuddin itu tidak semata disematkan kepada keberhasilan individunya, tapi ini adalah kerja kolektif suatu generasi yang sebelumnya sudah disiapkan oleh para guru pejuang sebelumnya.

Maka muncullah ulama seperti Abdul Qadir Jailani dan Imam Ghazali yang disebut turut mempunyai andil besar dalam menyiapkan generasi pembebas Aqsha.

Di dalam buku ini, ada bab menarik untuk diperhatikan, Pada fasal kedua belas, diterangkan peran wanita muslimah dalam gerakan tajdid dan ishlah. Demikian juga diterangkan peran wanita muslimah dalam daulah Nuriyah (Nuruddin Zanky) dan Shalahiyah (Shalahuddin Al-Ayyubi).

Di situ dijelaskan bahwa lahirnya generasi seperti Nuruddin Zanky dan Shalahuddin Al-Ayyubi itu juga tidak lepas dari peran para wanita.

Melalui pendidikan mumpuni dan kuat, muncullah wanita yang kuat dan mulia yang juga berperan besar dalam melahirkan generasi pembebas Aqsha.

Sebagai contoh: Sayyidah Khassha binti Mubarak, Sayyidah Syamsu Dhuha, Fathimah Al-Jauznadinyah, Syahidah binti Abi Nashr, Zamrad Khatun (istri Imaduddin Zanky), Sayyidah ‘Ishmatuddin Khatun (Istri Nuruddin Zanky), Sayyidah Fathimah binti Sa’ad Al-Khair (isrti Ali bin Naja) termasuk juga istri Shalahuddin Al-Ayyubi dan lain sebagainya.

Terkait hal ini Dr. Majid Al-Kailany menandaskan, “Menurut keyakinanku, generasi Nuruddin dan Shalahuddin tidak akan mampu mencapai keberhasilan yang dicapai (dalam upaya pembebasan Baitul Maqdis) jika tidak keluar dari hasil pendidikan sekolah-sekolah ishlah yang dididik di antaranya oleh pawa wanita yang punya tanggung jawab dan kesadaran dalam menghadapi tantangan semasa itu.” (2002: 387)

Artinya, generasi pembebas Aqsha itu lahir dari perempuan-perempuan hebat yang juga punya orientasi perjuangan.

Dalam konteks kekinian, keberhasilan Abu Ubaidah (Juru Bicara Brigade Al-Qassam), serta mujahid lainnya yang masih tetap bisa bertahan lebih dati 70 hari, tidak bisa dilepaskan dari peran-peran wanita para pendidik mereka. Bahkan kalau dilihat dari korban kebiadaban Zionis saat ini, yang kebanyakan meninggal mengorbankan jiwa mereka adalah para wanita.

Jauh sebelum ini, waktu dulu ada gerakan intifada, perlawanan dengan batu dan semacamnya yang dilancarkan oleh para pemuda, rupanya itu tidak hanya dilakukan oleh para laki-laki.

Dalam majalah Panjimas No. 717 (XXXIV/1992: 48-50) dimuat berita berjudul “Wanita-Wanita Intifada” yang turut berjuang sebagaimana laki dengan segenap yang kemampuannya baik itu dengan melempar batu atau yang lainnya. Artinya, para pejuang wanita dalam membebaskan Baitul Maqdis dan sekitarnya tidak bisa dianggap kecil.

Generasi-genarasi yang sekarang tampil berjuang, adalah bagian dari didikan wanita-wanita pejuang Palestina yang kebanyakan namanya tak dikenal secara publik./*Mahmud Budi Setiawan



This post first appeared on Misteri Dunia Unik Aneh, please read the originial post: here

Share the post

Para Wanita Pejuang Baitul Maqdis

×

Subscribe to Misteri Dunia Unik Aneh

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×