Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Nuzulul Qur'an: Kisah Nabi Muhammad SAW Menyendiri di Gua Hira di Bulan Ramadan

Gua Hira tepat Nabi Muhammad menerima wahyu pertaka kali. Foto/Ilustrasi: al arabiya
Sebelum menjadi nabi dan rasul , Muhammad gemar menyendiri di Gua Hira pada tiap tahun di bulan Ramadan . Di pengasingan itu beliau melakukan tahannuth yaitu menjauhkan diri Dari dosa dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam melakukan ibadat selama dalam tahannuth itu adakah beliau menganut sesuatu syariat tertentu?

Dalam hal ini ulama-ulama berlainan pendapat. Dalam Tarikh-nya Ibn Kathir menceritakan sedikit tentang pendapat-pendapat mereka mengenai syariat yang digunakannya melakukan ibadat itu. Ada yang mengatakan menurut syariat Nuh , ada yang mengatakan menurut Ibrahim , yang lain berkata menurut syariat Musa , ada yang mengatakan menurut Isa dan ada pula yang mengatakan, yang lebih dapat dipastikan, bahwa ia menganut sesuatu syariat dan diamalkannya.

Muhammad Husain Haekal dalam bukunya yang diterjemahkan Ali Audah berjudul "Sejarah Hidup Muhammad" (Pustaka Jaya, 1980) menyebut barangkali pendapat yang terakhir ini lebih tepat daripada yang sebelumnya. Ini adalah sesuai dengan dasar renungan dan pemikiran yang menjadi kedambaan Muhammad.
Kendati demikian, Haekal mengatakan bahwa tahannuth biasa dilakukan golongan berpikir di kalangan orang-orang Arab pada zaman itu. Mereka selama beberapa waktu--biasanya di bulan Ramadan-- tiap tahun menjauhkan diri dari keramaian orang.

Mereka berkhalwat dan mendekatkan diri kepada tuhan-tuhan mereka dengan bertapa dan berdoa, mengharapkan diberi rejeki dan pengetahuan. "Pengasingan untuk beribadat semacam ini mereka namakan tahannuf dan tahannuth," ujar Haekal.

Menurut Haekal, di tempat ini rupanya Muhammad mendapat tempat yang paling baik guna mendalami pikiran dan renungan yang berkecamuk dalam dirinya.

Juga, di tempat ini ia mendapatkan ketenangan dalam dirinya serta obat penawar hasrat hati yang ingin menyendiri, ingin mencari jalan memenuhi kerinduannya yang selalu makin besar, ingin mencapai ma'rifat serta mengetahui rahasia alam semesta.

Di puncak Gunung Hira --sejauh dua farsakh sebelah utara Makkah--terletak sebuah gua yang baik sekali buat tempat menyendiri dan tahannuth. Sepanjang bulan Ramadan tiap tahun beliau pergi ke sana dan berdiam di tempat itu, cukup hanya dengan bekal sedikit yang dibawanya.

Beliau tekun dalam renungan dan ibadat, jauh dari segala kesibukan hidup dan keributan manusia. Ia mencari Kebenaran, dan hanya kebenaran semata.

Haekal dalam tulisannya menggambarkan perenungan itu sebagai berikut:

Demikian kuatnya ia merenung mencari hakikat kebenaran itu, sehingga lupa ia akan dirinya, lupa makan, lupa segala yang ada dalam hidup ini. Sebab, segala yang dilihatnya dalam kehidupan manusia sekitarnya, bukanlah suatu kebenaran.

Di situ ia mengungkapkan dalam kesadaran batinnya segala yang disadarinya. Tambah tidak suka lagi ia akan segala prasangka yang pernah dikejar-kejar orang.

Ia tidak berharap kebenaran yang dicarinya itu akan terdapat dalam kisah-kisah lama atau dalam tulisan-tulisan para pendeta, melainkan dalam alam sekitarnya: dalam luasan langit dan bintang-bintang, dalam bulan dan matahari, dalam padang pasir di kala panas membakar di bawah sinar matahari yang berkilauan. Atau di kala langit yang jernih dan indah, bermandikan cahaya bulan dan bintang yang sedap dan lembut, atau dalam laut dan deburan ombak, dan dalam segala yang ada di balik itu, yang ada hubungannya dengan wujud ini, serta diliputi seluruh kesatuan wujud.

Dalam alam itulah ia mencari Hakekat Tertinggi. Dalam usaha mencapai itu, pada saat-saat ia menyendiri demikian jiwanya membubung tinggi akan mencapai hubungan dengan alam semesta ini, menembusi tabir yang menyimpan semua rahasia.

Ia tidak memerlukan permenungan yang panjang guna mengetahui bahwa apa yang oleh masyarakatnya dipraktikkan dalam soal-soal hidup dan apa yang disajikan sebagai kurban-kurban untuk tuhan-tuhan mereka itu, tidak membawa kebenaran samasekali.

Berhala-berhala yang tidak berguna, tidak menciptakan dan tidak pula mendatangkan rejeki, tak dapat memberi perlindungan kepada siapapun yang ditimpa bahaya.

Hubal, Lat dan 'Uzza, dan semua patung-patung dan berhala-berhala yang terpancang di dalam dan di sekitar Kakbah, tak pernah menciptakan, sekalipun seekor lalat, atau akan mendatangkan suatu kebaikan bagi Makkah.

Tetapi! Ah, di mana gerangan kebenaran itu! Gerangan di mana kebenaran dalam alam semesta yang luas ini, luas dengan buminya, dengan lapisan-lapisan langit dan bintang-bintangnya?

Adakah barangkali dalam bintang yang berkelip-kelip, yang memancarkan cahaya dan kehangatan kepada manusia, dari sana pula hujan diturunkan, sehingga karenanya manusia dan semua makhluk yang ada di muka bumi ini hidup dari air, dari cahaya dan kehangatan udara?

Tidak! Bintang-bintang itu tidak lain adalah benda-benda langit seperti bumi ini juga. Atau barangkali di balik benda-benda itu terdapat eter yang tak terbatas, tak berkesudahan?

Tetapi apa eter itu? Apa hidup yamg kita alami sekarang, dan besok akan berkesudahan? Apa asalnya, dan apa sumbernya? Kebetulan sajakah bumi ini dijadikan dan dijadikan pula kita di dalamnya? Tetapi, baik bumi atau hidup ini sudah mempunyai ketentuan yang pasti yang tak berubah-ubah, dan tidak mungkin bila dasarnya hanya kebetulan saja.

Apa yang dialami manusia, kebaikan atau keburukan, datang atas kehendak manusia sendiri, ataukah itu sudah bawaannya sendiri pula sehingga tak kuasa ia memilih yang lain?

Masalah-masalah kejiwaan dan kerohanian serupa itu, itu juga yang dipikirkan Muhammad selama ia mengasingkan diri dan bertekun dalam Gua Hira'. Ia ingin melihat Kebenaran itu dan melihat hidup itu seluruhnya.

Pemikirannya itu memenuhi jiwanya, memenuhi jantungnya, pribadinya dan seluruh wujudnya.

Siang dan malam hal ini menderanya terus menerus. Bilamana bulan Ramadan sudah berlalu dan ia kembali kepada Khadijah, pengaruh pikiran yang masih membekas padanya membuat Khadijah menanyakannya selalu, karena diapun ingin lega hatinya bila sudah diketahuinya ia dalam sehat dan afiat.

Kebiasaan ini dilakukan Muhammad saban tahun di bulan Ramadan. Ia pergi ke Hira', ia kembali bermenung, sedikit demi sedikit ia bertambah matang, jiwanyapun semakin penuh.

Sesudah beberapa tahun jiwa yang terbawa oleh Kebenaran Tertinggi itu dalam tidurnya bertemu dengan mimpi hakiki yang memancarkan cahaya kebenaran yang selama ini dicarinya. Bersamaan dengan itu pula dilihatnya hidup yang sia-sia, hidup tipu-daya dengan segala macam kemewahan yang tiada berguna.

Ketika itulah ia percaya bahwa masyarakatnya telah sesat dari jalan yang benar, dan hidup kerohanian mereka telah rusak karena tunduk kepada khayal berhala-berhala serta kepercayaan-kepercayaan semacamnya yang tidak kurang pula sesatnya.

Semua yang sudah pernah disebutkan oleh kaum Yahudi dan kaum Nasrani tak dapat menolong mereka dari kesesatan itu.

Apa yang disebutkan mereka itu masing masing memang benar; tapi masih mengandung bermacam-macam takhayul dan pelbagai macam cara paganisma, yang tidak mungkin sejalan dengan kebenaran sejati, kebenaran mutlak yang sederhana, tidak mengenal segala macam spekulasi perdebatan kosong, yang menjadi pusat perhatian kedua golongan Ahli Kitab itu.

Dan Kebenaran itu ialah Allah, Khalik seluruh alam, tak ada tuhan selain Dia. Kebenaran itu ialah Allah Pemelihara semesta alam. Dialah Maha Rahman dan Maha Rahim. Kebenaran itu ialah bahwa manusia dinilai berdasarkan perbuatannya. "Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat atompun akan dilihatNya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat atompun akan dilihatNya pula." (Qur'an, 99:7-8)

Dan bahwa surga itu benar adanya dan nerakapun benar adanya. Mereka yang menyembah tuhan selain Allah mereka itulah menghuni neraka, tempat tinggal dan kediaman yang paling durhaka.

Muhammad sudah menjelang usia 40 tahun. Pergi ia ke Hira' melakukan tahannuth. Jiwanya sudah penuh iman atas segala apa yang telah dilihatnya dalam mimpi hakiki itu. Ia telah membebaskan diri dari segala kebatilan. Tuhan telah mendidiknya, dan didikannya baik sekali.

Dengan sepenuh kalbu ia menghadapkan diri ke jalan lurus, kepada Kebenaran yang Abadi. Ia telah menghadapkan diri kepada Allah dengan seluruh jiwanya agar dapat memberikan hidayah dan bimbingan kepada masyarakatnya yang sedang hanyut dalam lembah kesesatan.

Dalam hasratnya menghadapkan diri itu ia bangun tengah malam, kalbu dan kesadarannya dinyalakan. Lama sekali ia berpuasa, dengan begitu renungannya dihidupkan. Kemudian ia turun dari gua itu, melangkah ke jalan-jalan di sahara. Lalu ia kembali ke tempatnya berkhalwat, hendak menguji apa gerangan yang berkecamuk dalam perasaannya itu, apa gerangan yang terlihat dalam mimpi itu?

Hal serupa itu berjalan selama enam bulan, sampai-sampai ia merasa khawatir akan membawa akibat lain terhadap dirinya. Oleh karena itu ia menyatakan rasa kekhawatirannya itu kepada Khadijah, istrinya, dan menceritakan apa yang telah dilihatnya. Ia khawatir kalau-kalau itu adalah gangguan jin.

Tetapi isteri yang setia itu dapat menenteramkan hatinya. Dikatakannya bahwa dia adalah al-Amin, tidak mungkin jin akan mendekatinya, sekalipun memang tidak terlintas dalam pikiran isteri atau dalam pikiran suami itu, bahwa Allah telah mempersiapkan pilihanNya itu dengan memberikan latihan rohani sedemikian rupa guna menghadapi saat yang dahsyat, berita yang dahsyat, yaitu saat datangnya wahyu pertama. Dengan itu ia dipersiapkan untuk membawakan pesan dan risalah yang besar.
Tatkala ia sedang dalam keadaan tidur dalam gua itu, ketika itulah datang malaikat membawa sehelai lembaran seraya berkata kepadanya: "Bacalah!"

Dengan terkejut Muhammad menjawab: "Saya tak dapat membaca". Ia merasa seolah malaikat itu mencekiknya, kemudian dilepaskan lagi seraya katanya lagi: "Bacalah!"

Masih dalam ketakutan akan dicekik lagi Muhammad menjawab: "Apa yang akan saya baca." Seterusnya malaikat itu berkata: "Bacalah! Dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah. Dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan Pena. Mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya ..." (Qur'an 96:1-5)

Lalu ia mengucapkan bacaan itu. Malaikatpun pergi, setelah kata-kata itu terpateri dalam kalbunya.

Tetapi kemudian ia terbangun ketakutan, sambil bertanya-tanya kepada dirinya: Gerangan apakah yang dilihatnya?! Ataukah kesurupan yang ditakutinya itu kini telah menimpanya?! Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi tak melihat apa-apa. Ia diam sebentar, gemetar ketakutan.

Khawatir ia akan apa yang terjadi dalam gua itu. Ia lari dari tempat itu. Semuanya serba membingungkan. Tak dapat ia menafsirkan apa yang telah dilihatnya itu.
Cepat-cepat ia pergi menyusuri celah-celah gunung, sambil bertanya-tanya dalam hatinya: siapa gerangan yang menyuruhnya membaca itu?! Yang pernah dilihatnya sampai saat itu sementara dia dalam tahannuth, ialah mimpi hakiki yang memancar dari sela-sela renungannya, memenuhi dadanya, membuat jalan yang di hadapannya jadi terang-benderang, menunjukkan kepadanya, di mana kebenaran itu.

Tirai gelap yang selama itu menjerumuskan masyarakat Quraisy ke dalam lembah paganisma dan penyembahan berhala, jadi terbuka.

Sinar terang-benderang yang memancar di hadapannya dan kebenaran yang telah menunjukkan jalan kepadanya itu, ialah Yang Tunggal Maha Esa. Tetapi siapakah yang telah memberi peringatan tentang itu, dan bahwa Dia yang menicptakan manusia dan bahwa Dia Yang Maha Pemurah, Yang mengajarkan kepada manusia dengan pena, mengajarkan apa yang belum diketahuinya?

Ia memasuki pegunungan itu masih dalam ketakutan, masih bertanya-tanya. Tiba-tiba ia mendengar ada suara memanggilnya. Dahsyat sekali terasa. Ia melihat ke permukaan langit. Tiba-tiba yang terlihat adalah malaikat dalam bentuk manusia.

Dialah yang memanggilnya. Ia makin ketakutan sehingga tertegun ia di tempatnya. Ia memalingkan muka dari yang dilihatnya itu. Tetapi dia masih juga melihatnya di seluruh ufuk langit. Sebentar melangkah maju ia, sebentar mundur, tapi rupa malaikat yang sangat indah itu tidak juga lalu dari depannya.

Seketika lamanya ia dalam keadaan demikian. Dalam pada itu Khadijah telah mengutus orang mencarinya ke dalam gua tapi tidak menjumpainya.

Setelah rupa malaikat itu menghilang Muhammad pulang sudah berisi wahyu yang disampaikan kepadanya. Jantungnya berdenyut, hatinya berdebar-debar ketakutan. Dijumpainya Khadijah sambil ia berkata: "Selimuti aku!" Ia segera diselimuti. Tubuhnya menggigil seperti dalam demam. Setelah rasa ketakutan itu berangsur reda dipandangnya isterinya dengan pandangan mata ingin mendapat kekuatan.

"Khadijah, kenapa aku?" katanya. Kemudian diceritakannya apa yang telah dilihatnya, dan dinyatakannya rasa kekuatirannya akan teperdaya oleh kata hatinya atau akan jadi seperti juru nujum saja.

Seperti juga ketika dalam suasana tahannuth dan dalam suasana ketakutannya akan kesurupan Khadijah yang penuh rasa kasih-sayang, adalah tempat ia melimpahkan rasa damai dan tenteram kedalam hati yang besar itu, hati yang sedang dalam kekuatiran dan dalam gelisah. Ia tidak memperlihatkan rasa kuatir atau rasa curiga. Bahkan dilihatnya ia dengan pandangan penuh hormat, seraya berkata:

"O putera pamanku. Bergembiralah, dan tabahkan hatimu. Demi Dia Yang memegang hidup Khadijah, aku berharap kiranya engkau akan menjadi Nabi atas umat ini. Samasekali Allah takkan mencemoohkan kau; sebab engkaulah yang mempererat tali kekeluargaan, jujur dalam kata-kata, kau yang mau memikul beban orang lain dan menghormati tamu dan menolong mereka yang dalam kesulitan atas jalan yang benar."
Muhammad sudah merasa tenang kembali. Dipandangnya Khadijah dengan mata penuh terimakasih dan rasa kasih. Sekujur badannya terasa sangat letih dan perlu sekali ia tidur. Ia pun tidur, tidur untuk kemudian bangun kembali membawa suatu kehidupan rohani yang kuat, yang luarbiasa kuatnya. Suatu kehidupan yang sungguh dahsyat dan mempesonakan. Tetapi kehidupan yang penuh pengorbanan, yang tulus-ikhlas semata untuk Allah, untuk kebenaran dan untuk perikemanusiaan.

Itulah Risalah Tuhan yang akan diteruskan dan disampaikan kepada umat manusia dengan cara yang lebih baik, sehingga sempurnalah cahaya Allah, sekalipun oleh orang-orang kafir tidak disukai.
(mhy) Miftah H. Yusufpati


This post first appeared on Misteri Dunia Unik Aneh, please read the originial post: here

Share the post

Nuzulul Qur'an: Kisah Nabi Muhammad SAW Menyendiri di Gua Hira di Bulan Ramadan

×

Subscribe to Misteri Dunia Unik Aneh

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×