Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Relasi Aceh-Turki Rasa Nusantara

Peta Tanah Jawi dan kedaulatan Aceh dalam surat Sultan Ibrahim Mansyur Syah (1838-1870) tersimpan di Arsip Turki Usmani Istanbul

Foto: NIa Deliana
Sejarah relasi Aceh-Turki.

Nia Deliana, Kandidat Doktor Sejarah asal Aceh, Tinggal di Turki.

Ada banyak kajian tentang hubungan Aceh dan Turki. Tapi, sedikit yang menonjolkan faktor geo-politik dan budaya bahasa di Semenanjung Melayu bagi pertumbuhan hubungan ini. Melayu sebagai ras tidak dikenal sebelum abad ke-19. Artinya, konstruksi Melayu sebagai identitas kesukuan baru dibentuk pada era kolonial. 

Makna lainnya juga berarti bahwa bukan jati diri kesukuan atau batas negeri yang mampu menerobos pencapaian manusia di Semenanjung Melayu dan Indonesia, melainkan persilangan.    

Sebagai Melayukah?

Konstruksi identitas berbangsa dan bernegara yang dianut pada abad ke-20 melanjutkan perdebatan soal Melayu atau tidaknya Aceh sebagaimana persoalan Melayu atau tidakkah Jawa? Sama halnya dengan persoalan seindonesia apakah Malaysia? Perdebatan yang berakhir dengan menentukan pihak mana yang berkelebihan.  

Pada hakikatnya, dalam faktor Aceh khususnya dan Indonesia umumnya, ada jalinan saling ketertarikan, ikatan saling berbagi pengaruh dalam membentuk dan mengembangkan identitas Melayu di kemasyarakatan Nusantara. Jadi, Kalau Aceh ingin dikatakan Melayu, betul. Ada identitas Melayu di antara kita. Beberapa fakta sejarah tidak bisa dimungkiri. Seperti contohnya ketika Aceh disebut sebagai pusat perputaran roda intelektual melayu abad ke-16 sampai 17, bahasa Melayu adalah salah satu faktor yang menggerakkan roda tersebut, meskipun Aceh disebut-sebut sebagai peletak fondasi awal bahasa Melayu sebagai bahasa berperadaban dan berpengetahuan.

Geopolitik dan Kompas Ilmu

Ada beberapa sebab yang membuat Aceh lebih menonjol dahulunya di Nusantara. Faktor yang pertama adalah faktor fisik alam, seperti letak geografi maritim yang strategis, kondisi iklim, sumber daya alam, dan mata pencaharian yang berpusat pada produktivitas pesisiran yang menyebabkan ketergantungan pada kontak dengan pihak luar.  

Faktor pertama ini menuntun pada faktor selanjutnya, yaitu kelenturan hukum Islam yang mengizinkan universalitas dagang antarsamudra, inklusivitas pengetahuan keagamaan, dan rangkulan pada segala perbedaan, setidaknya hingga akhir abad ke-18. 

Faktor selanjutnya adalah imbas dari peristiwa luar Aceh yang memengaruhi peran geopolitik, misalnya, Portugis dan kejatuhan Malaka tahun 1511 dan dampaknya pada rute perdagangan global. Sebelumnya, Malaka sebagai antrepot, beralih ke Pasai dan Aceh yang kemudian menjadikannya rute utama perdagangan di Samudra Hindia dan Mediterania. Perubahan geo-politik ini juga yang menyebabkan Aceh melakukan ekspansi melawan gospel Portugis. Kedah, Perak, dan Pahang kemudian memilih bersekutu dengan Aceh. Johor juga sempat menerima aliansi meskipun hanya dalam waktu singkat. Persekutuan ini pada abad ke depannya berperan penting dalam kemajuan Aceh sebagai pusat ekonomi dan pengetahuan. 

Ini juga dibarengi dengan meningkatnya produktivitas keilmuan melahirkan ulama-ulama yang karya-karya Melayunya mendominasi kompas ilmu pengetahuan Islam di Asia Tenggara dan masih banyak dipakai dalam pondok-pondok dan madrasah di Nusantara, setidaknya hingga abad ke 20. Sejak kapan awalnya hubungan Aceh dan Turki terjalin belum bisa dipastikan. Namun, Sumber Portugis menerangkan bahwa ada bantuan militer dari luar yang menguatkan posisi politik Sultan Ali Mughayat Syah yang berkuasa dalam dua Kesultanan antara tahun 1497-1530.

Dukungan ini kemudian mendapat penjelasan dari korespondensi Sultan Ibrahim Mansyur Syah ke Istanbul abad ke-19 yang berbahasa Melayu yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Arab dan Osmani sebelum menggapai tangan Sultan Turki. Dalam surat itu, ia menyebut bahwa Turki telah mengirim dukungan pada Aceh sejak zaman kedaulatan Sultan Selim Khan yang periode kuasanya disepakati bersinambungan dengan zaman Sultan Ali Mughayat Syah di Aceh. Nah, di sini terletak perdebatannya. Turki Usmani memiliki dua Sultan Selim. Sultan Selim I hidup antara tahun 1470-1520. Dalam surat Sultan Ibrahim Mansyur Syah yang berbahasa Melayu bertahun 1850 itu, hanya disebutkan Sultan Selim Khan. Namun, dalam suratnya yang berbahasa Arab, ada sebutan Sultan Selim Khan ibn Sultan Sulayman ibn Sultan Selim Khan al Futuh. Kajian mendalam lebih lanjut perlu dilakukan. 

Walaupun begitu, pada level perpanjangan dagang, orang Turki sudah terlihat meramaikan pelabuhan-pelabuhan di Aceh/Pasai pada abad ke-15 dan berlanjut dalam berbagai bentuk hingga awal abad ke-20.  

Bantuan militer Turki diberitakan pertama kali menjangkau Aceh pada masa Kedaultan Sultan Ali Riayat Syah al Qahhar, anak lelaki dari Sultan Ali Mughayat Syah. Bantuan itu ada dalam bentuk tentara, ahli pembuat senjata, meriam, dan beberapa kapal perang. Dari sini, tumbuh perkampungan-perkampungan yang dihuni oleh orang Turki, seperti Bitay, Emperom, Pande, Tamiang, juga kawasan lainnya di Sumatra. 

Kemudian, barangkali ada yang bertanya, apakah Aceh membayar upeti sebagai balasannya? 

Dalam beberapa sumber, disebutkan bahwa Turki menolak upeti dari Aceh dikarenakan faktor jarak. Namun, sebagai gantinya, budaya maulid yang dilakukan di Turki juga bisa dilakukan di Aceh sebagaimana yang dikemukan oleh Saffet Bey (1911/1912). Aceh hingga saat ini merayakan Maulid meskipun dengan durasi yang berbeda. 

Hubungan diplomatik militer pada zaman al-Qahhar dirayakan--oleh karena itu bisa dikenang dari generasi ke generasi--dalam naskah lokal, seperti Naskah Meukota Alam yang ditulis pada zaman Sultan Iskandar Muda abad ke-17. selain itu, Nyak Dum, sang utusan ke Istanbul, juga sering dinyanyikan lewat tembang-tembang dalam tarian Seudati. 

Diperkirakan, hubungan dengan Turki terus berlanjut pada masa sultan-sultan berikutnya, meskipun tidak selalu dalam bentuk hubungan politik-militer. 

Dalam keseluruhan abad ke-19, ada empat gelombang utusan yang dikirim, tahun 1837, 1841, 1845, dan 1849. Belum bisa dipastikan apakah utusan-utusan sebelum tahun 1849 itu betul-betul sampai ke Istanbul. Jelasnya, dari keseluruhan upaya diplomasi tersebut, tidak ada satu pun yang berhasil mendatangkan bantuan demi melawan agresi Belanda. Ini dikarenakan situasi perpolitikan dan perekonomian Turki yang merosot. Meskipun begitu, masyarakat Turki termasuk intelektual dan pemegang kebijakan kesultanan menyuarakan dukungan terhadap Aceh dan kritikan terhadap Kesultanan Turki seperti yang kita baca dalam keluaran-keluaran koran Basiret di Istanbul dalam tahun 1870-1875.

Hubungan Aceh dan Turki pada akhir abad ke-19 dan awal 20 menjadi hal yang sensitif untuk pemerintahan kolonial. Kontak dengan Aceh diawasi ketat, konsul jenderal Turki di Jakarta dan Singapura mendapat ultimatum dan ancaman sanksi jika mencampuri urusan masyarakat koloni, apalagi membantu kelompok pembangkang rezim kolonial. 

Dan Jika kita pantau, efek kebijakan ini masih terasa secara lunak hingga saat ini. Turki sebagai pusat Khalifah ini, menurut saya, baru menajam pemakaian politiknya pada abad ke-19, ditekankan sebagai respons terhadap penjajahan. Abad ke-19 hampir seluruh negara Muslim sudah dalam jajahan kecuali Turki. Jadi, posisinya lebih pada sandaran entitas politik yang lebih kuat. 

Sebutan Khalifah dalam surat-surat Sultan Aceh abad ke-19 yang masih bisa ditelusuri Saya pikir ini dalam kerangka membangun sekutu melawan penjajahan. Aceh membujuk Turki untuk menabalkan kembali status protectorate (negeri perlindungan) dan mengirimkan bantuan militer melawan Belanda atas dasar fondasi hubungan diplomasi berabad sebelumnya. 

Salah satu alasan Belanda harus menunggu hingga tahun 1873 untuk bisa meluncurkan perang terbuka dengan Aceh itu dikarenakan tidak ada lagi kuasa adidaya yang mengambil Aceh sebagai wilayah protectorate. Hingga tahun 1871, Aceh masih dalam legalitas protectorate Inggris. Ketika dicabut, manufer-manufer untuk melancarkan agresi makin tajam dilakukan Belanda. 

Pada hakikatnya khalifah adalah bentuk kehormatan sekaligus pateri kewajiban pada amar makruf nahi munkar yang umum dipakai oleh kesultananan di Indonesia dan Melayu. Ada banyak figur kesultanan yang bisa kita telusuri memakai gelar khalifah. Bahkan, beberapa sumber autentik lokal juga menggelari Sultan perempuan di Aceh sebagai Khalifah. Fakta ini begitu penting, tapi betapa terabaikan yang harusnya menjadi cermin tak hanya bagi negara Muslim di Asia Tenggara tapi juga dunia Muslim secara global.    

Jadi, pemaknaan khalifah bagai ada rasa kristalisasi pada Turki sekarang ini adalah politisasi. Disadari atau tidak, narasi khalifah Turki, pro atau kontra, punya nilai jual politik, bisnis, dan media di Indonesia.



This post first appeared on Misteri Dunia Unik Aneh, please read the originial post: here

Share the post

Relasi Aceh-Turki Rasa Nusantara

×

Subscribe to Misteri Dunia Unik Aneh

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×