Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Mengapa Konsepsi Ketuhanan secara Kebudayaan dan Ekasila harus Ditolak?

Muh. Iswardani Chaniago*
Lalu mengapa konsepsi Ksk Dan Ekasila mengundang polemik dan harus ditolak? Ada beberapa sebab

 TETIBA  terminologi ketuhanan secara kebudayaan (KSK) Dan Ekasila menjadi sering muncul. Membuat tenar dan menjadi heboh. Masyarakat, intelektual dan para politisi membicarakannya. Seperti lazimnya sebuah isu, pro-kontra tak terhindarkan. Rupanya terminologi ini menjadi heboh karena, RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila) yang salah satu komponen pembuat hebohnya adalah terminologi KSK yang terdapat dalam trisila dan ekasila (gotong-royong) pada pasal 7 RUU HIP.

Salah satu partai yang ngotot mendukung RUU ini adalah PDIP yang terkenal berhaluan soekarnois. Awalnya suara mendukung RUU ini terlihat lebih awal tampil ke depan, hingga kemudian sejumlah tokoh dan legislator di DPR menyoalnya.

Hawa penolakan makin kuat ketika MUI, Muhammadiyah dan NU menunjukkan sikap kontra ketimbang pro. Jadilah RUU ini makin kehilangan dukungan. Dan yang paling santer mendapat sorotan dari RUU tersebut adalah konsepsi Ksk Dan ekasila yang dijadikan ciri dan hakikat dari Pancasila. Tapi mengapa term tersebut bisa membuat heboh? Apa makna terminologi KSK dan ekasila itu sendiri? Dan haruskah pemakaiannya secara formal harus dihindari? Itu rangkaian pertanyaan yang bisa jadi menarik.

Secara historis terminologi KSK dan ekasila sudah lama dikenal, terutama bagi para pengkaji sejarah Indonesia terutama sejarah Pancasila. Ia bukan baranga asing. Sebab, istilah tersebut pernah dipakai Sokekarno dalam forum BPUPK saat memaparkan falsafah yang hendak diadopsi bangsa ini. Sangat penting memang. Di atas fondasi falsafah itulah nanti akan dibangun negara ideal. Negara yang dicita-cita oleh jutaan penduduk yang tengah menghadapi penjajahan Belanda.

“Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhan-nya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al-Masih, yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w…Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan yakni dengan tiada egoisme agama,” demikian seru Soekarno. Kemudian ia menambahkan, “bahwa prinsip kelima daripada negara kita ialah ketuhanan yang berkebudayaan, ketuhanan yang berbudi pekerti luhur..Ingatlah prinsip ketiga permufakatan, perwakilan, di situlah tempatnya kita mempropagandakan ide kita masing-masing dengan cara yang tidak onverdraagzaam, yaitu dengan cara yang berkebudayaan…Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong.” (Baca: A. B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, 2004, 163-165).

Pascaproklamasi pemakaian istilah trisila dan ekasila juga pernah dipakai Soekarno dalam sejumlah pidato penting salah satunya adalah Pidato 17 Agustus 1959 yang menjadi manifestasi politik orde lama.

Dalam pidato yang lebih banyak mengurai soal demokrasi terpimpin, Soekarno menyelipkan trisila yang didalamnya terdapat term ketuhanan dan ekasila, “Pancasila adalah penjelmaan kepribadian bangsa Indonesia itu, dan jika Pancasila itu ‘diperas’ menjadilah ia trisila, Ketuhanan-sosionasionalisme-sosiodemokrasi, dan jika sila ini diperas lagi menjadilah ia ekasila yakni gotong-royong.” (Baca: M. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang 1945, 1960, 723-724).

Trisila dalam pidatonya kali ini tanpa menggunakan istilah KSK, melainkan ketuhanan saja. Adapun ekasila tetap dimaknai dengan gotong-royong. Di tempat lain Roeslan Abdulgani, salah seorang soekarnois dan tokoh penting demokrasi terpimpin, dalam bukunya Penjelasan Manipol dan Usdek (1960), menulis trisila dengan Ketuhanan yang Maha Esa, sosio-nasionalisme, dan sosio-demokrasi. Ketuhanan di sini diberi embel-embel ‘yang Maha Esa.’ (Baca: Roeslan Abdulgani, Penjelasan Manipol dan Usdek, 1960, 27). Begitulah historitas awal KSK dan ekasila muncul. Jadi memang Soekarno yang memperkenalkannya pertama kali.

Lalu mengapa konsepsi KSK dan ekasila mengundang polemik dan harus ditolak? Ada beberapa sebab.

Pertama, pemakaian terminologi yang berubah-ubah, KSK atau KME atau Ketuhanan tanpa embel-embel, membuat pertanyaan, jadi sebenarnya apa yang Soekarno maksud dengan KSK? Apakah sama dengan ketuhanan saja tanpa embel-embel atau juga bersinonim dengan Ketuhanan yang Maha Esa (KME)? Ataukah KSK bermakna hidup harmonis seperti yang ia sebutkan secara singkat dalam pidato 1 Juni-nya?

Karena Soekarno tidak menjabarkan konsepsinya secara jelas mengakibatkan kemunculan ruang tafsir yang terlalu lentur. Bisa saja suatu saat orang menafsirkan KSK dengan teori evolusi religi yang dijabarkan Soekarno dalam kursus Pancasilanya tahun 1958. Terutama saat ia berbicara mengenai sila pertama dan sila kelima.

Fase-fase religi yang terjadi dalam peradaban manusia, menurut Soekarno, sangat terkait dengan corak penghidupannya atau kebudayaanya. Era berburu, berternak, bertani, industrialisasi dan tahap lanjut industrialisasi masing-masing menghasilkan corak Tuhan yang berbeda. Artinya varian kebudayaan menghasilkan corak ketuhanan dan persepsi tentang Tuhan yang tidak sama. Pada fase berburu persepsi ketuhanan yang hidup adalah Tuhan sebagai fenomena alam (petir, angin topan, sungai yang dahsyat dan sebagainya).

Fase berternak ‘memproduksi’ gambaran ketuhanan yang selaras dengan hewan (menyembah sapi, gajah dan lainnya). Fase bertani mendorong individu bertuhan secara antromorfis dalam bentuk dewa-dewi yang dimanusiakan. Fase industri menghasilkan persepsi Tuhan yang gaib. Tuhan yang dimaknai secara akal tanpa anggota fisik.

Sedangkan pada tahap lanjut industralisasi Tuhan sudah ditiadakan (ateisme), karena manusia sudah dianggap menguasai alam. Soekarno sendiri percaya bahwa wanita adalah penemu teknik bertani berdasarkan proses evolusi religi ini. (Baca: Soekarno, Pancasila Dasar Filsafat Negara, 1960, 133-141).

Persoalannya adalah apakah teori evolusi religi ini memiliki kaitan dengan konsep KSK Soekarno? Tafsir yang terlalu lentur bisa mengatakan iya. Jika jawabannya demikian, bahaya selanjutnya menanti. Karena, jika beragama dikaitkan dengan corak kebudayaan, seperti bunyi adagium evolusi religi, apakah lantas ketuhanan dalam Islam yang dibawa Nabi Muhammad ﷺ merupakan hasil interaksi Nabi saw. dengan corak kebudayaan di Arab?

Kedua, memformalkan KSK dan ekasila dalam produk kenegaraan bisa bisa dimanfaatkan kelompok tertentu untuk memaksakan paham yang bertentangan dengan mayoritas warga Indonesia. Cara yang digunakan adalah memanfaatkan kosongnya penjabaran yang Soekarno berikan terkait konsep KSK dan ekasila. Bisa disimak bagaimana seorang penulis bernama Rahmat Subagya (J. W. M. Bekker) dalam bukunya Pancasila Dasar Negara Indonesia (1955), menghadap-hadapkan konsep KSK dengan paham keislaman.

Bagi Subagya penafsir paling sah dan otoritatif atas Pancasila adalah Soekarno terutama pidato 1 Juni-nya. Sebuah sikap yang bermasalah. Juga masih teringat bagaimana PKI (Partai Komunis Indonesia) memanfaatkan konsep gotong-royong (nasakom) Soekarno untuk melakukan aksi yang justru membahayakan Pancasila. Seperti melakukan pelecehan agama di tingkat akar rumput.

Meskipun Soekarno sering mengatakan bahwa komunis yang ia maksud dalam nasakom bukan komunis anti Tuhan atau melecehkan Tuhan. “Ada orang yang gampang berkata: O, marxisme itu adalah materialisme…Marxisme adalah anti Tuhan. Mana kitab marxisme yang berkata bahwa marxisme itu anti Tuhan?..Yang anti Tuhan itu materialisme Fouerbach,”  tantang Bung Karno. (Baca: Soekarno, Pancasila Dasar Filsafat Negara, 1960, 116).

Ketiga, memformalkan KSK dan ekasila sebagai bagian dari produk perundang-undangan dengan alasan bahwa KSK dan ekasila adalah pemahaman Soekarno juga sungguh janggal. Seharusnya trisila dan ekasila tidak disebut-sebut lagi dalam produk legal-formal. Sebab, konsepsi KSK (dalam trisila) tidak disertakan dengan penjelasan yang gamblang. Adapun konsepsi ekasila kental nir ketuhanan.

Dampaknya, dimana tafsir ketuhanan dalam konsepsi gotong-royong ala ekasila. Di mana batasan dan makna bertuhan itu? Ekasila tidak bisa menjabarkannya. Ini yang membuat konsepsi KSK dan ekasila tidak populer di kalangan intelektual Muslim, khususnya tokoh-tokoh Muslim di era kemerdekaan.

Dengan begitu jangan sampai apapun yang keluar dari Soekarno lantas bisa diformalkan dengan enteng tanpa berpikir mendalam. Posisi Soekarno dalam Pancasila tidak seperti seorang Nabi. Bila Nabi adalah selalu sah menafsir kitab suci, tidak demikian dengan Bung Karno sebagai panafsir Pancasila.

Coba perhatikan bagaimana Soekarno terkadang mengubah urutan Pancasila sekaligus teks redaksi Pancasila pascapencantuman Pancasila dalam konstitusi. “Urutan-urutan yang biasa saya pakai untuk menyebut kelima sila daripada Pancasila itu ialah: Ketuhanan Yang Maha Esa; Kebangsaan nomor dua; Peri Kemanusian nomor tiga,” Soekarno menyebut demikian. (Baca: Soekarno, Pancasila Dasar Filsafat Negara, 1960, 63).

Pertanyaannya adalah apakah boleh mengubah urutan Pancasila, mengubah redaksi Pancasila, menyingkatnya dan kemudian menyimpulkan maknanya berdasarkan urutan dan penyingkatan tersebut dalam produk legal dengan dalih itu pernah dilakukan Soekarno? Jawabannya tidak.

Produk perundang-undangan tidak bisa didasarkan konstruksi gagasan tokoh yang tafsirnya mengandung cacat pemahaman atau ketidakjelasan yang berpotensi mengacaukan redaksi formal.

Dengan demikian upaya apapun yang hendak memeras Pancasila menjadi trisila-ekasila atau mengubah terminologi Ketuhanan yang Maha Esa menjadi Ketuhanan yang Berkebudayaan atau Ketuhanan secara Kebudayaan merupakan tindakan yang harus ditolak. Apalagi itu dicantumkan sebagai hakikat dan makna pokok dalam sebuah aturan legal-formal.  Wallahu a’lam.*

Alumni Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Konsentrasi Agama dan Politik


This post first appeared on Misteri Dunia Unik Aneh, please read the originial post: here

Share the post

Mengapa Konsepsi Ketuhanan secara Kebudayaan dan Ekasila harus Ditolak?

×

Subscribe to Misteri Dunia Unik Aneh

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×