Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Dari ‘Kaphe’ Ke Kafir: Istilah Yang Bikin Heboh dan Radikal?

Perlawanan rakyat Ternate. (Foto koleksi DR Muridan: Sampul buku tentang perjuangan Sultan Nuku)

Dari ‘Kaphe’ Ke Kafir: Istilah Yang Bikin Heboh dan Radikal?
Muhammad Subarah, Jurnalis Republika.

Bagi non Muslim, tak hanya di masa lalu, pada hari ini juga sebutan atau kata ‘kafir’ menimbulkan bulu kuduk meremang sekaligus dianggap cermin dari munculnya gerakan radikal. Horor. Sebutan ini sudah melintasi zaman. Bahkan sudah ada semenjak Alquran diturunkan pada 1400 silam.

Samenjak dahulu istilah ini pun ditanggapi macam-macam. Pada sisi fiqh misalnya pun bisa bermacam-macam, setidaknya ada istilah kafir dzimmi (dilindungi) dan kafur harbi yang harus diperangi. Turunnya aturan fiqhnya pun bermacam-macam dari yang paling berat yakni menyekutukan Tuhan, hingga yang paling ringan dengan berbuat maksiat.

Dan ini lebih rumit lagi bila istilah kafir terkait dengan politik kekuasaan. Sebab, ini menyangkut eksistensi seorang penguasa. Bagi umat Islam sikapnya terbelah-belah dengan apa yang disebut penguasa ‘kafir’ tersebut. Semuanya bergradasi. Dari yang paling berat misalnya mengaku dirinya Tuhan dan lalim, hingga yang paling longgar misalnya enggan melaksanakan shalat dan hukum Islam. Alhasil, mana pihak yang mau ‘ditujukan’ dengan istilan ini pun tak tunggal.

Bagi orang Nusantara ini sebutan kafir dari ratusan tahun silam sudah menakutkan. Di agama lain ada yang menyebut kaum pagan hingga domba yang tersesat. Namun khusus di sini sejak semula memang kata ini bersikap pejoratif atau mengundang makna negatif.

Mengapa demikian? Semenjak dahulu kala, mana kala warga Muslim di Nusantara melakukan 'uzlah' (pemisahan diri) hingga perlawanan dengan pihak kolonial kata ini adalah sumbu dari ledakan kekerasan itu. Siapa yang menjadi penguasa kolonial identik dengan orang kafir yang harus diparengi. Lazimnya kata ini kemudian muncul perlawanan bersenjata atau perang sabil (perang suci). Ini sudah ada sejak zaman perang Padri, perang Jawa, hingga perang Aceh.
Bahkan dalam masa sebelumnya, pada masa awal Raja Pakubowono IV di Surakarta (sebelum tahun 1800 M) sudah ada seruan jihad melawan Belanda yang disebut kafir. Seruan ini berupa surat dari Syaikh Abdul Somad Al Palembani yang kala itu menjadi ulama dan Imam Masjidil Haram di di Makkah. Surat dari dia kepada Raja Pakubowono agar melakukan perlawanan tertempel di berbagai masjid yang ada di Surakarta menjelang Ramadhan.

Khusus untuk Diponegoro yang menulis sendiri 'Babad Diponegoro' juga menabalkan perangnya sebagai perang suci melawan kafir. Kredonya begini:

Ngantepi Islamnya samya


Nglampahi parentah dalil

Ing Quran pan ayat Katal

Namung sing Rabulngalamin

Ing akerat punika 

Tetepa ingkang sinuwun
(Semua orang memegang teguh Islam 

Menjalankan perintah dalil

Ayat Qital dalam Al Quran

Hanya kasih Rabbul’alamin

Di akhiratlah 

Yang tetap dimohon)
Tak hanya Diponegoro dan Muslim Jawa kala itu, dalam perang Aceh sebutan kata ‘kafir’ juga lazim. Kata itu ada di dalam syair Prang Sabi  karya ulama Teungku Chik Pante Kulu, seorang ulama besar yang hidup sezaman dengan Teungku Chik di Tiro
Syair ini ditulis dalam pelayaran selama pulang dari Makkah ketika menunaikan ibadah haji.
                             Keterangan foto: Hikayat Prang Sabi
Berikut beberapa terjemahan sebagian bait syair ditranskipsi dari Naskah Prang Sabi koleksi Museum Negeri Aceh, Banda Aceh:
Waktu kafir menduduki negeri
Semua kita wajib berperang
Jangan diam bersunyi diri
Di dalam negeri bersenang-senang
Di waktu itu hukum fardhu ain
Harus yakin seperti sembahyang
Wajib kerjakan setiap waktu
Kalau tak begitu dosa hal abang
Tak sempurna sembahyang puasa
Jika tak mara ke medan perang
Fakir miskin, kecil dan besar
Tua, muda, pria dan wanita
Yang sanggup melawan kafir
Walaupun dia budaknya orang
Hukum fardhu ain di pundak kita
Meski tak sempat lunaskan hutang
Wajib harta disumbangkan
Kepada siapa yang mau berperang

Para pejuang Aceh.
Foto:
Dari ‘Kaphe’ Ke Kafir: Istilah Yang Bikin Heboh dan Radikal?

Efek dari syair ini luar biasa bagi rakyat Aceh. Saat itu keluarlah sebutan ‘kaphe’ (kafir) dan perlawanan kepada pihak kolonial beserta aparat bersenjata dan sipil mereka. Dari catatan tentang kisah komandan tentara Belanda di Aceh, Wiliam Benhard Scheepen, kepala divisi Marsose di Aceh, tergambar jelas efek kata 'kafir' itu. Tak hanya dia, namun banyak pihak kolonial yang mampus disambar rencong.
kendati kemudian perlawanan besar bersenjata rakyat tampak bisa dipadamkan oleh Belanda, namun serangan terhadap militer dan pegawai Belanda berlangsung terus,” tulis Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia

Akibat kata kaphe (kafir) inilah yang disebut Belanda sebagai Atjeh Moorden atau "Pembunuhan Aceh." Antara 1910 hingga 1920, ada 75 kasus dan setelahnya, dari 1920 hingga 1930, ada 51 kasus aparat kolonial terbunuh di ujung rencong.

Petinnggi pemerintah kolonial, RA Kern dahulu pun sudah pernah menyelidiki soal Pembunuhan Aceh. Simpulan sederhananya: Ini terjadi karena balas dendam terhadap orang-orang Belanda yang disebut kaphe alias kafir. Pembunuhan ini terkadang dilakukan juga di tempat-tempat yang ramai.

Ada penggunaan kata kafir memang wajar kemudian menimbulkan pertanyaan. Bahkan seolah-olah  umat Islam tidak boleh menyebut kata ini. Kata ini layaknya kata yang tabu disebut layaknya kata ’Negro’ di Amerika Serikat atau 'Nazi' di Eropa pada hari-hari ini. Kata-kata tersebuh entah kenana menjadi simbol baru penyakit sosial hingga lambang otoriterisme.

Nah, agar menjadi terang soal kata ‘kafir’ itu marilah dirujuk saja kepada pernyataan Sejarawan Islam, Dr Tiar Anwar Bachtiar. Dia  menjelaskan, kata "kafir" berasal dari kata 'kafaro', dari Bahasa Arab yang artinya menutup. Dia mengatakan, kata kafir sebenarnya merupakan istilah internal umat Islam.

Tiar mengatakan, istilah kafir tidak hanya berarti orang non-Islam. Kata kafir atau kufaar (kufaar adalah bentuk jamak dari kafir) dalam Bahasa Arab juga berarti petani. Petani disebut demikian karena mereka menutup galian tanah.

"Petani dalam Bahasa Arab juga disebut kafir/kufaar. Artinya dia adalah orang yang menggali tanah kemudian menutupnya kembali," kata Tiar Anwar, Ahad (3/3/2019).
Selanjutnya, doktor dari Universitas Indonesia itu menerangkan, dalam internal umat Islam, kata kafir merupakan istilah bagi orang yang hatinya tertutup dari hidayah Allah. "Kalau secara istilah, kafir artinya orang yang hatinya tertutup dari hidayah Allah. Maka disebutlah kafir (tertutup)," kata Tiar.
Selanjutnya, Tiar Anwar mengatakan, Alquran menggunakan kata kafir secara obyektif. Alquran tidak memiliki tendensi hinaan ataupun kekerasan. Kata kafir merupakan istilah teologis, untuk membedakan orang yang menerima hidayah Allah (Muslim) dan yang menutup diri dari hidayah Allah (kafir).
Tian Anwar juga menegaskan bahwa istilah kafir hanyalah istilah teologi (akidah Islam). Bukan untuk istilah keseharian di masyarakat. Umat Islam tidak menggunakan istilah kafir sebagai kata sapaan.
"Tidak ada orang Islam yang memanggil orang non-Islam dengan sebutan hai kafir. Kalau dalam keseharian cukup dipanggil namanya saja," kata Tiar Anwar.
Di sisi lain, Tiar Anwar menambahkan, istilah serupa juga digunakan oleh agama-agama lain. Tiar Anwar menyontohkan, agama kristen menyebut orang yang tidak menerima ajaran Kristen dengan istilah 'domba yang tersesat'. Hal tersebut lumrah, karena pada dasarnya masing-masing agama memilki istilah untuk menyebut orang di luar agamanya (Di Hindu pun ada istilah Maitrah bagi yang tak menerima ajaran Hindu,red).
Pangeran Diponegoro naik kuda, mengenakan jubah dan surban, ketika beristirahat bersama pasukannya di bantaran sungai Progo, pada penghujung tahun 1830.
Foto:
Dari ‘Kaphe’ Ke Kafir: Istilah Yang Bikin Heboh dan Radikal?

Senada dengan Tian Anwar, Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Cholil Nafis pun menjelaskan tentang istilah kafir yang kini tengah ramai diperbincangkan. Dan bila ditelisik, perbincangan tentang istilah kafir muncul setelah Bahtsul Masail NU memutuskan untuk tidak menggunakan istilah tersebut bagi non-Muslim di Indonesia.
Kiai Cholil mengungkapkan, kata kafir setidaknya disebut sebanyak 525 kali dalam Alquran dan memiliki makna bermacam-macam.
"Ada 525 kata kafir dalam Alquran yang bermakna; pertama, enggan mengakui keesaan Allah, risalah Rasul-Nya dan hari kemudian," ujar KH Cholil kepada Republika.co.id melalui pesan tertulis, pada awal Maret siam.
Kedua, lanjut dia, kata kafir juga bermakna tidak bersyukur. Ketiga, bermakna menutupi dirinya dan orang lain dari Allah. Keempat, beriman tetapi tidak mengerjakan tuntunan Islam. Keenam, menjadikan agama sebagai permainan.
"Kalau dalam aqidah Islam yang ada dalam Alquran hanya mengenal kata dan istilah Muslim, kafir, musyrik. Adapun orang Muslim yang keluar dari Islam disebut murtad. Begitu yang saya ketahui," ucap KH Cholil.
Dia mengatakan, dalam konteks negara Indonesia sendiri hanya dikenal adanya istilah warga negara Indonesia (WNI) dan Warga Negara Asing (WNA). Namun, menurut dia, jikapun ingin menyebut orang yang tak beriman kepada Allah hendaknya tidak untuk mendiskriminasikannya.
"Sama-sama tidak baik jika takut menyebut orang yang tak beriman kepada Allah SWT dengan nama kafir, demikian juga orang yang terlalu berani menyebut kafir kepada setiap orang yang tak sependapat dengan pahamnya," katanya.
"Katakan kafir kepada yang tak beriman kepada Allah SWT di negeri ini tanpa harus merendahkan, mengancam dan mendiskriminasinya dalam bernegara," tambahnya.


This post first appeared on Misteri Dunia Unik Aneh, please read the originial post: here

Share the post

Dari ‘Kaphe’ Ke Kafir: Istilah Yang Bikin Heboh dan Radikal?

×

Subscribe to Misteri Dunia Unik Aneh

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×