Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Kembali Pada yang Haq: Ciri Ulama Sejati

“Tidak sedikit dari Sahabat dan Tabi’ien ruju’ dari kesalahan-kesalahan mereka. Demikian juga imam-imam mujtahidien. Tidak sedikit terdapat dalam kitab-kitab, bahwa dalam masalah anu, imam anu, mempunyai dua kaul (pendapat)...."




SUATU hari, ada seorang lelaki menikah dengan perempuan dari suku Syamkh. Tak diduga sebelumnya, ketika lelaki itu melihat ibu istrinya, dirinya jatuh hati. Perasaannya berkecamuk. Pergilah ia ke Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu untuk menanyakan masalahnya.

Di hadapan Ibnu Mas’ud, ia mengadukan kegundahan hatinya, “Aku menikah dengan perempuan yang belum aku gauli, kemudian aku melihat ibunya lantas tertarik dengannya. Bolehkah aku mencerai perempuan itu lalu menikah dengan ibunya?” “Boleh,” jawab Ibnu Mas’ud.

Di lain kesempatan, Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu pergi ke Madinah untuk menanyakan masalah itu. Rupanya, jawabannya berbeda dengan apa yang telah difatwakan oleh Ibnu Mas’ud. Seketika itu juga Beliau pergi ke suku Syamkh sembari menanyakan lelaki yang pernah meminta fatwa kepadanya sebelumnya.

Setelah bertemu dengan lelaki itu, Ibnu Mas’ud berkata, “Ceraikan dia!” “Bagaimana mungkin aku ceraikan, dia sedang hamil?” Jawab Ibnu Mas’ud, “Meski begitu tetap harus kamu ceraikan, karena itu diharamkan oleh Allah Subhanahu wata’ala.” (Sunan Sa’id bin Manshur, I/269)

Kisah singkat itu memberikan pelajaran penting: ulama sejati, akan selalu berpihak kepada yang benar; bila ternyata di kemudian hari pendapatnya salah, maka dirinya tak segan atau malu untuk kembali kepada jalan yang benar.

Baca: Kebesaran Jiwa Ulama dalam Mengakui Kesalahan

Di Indonesia, salah satu ulama –bukan berniat membatasi– yang bisa dijadikan contoh dalam masalah ini adalah A. Hassan. Mari kita simak pengakuan Cis At-Tamimi dalam buku “Riwayat Hidup A. Hassan” (1980: 126)

Kata Cis, “Sifat beliau yang baik yang pantas kita ingat, ialah beliau seorang yang berani dan terus terang dalam mengemukakan pendapatnya, dan beliau pun tak segan-segan ruju’ kepada yang haq kalau ternyata beliau berbuat kekeliruan. Bahkan bagi beliau kembali kepada yang hak itu wajib.”

Senada dengan Cis, N. Dusky –seperti yang dikutip oleh Endang Saifuddin Anshari dalam buku “A. Hassan Wajah dan Wijhah Seorang Mujtahid” (1985: 28-29) juga mengatakan, “beliau tidaklah bertahan dalam suatu pendapat kalau ternyata ada alasan yang kuat.”

Apa yang diungkapkan oleh Cis At-Tamimi dan Dusky kiranya tak berlebihan. Suatu hari, H. Ali Muhammad Siraj (seorang yang berasal dari Sumedang, Jawa Barat) pernah mengunjungi A. Hassan ketika berada di Banyuwangi. Dalam kunjungan tersebut ia selalu membawa sepeda untuk mempermudah perjalanan keliling di kota atau di kampung-kampung. Selanjutnya ia mengisahkan perjalanannya dengan A. Hassan.

Dalam suatu perjalanan memakai sepeda, ada peristiwa menarik. Di pinggir ban sepeda itu tertulis kata-kata “inflate hard”. A. Hassan menanyakan arti kata-kata itu kepada Ali Muhammad Siraj. Ia pun menjawab, “Pompalah keras-keras, maksudnya supaya ban lebih awet dipakainya dan tak mudah kempes.”

Mendengar jawaban itu, seketika A. Hassan menimpali, “Bukan itu arti kalimat tersebut. Artinya ialah ban ini dibikin sangat teratur, tak usah khawatir.” Mendengar arti yang diberikan beliau, Ali tidak membantah, karena ia tahu bahwa Tuan Hassan lebih paham berbahasa Inggris.

Uniknya, pada tengah malam, pintu kamar Ali diketok beliau dan berkali-kali memanggil namanya. Sejurus kemudian, dibukakanlah pintu untuk Tuan A. Hassan. Kemudian beliau masuk dan segera mengucapkan minta maaf atas kesalahannya membuat arti kalimat tersebut.

A. Hassan mengakui bahwa arti itu tidak benar, yang benar ialah arti yang disampaikan oleh Ali Muhammad Siraj. Beliau secara jujur mengaku bersalah dan mau minta maaf kepadanya. Hal ini segera dilakukannya karena khawatir besok meninggal tapi belum sempat meminta maaf kepada Ali Muhammad Siraj atas kesalahamnya.

Bayangkan! Ali Muhammad Siraj mengakui keahlian A. Hassan terkait bahasa Inggris, dan jika A. Hassan mau untuk tidak minta maaf maka Ali pun tak akan curiga apa-apa. Tapi, A. Hassan dengan kejujurannya berani mengakui kesalahannya.

Pada kasus lain, ada kisah yang juga cukup unik. Di saat kebanyakan orang berlomba-lomba ingin mendapatkan gelar haji, lain halnya dengan beliau. Saat diberi kesempatan menunaikan ibadah haji, dengan jujur beliau mengakui hajinya tidak sah karena belum sempat melempar Jumrah di Mina lantaran kakinya sakit yang mengharuskan beliau ditandu. Atas kejadian ini, beliau tidak pernah menyebut dirinya Haji A. Hassan (Tamar Djaja, 1980: 44-53).

Dalam kasus lain, ulama yang meninggal tahun 1958 ini, tidak segan-segan rujuk pada pendapat yang benar jika pendapat-pendapatnya selama ini ternyata salah seperti masalah hukum wajibnya musafir pada berjumat. Selama ada pendapat yang benar, berlandaskan pada al-Qur`an dan Hadits, maka dirinya siap menjadi yang terdepan dalam mengakui kesalahan serta rujuk pada pendapat yang benar.

Terkhusus masalah ruju’-nya beliau terkait masalah kewajiban musafir berjumat ada hal menarik yang perlu diangkat di sini. Dalam buku “Risalah Jum’at” (1984: 100, 101) di bawah bab “Wajibkah Perempuan Berjum’ah”, A. Hassan menceritakan kenapa dirinya ruju’.

Beliau menjelaskan bahwa “Risalah Jum’ah” pertama kali dikarang pada tahun 1931. Saat itu bersama-sama teman di Bandung baru meninggalkan madzhab dan mulai memeriksai dari al-Qur`an dan Hadits secara langsung.

“Saya sudah gunakan semua tenaga saya yang ada pada waktu itu dengan ikhlas, tetapi ditaqdirkan Tuhan masih ada kesalahan-kesalahan,” tuturnya.

Dari penjelasan itu, secara jujur A. Hassan mengakui kesalahan dan siap ruju’ kapan pun kalau ternyata pandangannya salah. Sama sekali tidak ada rasa gengsi atau malu kalau memang keliru, ya katakan keliru. Demikianlah seharusnya ulama sejati; siap kembali kebana yang benar.

Sebagai pamungkas, ada baiknya ungkapan A. Hassan yang berkaitan dengan ruju’ pada yang haq ditulis di sini, “Tidak sedikit dari Sahabat dan Tabi’ien ruju’ dari kesalahan-kesalahan mereka. Demikian juga imam-imam mujtahidien. Tidak sedikit terdapat dalam kitab-kitab, bahwa dalam masalah anu, imam anu, mempunyai dua kaul (pendapat), bahkan ada yang mempunyai tiga kaul. Imam Syafi’ie sendiri mempunya qaul qadiem dan jadied.”*/Mahmud Budi Setiawan


This post first appeared on Misteri Dunia Unik Aneh, please read the originial post: here

Share the post

Kembali Pada yang Haq: Ciri Ulama Sejati

×

Subscribe to Misteri Dunia Unik Aneh

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×