Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

UPAYA MEWUJUDKAN LAYANAN NIKAH YANG PROFESIONAL, BERSIH DAN AKUNTABEL

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara dalam upaya mencapai tujuannya, pastilah memerlukan perangkat negara yang disebut dengan pemerintah dan pemerintahannya. Dalam hal ini pemerintah pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi melayani masyarakat serta menciptakan kondisi agar setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya. Pelaksanaan reformasi birokrasi yang dilakukan saat ini melalui berbagai kegiatan yang rasional dan realistis dirasakan kurang memadai dan masih memerlukan berbagai penyempurnaan. Hal tersebut terkait dengan tingginya kompleksitas permasalahan dalam upaya mencari solusi perbaikan. Masih banyaknya tingkat penyalahgunaan wewenang, praktek Kolusi Korupsi dan Nepotisme (KKN), dan masih lemahnya pengawasan terhadap kinerja aparatur negara merupakan cerminan dari kondisi kinerja birokrasi yang masih jauh dari harapan. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu upaya yang lebih komprehensif dan terintegrasi dalam upaya mendorong peningkatan kinerja birokrasi aparatur negara. Tuntutan untuk menciptakan pemerintahan yang profesional, bersih dan akuntabel merupakan amanah reformasi dan tuntutan seluruh rakyat Indonesia. Landasan utama pelayanan publik mengacu pada Undang-undang No.25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang berasaskan pada : kepentingan umum, adanya kepastian hukum, adanya kesamaan hak, adanya keseimbangan hak dan kewajiban, profesional, partisipatif, persamaan dalam perlakuan/tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan waktu dan kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan. Tujuannya agar supaya ada batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik dan memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam mendapatkan penyelenggaraan pelayanan publik. Dalam prakteknya, pelayanan publik ini masih sering terjadi kesenjangan yang muncul antara penilaian masyarakat terhadap mutu pelayanan. Kementerian Agama sebagai penyedia jasa layanan publik berusaha memenuhi tuntutan tersebut dengan sebutan Program Penyempurnaan Proses Bisnis. Melalui KMA Nomor 153 tahun 2009 tentang Reformasi Birokrasi di Departemen Agama menyebutkan bahwa program penyempurnaan proses birokrasi bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi kerja melalui penyederhanaan dan pembakuan proses bisnis; Prinsip Program Proses Bisnis adalah berbasis pada akuntabilitas jabatan / pekerjaan; dan Penyempurnaan proses kerja untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi melalui penyederhanaan, transparansi, pemberian janji layanan serta orientasi pada pemangku kepentingan (stakeholders). Dalam KMA Nomor 118 Tahun 2010 tentang Percepatan Layanan Unggulan (Quick Wins) Kementerian Agama dinyatakan bahwa maksud dari layanan unggulan tersebut untuk mewujudkan layanan yang berkualitas dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat yang memerlukannya dengan cara lebih baik, cepat, mudah, baru dan murah (better, faster, easier, newer, and cheaper), sedangkan tujuannya membangun kepercayaan masyarakat dalam waktu singkat terhadap citra Kementerian Agama. Jenis layanan unggulan ini yaitu: Pendaftaran Haji, Penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), Pencatatan Nikah, Sertifikasi Guru dan Dosen dan Pemberian Beasiswa. Sebagai layanan unggulan, layanan atau pencatatan nikah menjadi nilai utama penjamin mutu dari sasaran strategi nasional yang diberikan Kementerian Agama. Dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknisnya, serta peningkatan sarana dan prasarana harus menjadi perhatian penting dalam program yang diselenggarakan Bimbingan Masyarakat Islam di Kementerian Agama. Maka, Penghulu sebagai Pegawai Pencatat Nikah dan institusi Kantor Urusan Agama sebagai garda terdepan Kementerian Agama yang berhadapan langsung dengan masyarakat harus mendapat perhatian terpenting, sehingga outcome sebagai kualitas yang dihasilkan dapat tercapai dan mengenai sasaran. Kantor Urusan Agama (KUA) yang berkedudukan di kecamatan mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas Kementerian Agama di bidang Urusan Agama dalam Kecamatan. Hal ini seperti yang tertuang dalam Keputusan Menteri Agama RI Nomor 517 Tahun 2001 pasal 2. Dalam Pasal 3 dinyatakan bahwa Kantor Urusan Agama menyelenggarakan fungsi sebagai berikut : 1. Menyelenggarakan statistik dan dokumentasi; 2. Menyelenggarakan surat menyurat, pengurusan surat, kearsipan, pengetikan dan rumahtangga KUA; 3. Melaksanakan pencatatan nikah dan rujuk, mengurus dan membina masjid, zakat, wakaf, baitul mal, ibadah sosial, kependudukan dan pengembangan keluar ga sakinah. Sebagai output dari layanan perkawinan atau pernikahan ini, memberikan legitimasi seorang pria dan wanita untuk bisa hidup dan berkumpul bersama dalam sebuah keluarga. Ketenangan atau ketenteraman sebuah keluarga ditentukan salah satunya adalah bahwa pernikahan itu, selain sesuai dengan dengan tuntutan syariat Islam (bagi orang Islam), juga mendapatkan kekuatan dan jaminan hukum. Maka, pencatatan perkawinan pada prinsipnya merupakan hak dasar warga negara, terutama sebagai upaya perlindungan terhadap isteri maupun anak dalam memperoleh hak-hak keluarga sepertihak pengakuan keluarga, hak tumbuh kembang,hak waris dan lain-lain. Penghulu sebagai pelaksana tugas teknis pencatatan nikah yang berkedudukan di KUA, juga harus mendapat perhatian terpenting dalam dukungan teknis, kompetensi dan performancenya sebagai pejabat fungsional yang langsung melayani langsung masyarakat. Untuk tujuan inilah tulisan ini diarahkan, dengan harapan dapat dijelaskan betapa vital peran dan fungsi Penghulu sebagai pejabat fungsional, dan KUA sebagai institusi atau lembaga Kementerian Agama terdepan dalam upaya mewujudkan layanan nikah yang profesional, bersih dan akuntabel. B. Perumusan Masalah Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana gambaran layanan publik, khususnya yang dilakukan KUA dan penghulu dalam layanan pernikahan? 2. Upaya apa saja yang harus dilakukan bagi KUA dan penghulu dalam rangka mewujudkan layanan nikah yang profesional, bersih dan akuntabel? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan i. Tujuan Penulisan Dari paparan rumusan masalah di atas, maka tulisan ini bertujuan untuk : 1) Menjelaskan gambaran umum layanan publik, khususnya yang dilakukan KUA dan penghulu dalam layanan pernikahan. 2) Menjelaskan upaya apa saja yang perlu dan harus dilakukanPenghulu dan KUA dalam rangka mewujudkan layanan nikah yang profesional, bersih dan akuntabel. ii. Manfaat Penulisan Tulisan ini mengangkat sekaligus mengapresiasi peran penghulu KUA dalam upaya mewujudkan layanan nikah yang profesional,bersih dan akuntabel. Oleh karena itu, tulisan ini diharapkan dapat bermanfaat untuk : 1) Sumbangan informasi ilmiah terutama dalam kajian pelaksanaan tugas-tugas aparatur negara dalam melayani kebutuhan dan aspirasi warga negara sehingga menambah khazanah ilmu pengetahuan pada umumnya; 2) Sebagai bahan informasi dalam penyempurnaan perumusan kebijakan negara, baik aspek kebutuhan layanan masyarakat maupun kebutuhan struktur dan sarana bagi pegawai negara; 3) Sebagai otokritik bagi segenap pejabat negara, khususnya Kementerian Agama, dalamr angka dialektika ilmiah dan praktis di lapangan untuk memperbaiki performance-nya dalam melayani masyarakat. D. Sistematika Penulisan Tulisan ini terdiri atas empat tahap pembahasan yang terkait secara sistematis antara satu dengan yang lainnya. Bab pertama adalah pendahuluan yang berisi uraian latar belakang tulisan ini dilakukan, pokok masalah yang berupa pertanyaan-pertanyaan inti, tujuan dan manfaat tulisan, serta sistematika pembahasan urut logis dari tulisan ini. Bab kedua menjelaskan tentang kajian teori-teori yang mendukung, terutama konsep-konsep layanan publik yang didefinisikan sebagai profesional, bersih dan akuntabel, kerangka berpikir yang digunakan dan metodologi penulisan. Bab ketiga membahas inti permasalahan, yaitu upaya mewujudkan layanan nikah yang profesional, bersih dan akuntabel. Diawali dari deskripsi masalah yang menjelaskan realitas penghulu dan KUA serta layanannya di lapangan, terutama layanan nikah sebagai layanan pokok, dan dilanjutkan dengan analisis masalah kenapa fakta-fakta itu bisa terjadi diiringi dengan menjembatani dengan nilai-nilai ideal yang seharusnya dalam layanan nikah dan kebutuhan teknis bagi penghulu sebagai pelaksananya. Bab keempat sebagai penutup, berisi tentang kesimpulan tulisan, disertai saran dan usulan sebagi temuan dan rekomendasi bagi berbagai pihak yang berkepentingan. BAB II KAJIAN TEORITIS DAN METODOLOGI PENULISAN A. KajianTeoritis Dalam teori negara demokrasi,warga negara menjadi unsur terpenting dalam pembentukan negara, sehingga penyelenggaraan negara harus digunakan sebesar-besar untuk kepentingan dan kemakmuran rakyatnya. Pemerintah sebagai penyelenggara negara mempunyai kewajiban memenuhi dan menyejahterakan kehidupan warga negaranya melalui berbagai layanan publik berdasarkan kesepakatan-kesepakatan yang berbentuk peraturan dan perundang-undangan yang dibuat secara demokratis. Dalam layanan publik modern,birokrasi negara bertujuan untuk mengembangkan manajemen dan penyelenggaraan pelayanan publik kepada masyarakat secara bermutu, akuntabel, mudah, murah, cepat, patut dan adil kepada seluruh masyarakat guna menujang kepentingan masyarakat dan kemudahan kegiatan usaha, serta mendorong partisipasi dan pemberdayaan masyarakat. Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi: 1. Meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat dengan berdasarkan pada prinsip cepat, pasti, mudah, murah, patut dan adil; 2. Mendorong pelaksanaan prinsip-prinsip good governance dalam setiap proses pemberian pelayanan publik khususnya dalam rangka mendukung penerimaan keuangan negara seperti perpajakan, kepabeanan, dan penanaman modal; 3. Meningkatkan upaya untuk menghilangkan hambatan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik melalui deregulasi, debirokratisasi, danprivatisasi; 4. Meningkatkan penerapan sistem terpadu dalam pelayanan; 5. Melaksanakan pemantapan koordinasi pembinaan pelayanan publik dan pengembangan kualitas aparat pelayanan publik; 6. Meningkatkan optimalisasi pemanfaatan teknologi informasi dalam pelayanan publik; 7. Mengintensifkan penanganan pengaduan masyarakat; 8. Mengembangkan partisipasi masyarakat di wilayah kabupaten dan kota dalam perumusan program dan kebijakan layanan publik melalui mekanisme dialog dan musyawarah terbuka dengan komunitas penduduk di masing-masing wilayah; serta mengembangkan mekanisme pelaporan berkala capaian kinerja, baik penyelenggaraan pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah kepada publik. Secara umum, penilaian kualitas layanan menurut konsumen (masyarakat) didasarkan pada indikator-indikator berikut: 1. Tangibles, yaitu kualitas layanan berupa sarana fisik seperti perkantoran, kualitas bahan dokumen-dokumen, ruang tunggu, komputerisasi, dan lain-lain; 2. Reliability, yaitu kemampuan dan keandalan untuk menyediakan pelayanan yang terpercaya; 3. Responsiveness, yaitu kesanggupan untuk membantu dan menyediakan pelayanan secara cepat dan tepat, serta tanggap terhadap keinginan konsumen; 4. Assurance, yaitu kemampuan dan keramahan, serta sopan santun pegawai dalam meyakinkan kepercayaan konsumen; 5. Empathy, yaitu sikap tegas tetapi penuh perhatian dari pegawai terhadap konsumen. (Berry, 1990: 23). Maka pelayanan prima menjadi nilai ideal dalam perbaikan di bidang administrasi negara sebagai wujud pemenuhan hak-hak warga negara yang diberikan pemerintah sebagai penyelenggara negara. Untuk itu, upaya reformasi birokrasi dan tata kelola penyelenggaraan negara terus diupayakan. Reformasi birokrasi adalah suatu proses dan prosedur birokrasi publik, dan sikap serta tingkah laku birokrat untuk mencapai efektivitas birokrasi dan tujuan pembangunan nasional. Sasaran perubahan tersebut adalah proses dan prosedur, lembaga, serta sikap dan tingkah laku.Visinya adalah memantapkan birokrasi yang profesional dan memiliki integritas tinggi yang mampu menyediakan pelayanan yang bermutu dan mendukung manajemen pemerintahan yang demokratis untuk mewujudkan good governance. Aspek perubahan didalamnya antara lain mencakup (8) delapan area, yaitu culture set dan mind set, birokrasi yang berintegritas dan berkinerja tinggi; organisasi yang tepat ukuran dan fungsi; proses kerja yang jelas, efektif, efisien terukur, yang menunjang prinsip good governance; sumber daya manusia, aparatur yang memiliki integritas, netral, kompeten, capable, professional, kinerja tinggi dan sejahtera; regulasi yang kondusif, tepat dan tidak tumpang tindih; pengawasan untuk mewujudkan pemerintahan yang bebas KKN; akuntabilitas untuk meningkatkan akuntabilitas kinerja birokrasi; dan pelayanan publik untuk memberikan pelayanan yang excellent. Program percepatan layanan unggulan (quick wins) Ini ditujukan untuk membangun kepercayaan masyarakat dalam waktu singkat, terutama terhadap citra Kementerian Agama melalui penyelenggaraan layanan yang berkualitas. Kultur baru yang dikehendaki dari pelayanan birokrasi negara adalah yang memenuhi kriteria: profesional, bersih dan akuntabel. Ketiganya menjadi kata kunci perbaikan layanan publik modern di berbagai bidang. Profesional berasal dari Bahasa Inggris (profession) berarti pencaharian. Profesional berarti bermata pencaharian dari suat keahlian. Dalam kamus besar bahasa Indonesia profesional diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan profesi dan atau memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya; sedangkan profesionalisme adalah mutu, kualitas dan tidak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau orang yang profesional. Profesional artinya menurut pada keahlian jabatannya. Menurut Robert G.Murdick dan Joel Ross, profesionalisme didasarkan pada kriteria: knowledge (pengetahuan), competent application (aplikasi kecakapan), social resposibility (tanggung jawab sosial), self-control (pengendalian diri) dan community sanction (sanksi masyarakat atau sosial). Dengan demikian, profesionalisme berarti kemampuan, keahlian dan keterampilan serta pengetahuan seseorang yang cukup tinggi untuk keberhasilan bidang tugasdan kegiatan tertentu. Dalam Islam, sikap dan sifat profesional didasarkan pada prinsip dan norma-norma kenabian (prophetic mission values) yang dicontohkan Rasulullah S.A.W. dalam menunjukkan integritas seseorang, yaitu: shiddiq (keyakinan dan kepercaayaan diri), amanah (terpercaya, kredibel), tablig (komunikatif dan informatif), serta fathanah (kompetensi dan intelegensi). Predikat profesional dilekatkan kepada seseorang apabila ia memiliki pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang lebih tinggi dalam melaksanakan profesinya. Untuk menjadi profesional, seseorang harus mempersiapkan diri terlebih dahulu melalui pendidikan yang tepat, pengalaman yang cukup dan penggemblengan mental yang memadai. Padanya harus ada watak kerja sebagai pemberi jasa profesi yang mencitrakan dan merefleksikan integritas diri yang berkarakter, memiliki kompetensi dan pemahaman yang luas serta kesadaran akan pengabdian profesi untuk melayani sebaik-baiknya. Dalam administrasi negara, pegawai berdasarkan profesi ini diangkat dalam jabatan-jabatan fungsional, salahsatunya adalah Jabatan Fungsional Penghulu. Konsep pemerintahan yang bersih dan berwibawa identik dengan konsep good governance (pemerintahan yang baik), yaitu pelayanan publik yang berasaskan pada kepentingan umum, adanya kepastian hukum, adanya kesamaan hak, adanya keseimbangan hak dan kewajiban, keprofesionalan, partisipatif, persamaan dalam perlakuan/tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan waktu dan kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan. Konsep bersih sangat terkait dengan penetapan tarif/biaya layanan yang tanggung masyarakat, pelaporan keuangan, ketepatan penggunaan dana dengan sasaran, dan transparansi penganggaran.Akuntabilitas adalah ukuran yang menunjukan apakah aktivitas birokrasi publik atau pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah sudah sesuai dengan norma dan nilai nilai yang dianut oleh masyarakat dan apakah pelayanan publik tersebut mampu mengakomodasi kebutuhan masyarakat yang sesungguhnya. Dengan demikian akuntabilitas birokrasi terkait dengan falsafah bahwa lembaga eksekutif pemerintah yang tugas utamanya adalah melayani masyarakat harus dipertanggungjawabkan secara langsung maupun tidak langsung kepada masyarakat. Akuntabilitas pelayanan publik menunjukkan seberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan dengan ukuran nilai-nilai atau norma-norma eksternal yang ada di masyarakat. Faktor yang mempengaruhi akuntabilitas pelayanan publik adalah faktor-faktor yang bisa menghambat atau menggagalkan terciptanya akuntabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Faktor-faktor tersebut meliputi: etika pelayanan, budaya paternalisme, dan kontrol publik. Dengan memfokuskan pada kasus pelayanan pernikahan dan akta nikah ditemukan fakta bahwa akuntabilitas penyelenggaraan pelayanan publik pada umumnya masih jauh dari harapan dan banyak yang harus disempurnakan di sana sini. Hal ini terlihat dari akuntabilitas hukum dimana pelayanan tidak sepenuhnya mengikuti peraturan yang berlaku, jika terkait dengan tarif/biaya petugas cenderung mengabaikan peraturan yang ada. Penarikan biaya administrasi yang lebih tinggi dari yang seharusnya dan belum berfungsinya kontrol publik terhadap penyelenggaraan pelayanan publik. Adapun pemberian solusi semata-mataharus melengkapi persyaratan yang kurang dan tidak menggunakan kebijakan lain seperti jika terdapat kekurangan persyaratan maka dapat disusul kemudian hari. Sedangkan akuntabilitas profesional sudah cukup bagus dimana sumber daya organisasi harus dikonsentrasikan untuk kegiatan pelayanan. Jika petugas yang bersangkutan tidak ada maka akan dibantu oleh petugas yang lain. Secara umum, ada tiga dimensi akuntabilitas : Akuntabilitas Politik, biasanya dihubungkan dengan proses dan mandat pemilu, yaitu mandat yang diberikan masyarakat kepada para politisi yang menduduki posisi legislatif dan eksekutif dalam suatu pemerintahan. Mandat elektoral yang kuat memberikan legitimasi kepada pemerintah dan membantu menjamin kredibilitasnya, di samping stabilitas dan prediktibilitas kebijakan yang diformulasikannya. Akuntabilitas Finansial, fokus utamanya adalah pelaporan yang akurat dan tepat waktu tentang penggunaan dana publik, yang biasanya dilakukan melalui laporan yang telah diaudit secara profesional. Tujuan utamanya adalah untuk memastikan bahwa dana publik telah digunakan untuk tujuan-tujuan yang telah ditetapkan secara efisien dan efektif. Masalah pokoknya adalah ketepatan waktu dalam menyiapkan laporan, proses audit,serta kualitas audit. Hasil dari akuntabilitas finansial yang baik akan digunakan untuk membuat keputusan yang berkaitan dengan mobilisasi dan alokasi sumber daya serta mengevaluasi tingkat efisiensi penggunan dana. Hasil tersebut juga dapat digunakan oleh masyarakat umum dan stakeholders untuk menilai kinerja pemerintah berdasarkan sasaran tertentu yang telahdisepakati sebelumnya. Akuntabilitas Administratif, merujuk pada kewajiban untuk menjalankan tugas yang telah diberikan dan diterima dalam kerangka kerja otoritas dan sumber daya yang tersedia. Dalam konsepsi yang demikian,akuntabilitas administratif umumnya berkaitan dengan pelayan publik. Mereka adalah yang tidak dipilih melalui pemilu tetapi ditunjuk berdasarkan kompetensi teknis. Kepada mereka dipercayakan sejumlah sumber daya yang diharapkan dapat digunakan untuk menghasilkan barang atau jasa tertentu. Reformasi birokrasi ini tentu saja menjadi misi penting di lingkungan Kementerian Agama dalam segala layanannya. Layanan nikah sebagai layanan utama di Kementerian Agama dilaksanakan melalui Bimbingan Masyarakat Islam yang pelaksana teknisnya adalah KUA secara institusi dan Penghulu sebagai person-nya. Keduanya sangat berperan dalam keberhasilan layanan Kementerian Agama terutama dalam layanan nikah. Untuk kepentingan ini tulisan ini diarahkan, untuk mengetahui seberapa pentingnya Penghulu dan KUA dalam layanan nikah B. Kerangka Berpikir Kemenag – Bimas Islam-Renstra-Program Layanan Pencatatan Nikah KUA Penghulu Bagan I Kerangka Berpikir Tulisan C. Metodologi Penulisan Tulisan ini bersifat deskriptif analitis, yaitu berusaha memberikan gambaran yang jelas tentang pokok persoalan dan menganalisisnya secara metodologis. Penulis mencoba menganalisis isi (content analysis) dari sumber-sumber tulisan dan kajian yang ada dengan diolah secara filosofis dan reflektif. Metodenya lebih bersifat studi pustaka yang bahan utamanya tulisan-tulisan yang berkaitan langsung dengan masalah yang diteliti, baik buku, dokumen, koran, jurnal, maupun tulisan elektronik yang tersebar diinternet dalam berbagai website yang dapat dipercaya. Data-data yang terkumpul dianalisis dengan dua cara berpikir, yaitu induktif dan deduktif sekaligus. Berpikir induktif dengan cara menganalisis data-data tentang pelayanan publik di bidang pernikahan, peraturan perundang-undangan, dan hasil pengamatan sehingga dapat dikemukakan suatu gambaran umum. Berpikir deduktif dengan cara menganalisis data-data tentang realitas pelayanan nikah apa adanya menjadi kesimpulan dan karakteristik khusus yang tidak bisa dipersamakan dengan yang lain, baik karena sifatnya maupun karena tempatnya. BAB III UPAYA MEWUJUDKAN LAYANAN NIKAH YANG PROFESIONAL, BERSIH DAN AKUNTABEL A. Deskripsi Masalah Ada dua elemen penting dalam layanan nikah di Kementerian Agama : penghulu dan KUA. Penghulu sebagai person pegawai negara dan KUA sebagai institusi pelayan negara. Secara normatif, Penghulu adalah jabatan fungsional dalam Rumpun Keagamaan, berkedudukan sebagai pelaksana teknis dalam melakukan kegiatan kepenghuluan pada Kementerian Agama. Diberi kuasa oleh pemerintah untuk mengawasi pelaksanaan Undang-undang perkawinan, serta mencatat perkawinan menurut perundang-undangan yang berlaku, mempunyai tanggung jawab dan peranan khususnya dalam pelayanan kepada masyarakat di bidang munakahat. Lebih lanjut, profesionalisme penghulu seperti yang dijabarkan dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/62/M.PAN/6/2005 yang di antara tugasnya : melakukan perencanaan kegiatan kepenghuluan, pengawasan pencatatan nikah/rujuk, penasehatan dan konsultasi nikah/masalah rumah tangga, pelayanan fatwa hukum munakahat, bimbingan hukum muamalah dan evaluasi kegiatankepenghuluan. Peningkatan mutu profesionalisme penghulu harus berorientasi kepada mutu kerja. Sebagai Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku terutama melakukan pengawasan nikah dan rujuk menurut Agama Islam. Perhatian khusus pada kompetensi dan kecakapan ini meliputi : 1. Latar belakang pendidikan dalam rekrutmen pegawai; 2. Pemahaman peraturan perundang-undangan tentang tugas pokok dan fungsinya; 3. Bimbingan dan peningkatan kemampuan teknis penghulu; 4. Pembinaan karir penghulu; 5. Biaya operasional dan kesejahteraan penghulu. Peran yang dilakukan penghulu dalam layanan nikah ini bila dirinci adalah sebagai berikut: a. Sebagai administrator pencatat nikah dan rujuk; b. Sebagai pelaksana layanan nikah berdasarkan Agama Islam; c. Sebagai penasihat dan konsultan nikah, hukum keluarga dan masalah rumah tangga; d. Sebagai pemantau pelanggaran ketentuan nikah dan Undang-undang Perkawinan; e. Sebagai pemberi fatwa hukum munakahat dan bimbingan mu’amalah; f. Sebagai pembina keluarga sakinah; dan g. Sebagai pihak yang berperan dalam sosialisasi keberadaan Pengadilan Agama sebagai yang berwenang dalam masalah cerai dan rujuk serta pelanggaran ketentuan nikah lainnya. Kantor Urusan Agama (KUA) adalah unit kerja terdepan (avant garde) Kementerian Agama yang melaksanakan sebagian tugas pemerintah dibidang Urusan Agama Islam, berkedudukan di wilayah Kecamatan. Dikatakan sebagai unit kerja terdepan, karena KUA secara langsung berhadapan dengan masyarakat. Fakta sejarah juga menunjukan kelahiran KUA hanya berselang sepuluh bulan dari kelahiran Kementerian Agama, tepatnya tanggal 21 Nopember 1946. Konsekuensi dari peran itu, secara otomatis aparat KUA harus mampu mengurus rumah tangga sendiri dengan menyelenggarakan manajemen kearsipan, administrasi surat-menyurat danstatistik serta dokumentasi yang mandiri. Fungsi dan tugas KUA adalah Pencatatan Nikah danRujuk, mengurus dan membina Masjid, Zakat, Wakaf, Ibadah Sosial, Pengembangan Keluarga Sakinah, Kependudukan sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Dirjen Bimas Islam dan peraturan yang berlaku. Seiring dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat akan pelayanan administratif terkait dengan tugas dan fungsi Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan, maka menjadi kebutuhan mendesak adanya pengembangan kompetensi petugas dan payung hukum yang jelas agar dalam pelaksanaan tugas tidak menyimpang dari tata aturan hukum dan pelayanan prima terhadap masyarakat dapat tercapai. Di lapangan, pelayanan pencatatan pernikahan yang diselenggarakan KUA banyak menghadapi berbagai kendala, terutama KUA yang berada didaerah yang menghadapi tantangan demografis dan nilai-nilai tradisi yang ada di masyarakat. Secara umum, kendala yang dihadapi KUA tersebut secara substantif adalah sebagai berikut: 1. Demografi wilayah tugas dalam kecamatan yang relatif lebih luas dengan kondisi alam yang sangat bervariasi antara satu daerah dengan daerah lain sementara jumlah penduduk masih sedikit. 2. Kondisi kantor yang masih jauh dari laik bahkan masih banyak didapati masih menyewa sehingga belum mempunyai kedudukan kantor tetap. Selain itu kondisi sarana dan prasarana penunjang juga masih sangat minim sehingga menjadi kendala dalam pelaksanaan pelayanan masyarakat, seperti pada pelaksanaan kursus calon pengantin yang dilaksanakan oleh KUA. 3. Jumlah pegawai pelaksana yang ada di tiap KUA belum ideal, masih sering dijumpai banyak KUA yang berisi komposisi jumlah pegawai sangat terbatas, bahkan ada KUA yang pegawainya hanya satu orang. 4. Terbatasnya sarana teknologi dan sistem informasi yang ada di KUA. Semakin cepatnya perkembangan teknologi dan kebutuhan informasi yang cepat di masyarakat belum dapat diimbangi KUA dalam memenuhi kebutuhan itu. Masyarakat modern yang serba cepat dan instan, efisiensi biaya dan kepraktisan, seperti pendaftaran nikah online belum dapat dapat KUA berikan, termasuk juga di dalamnya dalam layanan keterbukaan informasi yang bersifat elektronik. 5. Keberadaan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) disatu sisi sangat membantu tugas pelayanan masyarakat, di lain pihak mereka adalah pihak ke-3 yang menjadi alasan mahalnya biaya pernikahan. Bagi KUA yang jumlah pegawainya belum memadai memang membantu terlayaninya pengawasan nikah, apalagi jika jarak antar desa di kecamatan tersebut yang relatif berjauhan. Disisi lain, belum adanya honor/upah/gaji yang diterima P3N sehingga dengan sangat terpaksa diambil dari biaya perkawinan yang dibayar oleh calon pengantin. 6. Terbatasnya biaya operasional KUA. Harus diakui bahwa ada penambahan anggaran untuk KUA pada setiap tahunnya. Pada tahun 2013, sudah mencapai Rp. 24.000.000,-(dua puluh empatjuta rupiah) pertahun. Biaya ini digunakan untuk belanja ATK, cetak blanko, perawatan kantor atau sewa kantor bagi yang belum memiliki dan kegiatan lainnya termasuk transportasi dan listrik. Jika melihat begitu banyaknya tugas yang diemban KUA sebagaimana termaktub dalam PMA Nomor 39 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Urusan Agama, maka dana yang ada dirasakan tidak dapat memenuhi kebutuhan operasional kantor, seperti pada tugas verifikasi tanah wakaf, pengukuran arah kiblat dan pendataan rumah ibadah, sosialisasi, pembinaan kelompok keluarga sakinah serta kegiatan lintas sektoral yang semuanya itu mengharuskan adanya perjalanan dinas, akan terasa sekali kurangnya anggaran yang dialokasikan tersebut. Penghulu sebagai Pegawai Negeri Sipil,terikat pada aturan main yang telah ditentukan oleh Pemerintahyang tertuang dalam berbagai produk hukum yang ada. Sebagai PNS tentunya berlaku ketentuan yang sama dengan PNS pada dinas instansi lain baik dalam hal pelaksanaan tugas, hak dan kewajiban dan pertanggungjawaban serta sanksi jika melakukan pelanggaran, sebagaimana secara umum tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil dan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2013 tentang Disiplin PegawaiNegeri Sipil di Lingkungan Kementerian Agama. Dalam keduanya, diatur tentang hari kerja senin sampai dengan jumat dengan ketentuan wajib memenuhi jam kerja 7,5 (tujuh koma lima) jam per-hari. Di lapangan, Penghulu tidak sama dengan guru, dosen atau jabatan fungsional lain dalam pelaksanaan tugasnya. Hal ini sering terjadi karena masyarakat menghendaki pelayanan diluar dari waktu yang sudah ditentukan mereka sendiri.Permintaan pelaksanaan pelayanan dalam hal pencatatan perkawinan seringkali pada hari Sabtu dan Minggu dan jam yang sudah mereka tentukan bahkan sering terjadi pelaksanaan pencatatan dilaksanakan pada malam hari di kediaman mempelai. Kondisi tersebut dimungkinkan terjadi karena memang terdapat ketentuan yang mengatur sebagaimana termaktub dalam PMA Nomor 11 Tahun 2007 Pasal 21 ayat (2) yang berbunyi : “atas permintaan calon pengantin dan persetujuan PPN, akad nikah dapat dilaksanakan di luar KUA”. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 yang menentukan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada KementerianAgama sebesar Rp. 30.000,- (tiga puluh ribu rupiah) dan dipertegas dengan edaran Irjen Kemenag RI Nomor : IJ/1261/2012 tanggal 13 Desember 2012 butir (3) yang berbunyi agar tidak menerima biaya pencatatan nikah lebih dari Rp. 30.000,-sebagai tindak lanjut dari Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pasal 12 B ayat (1) yang membahas tentang gratifikasi semakin mempersempit ruang gerak KUA. Dua aturan di atas sekarang ini sudah diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2014 tentang Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku di Departemen Agama. Dalam Pasal 6 disebutkan : 1) Setiap warga negara yang melaksanakan nikah atau rujuk di Kantor Urusan Agama Kecamatan atau di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan tidak dikenakan biaya pencatatan nikah atau rujuk. 2) Dalam hal nikah atau rujuk dilaksanakan di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan dikenakan biaya transportasi dan jasa profesi sebagai penerimaan dari Kantor Urusan Agama Kecamatan. 3) Terhadap warga negara yang tidak mampu secara ekonomi dan/atau korban bencana yang melaksanakan nikah atau rujuk di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikenakan tarif Rp0,00 (nol rupiah). 4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara untuk dapat dikenakan tarif Rp0,00 (nol rupiah) kepada warga negara yang tidak mampu secara ekonomi dan/atau korban bencana yang melaksanakan nikah atau rujuk di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri Agama setelah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan. Dari aturan ini, ada tiga hal substansial, yaitu nikah di Kantor Urusan Agama dan Nikah di luar KUA. Nikah di luar KUA tarifnya adalah Rp. 600.000.- (enam ratus ribu rupiah), sedang Nikah di KUA tarifnya Rp. 0.00 (nol rupiah). Dan bagi warga negara yang tidak mampu secara ekonomi dan/atau korban bencana yang melaksanakan nikah atau rujuk di luar KUA Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikenakan tarif Rp0,00 (nol rupiah). Ketika awal-awal sebelum ditebitkannya PP Nomor 48 tahun 2014, Penghulu dan Kepala KUA Kecamatan sempat uporia dengan aturan ini. Karena di benak mereka sudah mencuat pikiran bahwa mereka akan menerima dana Rp. 600.000.- secara bulat, tanpa ada potongan sana-sini. Uporia ini terhenti ketika Menteri Agama mengeluarkan PMA Nomor 24 Tahun 2014. Dari PMA ini yang menetapkan pembagian dana nikah di luar KUA yang Rp. 600.000.- Ternyata dana yang Rp. 600.000.- tidak sepenuhnya diterima oleh PPN dan Penghulu yang melaksanakan prosesi akad nikah, mereka hanya menerima Rp. 285.000.- Sementara salah satu tujuan dikeluarkan PP Nomor 48 tahun 2014, adalah ingin membersihkan KUA Kecamatan dari adanya pungutan liar dan gratifikasi, sebagaimana terjadi diberbagai daerah yang menjadikan sorotan publik terhadap kinerja KUA menjadi sangat tidak baik, tingkat kepercayaan publik menurun dikarenakan banyaknya biaya yang tidak resmi untuk menutupi kekurangan biaya operasional ini. Menurut Penulis ketentuan seperti yang diungkapkan di atas, belum sepenuhnya memberikan solusi terhadap rendahnya penilaian masyarakat terhadap KUA khususnya bagi pelaksana Nikah. Alangkah bijaknya manakala kedepannya aturan tambahan pembagian dana nikah diluar KUA yang Rp. 600.000.- sepenuhnya diterima oleh pelaksana prosesi akad nikah. Menurut Penulis seandainya asumsi ini dapat diterapkan, tentunya dengan merubah KMA-nya, justru akan memberikan dampak yang cukup signifikan dalam memberikan solusi alternatif bagi penilaian negatif masyarakat terhadap KUA. Karena seringnya KUA Kecamatan yang menjadi sorotan negatif dari masyarakat, menurut Penulis adalah wajar bagi mereka mendapatkan apresiasi yang lumayan sebagaimana yang dianggarkan oleh Pemerintah sebanyak Rp. 600.000.- tanpa adanya pembagian sebagaimana yang tercantum dalam PMA Nomor 24 Tahun 2014 dimana penggunaan PNBP itu tercantum di dalam pasal 11 ayat (1) PNBP Biaya NR digunakan untuk membiayai pelayanan pencatatan nikah dan rujuk yang meliputi : a. Transport dan jasa profesi penghulu; b. Pembantu Pegawai Pencatat Nikah; c. Pengelola PNBP Biaya NR; d. Kursus pra nikah; dan e. Supervisi administrasi nikah dan rujuk. Kemudian dalam ayat (2) Penggunaan PNBP Biaya NR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan ketentuan : a. Transport dan jasa profesi penghulu diberikan sesuai dengan Tipologi KUA Kecamatan; b. Pembantu Pegawai Pencatat Nikah diberikan biaya pelayanan setiap bulan; c. Pengelola PNBP Biaya NR diberikan biaya pengelolaan setiap bulan; dan d. Kursus pra nikah, supervise administrasi nikah dan rujuk diberikan biaya setiap kegiatan. Padahal tujuan kenapa PP Nomor 47 Tahun 2004 ini dirubah oleh PP Nomor 48 Tahun 2014. Di antaranya, adalah: (1) Semangat menjadikan KUA yang berintegritas dan terbebas dari gratifikasi; (2) Memperjelas keuangan yang dibayarkan masyarakat untuk biaya pernikahan; (3) Mengakomodir kepentingan, kompensasi, dan penghargaan kepada para penghulu yang menghadiri pernikahan di luar kantor atau luar jam kantor. Melihat dari tujuan ini memang tidak salah manakala PPN dan Penghulu diberikan hak penuh untuk menerima ketentuan biaya nikah yang Rp. 600.000.- tanpa merinci secara mendalam sebagaimana yang telah diungkapkan diatas. Dan apabila aturan penerimaan hak penuh PPN dan Penghulu ini masih terjadi kondisi abu-abu yang dapat berakibat pelanggaran hukum, Penulis menyarankan perlu diambil tindakan tegas. Keadaan ini diperparah lagi dengan menurunnya dana operasioanl KUA. Walaupun pada tahun 2013 sempat biaya Operasional KUA Kecamatan dinaikkan menjadi Rp. 24.000.000.- per tahun, namun pada tahun 2015 sampai saat ini dana itu kembali diturunkan, karena imbas dari penghematan dana Pemerintah pada seluruh Kementerian. Padahal sempat muncul isu yang mengembirakan bagi KUA, bahwa dana operasional KUA Kecamatan akan naik setiap dua tahun sekali. Disamping itu perlu juga menjadi bahan pertimbangan bagi Kemenag Pusat berkenaan dengan penerimaan hak penuh biaya nikah bagi PPN dan Penghulu yang menjalankan tugas sebagai berikut : 1. Karena PPN dan Penghulu melaksanakan tugas di luar Kantor dan kebanyakan diluar jam kerja. 2. Karena di KUA Kecamatan sebagai “Institusi tertinggi” Kementerian Agama di Kecamatan, tidak mempunyai anggaran khusus, seperti Madrasah yang mempunyai DIPA tersendiri. 3. Karena peristiwa nikah ini merupakan cermin dari prestise dan status sosial. Untuk itu, peristiwa nikah dipersiapkan dengan seksama, dengan upacara-upacara adat tertentu bahkan di tempat tertentu yang dihadiri keluarga besar, tokoh-tokoh sosial, dan relasi-relasi terpenting dalam pergaulan. Kompleksitas gambaran tersebut harus dihadapi Penghulu dan KUA dengan segala pelayan primanya demi memenuhi tuntutan masyarakat (users dan stakeholders). Sebagaimana yang telah Penulis ungkapkan di atas manakala aturan penerimaan hak penuh PPN dan Penghulu dana Nikah di luar KUA Kecamatan yaitu Rp. 600.000.- diterima oleh Petugas, Penulis berkeyakinan akan dapat mengurangi penilaian negatif masyarakat terhadap KUA Dan di Kementerian Agama ternyata Pencatatan Nikah di KUA berdasarkan PP Baru mendapatkan nilai hasil survey integritas yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil survey tahun 2014 kemaren yang berada pada nilai 5,47, dimana nilai ini di bawah standar miniml yang ditetapkan KPK (6.00). B. Analisis Masalah Dari deskripsi masalah di atas,banyak upaya yang harus dilakukan dalam upaya mewujudkan layanan nikah yang profesional, bersih dan akuntabel, terutama pada sosok penghulu sebagai pelaksana langsung, dan KUA sebagai institusi yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Vitalnya kedua unsur tersebut sangat menentukan kualitas layanan yang prima dan memuaskan. Peningkatan mutu profesionalisme penghulu harus berorientasi pada mutu kerja. Sebagai Pegawai Pencatat Nikah, penghulu harus memiliki keahlian dan keterampilan khusus kepenghuluan dan memiliki sifat mandiri. Ketaatannya pada hukum dan prosedur, ditentukan oleh pemahamannya tentang peraturan perundangan-undangan, baik yang bersifat materiil, juga yang bersifat teknis yang berkaitan dengan tugas pokok dan fungsinya. Latar belakang dalam disiplin ilmu yang dimiliki jelas menjadi dasar rekrutmen pegawai penghulu di tingkat kebijakan. Bimbingan dan peningkatan kemampuan teknis melalui Diklat dan Bimtek menjadi kebutuhan yangsimultan dalam pembinaan karir penghulu. Sebagai profesi, penampilan (performance) penghulu dituntut memiliki kemampuan sebagai berikut: 1. Kemampuan keahlian (spesialisasi) berbasis pendidikan yang sistematis dalam penanaman nilai-nilainya yang panjang; 2. Kemampuan konseptual, yaitu keterampilan penghulu dalam memadukan seluruh kegiatan kepenghuluan agar kegiatannya mencapai sasaran yang ditetapkan; 3. Kemampuan teknis dan prosedur, berkaitan dengan tata cara penerimaan pemberitahun kehendak nikah, pemeriksaan kelengkapan dan kebenaran data, penetapan dan pengumuman kehendak nikah, analisis dan mengelola tanggapan masyarakat tentang nikah, administrasi dan pengarsipan dokumen nikah, pemilihan dan penetapan metode dalam penasihatan nikah dan konseling, analisis kasus dan problematika rumahtangga. 4. Kemampuan sosialisasi (human relation) yang berhadapan dengan masyarakat yang majemuk, seperti: kerja sama, kepedulian dalam memakai pandangan, pemikiran dan perasaan orang lain, kemampuan efektif dalam komunikasi dengan stakeholders layanannya. 5. Kemampuan manajerial. Walaupun bukan sebagai pengambil kebijakan, fungsi manajemen dan administrasi harus dimiliki, terutama karena berkaitan dengan tugasnya dalam penetapan tujuan (objective setting), koordinasi (coordinating), perencanaan kegiatan (planning), pelaksanaan kegiatan (executing), perorganisasian (organizing), pemberian dorongan (pursuading), penilaian pekerjaan (evaluating) serta pengendalian dan pengelolaan sumber-sumber (managing). 6. Kemampuan kreasi dan inovasi. Penghulu dituntut mencipta dan mengembangkan ide-ide baru, baik yang bersifat ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan tugas pokoknya, sampai kepada metode-metode dan pendekatan dalam melayani masyarakat pengguna (users). Penghulu yang bersih dicerminkan dari pelayanan nikah yang sesuai undang-undang tanpa pelanggaran, tanpa tekanan dan bebas suap, gratifikasi, tarif biaya sesuai ketentuan, dan pelaporan yang transparan. Tujuan ini sulit tercapai jika tidak ada tunjangan biaya operasional yang memadai, tunjangan jabatan, tunjangan jasa dan sarana pendukung seperti kendaraan operasional. Dalam pelaporan, dukungan teknis bagi penghulu seperti sistem administrasi yang berbasis teknologi informasi (IT) menjadi keharusan dalam model layanan nikah terkini. Kementerian Agama sebagai bagian dari Pemerintah selalu mendapatkan penilaian dalam layanannya. Tingkat kepuasan layanan Kementerian Agama yang disurvei Badan Pusat Statistik (BPS) misalnya dalam Indeks Kepuasan Layanan Haji tahun 2012 dan 2013 menunjukkan nilai kenaikan dari 81,32% menjadi 82,69% dengan predikat memuaskan. Bagaimana dengan layanan nikah KUA? Dalam menilai pelayanan publik tersebut, terdapat beberapa ukuran atau dimensi dalam menyelenggarakan suatu pelayanan publik antara lain: 1. Tampak nyata ( fasilitas fisik, peralatan, tenaga kerja); 2. Daya uji (dapat diandalkan dan akurat); 3. Daya tanggap (kemauan untuk membantu); 4. Keterampilan ( keahlian dan pengetahuan yang sesuai); 5. Keramahan (sopan santun, perhatian dan persahabatan); 6. Kredibilitas (ketulusan, kepercayaan dan kejujuran); 7. Keamanan (bebas dari resiko, bahaya); 8. Akses (kemudahan dihubungi dan didekati); 9. Komunikasi (memberikan pengetahuan kepada pelanggan dan mau mendengarkan); 10. Pengertian (mau mengenal kebutuhan pelanggan). Ukuran-ukuran inilah yang harus dipakai oleh KUA dalam melayani publik dan menjadi prosedur operasi yang terstandarkan. Luasnya lingkup kerja dan kompleksitas permasalahan yang dihadapi KUA memang menjadi problem laten pemerintah, seperti minimnya ketersediaan SDM yang mumpuni, sarana pra-sarana yang kurang memadai, tingkat kesejahteraan yang belum ideal, akses lokasi dengan jarak tugas yang tidak semuanya ideal, dan lain-lain. Namun demikian, keterbatasan kondisi itu, saat ini telah dimulai membuka kepada ruang perbaikan untuk peningkatan pelayanan publik melalui penggunaaan teknologi informasi, seperti layanan administrasi nikah berbasis IT yang dikenal dengan SIMKAH (Sistem Informasi dan Manajemen Nikah), dalam pengadministrasian perwakafan dengan SIWAK (Sistem Informasi Wakaf), SIMAS (Sistem Informasi Masjid), dan yang terbaru adalah SIMBI (Sistem Informasi Bimas Islam) serta aplikasi lain yang dibutuhkan. Dengan upaya yang terus menerus dibangun ini, maka stereotype yang sudah lama disematkan pada KUA akan berkurang atau bahkan hilang. Ini tentu menjadi tantangan bagi seluruh aparatur Kementerian Agama, khususnya KUA, untuk bisa menjawab tuntutan publik. Satu hal paling fundamental adalah bagaimana agar publik tahu dan tertarik untuk melihat berbagai kebijakan strategis Kementerian Agama yang mulai menggunakan teknologi informasi untuk meningkatkan pelayanan publik semakin baik, khususnya pelayanan administrasi nikah. Dengan demikian, upaya yang harus dilakukan KUA dalam layanan yang profesional, bersih dan berwibawa, beberapa usulan solusi yang implementatif di antaranya: 1. Penyempurnaan di tingkat kebijakan, terutama dalam hukum materiil perundang-undangan, peraturan pelaksana, petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya, kepegawaian, penganggaran dan sebagainya; 2. Pemenuhan kebutuhan pegawai berdasarkan analisis beban kerja; 3. Bekerja berdasarkan Standard Operational Procedure (SOP); 4. Peningkatan dana operasional yang memadai; 5. Peningkatan sarana prasarana, termasuk kendaraan operasional kantor dan penghulu; 6. Pembinaan administrasi yang simultan dan berkelanjutan; 7. Standardisasi pelaporan data dan keuangan; 8. Aplikasisistem pelaporan data dan keuangan; 9. Penyediaan sarana dan sistem informasi, sepertitelepondaninternet; 10. Optimalisasi Sistem Informasi danManajemen Nikah (SIMKAH); 11. Penyediaan layanan pendaftaran dan pengumuman nikah online; 12. Mengkaji ulang peraturan tentang biaya pencatatan nikah; 13. Penyediaan balai nikah yang memadai dan representatif. 14. Integrasi sistem informasi nikah dan kependudukan dengan stakeholders lain terutama dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dan Pengadilan Agama. Secara keseluruhan, seluruh elemen Kementerian Agama harus mengoptimalkan peran hubungan masyarakatserta pengelola informasi dan dokumentasi di setiap satuan kerja agar memahami terhadap setiap perubahan sosial dan publik yang sedang berlangsung. Hal ini akan merubah pandangan masyarakat secara timbal balik terhadap Kementerian Agama. Dengan memanfaatkan dan mengoptimalkan semua lini informasi yang dimiliki disemua level, Kementerian Agama pasti bisa dengan mudah membagi informasi untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat. Semakin massif upaya image building dilakukan, maka akan membawa dampak langsung dan tidak langsung bagi terwujudnya Kementerian Agama yang profesional, bersih dan akuntabel. BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Deskripsi dan analisis pada bab-bab terdahulu telah memberi gambaran peran dan fungsi KUA dan Penghulu dalam upaya mewujudkan layanan nikah yang profesional, bersih dan akuntabel. Dari paparan pembahasannya di atas,dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Keberhasilan layanan nikah sebagai layanan publik yang profesional, bersih dan akuntabel sangat tergantung pada dua pelaksana langsungnya yaitu : Penghulu dan KUA. Penghulu yang profesional dan bersih, ditunjang dengan KUA yang dikelola dengan transparan dan akuntabel, akan menjadikan layanan nikah sebagai produk layanan unggulan di Kementerian Agama yang menjadi citra dan kepuasan masyarakat sebagai penggunanya. Apalagi peristiwa nikah mengandung nilai yang sakral dan tradisi yang menjadi prestise masyarakat dalam hubungan sosial dan keagamaan. 2. Peran dan fungsi penghulu dan KUA sebagai garda terdepan (avant garde) Kementerian Agama harus dilakukan dengan berbagai upaya. Peningkatan mutu profesionalitas penghulu dengan berbagai pendidikan yang berjenjang dan terstruktur, baik jangka pendek (Diklat) dan jangka panjang (pendidikan formal, beasiswa studi lanjutan) harus dilakukan. Bimbingan teknis yang meningkatkan performa penghulu juga menjadi kebutuhan dasar dalam menjaga integritas penghulu yang bersih dan berwibawa. Penghargaan yang cukup dengan peningkatan kesejahteraan, tunjangan dana operasional dan jasa juga menjadi kebutuhan asasi dalam peningkatan kinerja penghulu. Peningkatan mutu manajemen KUA juga menjadi kunci keberhasilan layanan nikah di masyarakat. Dukungan sarana prasarana, biaya operasional, dukungan kepegawaian dan administrasi yang baik dan terencana, penyempurnaan tingkat kebijakan, dukungan sistem dan teknologi informasi serta koordinasi di berbagai lini menentukan wajah KUA dan Kementerian Agama pada umumnya dalam layanan publik yang profesional, bersih dan akuntabel. B. Saran Tulisan kecil ini tentu saja hanya menggunakan data-data dan waktu yang terbatas. Diperlukan kajian yang lebih komprehensif dan mendalam terutama yang bersifat lapangan (grounded research) yang lebih intensif untuk menemukan fakta-fakta dan solusi yang lebih baik. Kajian lanjutan dalam rangka koreksi dan kritik yang konstruktif sangat diharapkan. Namun demikian, dari tulisan ini Penulis menyampaikan beberapa saran di antaranya: 1. Peningkatan kualitas / profesionalitas Kepala KUA Kecamatan dan Penghulu; 2. Perlu peningkatan Dana Operasional KUA Kecamatan, dalam rangka mengurangi kondisi abu-abu dalam pelayanan kepada masyarakat; 3. Perlu diberikan hak penuh penerimaan dana nikah di luar KUA. DAFTAR PUSTAKA Hadi, Sutrisno, 1982. Metodologi Research, Yogyakarta : Gadjah Mada UniversityPress. Kumorotomo, Wahyudi, 2005. Akuntabilitas Birokrasi Publik : Sketsa Pada Masa Transisi, cet.1, Yogyakarta : Magister Administrasi Publik (MAP) UGM dengan Pustaka Belajar. Muhadjir, Noeng, 1996. Metode Penelitian Kualitatif, ed. 3, cet. 7,Yogyakarta : Rakesarasin. Murdick, RobertG. Dan Joel E. Ross, 2005. Sistem Informasi Untuk Manajemen Modern, Jakarta:Erlangga. Sugandha, Dan S., 1992. Pengantar Administrasi Negara, Jakarta: C.V. Intermedia. Sutopo, dan Adi Suryanto, 2003. Pelayanan Prima, cet. 2, Jakarta: Lembaga Administrasi Negara. Rasyid, Ryaas, 1998. Desentralisasi Dalam Menunjang Pembangunan Daerah Dalam Pembangunan Administrasi di Indonesia. Jakarta : LP3ES.



This post first appeared on PUSTAKA KARYA DAN DAKWAH ONLINE, please read the originial post: here

Share the post

UPAYA MEWUJUDKAN LAYANAN NIKAH YANG PROFESIONAL, BERSIH DAN AKUNTABEL

×

Subscribe to Pustaka Karya Dan Dakwah Online

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×