Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Mendidik Santri Aktif Berbahasa Arab



KH Abdul Hakim Idris, Pimpinan Ponpes Hidayatut Thalibin II Bojonggede:
Wajib Menerapkan Syariah Islam

Sebenarnya wajib menjalankan syariat Islam di bawah naungan khilafah Islam. Tathbiqu syari’at fii hayatina wajibun, menjalankan syariat Islam di dalam kehidupan kita itu hakikatnya suatu keharusan (wajib) terutama memang bagi orang-orang yang memegang tampuk kekuasaan. Ya, sudah jelas Al-Qur’an berlaku di seluruh dunia di semua waktu, ya berarti ajaran Allah SWT dan Rasulullah SAW harus berjalan di setiap saat dan di setiap tempat.

Sudah jelas ayatnya di dalam Al-Qur’an Surat Al-Maidah 44, jadi orang yang tidak berhukum dengan aturan-aturan Allah dikatakan kafir! Jika memang sampai pada Tingkat tidak meyakini bahwa hukum Allah itu benar. Namun ketika ada orang Islam di tampuk kekuasaan dia meyakini ajaran Allah itu benar namun tidak mau melakukannya, ya tetap disalahkan juga oleh Allah, faulaika humul dzalimuun (Al-Maidah 45), zalim! Bahkan yang ketiga, faulaika humul fasiquun (Al-Maidah 47), fasik! Alias durhaka.

Menurut saya pemerintah saat ini zalim dan fasik! Makanya, Jokowi harus menerapkan syariat Islam, kalau tidak saya katakan harus, saya bisa disalahin Tuhan. Setiap umat Islam termasuk saya wajib setuju penerapan Islam secara kaffah (totalitas), kalau tidak, saya disalahkan Allah. Jelas, saya lebih takut disalahkan Allah SWT daripada disalahkan pemerintah Indonesia. Emangyang ngasih Surga siapa? Emang yang ngasihpahala dan dosa siapa? []

Pesantren Hidayatut Thalibin II Bojonggede, Bogor, Jawa Barat

Kaifa haluk Jang?” "Alhamdulillah, ana khair Kang.” Ya, percakapan berbahasa Arab dengan logat Sunda semacam itu kerap terdengar di berbagai sudut Pertemuan antara santri Hidayatut Thalibin II.

Menanamkan kecakapan bahasa Arab aktif meskipun pada level dasar, menjadi salah satu keunggulan pesantren yang berlokasi di Bojonggede, Bogor, Jawa Barat tersebut. Menurut KH Abdul Hakim Idris, Pimpinan Hidayatut Thalibin II, kecakapan tersebut penting dimiliki setidaknya agar bisa beradaptasi bila bertemu dengan orang-orang yang berbahasa Arab.

Man ismuka, kaifa haluk, min a'ina anta, insya Allah mereka sudah lancar. Jadi dari sisi muhadatsah yaumiyah kita galakkan,” ujarnya kepada Media Umat.

Karena, menurut lulusan Tafsir Fakultas Ushuluddin Al Azhar Kairo, Mesir (1989), bisa berbicara dalam bahasa Arab tidak bisa dengan spontan bisa hanya dengan membaca nahwu atau membaca kitab. Tetapi bisa berbicara bahasa Arab itu harus dengan praktek langsung dan latihan-latihan yang dibiasakan maka cepat atau lambat mereka akan lancar berbicara dalam bahasa Arab. Walaupun sudah terbiasa membaca nahwu atau membaca kitab tetapi tidak terbiasa bicara bahasa Arab maka akan berat sekali ngomong mengucapkan kata-kata, ini terbukti.

"Kalau sudah sepuluh persennya dari Gontor Ponorogo sudah cakep bener, ya kami upayakan lebih dari itulah…" ungkap lulusan 1982 Gontor Ponorogo tersebut.

Keunggulan lainnya, selain dibekali berbagai macam ilmu sesuai standar kurikulum pemerintah di bangku kelas, santri dibekali pula dengan keterempilan dan kebiasaan bersosialisasi.

"Kita tanamkan betul di sini agar kita hidup bermasyarakat terlebih lagi dalam hal bersama-sama mengikuti jejak Rasul dan pengikut-pengikutnya dalam menyebarkan dakwah Islam. paling tidak, lulusan sini diharapkan bisa mengajar dan memberikan ilmu walaupun di tingkat paling sederhana dan kecil, TPA misalnya, mengajari bagaimana membaca Al-Qur’an. Sehingga akan bermanfaat bagi umat,” kata kyai yang aktif mengisi pengajian forum ulama umara Bojonggede sejak 2005.

Bahkan sebelum lulus, tidak sedikit santri Hidayatut Thalibin II sudah melakukan itu, karena menjiwai dan memang ditanamkan pihak pesantren. Dari pagi mereka sekolah sampai zuhur. Lalu mereka bertebaran di lingkungan sekitar, ada yang membantu di TPA, pengajian-pengajian, ada juga yang membantu di sekolah-sekolah formal, ada juga yang di pendidikan non-formal. Mereka juga di acara-acara seremonial.

”Mereka ikut serta di masyarakat tanpa rasa takut atau malu karena memang itu dimotivasikan oleh kita,” ungkap Ketua Nahdlatul Ulama (NU) Bojonggede sejak 2010 tersebut.

Mereka juga dibiasakan mengikuti dzikiran, karena di masyarakat juga berbeda-beda bacaan dzikirannya. Tahlilan saja, antara Cilandak dan Bojonggede itu beda. Bacaan riwayat nabi saja, itu berbeda antara orang-orang Bojonggede dengan Cilandak. Jadi yang berjalan di sini Hidayatut Thalibin 2 ajarkan dan biasakan.

"Sehingga mereka setelah kembali ke masyarakat ada tetangga yang mengadakan seremonial relijius, dengan tidak merasa asing, ikut serta bahkan bisa diminta untuk memimpin acara,” singgung Bendahara MUI Bojonggede (2005-2010).

Sejarah

Hidayatut Thalibin II merupakan cabang dari Hidayatut Thalibin di Cilandak, Jakarta Selatan. “Pada 1959 ayah saya (KH Muhammad Idris Kaisan) mendirikan Hidayatut Thalibin Cilandak. Ayah ingin mengembangkan sayap sehingga Hidayatut Thalibin tidak hanya ada di Cilandak," ungkap alumnus MI Hidayatut Thalibin Cilandak.

Keinginan tersebut didukung penuh oleh KH Thobroni, maka pada 1986 mertua KH Muhammad Idris Kaisan dengan mewakafkan sebidang tanahnya di Bojonggede, Bogor, Jawa Barat.

”Lalu Engkong memberikan tanahnya yang di Bojonggede seluas 5000 meter,” ujar lelaki kelahiran Jakarta, 30 Desember 1961.

Lalu, Kyai Thobroni pun mengajak warga sekitar untuk berwakaf dengan membeli tanah per satu meter sehingga total tanah yang digunakan untuk cabang Hidayatut Thalibin menjadi satu hektar. Pada 1996, KH Muhammad Idris meletakkan batu pertama, dan pada 1999 dibukalah kelas Madrasah Ibtidaiyah. Sayangnya Kyai Idris tidak dapat menyaksikan itu, karena enam bulan sebelumnya telah berpulang ke rahmatullah.

Santri pertamanya sekitar 20 orang dari warga sekitar. Karena animo masyarakat tinggi, lalu pada 2000 dibuka pula kelas Madrasah Tsanawiyah dan 2003 dibuka kelas Madrasah Aliyah. Sehingga sekarang santrinya sekitar 300 siswa-siswi yang tersebar di semua tingkatan.

Prestasi santri dalam berbagai perlombaan pun patut diperhitungkan. Santri tingkat MA misalnya, juara 3 festival hajir marawis sekabupaten (2006); juara 1 karya ilmiah sekabupaten (2006); juara 2 lomba pidato kecamatan (2007); juara 2 atletik tingkat MK2 (2007); juara 2 marawis tingkat MK2 (2007).

Sedangkan di tingkat MTs, Juara Umum 1 LT2 laki-laki tingkat kecamatan (2006) dan juara umum 1 LT2 perempuan tingkat kecamatan (2006). Tingkat MI-nya pun tidak ketinggalan. Juara umum 3 LT2 perempuan tingkat kecamatan (2006); juara umum 2 LT2 laki-laki tingkat kecamatan (2006); juara umum 3 sandi kotak tingkat kecamatan (2015); juara umum 3 semapur perempuan tingkat kecamatan (2015) dan juara umum 3 adzan tingkat kecamatan (2015).[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 150, Mei 2015
---



This post first appeared on NEOPLUCK, please read the originial post: here

Share the post

Mendidik Santri Aktif Berbahasa Arab

×

Subscribe to Neopluck

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×