Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Hukum Wudhu Dan Shalatnya Orang Yang Bertato



Pertanyaan
Bagiamana pendapat anda tentang orang yg mencocok / menusuk pada anggota wudhu`nya atau di semua badannya dg menggunakan jarum misalnya, kemudian dia meletakkan tinta di tempat yg dicocok tersebut dg tujuan mewarnai atau melukis. Lantas setelah demikian, apabila hal itu sudah merapat / melekat (menyatu dg daging / tumbuh daging), maka apakah sah wudhu`nya dan begitu juga mandinya, atau tidak?

Benar, sah wudhu` dan mandinya, namun dia berdosa dg perbuatan itu, dia wajib bertaubat, dan wajib menghilangkannya jika tidak mendatangkan bahaya, karena hal itu termasuk WASYM (tatto ; Kamus Al-Munawwir, hal. 1561), lantas membuatnya tidak boleh, dan akan tetapi wudhu` dan mandi bersama keduanya sah karena darurat, karena ia ada di dalam kulit, dan kulit telah merapat (menyatu / tumbuh daging) di atasnya, maka keberadaannya tidak menghalangi sahnya wudhu` dan mandi karena keberadaanya di dalam kulit, dan shalat bersamanya itu sah karena darurat.

Fatwa Syaikh Isma'il Al-Zain

ﻗﺮﺓ ﺍﻟﻌﻴﻦ ﺑﻔﺘﺎﻭﻯ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﺇﺳﻤﺎﻋﻴﻞ ﺍﻟﺰﻳﻦ ﺹ 49

ﺳﺆﺍﻝ : ﻣﺎ ﻗﻮﻟﻜﻢ ﻓﻴﻤﻦ ﻏﺮﺯ ﻓﻰ ﺃﻋﻀﺎﺀ ﻭﺿﻮﺀﻩ ﺍﻭ ﻓﻰ ﺳﺎﺋﺮ ﺑﺪﻧﻪ ﺑﺎﻹﺑﺮﺓ ﻣﺜﻼ ﻭﻭﺿﻊ ﻣﺤﻠﻪ ﻧﺤﻮ ﺣﺒﺮ ﻟﻠﺘﻠﻮﻳﻦ ﻭﺍﻟﺘﺼﻮﻳﺮ ﻓﺈﺫﺍ ﺍﻟﺘﺤﻢ ﺑﻌﺪ ﺫﻟﻚ ﻓﻬﻞ ﻳﺼﺢ ﻭﺿﻮﺅﻩ ﻭﻛﺬﻟﻚ ﻏﺴﻠﻪ ﺍﻭﻻ ؟

ﺍﻟﺠﻮﺍﺏ : ﻧﻌﻢ ﻳﺼﺢ ﻭﺿﻮﺀﻩ ﻭﻏﺴﻠﻪ ﻣﻊ ﻛﻮﻧﻪ ﺃﺛﻤﺎ ﺑﺬﻟﻚ ﺍﻟﻔﻌﻞ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ ﻭﺇﺯﺍﻟﺘﻪ ﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﺆﺩ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻀﺮﺭ ﻷﻧﻪ ﻧﻮﻉ ﻣﻦ ﺍﻟﻮﺷﻢ ﻓﻔﻌﻠﻪ ﻏﻴﺮ ﺟﺎﺋﺰ ﻭﻟﻜﻦ ﺍﻟﻮﺿﻮﺀ ﻭﺍﻟﻐﺴﻞ ﻣﻌﻪ ﺻﺤﻴﺤﺎﻥ ﻟﻠﻀﺮﻭﺭﺓ ﻷﻧﻪ ﺩﺍﺧﻞ ﺍﻟﺠﻠﺪ ﻭﺍﻟﺠﻠﺪ ﻣﻠﺘﺤﻢ ﻋﻠﻴﻪ. ﻓﻼ ﻳﻤﻨﻊ ﺻﺤﺔ ﺍﻟﻮﺿﻮﺀ ﻭﺍﻟﻐﺴﻞ ﻟﻜﻮﻧﻪ ﺩﺍﺧﻞ ﺍﻟﺒﺸﺮﺓ, ﻭﺍﻟﺼﻼﺓ ﻣﻌﻪ ﺻﺤﻴﺤﺔ ﻟﻠﻀﺮﻭﺭﺓ ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ ﺃﻋﻠﻢ .

Hukum bertato adalah haram berdasarkan khadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Abu Juhaifah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الوَاشِمَةَ وَالمُسْتَوْشِمَةَ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mentato dan yang minta diberi tato.” (HR. Bukhari no. 5347).


Para Ulama ahli fiqh berkata: Apadapun tempat (anggota badan) yg ditatto itu menjadi najis karena terbendungnya darah di dalamnya. Lantas apabila memungkinkan untuk dihapus dg cara diobati, maka wajib dihapus. Dan apabila tidak memungkinkan kecuali dg cara melukai, maka apabila dikhawatirkan timbulnya bahaya baru atau cacat parah pada anggota badan yg tampak seperti wajah, kedua telapak tangan, dan selainnya, maka tidak wajib menghapusnya, dan cukup bertaubat untuk menggugurkan dosanya. Dan apabila tidak dikhawatirkan terjadinya apa-apa dari hal-hal tersebut, maka wajib menghapusnya. Dan orang yg bertatto terbilang bermaksiat sebab mengakhirkan penghapusan tattonya.

Dan seperti penyambungan dg tulang dalam hal tersebut, yaitu tatto. Maka dalam halnya terdapat perincian yg akan disebutkan. Perkataan pengarang: "Maka dalam halnya terdapat perincian yg akan disebutkan". Rincian itu adalah, apabila yg melakukannya itu seorang mukallaf (berakal & dewasa), bebas (tidak terpaksa), mengerti dg keharamannya, tanpa ada keperluan, dan kuasa bisa menghapusnya, maka harus dihapus. Dan apabila tidak demikian maka tidak harus dihapus.

Lantas, apabila pentattoan dilakukan sewaktu masih kecil, atau dalam keadaan terpaksa, atau tidak tau dg keharamannya, atau karena ada keperluan, dan khawatir terjadinya bahaya yg memperbolehkan bertayammum oleh karena penghapusan tatto, maka tidak harus menghapusnya, dan shalatnya itu sah serta sah menjadi imam shalat.

Dan dari rincian demikian dapat dimengerti bahwa seseorang yg bertatto atas kerelaannya pada saat dia mukallaf, dan tidak khawatir dg timbulnya bahaya yg memperbolehkan bertayammum oleh karena penghapusan tattonya, maka terangkatnya hadats dari tempat tatto itu menjadi tercegah karena ia sudah najis. Dan apabila tidak demikian maka tetapnya tatto mutlak menjadi 'udzur.

Dan sekiranya tetapnya tatto tidak bisa dianggap 'udzur, dan ia bertemu dg air yg sedikit, atau benda cair, atau benda basah lainnya, maka ia dapat menjadikannya najis. Wallahu A'lam Bisshawab

Sumber : http://brojol.heck.in/

Refrensi

ﺍﻟﻔﻘﻪ ﺍﻟﻤﻨﻬﺠﻲ ﻋﻠﻰ ﻣﺬﻫﺐ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ102/3 ﻣﻦ ﺗﺄﻟﻴﻒ : ﺍﻟﺪﻛﺘﻮﺭ ﻣﺼﻄﻔﻰ ﺍﻟﺒﻐﺎ ﻭﺍﻟﺪﻛﺘﻮﺭ ﻣﺼﻄﻔﻰ ﺍﻟﺨﻦ ﻭﻋﻠﻲ ﺍﻟﺸﺮﺑﺠﻲ

ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ: ﻭﺍﻟﻤﻮﺿﻊ ﺍﻟﺬﻱ ﻭﺷﻢ ﻳﺼﻴﺮ ﻣﺘﻨﺠﺴﺎً، ﻻﻧﺤﺒﺎﺱ ﺍﻟﺪﻡ ﻓﻴﻪ. ﻓﺈﻥ ﺃﻣﻜﻦ ﺇﺯﺍﻟﺘﻪ ﺑﺎﻟﻌﻼﺝ، ﻭﺟﺐ، ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻤﻜﻦ ﺇﻻ ﺑﺎﻟﺠﺮﺡ، ﻓﺈﻥ ﺧﻴﻒ ﻣﻨﻪ ﺣﺪﻭﺙ ﺿﺮﺭ، ﺃﻭ ﻋﻴﺐ ﻓﺎﺣﺶ ﻓﻲ ﻋﻀﻮ ﻇﺎﻫﺮ، ﻛﺎﻟﻮﺟﻪ، ﻭﺍﻟﻜﻔﻴﻦ، ﻭﻏﻴﺮﻫﻤﺎ، ﻟﻢ ﺗﺠِﺐ ﺇﺯﺍﻟﺘﻪ ﻭﺗﻜﻔﻲ ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ ﻓﻲ ﺳﻘﻮﻁ ﺍﻹﺛﻢ، ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﺨﻒ ﺷﻲﺀ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ، ﻟﺰﻡ ﺇﺯﺍﻟﺘﻪ ، ﻭﻳﻌﺼﻲ ﺑﺘﺄﺧﻴﺮﻩ.


ﺍﻟﻤﻮﺳﻮﻋﺔ ﺍﻟﺸﺎﻣﻠﺔ : ﺣﺎﺷﻴﺔ ﺍﻟﺒﺠﻴﺮﻣﻲ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺨﻄﻴﺐ : 55 & 51 \ 4

ﻭﻣﺜﻞ ﺍﻟﻮﺻﻞ ﺑﺎﻟﻌﻈﻢ ﻓﻴﻤﺎ ﺫﻛﺮ ﺍﻟﻮﺷﻢ ﻓﻔﻴﻪ ﺍﻟﺘﻔﺼﻴﻞ ﺍﻟﻤﺬﻛﻮﺭ ﻗﻮﻟﻪ : ﻓﻔﻴﻪ ﺍﻟﺘﻔﺼﻴﻞ ﺍﻟﻤﺬﻛﻮﺭ ﻭﻫﻮ ﺃﻧﻪ ﺇﺫﺍ ﻓﻌﻠﻪ ﻣﻜﻠﻒ ﻣﺨﺘﺎﺭ ﻋﺎﻟﻢ ﺑﺎﻟﺘﺤﺮﻳﻢ ﺑﻼ ﺣﺎﺟﺔ ﻭﻗﺪﺭ ﻋﻠﻰ ﺇﺯﺍﻟﺘﻪ ﻟﺰﻣﺘﻪ، ﻭﺇﻻ ﻓﻼ. ﻓﺈﺫﺍ ﻓﻌﻞ ﺑﻪ ﻓﻲ ﺻﻐﺮﻩ ﺃﻭ ﻓﻌﻠﻪ ﻣﻜﺮﻫﺎ ﺃﻭ ﺟﺎﻫﻼ ﺑﺎﻟﺘﺤﺮﻳﻢ ﺃﻭ ﻟﺤﺎﺟﺔ ﻭﺧﺎﻑ ﻣﻦ ﺇﺯﺍﻟﺘﻪ ﻣﺤﺬﻭﺭ ﺗﻴﻤﻢ ﻓﻼ ﺗﻠﺰﻣﻪ ﺇﺯﺍﻟﺘﻪ ﻭﺻﺤﺖ ﺻﻼﺗﻪ ﻭﺇﻣﺎﻣﺘﻪ، ﻭﻋﻠﻢ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ ﺃﻥ ﻣﻦ ﻓﻌﻞ ﺍﻟﻮﺷﻢ ﺑﺮﺿﺎﻩ ﻓﻲ ﺣﺎﻝ ﺗﻜﻠﻴﻔﻪ، ﻭﻟﻢ ﻳﺨﻒ ﻣﻦ ﺇﺯﺍﻟﺘﻪ ﻣﺤﺬﻭﺭ ﺗﻴﻤﻢ ﻣﻨﻊ ﺍﺭﺗﻔﺎﻉ ﺍﻟﺤﺪﺙ ﻋﻦ ﻣﺤﻠﻪ ﻟﺘﻨﺠﺴﻪ ﻭﺇﻻ ﻋﺬﺭ ﻓﻲ ﺑﻘﺎﺋﻪ ﻣﻄﻠﻘﺎ ﻭﺣﻴﺚ ﻟﻢ ﻳﻌﺬﺭ ﻓﻴﻪ ﻭﻻﻗﻰ ﻣﺎﺀ ﻗﻠﻴﻼ ﺃﻭ ﻣﺎﺋﻌﺎ ﺃﻭ ﺭﻃﺒﺎ ﻧﺠﺴﻪ، ﻛﺬﺍ ﺃﻓﺘﻰ ﺑﻪ ﺍﻟﻮﺍﻟﺪ ﺷﺮﺡ ﻡ ﺭ.

ﺇﻋﺎﻧﺔ ﺍﻟﻄﺎﻟﺒﻴﻦ - ﺍﻟﺒﻜﺮﻱ ﺍﻟﺪﻣﻴﺎﻃﻲ - ﺝ ١ - ﺍﻟﺼﻔﺤﺔ ١٢٧

ﺗﺘﻤﺔ: ﺗﺠﺐ ﺇﺯﺍﻟﺔ ﺍﻟﻮﺷﻢ - ﻭﻫﻮ ﻏﺮﺯ ﺍﻟﺠﻠﺪ ﺑﺎﻹﺑﺮﺓ - ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﻳﺪﻣﻰ، ﺛﻢ ﻳﺬﺭ ﻋﻠﻴﻪ ﻧﺤﻮ ﻧﻴﻠﺔ ﻓﻴﺨﻀﺮ ﻟﺤﻤﻠﻪ ﻧﺠﺎﺳﺔ ﻫﺬﺍ ﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﺨﻒ ﻣﺤﺬﻭﺭﺍ ﻣﻦ ﻣﺤﺬﻭﺭﺍﺕ ﺍﻟﺘﻴﻤﻢ ﺍﻟﺴﺎﺑﻘﺔ ﻓﻲ ﺑﺎﺑﻪ، ﺃﻣﺎ ﺇﺫﺍ ﺧﺎﻑ ﻓﻼ ﺗﻠﺰﻣﻪ ﺍﻹﺯﺍﻟﺔ ﻣﻄﻠﻘﺎ. ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺒﺠﻴﺮﻣﻲ : ﺇﻥ ﻓﻌﻠﻪ ﺣﺎﻝ ﻋﺪﻡ ﺍﻟﺘﻜﻠﻴﻒ ﻛﺤﺎﻟﺔ ﺍﻟﺼﻐﺮ ﻭﺍﻟﺠﻨﻮﻥ ﻻ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﺇﺯﺍﻟﺘﻪ ﻣﻄﻠﻘﺎ، ﻭﺇﻥ ﻓﻌﻠﻪ ﺣﺎﻝ ﺍﻟﺘﻜﻠﻴﻒ ﻓﺈﻥ ﻛﺎﻥ ﻟﺤﺎﺟﺔ ﻟﻢ ﺗﺠﺐ ﺍﻹﺯﺍﻟﺔ ﻣﻄﻠﻘﺎ ﻭﺇﻻ ﻓﺈﻥ ﺧﺎﻑ ﻣﻦ ﺇﺯﺍﻟﺘﻪ ﻣﺤﺬﻭﺭ ﺗﻴﻤﻢ ﻟﻢ ﺗﺠﺐ ﻭﺇﻻ ﻭﺟﺒﺖ، ﻭﻣﺘﻰ ﻭﺟﺒﺖ ﻋﻠﻴﻪ ﺇﺯﺍﻟﺘﻪ ﻻ ﻳﻌﻔﻰ ﻋﻨﻪ ﻭﻻ ﺗﺼﺢ ﺻﻼﺗﻪ ﻣﻌﻪ. ﺍﻫ




This post first appeared on Munirul Khikam, please read the originial post: here

Share the post

Hukum Wudhu Dan Shalatnya Orang Yang Bertato

×

Subscribe to Munirul Khikam

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×