Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Memahami POLIGAMI RASULULLAH s.a.w.: Kehidupan Periode Madinah

Oleh: Mln. Zafar Ahmad Khudori (Muballigh Jmt. Kebumen/Jateng 2)

Menurut Munir Ba’albaki dalam kamusnya “Al-Mawrid: A Modern English_Arabic Dictionary” (1982: 705) bahwa kata “polygamy” dalam bahasa Arab disebut ta’addudu az-zaujaat atau ta’addudu al-azwaaj. Begitu juga Ahmad Warson Munawwir dalam kamusnya “Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia” (1997: 904) bahwa kata “ta’addudu az-zaujaat” artinya: poligami.

Menurut M. Ichsan (dari STAI al-Hilal Sigli Aceh), kata poligami berasal dari bahasa Yunani, dari kata poly yang berarti banyak dan gamien yang berarti kawin, jika digabungkan akan berarti suatu perkawinan yang banyak (Bibit Suprapto, 1990: 61).

Istilah khusus yang mengacu pada perkawinan seseorang laki-laki dengan beberapa orang perempuan adalah poligini (polyginy). Poligini juga dari bahasa Yunani yaitu poli atau polus artinya banyak; dan gini atau gene artinya istri. Jadi poligini artinya beristri banyak (Badriyah Fayumi, 2002: 40).

Sedangkan yang mengacu pada perkawinan antara seorang perempuan dengan beberapa orang laki-laki adalah poliandri (polyandry).

Sementara, pengertian poligami yang berlaku di masyarakat adalah seorang laki-laki kawin dengan banyak wanita.

Sedangkan dalam tinjauan Islam, poligami mempunyai arti perkawinan yang lebih dari satu, dengan batasan umum yang dibolehkan hanya sampai 4 wanita [sesuai QS 4/An-Nisa’: 4 berikut ini]:

“Dan jika kamu khawatir bahwa kamu tak akan dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim maka kawinilah perempuan-perempuan lainnya yang kamu sukai: 2, 3 atau 4; akan tetapi jika kamu khawatir kamu tak akan dapat berlaku adil maka kawinilah  seorang perempuan saja, atau kawinilah yang dimiliki tangan kananmu. Cara demikian itu lebih dekat untuk kamu supaya tidak berbuat aniaya.”

Kekhususan Poligami Rasulullah s.a.w.

Itu adalah Ayat yang berlaku secara umum bagi umat Islam. Sedangkan bagi Rasulullah s.a.w. berlaku Ayat secara khusus berikut ini (QS 33/Al-Ahzab: 51):

“Wahai Nabi, sesungguhnya telah Kami halalkan bagi engkau istri-istri engkau yang telah engkau lunasi maskawin mereka, demikian pula yang dimiliki tangan kanan engkau dari antara mereka yang telah diberikan Allah kepada engkau sebagai tawanan perang, dan demikian pula anak-anak perempuan saudara-saudara lelaki bapak engkau, dan anak-anak perempuan saudara-saudara perempuan bapak engkau, dan anak-anak perempuan saudara-saudara lelaki ibu engkau, dan anak-anak perempuan saudara-saudara perempuan ibu engkau yang telah berhijrah beserta engkau, dan wanita-wanita mukmin yang lain, jika ia menawarkan diri kepada Nabi, jika Nabi sendiri ingin menikahinya; perintah ini  hanya khusus bagi engkau dan bukan bagi orang-orang mukmin lainnya. Kami mengetahui apa yang telah Kami wajibkan atas mereka dan yang dimiliki tangan kanan mereka, supaya tidak menjadi kesempitan bagi engkau. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

Tafsir Singkat Editor Malik Ghulam Farid (Catatan Tafsir No. 2362) menjelaskan bahwa Ayat ini harus dibaca bersama-sama dengan (QS 33/Al-Ahzab) Ayat-ayat 29 dan 30 di atas (nanti akan dikutipkan) yang di dalamnya istri-istri Rasulullah s.a.w. dipersilahkan memilih antara menjadi teman hidup Rasulullah s.a.w. dan faedah-faedah serta kesenangan-kesenangan hidup duniawi; namun beliau-beliau memilih jadi teman hidup Rasulullah s.a.w..

Para Istri Tetap Memilih Bersama Rasulullah s.a.w., Begitu Pula Sebaliknya

Tafsir Singkat Editor Malik Ghulam Farid menjelaskan bahwa Ayat ini dengan sendirinya mengisyaratkan kepada jawaban istri-istri Rasulullah s.a.w. yang tercantum di dalam buku-buku sejarah, akan tetapi dengan sengaja tidak disebut dalam Al-Quran. Hingga beliau-beliau memberi jawaban, hubungan jasmani antara beliau-beliau dengan Rasulullah s.a.w. memilih jadi teman hidup beliau (s.a.w.) daripada harta benda dan kesenangan duniawi, beliau (s.a.w.) pun mempunyai tenggang rasa besar terhadap perasaan istri-istri beliau, dan sungguh pun beliau (s.a.w.) diberi kebebasan memilih tetap mempertahankan hanya istri-istri yang disukai beliau (s.a.w.) [Ayat 52], beliau (s.a.w.) tidak menggunakan hak pilih itu dan mempertahankan istri-istri beliau semuanya.

Izin untuk Mempertahankan Semua Istri

Lagi menurut Tafsir Singkat Editor Malik Ghulam Farid menjelaskan bahwa anak kalimat itu pun menunjuk kepada izin khusus yang diberikan kepada Rasulullah s.a.w. untuk mempertahankan semua istri beliau sesudah perintah yang tercantum dalam QS 4:4 diturunkan, yang membatasi jumlah 4 istri yang diizinkan kepada orang-orang Muslim pada satu waktu.

Kata-kata, “Kami mengetahi apa yang telah Kami wajibkan atas mereka mengenai istri-istri mereka,” menunjuk kepada perintah yang terkandung dalam QS 4:4, yang menurut Firman itu hanya 4 istri yang paling banyak pada satu waktu yang diizinkan kepada seorang Muslim.

Akan tetapi, mengingat martabat ruhani Rasulullah s.a.w. sendiri dan mengingat martabat ruhani istri-istri beliau yang sangat tinggi dan adanya pertimbangan dari segi ruhani serta pertim-bangan dari segi akhlak lainnya maka diadakanlah pengecualian berkenaan dengan Rasulullah s.a.w. pada pembukaan Ayat ini.

Untuk selanjutnya silahkan merenungkan Ayat-ayat berikut ini:

QS 33/Al-Ahzab: 29-30:

“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, “Jika kamu menghendaki kehidupan dunia ini dan perhiasannya, maka marilah, aku akan menceraikan dengan cara yang baik.”

“Tetapi, jika kamu menghendaki Allah dan Rasul-Nya dan rumah di akhirat, maka sesungguhnya Allah telah menyediakan bagi mereka di antaramu yang beramal baik, pahala yang besar.”

QS 33/Al-Ahzab: 52:

“Engkau boleh mengesampingkan siapa yang engkau kehendaki di antara mereka, dan engkau boleh menggauli siapa yang engkau kehendaki; dan siapa yang engkau inginkan kembali dari perempuan yang telah engkau ceraikan maka tiada dosa atas engkau. Yang demikian itu lebih dekat untuk kesejukan mata mereka, dan mereka tidak akan bersedih dan mereka semuanya rela dengan apa yang telah engkau berikan kepada mereka. Dan Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu. Dan Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun.”

Nah, berikut ini contoh perkawinan Rasulullah s.a.w. sebagai uswatun hasanah bagi kita. Dan untuk meneladani beliau s.a.w. kita perlu memahami riwayat hidup beliau s.a.w., termasuk kehidupan poligami Rasulullah s.a.w. dalam periode kehidupan beliau s.a.w. di Madinah. Namun demikian, pada kesempatan ini penulis hanya memaparkan 2 orang istri Rasulullah s.a.w. saja yaitu Sayyidah ‘Aisyah r.a. (poligami pertama: selama 8 tahun) dan Sayyidah Maimunah r.a. (poligami terakhir: selama 3 tahun).

POLIGAMI PERTAMA: BERSAMA SAYYIDAH ‘AISYAH r.a. (Selama 10 tahun)

Siapakah Sayyidah ‘Aisyah Itu?

Sayyidah ‘Aisyah r.a. adalah putri dari Abu Bakar (r.a.) bin Abu Quhafah bin Usman bin Amir bin Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr, demikian kata Sejarawan Ibnu Ishaq (Sirah Nabawiyah: 2012: 156; baca juga: Khalid: 1992: 50). Dr. Utsman menambahan bahwa Fihr ini tidak lain adalah Quraisy itu sendiri (Inilah Faktanya: 2013: 49).

Pernikahan Rasulullah s.a.w. dengan Sayyidah Sawdah r.a. dan Sayyidah ‘Aisyah r.a.

Muhammad Ibrahim Salim dalam bukunya, “Tokoh-tokoh Wanita di Sekitar Rasulullah saw” (1993: 28-29) mengisahkan bahwa para sahabat radhiyallloohu ‘anhum memperhatikan kesendirian Nabi s.a.w. sesudah wafatnya Sayyidah Khadijah r.a. wafat dan berharap kiranya beliau (s.a.w.) menikah. Barangkali dalam pernikahan itu ada yang menghibur kesendiriannya.

Akan tetapi, siapa yang berani berbicara kepada beliau s.a.w.?

Khaulah binti Hakim maju untuk melakukan tugas tersebut. Maka dia berbicara kepada Rasulullah s.a.w. dan menawarkan Sayyidah ‘Aisyah binti Abu Bakar r.a., namun beliau r.a. masih kecil. Maka biarlah beliau r.a. dipinang, kemudian ditunggu hingga matang (dewasa).

Akan tetapi, siapakah yang memperhatikan urusan-urusan Nabi s.a.w. dan yang melayani putri-putri serta memenuhi rumahnya?

Pernikahan dengan Sayyidah ‘Aisyah r.a. tidak akan berlangsung sebelum 2 atau 3 tahun lagi. Siapakah gerangan wanita yang memimpin urusan-urusan Nabi s.a.w. dan memelihara putri-putri beliau s.a.w.? Beliau adalah Sayyidah Sawdah binti Zam’ah r.a. dari Bani Adi bin Najjar.

Rasulullah s.a.w. mengizinkan Khaulah meminang keduanya. Pertama, Khaulah datang ke rumah Sayyidina Abu Bakar r.a., kemudian ke rumah Zam’ah r.a..

Maka terjadilah kesepakatan dan berlangsunglah pernikahan.

Beliau r.a. adalah wanita pertama yang dinikahi Nabi s.a.w. sesudah Sayyidah Khadijah r.a. dan beliau r.a. sendiri yang bersama Nabi s.a.w. selama kurang lebih 3 tahun hingga berumah tangga dengan Sayyidah ‘Aisyah r.a. (Imam Adz-Dzahabi, Siyar A’lamiin Nubala’: 2: 190).

Satu-satunya Istri Rasulullah s.a.w. yang Berstatus Gadis

Ibnu Ishaq dalam “Sirah Nabawiyah”-nya (2012: 742) menjelaskan bahwa Rasulullah s.a.w. menikah dengan Sayyidah ‘Aisyah r.a. binti Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. di Makkah pada saat Sayyidah ‘Aisyah r.a. berusia 7 tahun dan menggaulinya di Madinah tatkala usianya sudah baligh.

Rasulullah s.a.w. tidak menikahi seorang gadis manapun selain Sayyidah ‘Aisyah r.a. binti Abu Bakar r.a.. Abu Bakar r.a. menikahkan beliau s.a.w. dengan Sayyidah ‘Aisyah r.a. dengan mahar 400 dirham.

Mengapa Memilih Sayyidah ‘Aisyah?

Mahmud Mahdi Al-Istanbuli dkk. dalam bukunya itu (2009: 55) menjelaskan bahwa Sayyidah ‘Aisyah r.a. dinikahi oleh Rasulullah s.a.w. atas perintah dari Allah s.w.t. untuk menghibur beliau s.a.w. karena kewafatan istri tercinta, Sayyidah Khadijah r.a..

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, dalah Shahihnya dari Sayyidah ‘Aisyah r.a. berkata bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda, “Aku melihat dirimu dalam mimpi selama 3 malam. Engkau datang bersama malaikat terbungkus dengan kain sutra. Malaikat tersebut berkata, “Ini adalah istrimu.”

Kemudian aku singkap kain tersebut ternyata engkau berada di dalamnya. Maka aku katakan, “Sesungguhnya menikahimu adalah perintah dari Allah”. Lihat Al-Bukhari (VII/175) dalam Manaqibul Anshar, bab: Pernikahan Nabi s.a.w. dengan ‘Aisyah, juga dalam At-Ta’bir, bab: Melihat Wanita Tatkala Bermimpi, pada bahasan: Pakaian Sutra Tatkala Tidur. Lihat pula dalam Shahih Muslim kitab: Fadha-ilush Shahabah, bab: Keutamaan ‘Aisyah (no. 2438).

Rasulullah s.a.w. hendak menikahi Sayyidah ‘Aisyah r.a. dan Sayyidah Sawdah r.a. dalam waktu yang bersamaan, namun kemudian beliau s.a.w. menikah Sayyidah Sawdah r.a. terlebih dahulu.

Setelah berselang 3 tahun, beliau s.a.w. menikahi Sayyidah ‘Aisyah r.a. pada bulan Syawal usai perang Badar maka berpindahlah walimatul ‘urusy yang sederhana ke rumah nubuwah yag baru. Yakni berupa sebuah ruangan di antara ruangan-ruangan lain yang didirikan di sekitar masjid terbuat dari batu bata dan beratap pelepah daun kurma. Rasulullah s.a.w. menempatkan alas tidur dari kulit yang berserabut, tiada batas antara dirinya dengan tanah melainkan tikar, dan pada pintu masuk beliau s.a.w. tutup dengan tabir.

Menurut O. Hasyem dalam bukunya “Benarkah ‘Aisyah Menikah dengan Rasulullah saw. di Usia Dini?” (2009: 67) bahwa Perang Badar terjadi pada Jumat pagi, 17 Ramadhan 2 H/13 Maret 624 M.

Perkawinan Sayyidah ‘Aisyah r.a. dalam Situasi Kondusif

Selanjutnya Muhammad Husain Haekal dalam bukunya “Sejarah Hidup Muhammad“ (2015: 209) mengisahkan bahwa Rasulullah Muhammad s.a.w. dan kaum Muslimin pun merasa aman menjalankan kewajiban agama mereka, baik dalam berjamaah ataupun sendiri-sendiri. Mereka tidak lagi khawatir ada gangguan atau akan takut fitnah. Ketika itulah beliau s.a.w. menyelesaikan perkawinan dengan Sayyidah ‘Aisyah r.a. putri Sayyidina Abu Bakar r.a., yang waktu itu baru berusia 10 atau 11 tahun.

Dengan demikian, Sayyidah ‘Aisyah r.a. telah dapat menghibur beliau s.a.w. dari pikiran yang berat-berat yang selalu menjadi bebannya, dan kini suasana politik Yatsrib (nama lama Madinah) sudah mulai kondusif.             

Senang dan Marahnya Sayyidah ‘Aisyah r.a.

Nasy’at Al-Masri dalam bukunya “Nabi Suami Teladan” (1993: 56) mengisahkan bahwa Sayyidah ‘Aisyah r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w. pernah bersabda kepadaku, “Aku tahu kalau kau sedang senang atau marah kepadaku.”

Saya (Sayyidah ‘Aisyah r.a.) bertanya, “Dari mana Anda mengetahuinya?”

Beliau s.a.w. menjawab, “Kalau engkau sedang senang kepadaku, engkau akan mengatakan dalam sumpahmu, ‘LA WA ROBBI MUHAMMAD’ (Tidak, demi Robb-nya Muhammad). Tetapi jika engkau sedang marah kepadaku, engkau akan bersumpah, ‘LA WA ROBBI IBROOHIIM’ (Tidak, demi Robb-nya Ibrahim).

Dengan jujur aku menyatakan, “Demi Allah, memang demikian, wahai Rasulullah! Aku tidak meninggalkan kecuali nama Anda saja” (HR Muslim).

Keutamaan Sayyidah ‘Aisyah r.a.

Suatu hari Amru bin Al-Ash bertanya kepada Rasulullah s.a.w., “Siapa manusia yang paling engkau cintai, wahai, Rasululllah (s.a.w.)?” Jawab Nabi s.a.w., “‘Aisyah.”

“Siapakah laki-laki yang paling engkau saying, wahai Rasulullah (s.a.w.)?” Jawab Nabi s.a.w., “Ayahnya (‘Aisyah)” (HR Bukhari/Al-Masri: 1993: 56).

Riwayat lain menceritakan bahwa Rasulullah s.a.w. memanggil Sayyidah ‘Aisyah r.a. dengan panggilan kesayangan yang memanjakannya yaitu “Al-Humaira” karena kulitnya yang putih kemerah-merahan, kadang-kadang beliau s.a.w. memanggilnya dengan “Ya Aisy.”

Sayyidah ‘Aisyah r.a. Mengadopsi Seorang Anak

Al-Masri dalam bukunya itu juga(1993: 57) mengisahkan bahwa untuk menghibur Sayyidah ‘Aisyah r.a. dari kesedihan dan kesepiannya karena tidak mempunyai anak, dan agar sang istri tercintanya itu merasa diperhatikan dan disayang maka Rasulullah s.a.w. mengizinkan Sayyidah ‘Aisyah r.a. untuk mengadopsi putra saudaranya (Asma binti Abu Bakar r.a.) yang bernama Abdullah. Sehingga beliau r.a. dengan panggilan Ummu Abdullah.

Wafatnya Sayyidah Al-Humaira r.a.

Menurut Al-Istanbuli (2009: 59), Rasulullah s.a.w. dimakamkan di tempat beliau s.a.w. wafat yakni di rumah Sayyidah ‘Aisyah r.a..       

Setelah kewafatan beliau s.a.w., Sayyidah Al-Humaira r.a. menghabiskan waktunya untuk mengajar kaum Muslimin dan Muslimat serta mengkhidmati Islam hingga akhir hayatnya. Beliau r.a. wafat pada malam Selasa, 17 Ramadhan 57 Hijrah saat beliau r.a. berusia 66 tahun (Al-Isti’ab [IV/1885] dan Tarikh At-Thabari Hawadits Sanah [58 H]).

POLIGAMI TERAKHIR (Selama 3 Tahun): BERSAMA SAYYIDAH MAIMUNAH r.a.

Siapakah Sayyidah Maimunah r.a. itu?

Ibnu Ishaq dalam “Sirah Nabawiyah”-nya (2012: 743) menjelaskan bahwa Sayyidah Maimunah r.a. adalah putri dari Al-Harits bin Hazn bin Bajir bin Huzam bin Ruaibah bin Abdullah bin Hilal bin Amir bin Sha’sha’ah.

Beliau r.a. adalah saudari dari Ummul Fadhal istri Abbas r.a., dan juga bibi dari Khalid bin Walid r.a. dan juga bibi dari Ibnu Abbas r.a., demikian informasi dari Mahmud Mahdi Al-Istanbuli dkk. (2009: 88).

Sayyidah Maimunah r.a. Mulai Terkesan kepada Islam

Al-Istanbuli dkk. selanjutnya  menjelaskan (2009: 88) bahwa mulanya (sebelum masuk Islam) beliau r.a. menikah dengan Mas’ud bin Amru Ats-Tsaqafi. Selama pernikahan itu beliau r.a. sering mondar-mandir ke rumah saudaranya, Ummu Fadhal sehingga beliau r.a. sering mendengar pelajaran-pelajaran Islam dan tentang nasib kaum Muslimin yang berhijrah. Sampai kabar tentang Perang Badar dan Perang Uhud yang mana hal itu menimbulkan bekas mendalam pada diri beliau.

Sayyidah Maimunah r.a. Bercerai dengan Suaminya

Ketika tersiar berita kemenangan Muslimin pada Perang Khaibar, ketika itu Sayyidah Maimunah r.a. sedang berada di rumah saudara kandungnya, Ummu Fadhal, maka dia juga turut senang dan sangat bergembira.

Namun ketika beliau r.a. pulang ke rumah, ternyata beliau r.a. mendapati suaminya sedang sedih dan berdukacita terkait dengan berita kemenanga tersebut.

Hal tersebut memicu perbedaan pendapat hingga pertengkaran dan berbuntut perceraian. Setelah perceraian terjadi, beliau r.a. menetap di rumah Al-Abbas.  

Berkah Perjanjian Hudaibiyah

Akhirnya terjadilah Perjanjian Hudaibiyah.Muhammad Husain Haekal dalam bukunya “Sejarah Hidup Muhammad” (2015: 440-445) mengisahkan bahwa setelah 1 tahun sejak berlakunya isi Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah s.a.w. dan para sahabatnya sudah bebas dapat melaksanakan isi Perjanjian dengan pihak Quraisy untuk memasuki Makkah dan berziarah ke Ka’bah. Atas dasar itu Rasulullah s.a.w. memanggil orang-orang agar bersiap-siap untuk berangkat melakukan ‘umratul-qadha (umrah pengganti) yang sebelum itu terhalang.

Singkat cerita Rasulullah s.a.w. dan para sahabat berangkat ke Makkah. Ketika orang-orang Quraisy mengetahui kedatangan Rasulullah s.a.w. dan para sabahatnya, mereka segera keluar dari kota Mekkah, sesuai dengan isi Perjanjian Hudaibiyah.

Begitu Masjidilharam itu terlihat di hadapan mereka, serentak semua Muslimin bergema dalam satu suara: Labbaika, labbaika!: dengan hati dan jiwa tertuju semata kepada Allah Yang Mahaagung, berkeliling dalam satu lingkaran dengan penuh harap dan hormat kepada Rasul yang telah diutus Allah dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, yang akan mengatasi semua agama.

Sebenarnya ini adalah suatu pemandangan yang sungguh unik dalam sejarah, yang dapat menggetarkan segenap penjuru tempat itu, dan yang telah dapat menawan hati orang-orang musyrik ke dalam Islam, betapapun kerasnya mereka bertahan ada paganisme.

Keesokan harinya Rasulullah s.a.w. memasuki Ka’bah dan tinggal di sana sampai waktu shalat Zhuhur. Pada waktu itu berhala-berhala masih banyak memenuhi tempat itu. Tetapi meskipun begitu, Sayyidina Bilal r.a. naik juga ke atap Ka’bah lalu menyerukan adzan untuk shalat Zhuhur. Kemudian Nabi s.a.w. shalat dan bertindak sebagai imam atas 2000 Muslim di Masjidilharam. Selama 7 tahun sebelumnya mereka terhalang melakukan shalat menurut pimpinan Islam di tempat itu.

Muslimin tinggal selama 3 hari di Makkah seperti sudah ditentukan dalam Perjanjian Hudaibiyah, sesudah kota itu dikosongkan dari penduduknya. Selama tinggal di situ, Muslimin tidak mengalami gangguan.

Bersamaan dengan itu, masyarakat Quraisy dan penduduk Makkah lainnya dari tempat mereka masing-masing yaitu dari lereng-lereng bukit menyaksikan sendiri pemandangan yang luar biasa dalam sejarah itu. Mereka melihat orang-orang dengan akhlak yang demikian rupa –tidak minum-minuman keras, tidak melakukan perbuatan maksiat, tidak mudah tergoda oleh makanan dan minuman. Kehidupan duniawi tidak sampai mempengaruhi mereka. Mereka tidak melanggar apa yang dilarang, mereka menjalankan apa yang diperintahkan Allah. Alangkah besarnya pengaruh yang ditinggalkan oleh pemandangan demikin itu, yang sebenarnya telah mengangkat martabat umat manusia ke tingkat yang paling tinggi.

Tidak terlalu sulit bagi orang yang akan menilai kemungkinan bahwa beberapa bulan kemudian, Rasulullah s.a.w. telah kembali dan dapat membebaskan Makkah dengan kekuatan sebanyak 10.000 orang Muslim.

Sayyidah Maimunah r.a. Menyembunyikan Keimanannya

Sayyidah Maimunah r.a. adalah salah seorang yang menyembunyikan keimanannya. Peristiwa Perjanjian Hudaibiyah berujung kepada Fatah Mekkah (Kemenangan Mekkah) memotivasi Sayyidah Maimunah r.a. untuk bergerak dari menyembunyikan iman menuju kesempurnaan iman yang lebih terbuka.

Beliau r.a. segera menuju saudara kandungnya yakni Ummul Fadhal. Beliau r.a. juga menyampaikan perasaannya yaitu bersedia menjadi istri Rasulullah s.a.w. (jika beliau s.a.w. berkenan).

Ummul Fadhal membicarakan hal itu kepada suaminya, Al-Abbas. Suaminya menemui Nabi s.a.w. dan menyampaikan maksud hati Sayyidah Maimunah r.a.. Kesimpulannya: Nabi s.a.w. menerima keinginan Sayyidah Maimunah r.a. dengan mahar 400 dirham (Tabaqat Ibnu Sa’ad [VIII/133]).

Peristiwa tersebut disinggung dalam Al-Quran khususnya pada kata-kata:

إِن وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَن يَسْتَنكِحَهَا {*}

“… dan wanita-wanita mukmin yang lain, jika ia menawarkan diri kepada Nabi, jika Nabi sendiri ingin menikahinya” (QS 33/Al-Ahzab: 51).

Tafsir Singkat Editor Malik Ghulam Farid (Catatan Tafsir No. 2362) menjelaskan bahwa Ayat tersebut telah dianggap khusus menunjuk kepada Sayyidah Maimunah r.a., yang menurut riwayat telah menawarkan diri beliau r.a. untuk diperistri oleh Rasulullah s.a.w..

Perkawinan Rasulullah s.a.w. dengan Sayyidah Maimunah r.a.

Al-Istanbuli dkk. selanjutnya  menjelaskan (2009: 90) bahwa ketika sudah berlalu 3 hari sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Perjanjian Hudaibiyah, orang-orang Quraisy mengutus seseorang keada Nabi s.a.w.. mereka mengatakan, “Telah habis waktumu maka keluarlah dari kami.”

Maka Nabi s.a.w. menjawa dengan ramah, “Bagaimana menurut kalian, jika kalian biarkanku (beserta ummatku) merayakan pernikahanku di tengah-tengah kalian dan akan kami suguhkan makanan untuk kalian??!”

Maka mereka menjawab dengan kasar, “Kami tidak butuh makananmu maka keluarlah darinegeri kami” (As-Sirah [IV/296], Thabaqat Ibnu Sa’ad [VIII/138], Ath-Thabari dalam At-Tarikh [III/100] dan Al-Ishabah [VIII/192].

Sungguh ada rasa keheranan yang disembunyikan pada diri kaum Musyrikin selama Nabi s.a.w. tinggal di Mekkah, yang mana kedatangan beliau s.a.w. meninggalkan kesan yang mendalam pada banyak jiwa. Sebagai bukti, beliaulah Sayyidah Maimunah r.a. binti Al-Harits.

Beliau r.a. tidak cukup hanya menyatakan keislamannya bahkan lebih dari itu; beliau r.a. menawarkan dirinya menjadi istri Rasulullah s.a.w. sehingga membangkitkan kemarahan kaumnya.

Sebagai tindakan antisipasi maka Rasulullah s.a.w. tidak mengadakan walimatul ‘urusy di Mekkah. Beliau s.a.w. mengizinkan ummat Islam berjalan menuju Madinah. Ketika sampai di suatu tempat yang disebut “Sarfan” (10 mil dari Mekkah) maka Nabi s.a.w. memulai malam pertamanya bersama Sayyidah Maimunah r.a.. Hal itu terjadi pada bulan Syawal tahun 7 Hijriyah. Setelah itu perjalanan dilanjutkan ke Madinah.

Wafatnya Sayyidah Maimunah r.a.

Setelah Nabi s.a.w. wafat, Sayyidah Maimunah r.a. masih hidup sekitar 50 tahunan lagi. Sebagai bukti kesetiaan kepada Sang Suami s.a.w. maka beliau r.a. berpesan supaya pada waktunya nanti agar dimakamkan di tempat beliau r.a. mengadakan walimatul ‘urusy bersama Rasulullah s.a.w. (Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqat [VIII/139] dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak [IV/31]: dishahihkan dan disepakati olehAdz-Dzahabi).

Keutamaan Sayyidah Maimunah r.a.  r.a.

Sayyidah ‘Aisyah r.a. berkata setelah wafatnya Sayyidah Maimunah r.a., “Demi Allah, beliau (r.a.) adalah yang paling bertakwa di antara kami dan dan yang paling banyak bersilaturahim” (Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad [VIII/138] dan Al-Hakim [IV/32]: keduanya dari jalan Yazid bin Al-Asham).

Daftar Pustaka

Al-Istanbuli dkk., Mahmud Mahdi (2009). Mereka adalah Para Shahabiyat. Solo: 2009.

Al-Khamis, Dr. ‘Utsman bin Muhammad (2013). Inilah Faktanya: Meluruskan Sejarah Umat Islam Sejak Wafat Nabi s.a.w. hingga Terbunuhnya al-Husain r.a.. Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i.

Al-Masri, Nasy’at (1993). Nabi Suami Teladan. Jakarta: Gema Insani Press.

Ba’albaki, Munir (1982). Al-Mawrid: A Modern English_Arabic Dictionary. Beirut: Dar El-Ilm Lil-Malayen. 

Farid, Malik Ghulam (2014). Al-Qur’an dengan Terjemahan dan Tafsir Singkat. Jakarta Barat: Neratja Press.

Hashem, O (2009). Benarkah ‘Aisyah Menikah dengan Rasulullah saw. di Usia Dini? Bandung: Mizania.

Ishaq, Ibnu (2012). Sirah Nabawiyah: Sejarah Lengkap Kehidupan Rasulullah s.a.w.. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.

Khalid, Khalid Muhammad (1992). Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah. Bandung: CV Diponegoro.

Munawwir, Ahmad Warson (1997). Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif.

Salim, Muhammad Ibrahim (1993).Tokoh-tokoh Wanita di Sekitar Rasulullah saw”. Surabaya: YPI. Al-Ustadz Umar Baradja.



This post first appeared on ISLAM DAMAI, please read the originial post: here

Share the post

Memahami POLIGAMI RASULULLAH s.a.w.: Kehidupan Periode Madinah

×

Subscribe to Islam Damai

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×