Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

MENGIRINGI PERGANTIAN WAKTU DENGAN DZIKIR ILAHI

Oleh: Mln. Zafar Ahmad Khudori (Muballigh Jmt. Kebumen dsk./Jateng 2)

Allah s.w.t. berfirman dalam Surah 3/Ali ‘Imran Ayat 191:

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ

“Sesungguhnya dalam penciptaan seluruh langit dan bumi, dan pertukaran malam dan siang (wakh-tilaafil-laili wan-nahaari) …”

Tafsir Singkat Editor Malik Ghulam Farid [Catatan Tafsir No. 546] menjelaskan bahwa pelajaran yang terkandung dalam kejadian langit dan bumi dan dalam pergantian malam dan siang ialah manusia diciptakan untuk mencapai kemajuan jasmani dan rohani.

Bila ia berbuat amal saleh maka masa kegelapannya dan masa kesedihannya pasti akan diikuti oleh masa terang benderang dan kebahagian.

Selanjutnya Ayat itu menyatakan, “… sungguh terdapat Tanda-tanda bagi Ulul Albaab (orang-orang yang berakal).”

Siapakah Ulul Albaab itu? Menurut Ayat selanjutnya (Ayat 192 Surah ke-3/Ali ‘Imran), Ulul Albaab adalah orang-orang yang selalu mengingat Allah sambil berdiri, duduk dan berbaring atas rusuk mereka, dan mereka merenungkan tentang penciptaan seluruh langit dan bumi seraya berkata, “Wahai Tuhan kami, tidaklah Engkau meciptakan semua ini sia-sia, Maha Suci Engkau dari perbuatan sia-sia maka peliharalah kami dari azab Api.”

Tafsir Singkat Editor Malik Ghulam Farid [Catatan Tafsir No. 547] menjelaskan bahwa tatanan agung yang dibayangkan pada Ayat-ayat sebelumnya tidak mungkin terwujud tanpa suatu tujuan tertentu. Karena seluruh alam ini telah dijadikan untuk mengkhidmati manusia, tentu saja kejadian manusia sendiri mempunyai tujuan yang agung dan mulia pula.

Bila orang merenungkan tentang kandungan arti kerohanian yang diserap dari gejala-gejala fisik di dalam kejadian alam semesta dengan tatanan sempurna yang melingkupinya itu, ia akan begitu terkesan dengan mendalamnya oleh kebijakan luhur Sang Khaliq-nya, lalu dengan serta-merta terlompat dari dasar lubuk hatinya seruan: Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menjadikan ini sia-sia.

Jadi menurut kedua Ayat di atas, Ulul Albab-lah yang dapat menangkap Tanda-tanda Ilahi, termasuk adanya pertukaran malam dan siang (wakh-tilaafil-laili wan-nahaari) atau seperti yang kita bahas saat ini yaitu pergantian waktu: dari detik ke detik, dari menit ke menit, dari jam ke jam, dari hari ke hari, dari minggu ke minggu, dari bulan ke bulan dan akhirnya dari tahun ke tahun: warga dunia merayakan, baik Tahun Baru Masehi, Tahun Baru Hijriyah maupun Tahun Baru lainnya.

PERGANTIAN WAKTU

Info Kamus

Kata “waktu” dalam bahasa Indonesia juga digunakan dalam Al-Quran, Hadits dan Kamus Bahasa Arab: dengan sedikit perbedaan huruf “k” dalam dialek Indonesia, sedangkan dalam dialek Arab menggunakan huruf “qoof” yaitu “waktu” menjadi “waqtu”.

Dalam Kamus Bahasa Arab (Munawwir: 1997: 1573) dikatakan: waktu berasal dari kata waqota – waqtan.

Waqqota = menentukan, menetapkan waktu.

Al-Waqtu (jama’nya: auqootun) = waktu.

Fii waqtihi = pada waktunya, pada waktu yang tepat.

Al-Miiqootu = al-waqtul madhruubu = waktu/tempat yang ditetapkan, ditetapkan untuk mulai mengerjakan ibadah hajji.

Firman Allah s.w.t.; Dalam Al-Quran, kata waqtu dipakai dalam beberapa perubahan bentuk kata:

Al-Waqt = Hingga hari yang waktunya telah ditetapkan [15/Al-Hijr: 39, baca juga: 38/Shood: 82].

Li-waqtihaa = tidak ada yang dapat menampakkannya pada waktunya kecuali Dia [7/Al-A’raf: 188].

Miiqootu = maka sempurnalah waktu yang dijanjikan Tuhannya empat puluh malam [7/Al-A’raf: 143 baca juga: 26/Asy-Syu’aroo: 39, 56/Al-Waaqi’ah: 51].

Miiqootaa = Sesungguhnya Hari Keputusan itu telah ditetapkan [78/An-Naba’: 18].

Mawaaqiitu = Itu adalah sarana penentu waktu bagi manusia dan ibadah haji [2/Al-Baqarah: 190).

Miiqootuhum = Sesungguhnya Hari Keputusan itu, waktu yang telah ditetapkan untuk mereka semua [44/Adh-Dhukhaan: 41].

Li-Miiqootinaa = Dan tatkala Musa datang pada waktu yang Kami tetapkan [7/Al-A’raf: 144 baca juga: Ayat 156].

Mauquutaa = Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang telah ditentukan waktunya bagi orang-orang yang beriman [4/An-Nisaa: 104].

Sabda Nabi s.a.w.

Pada Kitab Hadits Bukhari Bab “Keutamaan shalat pada waktunya” nomor 496 disebutkan:

Telah menceritakan kepada kami Abu Al-Walid Hisyam bin ‘Abdul Malik berkata, telah menceritakan kepada kami Syu’bah berkata, telah mengabarkan kepadaku Al-Walid bin Al-‘Aizar berkata, aku mendengar Abu ‘Amru Asy-Syaibani berkata, “Pemilik rumah ini menceritakan kepada kami -seraya menunjuk rumah ‘Abdullah- ia berkata:

Aku pernah bertanya kepada Nabi s.a.w., “Amal apakah yang paling dicintai oleh Allah?”

Beliau s.a.w. menjawab, “Ash-Sholaatu ‘alaa waqtihaa” (Shalat pada waktunya).

‘Abdullah bertanya lagi, “Kemudian apa kagi?”

Beliau s.a.w. menjawab, “Kemudian berbakti kepada kedua orangtua.”

‘Abdullah bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?”

Beliau s.a.w. menjawab, “Jihad di jalan Allah.”

‘Abdullah berkata, “Beliau sampaikan semua itu, sekiranya aku minta tambah, niscaya beliau akan menambahkannya untukku.”

Analisa Ilmuwan

Menurut Mary dan John Gribbin dalam bukunya ”Ruang & Waktu” [1997: 6] menjelaskan bahwa uraian paling umum tentang waktu adalah bahwa waktu bagaikan sebuah sungai:

“arus yang senantiasa bergerak” membawa kita hanyut di dalamnya. Kita bergerak dari masa silam ke masa mendatang tanpa henti seperti sungai yang mengalir dari hulu ke hilir, dari gunung ke laut.

Kita berpikir tentang sebuah jam di satu tempat, sementara jam itu berdetak menghabiskan waktu. Untuk membawa saat ini selangkah lebih maju pada setiap saat yang ditunjukkan jam, kita senantiasa berpindah “tempat” di sepanjang sungai, kita dapat mengingat kembali peristiwa-peristiwa di masa silam, di “sebelah hulu”, tetapi kita tidak dapat mengetahui apa yang terdapat di tikungan sungai yang berikutnya, di masa mendatang.

Pencerahan Rohaniawan

Hadhrat Mirza Tahir Ahmad r.h. dalam khotbahnya tentang Asmaa’ Ilahi; (1995: 16) menjelaskan bahwa:

(Dalam kalimat) “Bismillaahir-Rohmaanir-Rohiim”: tidak ada masalah waktu.

(Dalam kalimat) “Alhamdu lillaahi Robbil ‘aalamiin”: tidak ada masalah waktu.

(Dalam kalimat) “Ar-Rohmaanir-Rohiim”: juga tidak ada masalah waktu.

(Dalam kalimat) “Maaliki Yaumid-Diin”: tidak ada masalah waktu. Dia-lah Sang Malik sejati.

Maksud kalimat: “tidak ada masalah waktu” adalah bahwa kalimat itu tidak menggunakan kata kerja (fi’l, baca: fi’il) melainkan hanya kata benda (ism baca: isim).

Dan ketika masalah manusia mulai disinggung maka barulah tampak adanya unsur waktu.

(Yaitu) “Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin”: ketika makhluk menjalin hubungan dengan Allah maka terasa bahwa Allah itu tengah bergerak dalam suatu waktu. Padahal itu sebenarnya waktu milik makhluk, yang tengah dirasakan. Sedang Allah tetap azali (tidak berpermulaan) dan abadi (tidak berkesudahan) serta tidak berubah-ubah. Tiada suatu perubahan pun terjadi pada-Nya.

Dalam kalimat, “Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin”: terdapat “kata kerja” (fi’il) yaitu na’budu (kami menyembah) dan nasta’iin (kami mohon pertolongan).

Perihal “kata benda” (ism) dan “kerja kerja” (fi’l) dalam tata bahasa Bahasa Arab, menurut Ali Aljarim dan Mustofa Amin dalam bukunya “Tata Bahasa Bahasa Arab” Jilid 1 (1988: 14) [Terjemahan Kitab “An-Nahwul Wadhih Ibtidaiyah”] bahwa:

Ism yaitu tiap-tiap lafazh yang digunakan untuk menamai: orang, hewan, tumbuh-tumbuhan, barang dan lain-lain lagi (fal-ismu: kullu lafzhin tusamma bihi insaanun aw hayawaanun aw nabaatun aw jamaadun aw ayyu syai-in aakhor).

Sedang fi’il yaitu tiap-tiap lafazh yang menunjukkan pada terjadinya perbuatan pada waktu tertentu (wal-fi’lu: kullu lafzhin yadullu ‘ala hu-shuulin ‘amalin fii zamaanin khoosh).

Asmaa’

Tafsir Singkat Editor Malik Ghulam Farid [Catatan Tafsir No. 2 QS 1/Al-Fatihah: 1] yaitu “aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang” menjelaskan bahwa ism mengandung arti: nama atau sifat [Aqrab].

Di sini kata itu dipakai dalam kedua pengertian tersebut. Kata; itu menunjuk kepada Allah s.w.t., nama wujud Tuhan; dan kepada Ar-Rahman (Maha Pemurah) dan Ar-Rahim (Maha Penyayang), keduanya nama sifat Tuhan.

Nama Wujud

Tafsir Singkat Editor Malik Ghulam Farid [Catatan Tafsir No. 3 QS 1/Al-Fatihah: 1] menjelaskan bahwa Allah s.w.t. itu nama zat Maha Agung, Pemilik Tunggal semua sifat kesempurnaan dan sama sekali bebas dari segala kekurangan. Dalam bahasa Arab kata Allah s.w.t. itu tidak pernah dipakai untuk benda atau zat lain apa pun.

Tiada bahasa lain memiliki nama tertentu atau khusus untuk Zat Yang Maha Agung itu. Nama-nama yang terdapat dalam bahasa-bahasa lain, semuanya nama-petunjuk-sifat atau nama pemerian (pelukisan) dan seringkali dipakai dalam bentuk jamak; akan tetapi, kata Allah s.w.t. tidak pernah dipakai dalam bentuk jamak.

Kata Allah s.w.t. itu ism dzat, tidak musytak, tidak diambil dari kata lain, dan tidak pernah dipakai sebagai karangan atau sifat. Karena tiada kata lain yang sepadan maka nama Allah s.w.t. dipergunakan di seluruh terjemahan Ayat-ayat Al-Quran.

Pandangan ini didukung oleh para alim bahasa Arab terkemuka. Menurut pendapat yang paling tepat, kata Allah s.w.t. itu, nama wujud bagi Zat yang wajib ada-Nya menurut Zat-Nya sendiri, memiliki segala sifat kesempurnaan, dan huruf al tidak dipisahkan dari kata itu [Lane].


Nama Sifat

Tafsir Singkat Editor Malik Ghulam Farid [Catatan Tafsir No. 4 QS 1/Al-Fatihah: 1] menjelaskan bahwa Ar-Rahman (Maha Pemurah) dan Ar-Rahim (Maha Penyayang) keduanya berasal dari akar yang sama.

Rahima artinya: ia telah menampakan kasih-sayang; ia ramah dan baik; ia memaafkan, mengampuni. Kata Rahmah menggabungkan arti riqqah yaitu kehalusan dan ihsan yaitu kebaikan [Mufradat].

Ar-Rahman dalam wazan (ukuran) fa’lan, dan Ar-Rahim dalam ukuran fa’il. Menurut kaidah tatabahasa Bahasa Arab, makin banyak jumlah ditambahkan pada akar kata, makin luas dan mendalam pula artinya [Kasysyaf].

Ukuran fa’lan membawa arti kepenuhan dan keluasan, sedang ukuran fa’il menunjuk kepada arti ulangan dan [Muhith].

Jadi, di mana kata Ar-Rahman menunjukan “kasih sayang meliputi alam semesta”, kata Ar-Rahim berarti “kasih sayang yang ruang lingkupnya terbatas, tetapi berulang-ulang ditampakkan.” Menggingat arti-arti di atas, Ar-Rahman itu Dzat Yang Menampakkan kasih sayang dengan cuma-cuma dan meluas kepada semua makhluk tanpa pertimbangan usaha atau amal; dan Ar-Rahim itu Dzat Yang menampakkan kasih sayang sebagai imbalan atas amal perbuatan manusia, tetapi menampakkannya dengan murah dan berulang-ulang.

Kata Ar-Rahman hanya dipakai untuk Tuhan, sedang Ar-Rahim dipakai pula untuk manusia.

Ar-Rahman tidak hanya meliputi orang-orang mukmin dan kafir saja, tetapi juga seluruh makhluk. Ar-Rahim terutama tertuju pada mukmin saja.

Menurut Sabda Rasulullah s.a.w., sifat Ar-Rahman umumnya bertalian dengan kehidupan di dunia ini, sedang sifat Ar-Rahim umumnya bertalian dengan kehidupan yang akan datang [Muhith].

Artinya, karena dunia ini pada umumnya adalah dunia perbuatan, dan karena alam akhirat itu suatu alam tempat perbuatan manusia akan diganjar dengan cara istimewa maka sifat Tuhan Ar-Rahman menganugerahi manusia alat dan bahan, untuk melaksanakan pekerjaannya dalam kehidupan di dunia ini, dan Sifat Tuhan Ar-Rahim mendatangkan hasil dalam kehidupan yang akan datang.

Segala benda yang kita perlukan dan atas itu kehidupan kita bergantung adalah semata-mata karunia Ilahi dan sudah tersedia untuk kita, sebelum kita berbuat sesuatu yang menyebabkan kita layak menerumahnya, atau bahkan sebelum kita dilahirkan; sedang karunia yang tersedia untuk kita dalam kehidupan yang akan datang, akan dianugerahkan kepada kita sebagai ganjaran atas amal perbuatan kita.

Hal itu menunjukkan bahwa Ar-Rahman itu pemberi karunia yang mendahului kelahiran kita, sedang Ar-Rahim itu pemberi nikmat-nikmat yang mengikuti amal perbuatan kita sebagai ganjaran.

DZIKIR ILAHI

Seperti difirman QS 3/Ali ‘Imran Ayat 191-192: “Sesungguhnya dalam penciptaan seluruh langit dan bumi, dan pertukaran malam dan siang (wakh-tilaafil-laili wan-nahaari), sungguh terdapat Tanda-tanda bagi Ulul Albaab (orang-orang yang berakal) yaitu orang-orang yang selalu mengingat Allah sambil berdiri, duduk dan berbaring atas rusuk mereka, dan mereka merenungkan tentang penciptaan seluruh langit dan bumi seraya berkata, “Wahai Tuhan kami, tidaklah Engkau meciptakan semua ini sia-sia, Maha Suci Engkau dari perbuatan sia-sia maka peliharalah kami dari azab Api.”

Bahwa Ulul Albab itu akan mengiringi pergantian waktu dengan berdzikir Ilahi yaitu orang-orang yang selalu mengingat Allah sambil berdiri, duduk dan berbaring atas rusuk mereka, dan mereka merenungkan tentang penciptaan seluruh langit dan bumi.

Apakah Dzikir Ilahi itu?

Menurut Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a. dalam bukunya “Dzikir Ilahi” [2013: 3] arti kata dzikir ialah mengingat. Jadi dzikir Ilahi berarti mengingat Allah. Dzikir Ilahi dikatakan kepada cara mengingat Allah. Yakni menghadirkan di muka kita gambaran sifat-sifat Allah Ta’ala; menyebut sifat-sifat (Allah) dengan mulut berulangkali mengungkapkan sifat-sifat itu dan dalam lubuk hati, dan mengkaji kekuatan-kekuatan-Nya serta kekuasaan-kekuasan-Nya. Itulah dzikir Ilahi.

Keutamaan Dzikir Ilahi

Berikut ini beberapa firman Allah s.w.t. tentang Dzikir Ilahi:

QS 29/Al-Ankabut: 46.

اتْلُ مَآأُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلاَةَ إِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ وَاللهُ يَعْلَمُ مَاتَصْنَعُونَ {*}

Bacakanlah apa yang diwahyukan kepada engkau dari kitab Al-Quran dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat mencegah dari kekejian dan kemungkaran. Dan sesungguhnya mengingat Allah adalah perkerjaan yang lebih besar (wa-la-dzikrulaahi akbar). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

QS 76/Al-Insan: 26.

وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ بُكْرَةً وَأَصِيلاً {*}

Dan ingatlah nama Tuhan engkau (wadz-kurisma robbika) pada waktu pagi dan petang.

QS 63/Al-Munafiqun: 10.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلآأَوْلاَدُكُمْ عَن ذِكْرِ اللهِ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ {9}

Hai, orang-orang yang beriman! Janganlah melalaikan kamu hartamu dan anak-anakmu dari berzikir kepada Allah (‘an dzikrillaah), dan barangsiapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.

QS 33/Al-Ahzab: 42-43.

يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اذْكُرُوا اللهَ ذِكْرًا كَثِيرًا {41} وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلاً {42}

Hai orang-orang yang beriman! Ingatlah kepada Allah sebanyak-banyaknya (Yaa ayyuhal-la-dziina aamanudz-kurulaaha dzikron ka-tsiiroo). Dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang.

Berikut ini juga beberapa sabda Rasulullah s.a.w. tentang Dzikir Ilahi:

Diriwayatkan oleh Abu Musa Al-Asy’ari bahwa Nabi s.a.w. bersabda, “Tamsil orang yang mengingat Tuhan-nya (yadz-kuru robbahu) dan orang yang tidak mengingat-Nya (laa yadz-kuru robbahu)adalah tak ubahnya seperti orang hidup dan orang mati.

Tiada suatu kaum yang duduk sambil berdzikir kepada Allah melainkan para malaikat mengitari mereka” [Shahih Al-Bukhari, Kitaab Ad-Da’waat, Baab Fadhl Dzikrullaah].

Dalam riwayat Tirmidzi, Abu Darda’ r.a. mengatakan bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda kepada para sahabat, “Wahai sahabat-sahabatku, tidakkah harus kusampaikan berita tentang sesuatu yang lebih baik dan paling disukai daripada segala sesuatu dan lebih baik dan lebih disukai daripada membelanjakan emas dan perak serta lebih baik daripada pergi berjihad –membunuh musuh atau dirinya yang syahid.

Para sahabat bertanya, “Apakah itu?” Rasulullah s.a.w. bersabda, “Itulah dzikir Ilahi” (Dzikrulloohi Ta’aalaa) [Tirmidzi, Abwaab Ad-Da’waat, Baab Maa Jaa-a Fadhludz-Dzikr].

Empat Cara Berdikir Ilahi

Menurut Al-Quran, Dzikir Ilahi itu ada 4:

Shalat

QS 20/Tha Ha: 15:

إِنَّنِى أَنَا اللهُ لآإِلَهَ إِلآأَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِي {*}

“Sesungguhnya, Aku Allah; tiada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku, dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku (wa aqimish-sholaata li-dzikrii).”

QS 2/Al-Baqarah: 240:

فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالاً أَوْ رُكْبَانًا فَإِذَآ أَمِنتُمْ فَاذْكُرُوا اللهَ كَمَا عَلَّمَكُم مَّالَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ {239}

Dan, jika kamu dalam keadaan takut maka shalatlah sambil berjalan kaki atau berkendaraan; dan apabila kamu telah aman maka ingatlah Allah (fadz-kurullooha) sebagaimana Dia telah mengajarkan kepadamu apa yang belum ketahui.

Membaca Al-Quran

QS 15/Al-Hijr: 10:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ {*}

Sesungguhnya, Kami Yang telah menurunkan Peringatan (Adz-Dzikro/Al-Quran) ini, dan sesungguhnya Kami baginya adala Pemelihara.

QS 21/Al-Anbiya’: 51:

وَهَذَا ذِكْرٌ مُّبَارَكٌ أَنزَلْنَاهُ أَفَأَنتُمْ لَهُ مُنكِرُونَ {*}

Dan ini adalah peringatan penuh berkat (Dzikrum-Mubaarokun) yang telah Kami turunkan. Maka apakah kamu masih mengingkarinya?

Menyebut Sifat-sifat Allah dengan lisan secara pribadi

QS 4/An-Nisa’: 104:

فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلاَةَ فَاذْكُرُوا اللهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَّوْقُوتًا {*}

Dan, apabila kamu telah selesai mengerjakan shlalat itu maka ingatlah kepada Allah (fadz-kurulooha) sambil berdiri dan sambil duduk dan sambil berbaring atas rusukmu dan apabila kamu telah merasa aman dari bahaya, dirikanlah shalat sebagaimana seharusnya. Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang telah ditentukan waktunya bagi orang-orang mukmin.

QS 24/An-Nur: 38:

رِجَالُُ لاَّتُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلاَبَيْعٌ عَن ذِكْرِ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَآءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَاْلأَبْصَارُ {*}

Orang-orang lelaki yang tidak melalaikan mereka perniagaan dan tidak pula jual-beli dari mengingat Allah (an dzikrillaah) dan mendirikan shalat dan membayar zakat. Mereka takut pada hari, ketika terbalik di dalamnya hati dan mata.

Menyebut Sifat-sifat Allah dengan lisan secara bersama

QS 74/Al-Muddatstsir: 2-8:

2. Wahai orang yang memakai jubah.

3. Bangkitlah dan peringatkanlah (fa-an-dzir),

4. Dan Tuhan engkau hendaknya diagungkan.

5. Dan sucikanlah orang-orang yang tinggal bersama engkau.

6. Dan syirik hendaknya dihapuskan,

7. Dan janganlah engkau melakukan kebaikan dengan niat meraih keuntungan lebih banyak.

8. Dan untuk Tuhan engkau, maka bersabarlah.

BUAH DZIKIR ILAHI ADALAH BERBUAH IHSAN TERHADAP SESAMA MAKHLUK


“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun; dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat, tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri” [QS Al-Nisaa’: 37].

KESIMPULAN DAN UCAPAN SELAMAT SERTA DO’A

Kesimpulan:

Masyarakat dunia (umumnya) memiliki tradisi merayakan Tahun Baru secara duniawi.

Kecenderungan mayoritas kecenderungan duniawi tersebut juga mempengaruhi masyarakat keagamaan. Masyarakat keagamaan akan lebih “adem” jika dapat kembali kepada ajaran agamanya masing-masing.Adapun masyarakat Islam (khususnya) dapat kembali kepada Ajaran Dasarnya yaitu petunjuk Kitab Suci Al-Quran dan teladan Rasulullah s.a.w..

Menurut Al-Quran dan Hadits kita dapat mengiringi setiap pergantian waktu (baik itu: harian, mingguan, bulanan dan tahunan) dengan berdzikir Ilahi yaitu: Shalat fardhu 5 waktu khususnya dan shalat-shalat-shalat sunnah dan nafal lainnya. Tilawat Al-Quran setiap hari, khususnya pada waktu Fajar (Subuh). Berdzikir Ilahi (meyebut-nyebut nama sifat Allah s.w.t.) baik secara pribadi. Dzikir Ilahi (ibadah kepada Allah s.w.t.) akan membuahkan ihsan (berbuat baik) terhadap sesama makhluk.

Ucapan Selamat dan Do’a

“Selamat Tahun Baru” … “Mubarak” kepada semuanya. Semoga Allah Ta’ala semata-mata dengan karunia-Nya menjadikan tahun ini lebih banyak mendapat rahmat, berkat-berkat dan karunia-Nya bagi kita dibandingkan tahun-tahun sebelumnya (Hadhrat Mirza Masroor Ahmad: 3/1/2014).

*Penulisan nomor ayat Alqur’an dalam makalah ini mengikuti mushaf yang basmallahnya diberi nomor ayat pertama, seperti dalam surat Al-Fatihah.

Daftar Pustaka:

- Ahmad r.a.,Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud [2013]. Dzikir Ilahi. Jakarta: Neratja Press.

- Ahmad a.t.b.a., Hadhrat Mirza Masroor. 2015. Kompilasi Khotbah Jumat Waqf-e-Jadid Tahun 2010-2014. Bogor: Jemaat Ahmadiyah Indonesia.

- Ahmad r.h., Hadhrat Mirza Tahir (1995). Asmaa Ilahi lam. Bogor: Jemaat Ahmadiyah Indonesia.

- Aljarim, Ali dan Mustofa Amin (1988). Tata Bahasa Bahasa Arab Jilid 1[Terjemahan Kitab “An-Nahwul Wadhih Ibtidaiyah”]. Bandung: PT. Alma’arif.

- Farid, Malik Ghulam. 2014. Al-Qur’an Terjemahan dan Tafsir Singkat. Jakarta: Neratja Press.

- Mary dan John Gribbin. 1997. Ruang & Waktu. Jakarta: Balai Pustaka.

- Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif.



This post first appeared on ISLAM DAMAI, please read the originial post: here

Share the post

MENGIRINGI PERGANTIAN WAKTU DENGAN DZIKIR ILAHI

×

Subscribe to Islam Damai

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×