Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Tatacara "Mandi Wajib" / Mandi Junub/Mandi Besar Yang Benar Menurut Islam

Tags: mandi

(LENGKAP) TATACARA “MANDI WAJIB” /MANDI JUNUB/MANDI BESAR YANG BENAR MENURUT ISLAM :  Kenapa harus “mandi wajib”? | Hal-hal yang menyebabkan Mandi janabah (Keluar mani karena syahwat, mimpi basah, bertemunya alat kemaluan, Suci dari haidh, nifas, masuk Islam, memandikan mayat) | Bacaan, Do’a, Niat Mandi Besar/Mandi Wajib

Anda tentu setiap hari mandi, bukan? Jika Anda tidak mandi tentu badan menjadi bau dan tidak enak. Tapi tahukah Anda bahwa mandi itu ada yang wajib.Namanya mandi wajib. Apa itu mandi wajib? Mandi wajib atau janabah, atau junub adalah mandi yang dilakukan ketika kita mengalami mimpi basah atau habis bersenggama. Nah, pada saat seperti inilah kita diwajibkan untuk mandi wajib/janabah. Lalu, bagaimanakah?  Lihat pembahasan selengkapnya berikut ini yang ditulis oleh Al-Ustadz Lukman Jamal,Lc : 

Defenisi Mandi Janabah

Definisi Mandi :
Al-Ghuslu (Mandi) secara bahasa adalah kata yang tersusun dari tiga huruf yaitu ghain, sin dan lam untuk menunjukkan sucinya sesuatu dan bersihnya. (Lihat Mu’jam Maqayis Al-Lughoh 4/424).
Al-Ghuslu adalah mengalirnya air pada sesuatu secara mutlak. (Lihat : As-Shihah 5/1781-1782, Lisanul ‘Arab 11/454, Mufradat Al-Ashfahany hal. 361 dan AN-Nihayah Fii Ghoribul Hadits 3/367).
Dan Al-Ghuslu secara istilah adalah menyiram air ke seluruh badan secara khusus. (Lihat Ar-Raudh Al-Murbi’ 1/26, Mu’jam Lughatul-Fuqaha` : 331 )

Kata Ibnu Hajar : Hakikat mandi adalah mengalirkan air pada anggota-anggota tubuh.( Lihat: Fathul Bary :1/359)
Definisi Janabah :
Janabah secara bahasa adalah Al-Bu’du (yang jauh). Sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala :
وَالْجَارِ الْجُنُبِ
“Dan tetangga yang junub (jauh)”. (QS. An-Nisa` : 36)

Dan juga dalam firman-Nya yang Maha agung :
فَبَصَرَتْ بِهِ عَنْ جُنُبٍ وَهُمْ لاَ يَشْعُرُوْنَ
“Maka Ia (saudara perempuan Nabi Musa) melihatnya dari junub (jauh) sedangkan mereka tidak mengetahuinya”. (QS. Al-Qoshash : 11)

Adapun secara istilah adalah orang yang wajib atasnya mandi karena jima’ atau karena keluar mani. (Lihat : Al-I’lam 2/6-9, Ihkamul Ahkam 1/356 dan Tuhfatul Ahwadzy 1/349)

Hukum Mandi Janabah

Mandi Janabah adalah wajib berdasarkan dalil dari Al-Qur`an, Sunnah dan Ijma’.
Adapun dari Al-Qur`an, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبٍا فَاطَّهَّرُوْا
“Dan jika kalian junub maka mandilah”. (QS. Al-Ma`idah : 6)

Dan juga Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :
وَلاَ جُنُبٍا إِلاَّ عَابِرِيْ سَبِيْلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوْا
“Dan jangan pula (dekati sholat) sedang kalian dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kalian mandi”. (QS. An-Nisa` : 43)

Adapun dari sunnah, akan datang beberapa hadits dalam pembahasan yang menunjukkan tentang wajibnya mandi janabah.
Adapun Ijma’ telah dinukil oleh Imam An-Nawawy dalam Syarah Shohih Muslim 3/220.

Hal-hal yang mewajibkan mandi

Berikut ini beberapa perkara yang apabila seorang muslim melakukannya maka wajib atasnya untuk mandi.

Satu : Keluarnya mani dengan syahwat.

Baik pada laki-laki atau perempuan, dalam keadaan tidur maupun terjaga. Dan para ulama telah bersepakat tentang wajibnya mandi dengan keluarnya mani,sebagaimana yang dinukil oleh Imam Muhammad bin Jarir Ath-Thobary sebagaimana dalam Al-Majmu’ 2/158, Ibnu Hazm dalam Maratibul Ijma’ hal. 21, An-Nawawy dalam Syarah Shohih Muslim 4/36 dan Imam Asy-Syaukany dalam Ad-Darary Al-Mudhiyah 1/47.
Dan ada beberapa dalil yang menunjukkan tentang hal tersebut, diantaranya :
1. Hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata :
جَاءَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ اللهَ لاَ يَسْتَحْيِيْ مِنَ الْحَقِّ فَهَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ مِنَ الْغُسْلِ إِذَا هِيَ احْتَلَمَتْ ؟ فَقاَلَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ : نَعَمْ إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ
“Ummu Sulaim datang kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam kemudian berkata : Wahai Rasulullah sesungguhnya Allah tidak malu dari kebenaran, maka apakah wajib atas seorang wanita untuk mandi bila dia bermimpi ?. Maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menjawab : Iya bila ia melihat air (mani-pen.)” (HSR. Bukhary-Muslim).
Sisi pendalilannya : sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mewajibkan mandi kepada wanita jika keluar air (mani-pen) dan hukum terhadap laki-laki sama. (Lihat Fathul bary :1/462, Ihkamul ahkam : 1/100)
2. Hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
إِنَّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ
“Air itu hanyalah dari air”. (HSR. Bukhary-Muslim).
Maksud dari air yang pertama adalah air untuk mandi wajib sedangkan air yang kedua adalah air mani, maka maknanya adalah air untuk mandi itu wajib karena keluarnya air mani.
Faedah :
1. Kalau seorang mimpi tetapi tidak mendapati mani, maka tidak wajib mandi menurut kesepakatan para ulama sebagaimana dinukil oleh Ibnu Mundzir dalam kitabnya; Al-Ijma’ (34) dan Al-Ausath 2/83. Dan lihat pula Al-Majmu’ 2/162.
2. Kalau seseorang terjaga dari tidur kemudian dia mendapatkan cairan dan tidak bermimpi maka dia wajib mandi, karena hadits Aisyah radhiyallhu ‘anha beliau berkata :
سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ عَنْ الرَّجُلِ يَجِدُ بَلَلَ وَلاَ يَذْكُرُ إِحْتِلاَمًا قَالَ : يَغْتَسِلُ. وَعَنْ الرَّجُلِ يَرَى أَنَّهً قَدِ احْتَلَمَ وَلاَ يَجِدُ الْبَلَلَ قَالَ : لاَ غُسْلَ عَلَيْهِ
“Rasulullah ditanya tentang seseorang yang mendapatkan bekas basahan dan dia tidak menyebutkan bahwa dia mimpi, beliau menjawab : Wajib mandi. Dan (beliau juga ditanya) tentang seseorang yang menganggap bahwa dirinya mimpi tapi tidak mendapatkan basahan, beliau menjawab : Tidak wajib atasnya untuk mandi”. (HR. Abu Daud no. 236, At-Tirmidzy no. 112 dan Ibnu Majah no. 612 dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Shohih At-Tirmidzy).
Dan juga dalam hadits Ummu salamah di atas :
فَقَالَ: نَعَمْ إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ
“(Rasulullah) menjawab : ” Iya bila ia melihat air (mani-pen.)”.
3. Kalau keluar mani tanpa syahwat seperti karena kedinginan atau sakit maka tidak wajib mandi.
Hal ini berdasarkan Hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu :
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِذَا حَذَفْتَ فَاغْتَسِلْ مِنَ الْجَنَابَةِ فَإِذَا لَمْ تَكُنْ حَاذِفًا فَلاَ تَغْتَسِلْ. وَفِيْ لَفْظٍ آخَرَ : فَإِذَا رَأَيْتَ فَضْحَ الْمَاءِ فَاغْتَسِلْ. وَفِيْ لَفْظٍ آخَرَ : فَإِذَا فَضَحْتَ الْمَاءَ فَاغْتَسِلْ.
“Sesungguhnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : Jika kamu memancarkan mani dengan kuat) maka mandilah dari janabah dan jika tidak, maka tidak wajib mandi. Dan dalam lafazh yang lain : “Jika kamu melihat mani yang memancar dengan kuat maka mandilah”. Dan dalam lafazh yang lain : “Jika kamu memancarkan mani dengan kuat maka mandilah”. (HR. Ahmad 1/107, 109, 125, Abu Daud 206 dan An-Nasa`i 1/93 dan dishohihkan oleh Ahmad Syakir dan Syeikh Al-Albany rahimahumullah dalam Al-Irwa` 1/162).
Sisi pendalilan : Yaitu Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dalam hadits ini mensyaratkan فَضْحُ الْمَاءِ untuk wajibnya mandi sedangkan فَضْحٌ adalah keluarnya air dengan kuat.
Kata Ibnu Manzhur dalam Lisanul Arab : 3/46 فَضْحُ الْمَاءِ adalahدَفْقُهُ (memancar). Dan kata Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 1/267 : اَلْفَضْحُ خُرُوْجُهُ عَلَى وَجْهِ الشِّدَّةِ(Keluarnya air mani dengan cara yang kuat).
Ini menunjukkan bahwasanya jika mani keluar tidak dengan syahwat maka tidak wajib mandi, sebab mani itu dapat keluar dengan kuat dan memancar dan hal tersebut tidaklah terjadi kecuali kalau keluarnya dengan syahwat. Ini adalah pendapat Jumhur, Abu Hanifah, Malik dan Ahmad dan dikuatkan oleh Ahli Fiqh zaman ini Syeikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah. (Lihat : Nailul Authar 1/258 dan Asy-Syarah Al-Mumti’ 1/386-387.)
Dua : Bertemunya dua khitan (kemaluan) walaupun tidak keluar mani.
Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

إِذَا جَلَسَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ شُعُبِهَا الْأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ وَفِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ
“Apabila seseorang duduk antara empat bagiannya (tubuh perempuan) kemudian ia bersungguh-sungguh[1] maka telah wajib atasnya mandi. Dan salah satu riwayat dalam Shohih Muslim “walaupun tidak keluar”. (HSR. Bukhary-Muslim)
Kata Imam An-Nawawy dalam Syarh Shohih Muslim 4/40-41 : Makna hadits ini bahwasanya wajibnya mandi tidak terbatas hanya pada keluarnya mani, tetapi kapan tenggelam kemaluan laki-laki dalam kemaluan wanita maka wajib atas keduanya untuk mandi.
Kata Imam Al-Baghawy dalam Syarhus Sunnah 2/6 : Dan kebanyakan ulama beramal dengan hadits ini demikian pula yang datang sesudahnya, bahwa siapa yang menggauli istrinya pada kemaluannya maka wajib mandi atas keduanya walaupun tidak keluar mani.
Faedah :
Adapun hadits Abu Sa’id sebelumnya yang membatasi mandi hanya ketika keluar mani adalah hadits yang telah dimansukh (terhapus) hukumnya dalam jima’ oleh hadits Abu Hurairah ini dengan konteks lafazh yang tegas “walaupun tidak keluar”.
Berkata Imam An-Nawawy rahimahullah : Adapun hadits “Air itu hanyalah dari air”, jumhur shahabat dan yang setelah mereka menyatakan bahwa ia telah dimansukh dan mansukh yang mereka maksudkan adalah bahwa mandi karena melakukan jima tanpa keluar mani telah gugur (hukumnya) dan kemudian menjadi wajib. (Lihat Syarah Muslim 4/36).
Dan hal ini diperjelas oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu :
إِنَّمَا كَانَ الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ رُخْصَةً أَوَّلَ الْإِسْلاَمِ ثُمَّ أُمِرْنَا بِالْإِغْتِسَالِ بَعْدُ
“Sesungguhnya mandi dengan keluarnya air mani adalah rukhshoh (keringanan) pada awal Islam kemudian kami diperintahkan untuk mandi sesudah itu” (HR. Ahmad 5/115-116, Abu Daud no. 215, At-Tirmidzy no. 111 dan beliau berkata : Hadits ini Hasan Shohih. Dan dishohihkan oleh Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’ 2/155 dan Al-Albany dalam Shohih At-Tirmidzy 1/34 dan Syeikh Muqbil dalam Al-Jami’ Ash-Shohih 1/541).
Kata Ibnu Mundzir : Ini adalah pendapat semua orang yang kami hafal darinya dari ahli fatwa dari ulama-ulama negeri dan saya tidak mengetahui sekarang adanya khilaf dikalangan ahli ilmu. (Al-Ausath 2/81)

Tiga : Perempuan yang suci dari Haid dan Nifas.

Adapun haid, dalil-dalilnya sebagai berikut :
a. Firman Allah Ta’ala
فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ
“Jika mereka telah suci maka datangilah mereka sesuai dengan apa yang Allah perintahkan kepada kalian “. (QS. Al-Baqarah : 222).
Kata Imam An-Nawawy : Sisi pendalilan dari ayat adalah bolehnya suami menjima’ isteri-isterinya (atau budaknya) dan tidaklah boleh yang demikian kecuali dengan mandi, dan apa-apa yang tidak sempurna kewajiban kecuali dengannya, maka perkara itu wajib. Al-Majmu’ 2/168.
b. Hadits ‘Aisyah tatkala Nabi berkata kepada Fatimah binti Abi Hubeisy :
إِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلاَةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِيْ وَصَلِّي
“Jika waktu haid datang maka tinggalkanlah sholat dan jika telah selesai maka mandilah dan sholatlah”. (HR. Bukhary-Muslim).

c. Ijma’
Kata Imam An-Nawawy : Ulama telah sepakat tentang wajibnya mandi karena sebab haid dan sebab nifas dan di antara yang menukil ijma’ pada keduanya adalah Ibnu Mundzir dan Ibnu Jarir dan selainnya (Majmu’ 2/168).
Kata Ibnu Qudamah : tidak ada khilaf tentang wajibnya mandi karena haid dan nifas (Al-Mughny 1/277).
Dan Ibnu Hazm juga menukil ijma’ dalam Maratibul Ijma’ : 21, dan Imam Asy-Syaukany dalam Ad-Darary Al-Mudhiyah 1/48.
Adapun Nifas, dalilnya adalah Ijma’ sebagaimana telah dinukil oleh An-Nawawy dan Ibnu Qudamah diatas, juga telah dinukil ijma’ oleh Ibnu Mundzir dalam Al-Ausath 2/248.
Kata Ibnu Qudamah : Nifas sama dengan haid karena sesunguhnya darah nifas adalah darah haid, karena itu ketika seorang wanita hamil maka dia tidak haid sebab darah haid tersebut dialihkan menjadi makanan janin. Maka tatkala janin tersebut keluar, maka keluar juga darah karena tidak ada pengalihannya maka dinamakan nifas. (Lihat Al-Mughny: 1/277).
Kata Asy-Syirazy : Adapun darah nifas maka mewajibkan mandi karena sesungguhnya itu adalah haid yang terkumpul, dan diharamkan puasa dan jima’ dan gugur kewajiban sholat maka diwajibkan mandi seperti haid (lihat Al-Majmu’: 2/167)

Empat : Orang kafir yang masuk Islam.

Apakah dia kafir asli atau murtad, ia telah mandi biasa sebelum islamnya atau tidak, didapatkan darinya pada zaman kekafirannya apa-apa yang mewajibkan mandi atau tidak.
Dalil-dalilnya :
a. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim tentang kisah Tsumamah bin Utsal radhiyallahu ‘anhu yang sengaja mandi[2] kemudian menghadap kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam untuk masuk Islam. b. Hadits Qois bin A’shim radhiyallahu ‘anhu :

أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ أُرِيْدُ الإِسْلاَمَ فَأَمَرَنِيْ أَنْ أَغْتَسِلَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ
“Saya mendatangi Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam untuk masuk Islam maka Nabi memerintahkan kepadaku untuk mandi dengan air dan daun bidara”. (HR. Ahmad 5/61, Abu Daud no. 355, An-Nasa`i 1/91, At-Tirmidzy no. 605 dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Shohih At-Tirmidzy 1/187).
Sisi pendalilannya : bahwasanya ini adalah perintah dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Dan asal dari perintah menunjukkan hukum wajib kecuali kalau ada dalil lain yang menurunkan derajatnya. Wallahu A’lam.
Dan ini adalah pendapat Imam Ahmad, Malik, Abu Tsaur, Ibnul Mundzir, Asy-Syaukany, dan lain-lainnya.
Lihat Al-Mughny 1/275, As-Sailul Jarrar 1/123, Ma’alim As-Sunan 1/252 dan lain-lain.

Lima : Meninggal (mati)

Maksudnya wajib bagi orang yang hidup untuk memandikan orang yang meninggal.
Adapun dalil-dalilnya :
(1) Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang orang yang jatuh dari ontanya dan meninggal, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
اغْسِلُوْهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفِّنُوْهُ فِي ثَوْبَيْنِ.
“Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara dan kafanilah dengan dua baju”. (HR. Bukhary-Muslim).
(2) Hadits Ummu ‘Athiyah tatkala anak Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam meninggal, beliau bersabda :
اغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ سَبْعًا أَوْ أَكْثَرَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ
“Mandikanlah dia tiga kali atau lima atau tujuh atau lebih jika kalian melihatnya dengan air dan daun bidara”. (HR. Bukhary-Muslim).
******

Tata Cara (Sifat Mandi)

Tata cara mandi junub terbagi atas 2 cara :
1) Cara yang sempurna/yang terpilih.
2) Cara yang mujzi` (yang mencukupi/memadai)
(Lihat Al-Mughny :1/287, Al-Majmu’ : 2/209, Al-Muhalla: 2/28, dan lain-lain.)
Faedah:

Kata Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah : batasan antara cara yang sempurna dengan yang cukup adalah apa-apa yang mencakup wajib maka itu sifat cukup, dan apa-apa yang mencakup wajib dan sunnah maka itu sifat sempurna. (Lihat As-Syarh Al-Mumti’ : 1/414).
Adapun tata cara yang mujzi` :

1. Niat.

Karena niat adalah syarat sahnya seluruh ibadah, sebagaimana sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung dengan niat dan sesungguhnya setiap orang sesuai dengan apa yang dia niatkan”. (HR. Bukhary-Muslim dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu)
Faidah :
a. Kata Ibnu Abdil Bar : Pendapat yang shohih (benar) adalah tidak sah thoharah (bersuci) kecuali dengan niat dan maksud, karena sesungguhnya kewajiban-kewajiban tidaklah bisa ditunaikan kecuali bermaksud menunaikannya dan tidak dinamakan pelaku yang hakiki (sesungguhnya) kecuali ada maksud darinya untuk perbuatan tersebut dan mustahil seseorang akan menunaikan sesuatu yang tidak dia maksudkan untuk menunaikannya dan berniat untuk mengerjakannya. (At-Tamhid 2/283)
b. Kata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah : Niat itu ada dua :
Pertama : Niat untuk mengamalkan suatu amalan dan itulah yang dibicarakan oleh para fuqaha` karena niat itu yang menshohihkan amalan.
Kedua : Niat untuk siapa amalan ditujukan dan inilah yang dibicarakan oleh ulama Tauhid karena hal tersebut berkaitan dengan keikhlasan.
Misalnya : ketika seorang ingin mandi (junub-pent) dia berniat mandi, maka inilah yang dinamakan niat amalan. Akan tetapi jika dia berniat mandi untuk mendekatkan diri kepada Allah karena ta’at kepadanya, maka inilah yang dinamakan niat untuk siapa amalan itu ditujukan, yaitu mencari wajah-Nya yang Maha Suci. Dan yang terakhir ini yang kebanyakan diantara kita lalai darinya, kita tidak menghadirkan niat untuk taqarrub (mendekatkan diri). Kebanyakan kita mengerjakan ibadah karena kita diharuskan untuk melaksanakannya, maka kita meniatkannya untuk menshohihkan amalan, maka ini adalah kekurangan. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman tatkala menyebutkan amalan :
إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَى
“Kecuali mencari wajah Rabbnya yang Maha Tinggi “.( QS. Al-Lail : 20 )
وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ
“Dan orang-orang yang sabar mencari wajah Rabb mereka “. (QS. Ar-Ra’du : 22)
يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا
“Mencari keutamaan dari Allah dan ridho-Nya” . (QS. Al-Hasyr : 8)
(Lihat : Syarh Mumti’ 1/417).

2. Menyiram kepala sampai ke dasar rambut dan seluruh anggota badan dengan air.

Dalil-dalilnya :
1) Firman Allah Ta’ala :
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
“Dan jika kalian junub maka bersucilah”. (QS. Al-Ma`idah : 6).
Kata Ibnu Hazm : Bagaimanapun caranya dia bersuci (mandi-Pent) maka dia telah menunaikan kewajibannya yang Allah wajibkan padanya (Lihat Al-Muhalla : 2/28)
2) Hadits Jubair bin Muth’im radhiyallahu ‘anhu :
قَالَ تَذَاكَرْنَا غُسْلَ الْجَنَابَةِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : أَمَا أَنَا فَيَكْفِيْنِيْ أَنْ أُصُبُّ عَلَى رَأْسِيْ ثَلاَثًا ثُمَّ أَفِيْضُ بَعْدُ عَلَى سَائِرِ جَسَدِيْ.
“Kami (para shahabat) saling membicarakan tentang mandi junub di sisi Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam maka beliau berkata : Adapun saya, cukup dengan menuangkan air di atas kepalaku tiga kali kemudian setelah itu menyiramkan air ke seluruh badanku”. (HR. Ahmad dan dishohihkan oleh An-Nawawy dalam Al-Majmu’ 2/209 dan asal hadits ini dalam riwayat Bukhary-Muslim).
3). Dari ‘Imran bin Husain radhiyallahu ‘anhu, riwayat Bukhary-Muslim dalam hadits yang panjang, beliau berkata :
وَكَانَ آخِرَ ذَاكَ أَنْ أَعْطِيَ الََّذِيْ أَصَابَتْهُ الْجَنَابَةُ إِنَاءً مِنْ مَاءٍ فَقَالَ : إِذْهَبْ فَافْرُغْهُ عَلَيْكَ
“Dan yang terakhir adalah diberikannya satu bejana air kepada yang orang yang terkena janabah lalu beliau (Nabi) bersabda : Pergilah dan tuangkanlah atas dirimu air itu “.
Kata Syeikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah : “Dan Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tidak menjelaskan bagaimana cara menuangkan air kepada dirinya. Seandainya mandi itu wajib sebagaimana tata cara mandinya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam (yang sempurna-pent.), tentunya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menjelaskan kepada orang tersebut, karena mengakhirkan penjelasan pada saat dibutuhkan adalah tidak boleh”. (Lihat Asy-Syarh Al-Mumti’ :1/424).
Adapun sifat atau tata cara mandi junub yang sempurna :
Yang menjadi pokok pendalilan sifat atau tata cara mandi junub yang sempurna ada dua hadits, yaitu hadits Aisyah dan hadits Maimunah radhiyallahu ‘anhuma.
Satu : Sifat mandi junub dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Lafazh hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha adalah sebagai berikut :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ غَسَلَ يَدَيْهِ -وَفِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ ثُمَّ يَفْرُغُ بِيَمِيْنِهِ عَلَى شِمَالِهِ فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ- ثُمَّ تَوَضَّأَ وُضُوْئَهُ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ يُخَلِّلًُ بِيَدَيْهِ شَعْرَهُ حَتَى إِذَا ظَنَّ أَنَّهُ قَدْ أَرْوَى بَشَرَتَهُ أَفَاضَ عَلَيْهِ الْمَاءَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ سَائِرَ جَسَدِهِ
“Bahwasanya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam kalau mandi dari janabah maka beliau memulai dengan mencuci kedua telap


This post first appeared on Ummu Zacky Zahra, please read the originial post: here

Share the post

Tatacara "Mandi Wajib" / Mandi Junub/Mandi Besar Yang Benar Menurut Islam

×

Subscribe to Ummu Zacky Zahra

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×