Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Risiko Besar Bila Masih Pakai Politik Identitas dalam Pemilu



Manokwari - Politik Identitas, sejarahnya mungkin memiliki akar dalam gerakan moral dan perjuangan kelas untuk memerdekakan diri dari penindasan dan ketidakadilan. Dalam konteks sejarahnya, gerakan politik identitas digunakan sebagai alat perlawanan oleh kelompok-kelompok yang merasa terdiskriminasi, seperti yang terjadi pada kelompok kulit hitam melawan diskriminasi oleh warga kulit putih di Amerika Serikat. Namun, saat ini, di berbagai negara termasuk Indonesia, politik identitas telah menjadi semacam senjata yang disalahgunakan oleh para elit politik.

Ketua Umum DPP LDII, KH Chriswanto Santoso, memberikan pemahaman yang mendalam tentang bagaimana politik identitas telah berkembang dalam konteks politik modern. Saat ditemui di kantor DPW LDII Papua Barat, dalam rangka acara Musyawarah Wilayah IV LDII Papua Barat, ia menyatakan keprihatinannya terhadap perubahan pola politik identitas yang semakin kabur dan bernuansa negatif.

Pemilu, menurut KH Chriswanto, seringkali menjadi panggung para elit politik yang memanfaatkan politik identitas sebagai alat untuk mencemarkan nama pihak lain. Tujuan asal dari gerakan politik identitas yang seharusnya lahir sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan, kini sering digunakan untuk menciptakan perpecahan dan memunculkan Komunikasi Politik Populis yang merusak.

Komunikasi politik populis adalah jenis komunikasi yang berfokus pada menyalahkan pihak lain atas kegagalan dalam negeri. "Bentuknya terlihat, kelompok-kelompok agama menyalahkan para nasionalis jauh dari Tuhan, sehingga negara menjadi gagal. Sementara kelompok nasionalis mengatakan kegagalan bangsa akibat pola pikir konservatif para pemuka agama," jelas KH Chriswanto.

Contoh-contoh di berbagai negara seperti Italia, Jerman, Belanda, dan Amerika Serikat menunjukkan bagaimana politik identitas dan komunikasi politik populis digunakan oleh para elit politik untuk mencari kambing hitam atas berbagai masalah sosial dan ekonomi. Di Italia, para politikus sayap kanan menyalahkan imigran Timur Tengah atas masalah lapangan kerja yang sempit dan penurunan ekonomi. Hal serupa terjadi di Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Trump, di mana imigran Meksiko dijadikan kambing hitam atas permasalahan lapangan kerja.

Meskipun politik identitas dan komunikasi politik populis terbukti berhasil dalam memikat pemilih dan membangkitkan fanatisme, terdapat risiko yang lebih besar di baliknya. Risiko terbesar adalah hilangnya keutuhan, persatuan, dan kesatuan bangsa. Cita-cita luhur berdirinya negara dan bangsa Indonesia menjadi taruhan hanya karena Pemilu lima tahun sekali.



This post first appeared on LDII Sampit - Kalimantan Tengah, please read the originial post: here

Share the post

Risiko Besar Bila Masih Pakai Politik Identitas dalam Pemilu

×

Subscribe to Ldii Sampit - Kalimantan Tengah

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×