Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Maestro Menolak Mati

ALUNAN gending Jawa mengalun merdu saat tirai panggung terbuka. Cahaya yang semula redup perlahan terang. Gradasi gelap menjadi ungu lalu perlahan merah menyambut sosok seorang penari. Tubuhnya gemulai, meliuk mengikuti iringan musik.

Dengan perpindahan yang lembut suara gending berganti degung gamelan. Penari berbalik badan, tubuh belakangnya menyerupai bagian depan seorang perempuan. Masih sosok yang sama, kali ini Sang penari melenggok membawakan tarian Sunda.

Seni tari tradisonal Jawa dan Sunda ini memang dimainkan orang yang sama: Didik Nini Thowok. Publik mengenal seni gerak khasnya itu sebagai tarian Dwi Muka. Didik, kini 60 tahun, termasyhur dengan karakter wajah depan (asli) dan wajah belakang (topeng) dalam setiap penampilannya.

Lalu harmoni gending Jawa dan degung gamelan Sunda yang saling mengisi itu tiba-tiba saja berhenti. Tubuh Didik mematung, bingung. Ada apakah gerangan? Tak seberapa lama suasana menjadi gaduh. Belasan muda-mudi datang berlarian dari sisi kiri dan kanan panggung, hiruk pikuk bersama musik dangdut koplo yang membahana. Seorang wanita berpakaian seronok menyanyikan lagu Buka Dikit Joss. Muda-mudi itu hanyut dalam joget yang tak berpola.

…hei kenapa kamu kalau nonton dangdut

sukanya bilang “buka dikit joss”

apa karena pakai rok mini jadi alesan

 

sukanya… abang ini lihat-lihat bodiku yang seksi

senangnya abang ini intip-intip ku pakai rok mini…

 

Didik Nini Thowok terdorong ke pinggir, ke sudut gelap yang tak lagi tersorot lampu. Panggung telah dikuasai muda-mudi dengan jogetan dangdut koplo itu. Didik sesekali berusaha ikut berjoget, mengikuti irama dangdut koplo. Tapi tak berhasil. Ia seperti orang yang tak bisa menari samasekali. Gerak tubuhnya kaku. Dangdut koplo sukses membunuh kreativitas menarinya.

***

Fragmen tarian tradisional Didik Nini Thowok yang diserobot rombongan penjoget dangdut koplo itu mengantarkan penonton ke adegan-adegan berikutnya, dalam dua jam pementasan Matinya Sang Maestro, Minggu malam (13/4) lalu di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki Jakarta. Adegan-adegan lucu tapi getir tentang nasib seniman-seniman hebat, para maestro yang mendedikasikan hidupnya untuk berkarya, memajukan budaya bangsa, tapi harus menerima nasib hidup minim perhatian. Bukan sekadar perhatian bagi diri mereka sendiri, tetapi juga perhatian bagi kehidupan kesenian tradisi.

Seniman Butet Kertaredjasa memproduseri dua hari pementasan yang menghadirkan sejumlah maestro ini. Cak Kartolo, seniman ludruk dan komedi Jawatimuran menjadi tokoh utama. Lalu ada seniman musik Djaduk Ferianto, seniman lawak Marwoto, dan pesinden Sruti Respati. Mereka berkolaborasi dalam jalinan kisah yang dirajut penulis naskah Agus Noor. Diperkaya para seniman ludruk seperti Cak Sapari, Wisben, Joned, Gareng Rakhasiwi, Yu Ning dan Insan Nur Akbar.

“Mumpung masih suasana pemilu, mari berdoa semoga kita bisa mendapatkan pemimpin yang menjadikan kebudayaan sebagai panglima. Pemimpin yang memperhatikan nasib maestro-maestro kita di ranah kebudayaan. Bukan saja seniman yang menjaga dan merawat kesenian tradisi, tetapi juga ilmuwan-ilmuwan yang suntuk di laboratorium, para guru yang mewakafkan hidupnya untuk dunia pendidikan, dan mereka yang konsisten bekerja bekerja bekerja, bukan membual membual membual,” kata Butet, memberi pengantar sebelum pentas dimulai.

Lakon Matinya Sang Maestro mengisahkan nasib pilu seorang maestro seni (Cak Kartolo), yang di hari tuanya hidup miskin dan terlupakan. Istrinya (Yu Ning) mengeluhkan uang belanja yang tak pernah cukup, kontrakan rumah yang segera habis, dan anak gadis mereka (Sruti Respati) yang sudah ngebet kepingin kawin.

Nasib serupa dialami teman-teman Cak Kartolo sesama seniman. Djaduk dan Didik harus mejadi “selebriti door to door” alias pengamen jalanan. Mereka mengajak sang maestro untuk berkolaborasi demi menyambung hidup. Kolaborasi sebagai pengamen.

Hingga suatu hari datanglah seorang pejabat (Marwoto) beserta ajudannya (Akbar) ke rumah kontrakan sang maestro di pinggiran kota. Pejabat membawa kabar mengejutkan: pemerintah akan memberi penghargaan beserta hadiah uang Rp10 miliar kepada sang maestro. Surat keputusan (SK) sudah diterbitkan, lengkap dengan syarat-syarat, di mana salah satu kalimatnya berbunyi: “hadiah akan diberikan kepada sang maestro atas jasa-jasanya selama hidup.”

Kalimat “atas jasa-jasanya selama hidup” ini kemudian berbuntut tafsir yang menyulitkan semua orang. Pejabat pembawa kabar menyimpulkan bahwa uang hadiah Rp10 miliar itu hanya bisa diberikan setelah sang maestro mati. Jelas dan tegas sekali tafsir itu. Masalahnya bukan kenapa SK-nya berbunyi seperti itu, tetapi kenapa sang maestro masih hidup sehingga hadiah tak bisa segera cair!

Maka lakon pun jadi penuh kegetiran, meski tetap dibumbui kelucuan tiada henti khas ludrukan. Seperti sedang berusaha menertawakan nasib sang maestro yang “baru akan dihargai” setelah dia mati. Bahkan saat sang maestro mendatangi pejabat ke kantornya, berusaha menegosiasikan agar hadiah bisa diberikan dulu sebagian, yang terjadi justru dialog-dialog lucu.

“Tak bisakah hadiah itu saya terima dulu sebagian saja? Misalnya, satu miliar rupiah dulu?” tawar sang maestro.

“Tidak bisa! Kalau hadiahnya sebagian, apa matinya juga bisa sebagian? Misalnya, mati separuh saja, lumpuh separuh gitu, biar uangnya juga bisa cair separuhnya dulu?!” seru pejabat.

Sang maestro terus berusaha memberi ide. “Bagaimana kalau SK-nya yang diganti? Direvisi, atau diamandemen, agar kalimat atas jasa-jasanya selama hidup itu dihapus?”

“Itu juga tidak mungkin. Untuk mengubah SK kita harus konsultasi ke DPR. Untuk konsultasi ke DPR diperlukan uang sidang, biaya honorarium, konsumsi dan sebagainya, yang jumlahnya akan lebih dari Rp10 miliar. Habis nanti uang hadiah itu untuk biaya mengubah SK…”

Keluarga sang maestro, teman-teman serta tetangganya pun tak kalah heboh. Mereka sebenarnya menyayangi sang maestro, tapi juga berharap segera kebagian hadiah Rp10 miliar tersebut pada kesempatan pertama.

Sruti, anak sang maestro yang belakangan sudah dapat calon suami – Gareng, seorang pria yang ngebet memperistri Sruti karena berharap kebagian warisan Rp10 miliar— bahkan dengan “khusyuk” berdoa kepada Tuhan: “Ya Tuhan, hamba ikhlas bila Kau ambil nyawa ayah hamba. Semoga beliau mendapat tempat terbaik di sisi-Mu.”

Yu Ning, istri sang maestro kasak-kusuk dengan Cak Sapari, tetangga pemilik kontrakan, bahkan sampai menyiapkan kain kafan dan lahan kuburan. Pejabat pembawa kabar dan ajudannya pun ikut-ikutan sibuk. Mereka menyiapkan skenario pembangunan sebuah monumen, yang dana proyeknya diambil dari sebagian hadiah bagi sang maestro, agar hadiah itu bisa dicairkan tanpa harus menunggu sang maestro mati.

Sementara sang maestro gundah oleh pertanyaan besar dalam jiwanya: “kenapa penghargaan itu harus diberikan setelah aku mati?”

Pejabat pembawa kabar, menjelaskan hadiah Rp10 miliar untuk Sang Maestro. (foto: windede)

***

Begitulah, Matinya Sang Maestro memang dimaksud sebagai satire atas minimnya perhatian pemerintah kepada anak bangsa yang mendedikasikan segenap hidupnya untuk berkarya, sementara publik sudah terlanjur hanyut dalam arus deras industri, yang begitu mendewakan rating dalam program televisi, atau apapun itu yang mengatasnamakan “selera pasar”.

Didik Nini Thowok yang secara genuine mencipta masterpiece tarian Dwi Muka, harus rela karyanya diabaikan industri, sebab pasar memang lebih gemar dangdut koplo dan joget oplosan. Cak Kartolo yang konsisten bermain ludruk mesti rela melihat tayangan komedi murahan tak berkarakter yang untuk mengundang tawa penonton harus dengan mem-bully sesama pemain, berlaku konyol atau lempar-lemparan tepung. Pemusik hebat seperti Djaduk mungkin menangis melihat acara musik di televisi setiap pagi memperdengarkan lagu-lagu tak bermutu, tapi penontonnya toh tetap bersorak karena dibayar agen penghimpun massa.

Dan, para maestro itu harus lebih pasrah lagi, karena iklim industri yang sudah tak berpihak kepada mereka itu dibikin tambah parah oleh sikap pemerintah yang tak pro-kebudayaan. Penghargaan, kalaupun ada, hanyalah lembar sertifikat yang biasanya dibagi di hari ulang tahun kemerdekaan, sekadar basa-basi karena seringkali dibagikan atas dasar nomor urut seperti arisan.

***

Pejabat pembawa kabar sudah hampir sukses menjalankan skenario agar hadiah Rp10 miliar bisa cair, dengan rencana membangun monumen sang maestro, sebagai ganti batu nisan karena sang maestro tak kunjung mati. Sebuah orasi panjang yang meledak-ledak ia sampaikan saat peletakan batu pertama monumen itu, disaksikan istri dan anak sang maestro, teman-teman serta tetangga.

Sebelum batu benar-benar diletakkan, sang maestro datang dan berteriak lantang. “Hei dengarkan kalian semua, manusia-manusia sinting, manusia-manusia edan. Pikiran kalian sudah berubah, tidak waras lagi. Benar-benar mengharapkan kematian saya karena uang. Saya punya harga diri, tidak mau diinjak-injak. Saya menolak mati hanya untuk sebuah penghargaan.”

Sang maestro muntab. Ia mengacung senjata, meminta monumen tak jadi dibangun. Tidak perlu penghargaan, tidak perlu hadiah, tidak perlu uang Rp10 miliar. Dan itu artinya tak perlu buru-buru mati. Biarlah hidup seperti hidup yang ada sekarang. Menjalani hari tua bersama dongeng tentang penghargaan.

Cak Kartolo, sang maestro, menutup pementasan dengan kalimat lirih. “Saya sebagai seniman sial sekali ya. Job-joban sepi, penghargaan ditarik kembali. Gara-gara 10 miliar sekarang semua jadi berantakan. Saya kok jadi iri sama Madona, Lady Gaga, honornya miliaran, hartanya triliunan. Saya, satu malam satu setengah juta, itupun masih dipotong pajak. Sial sekali…” [***]



This post first appeared on WinDede.Com, please read the originial post: here

Share the post

Maestro Menolak Mati

×

Subscribe to Windede.com

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×