Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Terpukau Film Klasik Romeo-Juliet Versi Dayak

Memories from Borneo, “Membaca” Kalimantan Awal Abad Dua Puluh (3-habis)

CINTA SEJATI – Salah satu scene dalam Film The Headhunters of Borneo. Anyi dan Iring dalam persembunyian di belantara Kalimantan.

Kisah cinta anak manusia bisa terjadi di mana saja, termasuk di pedalaman Kalimantan; di antara magis asap dupa, tarian perang dan petikan dawai-dawai sape. Anyi dan Iring merajut kasih di belantara Borneo, dalam sebuah lakon film yang tak kalah romantik dari Romeo dan Juliet.

ANYI seorang bocah riang, putera Jalung Kepala Suku Peleban, sebuah kampung di hulu Sungai Kayan yang membelah jantung Borneo di wilayah Bulungan. Seperti anak laki-laki lain di kampungnya pada masa itu, Anyi menghabiskan banyak waktu dengan bermain; entah perang-perangan di pekarangan lamin (rumah panjang), atau beradu kemampuan berenang melawan deras arus sungai.

Pada masa kekanak itu Anyi belum terlalu mengerti bahwa dalam tubuhnya mengalir darah bangsawan Dayak, yang itu berarti kelak ketika dewasa dia harus menggantikan posisi ayahnya sebagai Kepala suku Peleban. Di pundak bocah itu masa depan Peleban dipercayakan. Dewa-dewa merestuinya.

Tapi Anyi tetap seorang bocah, yang tak memilih berteman dengan siapa. Maka bersahabatlah dia dengan Iring, gadis kecil anak keturunan orang biasa. Setiap hari Anyi Dan Iring selalu bermain berdua, menumbuhkan rasa sayang dan cinta, meski tak terucap lewat kata-kata. Seperti orang-orang dewasa lain di Peleban, Jalung sang ayah tak terlalu risau dengan kedekatan Anyi dengan Iring. Persahabatan begitu biasa di dunia anak.

Hingga suatu hari terjadi pembicaraan antara utusan warga Peleban dengan orang-orang Long Leju, kampung sebelah. Konflik Peleban dan Long Leju yang sudah terlalu lama, turun temurun, membuat kedua suku bertetangga ini sepakat mengakhiri perang. Perdamaian terjadi, tanpa syarat. Namun demi memperkuat jalinan persaudaraan, disepakati perjodohan Anyi sebagai anak kepala suku Peleban dengan Aya, anak kepala suku Long Leju. Perkawinan dua calon pewaris takhta Peleban dan Long Leju ini diyakini akan membuat hubungan dua kelompok suku akan semakin baik di masa depan.

Pesta perayaan perdamaian dihelat di Peleban, mengundang orang-orang Long Leju. Pemujaan kepada dewa dilakukan sekaligus meminta restu roh leluhur. Perjodohan Anyi Dan Aya diresmikan dengan perjamuan tari-tarian, makan besar dan minum tuak. Meski pernikahan baru akan dilakukan kelak saat Anyi dan Aya dewasa, Iring si gadis kampung tak bisa menyembunyikan rasa kecewa. Ia hanya menatap nanar ke arah Anyi yang juga tak kuasa menolak perjodohan itu.

Tak lama setelah perjodohan dan ikrar perdamaian itu, Jalung wafat. Anyi yang masih kecil harus menggantikan ayahnya sebagai kepala suku, meski masih dalam pendampingan tetua adat. Hingga tiba masa cukup usia untuk menikah, Anyi harus menjalankan amanah perjodohan. Sebuah pesta besar-besaran menandai pernikahannya dengan Aya – walau hatinya jelas tak bisa lepas dari Iring. Pernikahan itu tak lebih dari formalitas adat.

Demi menyelamatkan cinta sejatinya, Anyi memilih melarikan Iring. Dengan mendayung perahu bersama-sama keduanya pergi ke arah hulu dan mencari tempat persembunyian. Anyi masih rutin pulang ke Peleban, menjalani pernikahan dengan Aya dengan penuh kepura-puraan – sekadar demi menjalankan kewajiban adat. Cinta dan perhatiannya hanya untuk Iring seorang.

***

Kisah romantis Anyi dan Iring ini menjadi alur utama dalam film The Headhunters of Borneo (Pemburu Kepala di Kalimantan), yang diputar setiap hari sejak 22 April hingga 6 Mei 2014 dalam event Memories from Borneo, di gedung Erasmus Huis Pusat Kebudayaan Belanda di Jakarta. Pemutaran film ini melengkapi pameran foto-foto tentang Borneo era tahun 1920-an karya ahli geologi Swiss, Wolfgang Leupold di tempat yang sama.

Tak seperti judulnya, film hitam-putih berdurasi 65 menit karya sutradara Jerman Victor von Plessen ini samasekali tidak menceritakan kisah pemburu kepala (headhunters). Film dengan narasi bahasa Jerman berjudul asli Kopfjaeger von Borneo ini mengisahkan cinta Anyi dan Iring yang terhalang kewajiban adat – sebuah drama cinta layaknya roman Romeo dan Juliet.

Baron Victor von Plessen (1900-1980) membuat film ini pada tahun 1936, di kampung Peleban (sekarang Long Peleban, wilayah Kabupaten Bulungan?), dengan semua tokoh diperankan warga Dayak setempat. Meski skenario ceritanya berisi drama cinta, The Headhunters of Borneo merekam begitu banyak detil kehidupan masyarakat Dayak pada masa tersebut. Narasi yang dibacakan dalam bahasa Jerman sepanjang film, dengan sedikit tambahan dialog bahasa lokal, membuat film ini lebih terasa sebagai film dokumenter daripada drama cinta.

Film dimulai dengan penjelasan bahwa semua pemain adalah warga asli Dayak Kenyah, dan berperan untuk dirinya masing-masing. Misalnya, tokoh kepala suku, diperankan oleh sang kepala suku sendiri. Dari referensi yang minim mengenai film ini diketahui bahwa Victor von Plessen merekam sendiri semua adegan film dengan kamera tangan dan perlengkapan yang terbatas.

Plessen yang berlatar belakang peneliti memang memiliki ketertarikan sangat besar pada kehidupan masyarakat adat Nusantara pada masa itu. Sebelum membuat film mengenai Kalimantan ini, ia sudah lebih dulu memproduksi film mengenai adat masyarakat Bali, berjudul Insel der Darmonen (The Island of Demons) atau Pulau Para Iblis pada tahun 1933.

The Headhunters of Borneo menggambarkan dengan sangat jelas bagaimana kondisi alam Borneo yang masih perawan, dengan hutan hujan tropis yang lebat, sungai-sungai lebar dan binatang yang kini sudah langka seperti macan dahan dan burung enggang. Penduduk Peleban dan Long Leju pun direkam apa adanya, dengan pakaian mereka sehari-hari di mana pria dan wanita dewasa sama-sama bertelanjang dada.

Sejumlah undangan yang menghadiri pemutaran film ini saat pembukaan Memories from Borneo, termasuk Duta Besar Swiss Heinz Walker-Nederkoorn dan Duta Besar Belanda Tjeerd F de Zwaan, mengaku terpukau dengan film klasik yang menggambarkan kehidupan masyarakat asli Borneo pada awal abad dua puluh ini. Plessen dengan bersemangat mengangkat kekayaan lokal orang Dayak seperti tradisi tato, keahlian berburu dengan sumpit dan tombak, kepiawaian mengarungi jeram dengan perahu, tradisi menanam padi gunung, ketaatan pada adat dan ritual, serta pesan-pesan kebijakan tentang harga diri dan keberanian.

***

 

Satu-satunya scene yang cukup mewakili judul film The Headhunters of Borneo adalah saat Aya, istri sah Anyi mengutus seorang pemuda untuk membunuh suaminya yang berkhianat itu. Pembunuh ini digambarkan sebagai “pemburu kepala”. Ia membuntuti Anyi dalam perjalanan ke tempat persembunyian Iring di tengah hutan.

Namun kesaktian Anyi yang dalam tubuhnya mengalir darah bangsawan Dayak membuat situasi berbalik. Tepat saat eksekusi hendak dilakukan si pemburu kepala, Anyi sadar dan bertindak cepat mencabut senjata. Tragis, justru pemburu kepala itu yang tewas di tangan Anyi. Ia tebaskan mandaunya di hadapan Iring yang hanya bisa menyaksikan peristiwa itu dengan menutup wajah ketakutan.

Terbunuhnya sang pemburu kepala dan terungkapnya skandal Anyi dan Iring membuat Anyi disidang oleh tetua adat. Ia diputuskan bersalah. Anyi sebagai kepala suku harus menghukum dirinya sendiri dengan hukuman sangat berat: meninggalkan Peleban.

Anak kepala suku Jalung ini terusir dari kampung di mana dia secara turun temurun berhak menjadi raja – demi martabat adat di satu sisi, dan mempertahankan cintanya di sisi yang lain. Iring ikut bersamanya, mengiringi Anyi pergi merajut hidup baru. Berbeda dengan kisah cinta karya William Sakhespeare yang berujung tragedi, Romeo-Juliet versi Dayak ini berakhir dengan happy ending. ([email protected])

Baca juga tulisan ini di Kaltim Post



This post first appeared on WinDede.Com, please read the originial post: here

Share the post

Terpukau Film Klasik Romeo-Juliet Versi Dayak

×

Subscribe to Windede.com

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×