Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Dari Krisis AS sampai Gedung DPR

Apakah ini awal dari resesi global? Krisis finansial di AS rasanya cukup menyita perhatian dunia, bahkan negara-negara di eropa pun sejak dini sudah melakukan antisipasi untuk menahan kemungkinan terburuk sebagai akibat krisis finansial di AS. Bahkan kepala perbankan di negara-negara Eropa, secara tegas mendesak DPR AS atau House of Representatives untuk segera menyetujui rencana pemerintah AS ( George W Bush ) yang meminta kucuran dana talangan atau bailout senilai US$ 700 miliar untuk menghindari krisis “kejatuhan” ekonomi AS yang kedua setelah sebelumnya tragedi ekonomi great depression pada tahun 1929 yang membawa rakyat AS kepada ambang kemiskinan massal.

Krisis yang terjadi sebagai dampak dari kredit macet dalam bisnis properti (perumahan) oleh perbankan nasional AS maupun perbankan eropa yang bermain dalam pasar modal AS tersebut,  memaksa pemerintah AS untuk campur tangan agar perekonomian nasional tetap stabil meski tindakan penyelamatan perbankan itu harus mengorbankan kepentingan rakyat banyak. Menggunakan pajak untuk dana talangan perbankan yang notabene berorientasi provit, ketika hendak mengucurkan dana ke bisnis properti. Kondisi semakin menyulitkan ketika perbankan harus membayar dana kepada kreditur sedangkan modal cadangan perbankan masih dalam bentuk kredit macet di sektor properti. Tidak seimbangnya antara penawaran dan permintaan membuat sektor properti semakin lesu, bangunan fisik terbangkalai dengan resiko penyusutan dan biaya perawatan yang tetap harus disediakan membuat perbankan yang mengucurkan modal pinjaman semakin goncang.

Hal ini tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Indonesia ketika mengalami krisis finansial perbankan nasional tahun 1998 lalu. Waktu itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebagai bentuk kebijakan untuk menyelamatkan perbankan swasta nasional. Namun, karena kebijakan yang tidak diawasi secara ketat, BLBI menjadi ajang “bagi-bagi duit” oleh konglomerat perbankan yang menerima bantuan tersebut. Rakyat yang sejak awal pesimis dengan kebijakan tersebut semakin terpuruk dengan kondisi yang tidak juga berubah meski trilyunan rupiah digelontorkan untuk menyelamatkan perbankan nasional. Restrukturisasi hanya omong kosong belaka, talangan BLBI diselewengkan begitu saja tanpa ada pengawasan jelas dari pembuat kebijakan. Yang terjadi kemudian adalah semakin terpuruknya kondisi ekonomi, rush terhadap sistem perbankan nasional tetap memukul perekonomian secara menyeluruh

Yang membedakan dengan Indonesia adalah pertama, krisis di Indonesia tidak berdampak pada negara manapun selain Indonesia sendiri, sedangkan krisis finansial di AS saat ini dapat di ibaratkan sebagai tsunami ke dua setelah Aceh. Tsunami ekonomi yang berpusat di AS tapi akan berdampak secara global. Bahkan kepada negara-negara yang menyatakan diri tidak akan terpengaruh oleh krisis finansial AS. Kedua, kepentingan politik di AS cenderung mengerucut pada tarik ulur legitimasi, bukan pada arogansi untuk meraih kekuasaan seperti yang terjadi di Indonesia. Meskipun ada, tarik ulur politik di AS cenderung lebih elegan dibandingkan dengan Indonesia. Lebih sistemik dan terkonsep dengan jelas. Parlemen pun memiliki wibawa dalam menentukan setiap kebijakan sehingga produk yang dihasilkan memang benar-benar menjadi pedoman dalam pengambilan kebijakan pemerintah.

Dampak yang paling jelas akan terjadi di Indonesia adalah, turunnya volume ekspor ke AS, terhambatnya arus investasi dari AS dan penarikan kembali pinjaman dalam bentuk dolar AS yang akan mempengaruhi fluktuasi rupiah. Kalau tidak belajar dari pengalaman krisis 1998, Indonesia akan terpengaruh oleh gelombang krisis finansial di AS tersebut.

Apalagi menjelang Pemilu 2009 yang akan datang, tarik ulur kepentingan politik akan semakin merunyamkan kondisi nasional. Tekanan kepada pemerintah yang kadang tidak rasional akan menjadi makanan sehari-hari di media apabila para elit politik tidak sama-sama melihat kepentingan yang lebih besar.

Kebiasaan elit politik kita yang tidak pernah hilang adalah, mengkritik tanpa bisa memberi solusi yang komprehensif. Berdialektika hanya untuk mencari popularitas demi kepentingan sesaat.

Dan tak luput pula ketika kita menoleh ke tempat wakil rakyat berada, penyusunan kebijakan pun bisa menjadi sarana untuk meraup rupiah. Loby dan kompromi menjadi makanan sehari-hari meski harus mengesampingkan kepentingan rakyat.

Masih hangat diingatan kita tentang kasus  suksesi Miranda S. Goeltom dan anggota Komisi IX dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004, polah anggota DPR dengan petinggi BI untuk memuluskan undang-undang BI, penangkapan anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Muhammad Iqbal saat menerima uang Rp 500 juta dari Billy Sundoro, bos PT First Media Tbk, perusahaan yang terkait dekat dengan Grup Lippo dalam kasus dugaan praktek monopoli siaran Liga Enggris PT Direct Vision  yang dilaporkan oleh Indovision, Tekomvision, dan PT Indosat Mega Media (IM2).

Pembahasan UU Mahkamah Agung, undang-undang tentang Pemilu dan masih banyak produk “gagal” undang-undang yang telah disahkan atau pun masih dalam pembahasan di gedung dewan yang terhormat.

Bagaimana akan membangun sistem yang benar apabila dalam perjalanannya saja sudah banyak terjadi hal yang a moral!?

Entahlah, bagaimana wajah bangsa Indonesia yang akan datang apabila sikap dan mental para pejabat publik masih seperti sekarang ini. Perlukah diajarkan penataran P4 untuk mereka? Atau Pendidikan Agama dan Pendidikan Moral Pancasila seperti ketika kita masih duduk dibangku sekolah?

Kita refleksikan bersama...



This post first appeared on Celah Rasa, please read the originial post: here

Share the post

Dari Krisis AS sampai Gedung DPR

×

Subscribe to Celah Rasa

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×