Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Mengkritisi RUU Pornografi

RUU Pornografi yang awalnya bernama RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi  kembali dibahas di DPR, setalah tahun 2006 lalu dewan menyatakan RUU itu tidak akan dibahas lagi. Meski mendapat penolakan dari berbagai pihak, mulai dari aktifis, budayawan, pelaku seni, dan berbagai elemen masyarakat, bahkan secara bulat, DPRD dan Gubernur Bali  menolak secara tegas disahkannya RUU pornografi menjadi Undang-undang. RUU ini tetap digulirkan dengan mengadakan uji publik ke daerah-daerah yang mayoritas masyarakatnya menentang RUU tersebut. Hal ini bertujuan untuk memberi penjelasan dan pemahaman kepada masyarakat di daerah tentang materi dalam RUU tersebut.

Namun bukan berarti penolakan berhenti begitu saja, bahkan semakin mendekati deadline pembahasan lebih lanjut dalam Badan Musyawarah (Bamus) oleh DPR, masyarakat yang menentang RUU Pornografi semakin lantang meneriakkan penolakan. Bahkan Gusti Kanjeng Ratu Hemas, yang notabene Permaisuri Sutan Hamengku Buwono X pun turut melakukan aksi penolakan bersama dengan beberapa budayawan, tokoh nasional dan tokoh-tokoh adat Bali beserta berbagai elemen masyarakat dari berbagai daerah yang sejak awal memang menentang kehadiran RUU Pornografi tersebut. Perwakilan dari berbagai daerah itu diantaranya Yogyakarta, Jakarta, Papua, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan yang bergabung dan melakukan long mars dari Lapangan Puputan Margarana Renon menuju Lapangan Puputan Badung.

Esensi yang ditolak masih sama yakni materi dari RUU tersebut dinilai melecehkan kebhinekaan yang selama ini terbangun dari sabang sampai merauke. Mempersepsikan budaya setiap daerah dengan satu tolok ukur yang dirangkum dalam RUU Pornografi. RUU yang tujuannya untuk mengatur dan membatasi berbagai hal yang berbau pornografi seakan malah terdistorsi oleh kepentingan beberapa pihak yang secara eksplisit ngotot untuk mengesahkan RUU tersebut dengan mengatas namakan menjaga akhlag bangsa dari kemaksiatan. Hak anak-anak dan kaum wanita yang ingin dibela dengan RUU Pornografi ini malah menjadi buram ketika definisi dan ketentuan yang termaktum didalamnya tidak memberi pemahaman secara tegas. Pasal-pasal yang tercantum cenderung multi interpretasi dan seakan mengesampingkan heterogenitas budaya, adat istiadat dan kebiasaan masyarakat yang sudah berlangsung turun temurun.

Meski menolak RUU Pornografi, bukan berarti ada pembenaran terhadap tindak asusila dan eksploitasi terhadap anak dan kaum perempuan. Tidak juga membiarkan terjadinya tindak porno aksi ditengah masyarakat secara terbuka.

Yang menjadi ketakutan selama ini adalah, terjadinya tindak main hakim sendiri dan kesalahan dalam implementasi dan menterjemahkan pasal-pasal RUU tersebut oleh beberapa kalangan yang selama ini gencar mengatasnamakan perbaikan moral bangsa tetapi tindakan yang mereka lakukan sendiri jauh dari tindakan bermoral.

Solusi yang dimunculkan untuk memberi pengecualian terhadap beberapa daerah dalam pelaksanaannya nanti pun malah semakin mempertegas bahwa RUU tersebut cacat secara hukum karena tidak mampu mengakomodir seluruh masyarakat bangsa. Memandang pengecualian sebagai solusi adalah menistakan kebhinekaan. Mengkebiri hak masyarakat lain untuk mendapatkan perlakuan yang sama dihadapan hukum dan dalam mengimplementasikan undang-undang.

Mungkin DPR menjadi amnesia karena banyak sekali membuat RUU yang sampai detik ini masih banyak yang terbengkalai. Mengesahkan Undang-Undang tetapi tidak paham dengan materi didalamnya. Kelelahan berfikir karena setiap RUU memiliki muatan politis yang berbeda-beda. Lupa kalau selama ini sudah mengesahkan berbagai undang-undang yang lebih berkaitan langsung dengan ketakutan yang mendasari dirumuskannya RUU Pornografi sehingga yang terjadi adalah tumpang tindih  dengan peraturan perundangan lainnya.

Dengan adanya RUU Pornografi tersebut seakan DPR ingin mengusir tikus dengan membakar ladang.

Lalu dimanakah perundang-undangan lain yang mengatur hal yang sama dengan materi dalam RUU Pornografi? Undang –undang yang mengatur tentang kesusilaan yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), penyebaran materi melalui informasi dan dokumen elektronik yang diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Perlindungan anak yang diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, kebebasan pers yang diatur dengan Undang-undang no 40 tahun 1999 tentang Pers, dan masih banyak lagi perundangan yang terkait langsung dengan hak dan kewajiban masyarakat didepan hukum secara individu, kolompok maupun korporasi.

Jadi dimana letak esensi RUU Pornografi!?

Mungkin lebih baik anggota DPR membenahi undang-undang yang telah disahkan selama ini dan mengatur kembali prinsip-prinsip yang terkandung didalamnya, sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan perundang-undangan. Mengeliminasi kesalahan penafsiran dengan membuat perundang-undangan secara cermat.

Hak asasi dan kebebasan mengaktualisasikan diri tidak seharusnya diatur dengan perundangan yang terkesan memaksakan kehendak. Norma dan nilai kehidupan berbangsa sudah ditanamkan sejak anak masih balita. Jadi optimalisasi peran dalam pendampingan dan pembelajaran harusnya menjadi subyek kajian yang lebih penting dari pada mengurusi hal yang sebenarnya tidak begitu mendesak untuk diatur dengan perundang-undangan.

Dan tidak ada salahnya juga kalau anggota dewan berkaca diri, bahwa rumah yang selama ini mereka tempati pun tidak luput dari sampah. Korupsi, kolusi, nepotisme dan pengingkaran terhadap amanat rakyat, lebih penting untuk dibenahi sehingga kewibawaan dan kehormatan sebagai anggota dewan tercermin dalam setiap produk perundangan yang dihasilkan. Mengkikis kristal kebobrokan dengan dimulai dari dalam diri sendiri.



This post first appeared on Celah Rasa, please read the originial post: here

Share the post

Mengkritisi RUU Pornografi

×

Subscribe to Celah Rasa

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×