Ibarat sulap, bangunan dua lantai itu sudah berganti rupa. Bukan lagi rumah tinggal, tapi sebuah minimarket ternama. Dia melengkapi hiruk pikuk sekitar Jalan Karawitan. Angkutan kota dan kendaraan pribadi, kian ramai berseliweran. Bocah-bocah SD dan pedagang jajanan, makin kompak berbaur. Pagi di Karawitan, begitu ramai tak terperi.
Bangunan itu dulunya memang sebuah rumah. Alamat persisnya di Jalan Karawitan No 64. Lokasinya strategis, ada di pusat kota. Dia berdiri tepat di seberang SD Negeri Karang Pawulang. Setahun lalu, penghuninya memutuskan pindah dan menjualnya dengan harga murah.
Setiap pagi, kecuali Minggu, saya memang kerap mendatangi bangunan itu. Tak jarang, 5 sampai 10 menit, saya duduk di warung seberang, setelah mengantar anak sekolah. Tentu bukan mengabaikan kerja, tujuan kedua setelah itu. Saya sekadar menikmati kelebat masa lalu.
Dari seberang jalan, saya perhatikan detail bangunan. Ada plang nama minimarket di depan. Posisinya, tepat di atas bangunan. Alfamart Karawitan 64, begitu tulisannya. Maka, gudang kenangan saya bergejolak. Semua tentang saya, keluarga, dan bangunan itu.
Dulu rumah itu milik orang tua saya. Sejak 1976 mereka menempatinya. Sejak tahun itu pula, saya tinggal di sana bersama kakak dan adik perempuan saya. Beragam kisah mengalir, mewarnai kehidupan saya dari kecil hingga dewasa. Bahkan hingga menikah dan punya satu anak.
Awalnya, rumah itu tak pantas disebut bagus, apalagi mewah. Hanya satu lantai dengan cat rumah yang mulai memudar. Saat tetangga mulai berbenah, rumah itu bahkan seperti tak terurus. Bocor di sana-sini, banjir ketika musim hujan.
Saya masih ingat saat banjir melanda. Setiap hujan mendedas, ibu saya waswas. Ayah jarang di rumah. Kejadiannya berlangsung selama saya mengenyam pendidikan di sekolah dasar. Hitungan kasar saya, enam sampai tujuh tahun, air masuk tanpa permisi setiap hujan mengguyur.
Sekolah saya tepat berada di depan rumah. Sama sebangun dengan tempat belajar anak saya sekarang. Namanya dulu SD Karang Pawulang tok, tanpa embel-embel negeri di belakangnya. Kondisinya saat itu memprihatinkan dan masuk kategori Inpres.
Nasibnya sama dengan rumah saya. Kala hujan turun, sekolah itu tergenang parah. Seluruh ruang kelas jadi kubangan. Halamannya, persis tempat pemancingan ikan. Kalau sudah begitu, saya dan teman-teman sebaya lebih sering main perahu dengan menaiki bangku terbalik.
Selepas SD, banjir di rumah mulai surut, meski tetap saja setiap hujan turun, ada saja air yang membandel, tiba-tiba nyelonong masuk. SD Karang Pawulang pun berbenah. Tak pernah banjir lagi dan dibangun menjadi dua tingkat. Statusnya berubah jadi negeri.
Rumah orang tua saya dulu punya halaman luas. Saking luasnya, berbagai jenis tanaman tumbuh di mana-mana. Ada palem, singkong, cengkeh, jambu air, jambu batu, mangga, belimbing, dan banyak lagi.
Sekitar tahun 1990-an, ayah merombak total desain rumah. Sejak saat itu, halaman mulai menyusut, namun bangunan rumah meluas. Rumah itu menjelma jadi dua lantai dengan banyak kamar. Garasinya, cukup menampung dua mobil. Saya dapat kamar luas, sekitar 7x6 meter.
Saya tak tahu persis proses pembangunannya karena sejak tahun itu mulai jarang ada di rumah. Duduk di bangku SMA, saya kerap pulang malam, meski pergi sekolah pagi-pagi. Lulus SMA apalagi. Nyaris saya tak mengetahui bentuk rumah sendiri saking jarangnya pulang.
Setahun lalu keluarga saya terpaksa angkat kaki dari rumah itu. Persoalan pelik membuat ayah saya terpaksa menjualnya. Nilainya, memang tak sebanding dengan harga jual saat itu. Tapi, apa lacur, tak ada lagi jalan keluar memecah persoalan yang tiba-tiba menelikung.
Proses penjualan rumah penuh cerita. Ibu saya menangis. Ayah marah-marah. Calo-calo berdatangan menawarkan jasa. Semua jadi sebuah drama yang ingin dikubur dalam-dalam. Kini, orang tua saya hijrah ke kawasan Buana Sari. Saya dan keluarga, memilih pindah ke Kompleks Mustika Hegar Regency. Kakak saya, mengungsi ke Baleendah Kabupaten Bandung.
Sebetulnya, banyak sekali kisah yang terlintas saat melihat minimarket itu. Namun, lima atau 10 menit sepertinya bukan waktu yang panjang buat mengenang semuanya. Saya harus berangkat ke kantor. Berlomba dengan kemacetan jalan yang makin menggila.
Bangunan itu dulunya memang sebuah rumah. Alamat persisnya di Jalan Karawitan No 64. Lokasinya strategis, ada di pusat kota. Dia berdiri tepat di seberang SD Negeri Karang Pawulang. Setahun lalu, penghuninya memutuskan pindah dan menjualnya dengan harga murah.
Setiap pagi, kecuali Minggu, saya memang kerap mendatangi bangunan itu. Tak jarang, 5 sampai 10 menit, saya duduk di warung seberang, setelah mengantar anak sekolah. Tentu bukan mengabaikan kerja, tujuan kedua setelah itu. Saya sekadar menikmati kelebat masa lalu.
Dari seberang jalan, saya perhatikan detail bangunan. Ada plang nama minimarket di depan. Posisinya, tepat di atas bangunan. Alfamart Karawitan 64, begitu tulisannya. Maka, gudang kenangan saya bergejolak. Semua tentang saya, keluarga, dan bangunan itu.
Dulu rumah itu milik orang tua saya. Sejak 1976 mereka menempatinya. Sejak tahun itu pula, saya tinggal di sana bersama kakak dan adik perempuan saya. Beragam kisah mengalir, mewarnai kehidupan saya dari kecil hingga dewasa. Bahkan hingga menikah dan punya satu anak.
Awalnya, rumah itu tak pantas disebut bagus, apalagi mewah. Hanya satu lantai dengan cat rumah yang mulai memudar. Saat tetangga mulai berbenah, rumah itu bahkan seperti tak terurus. Bocor di sana-sini, banjir ketika musim hujan.
Saya masih ingat saat banjir melanda. Setiap hujan mendedas, ibu saya waswas. Ayah jarang di rumah. Kejadiannya berlangsung selama saya mengenyam pendidikan di sekolah dasar. Hitungan kasar saya, enam sampai tujuh tahun, air masuk tanpa permisi setiap hujan mengguyur.
Sekolah saya tepat berada di depan rumah. Sama sebangun dengan tempat belajar anak saya sekarang. Namanya dulu SD Karang Pawulang tok, tanpa embel-embel negeri di belakangnya. Kondisinya saat itu memprihatinkan dan masuk kategori Inpres.
Nasibnya sama dengan rumah saya. Kala hujan turun, sekolah itu tergenang parah. Seluruh ruang kelas jadi kubangan. Halamannya, persis tempat pemancingan ikan. Kalau sudah begitu, saya dan teman-teman sebaya lebih sering main perahu dengan menaiki bangku terbalik.
Selepas SD, banjir di rumah mulai surut, meski tetap saja setiap hujan turun, ada saja air yang membandel, tiba-tiba nyelonong masuk. SD Karang Pawulang pun berbenah. Tak pernah banjir lagi dan dibangun menjadi dua tingkat. Statusnya berubah jadi negeri.
Rumah orang tua saya dulu punya halaman luas. Saking luasnya, berbagai jenis tanaman tumbuh di mana-mana. Ada palem, singkong, cengkeh, jambu air, jambu batu, mangga, belimbing, dan banyak lagi.
Sekitar tahun 1990-an, ayah merombak total desain rumah. Sejak saat itu, halaman mulai menyusut, namun bangunan rumah meluas. Rumah itu menjelma jadi dua lantai dengan banyak kamar. Garasinya, cukup menampung dua mobil. Saya dapat kamar luas, sekitar 7x6 meter.
Saya tak tahu persis proses pembangunannya karena sejak tahun itu mulai jarang ada di rumah. Duduk di bangku SMA, saya kerap pulang malam, meski pergi sekolah pagi-pagi. Lulus SMA apalagi. Nyaris saya tak mengetahui bentuk rumah sendiri saking jarangnya pulang.
Setahun lalu keluarga saya terpaksa angkat kaki dari rumah itu. Persoalan pelik membuat ayah saya terpaksa menjualnya. Nilainya, memang tak sebanding dengan harga jual saat itu. Tapi, apa lacur, tak ada lagi jalan keluar memecah persoalan yang tiba-tiba menelikung.
Proses penjualan rumah penuh cerita. Ibu saya menangis. Ayah marah-marah. Calo-calo berdatangan menawarkan jasa. Semua jadi sebuah drama yang ingin dikubur dalam-dalam. Kini, orang tua saya hijrah ke kawasan Buana Sari. Saya dan keluarga, memilih pindah ke Kompleks Mustika Hegar Regency. Kakak saya, mengungsi ke Baleendah Kabupaten Bandung.
Sebetulnya, banyak sekali kisah yang terlintas saat melihat minimarket itu. Namun, lima atau 10 menit sepertinya bukan waktu yang panjang buat mengenang semuanya. Saya harus berangkat ke kantor. Berlomba dengan kemacetan jalan yang makin menggila.