Pada 27 September 1965, Keng Bouw bersama 14 orang lainnya pergi ke Tiongkok. Mereka pergi atas nama delegasi Front Pemuda Pusat untuk menghadiri acara peringatan ke-16 berdirinya Republik Rakyat Tiongkok. Mereka diundang Gabungan Pemuda Seluruh Tiongkok. Keng Bouw mewakili Permusyawaratan Pemuda Indonesia (PPI), sebuah organisasi pemuda bentukan Badan Permusyaratan Kewarganegaraan (Baperki).
Keng Bouw mengenang bahwa seluruh perwakilan organisasi pemuda dari sembilan partai politik turut serta, antara lain Pemuda Anshor (Nahdlatul Ulama), Pemuda Rakyat (Partai Komunis Indonesia), Pemuda Demokrat (Partai Nasional Indonesia) dan Pemuda Indonesia (Partindo). Kemudian ditambah wakil dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), APPI, PPI dan PPI Puteri.
Empat hari setelah mereka tiba di Beijing, sebuah kabar datang dari Jakarta: informasi yang simpang-siur tentang kudeta yang dilakukan Dewan Jenderal. Namun, tak berapa lama tersiar kabar bahwa sebuah gerakan yang didalangi PKI telah melakukan kudeta.
“Kami mendengarkan perkembangan berita dari radio,” kisah Keng Bouw.
Ia ingat bahwa hubungan sesama delegasi pemuda yang berangkat dari Jakarta mulai tegang pascakabar tersebut, terlebih setelah Jakarta memutuskan bahwa PKI dan organisasi yang dianggap atau dicurigai dekat dengannya dimasukkan sebagai organisasi terlarang.
Hati Keng Bouw kebat-kebit. Organisasi yang ia wakili merupakan anak kandung Baperki, sebuah organisasi yang dianggap punya relasi intim dengan PKI. Delegasi lain, seperti dari PR, APPI, CGMI dan Pemuda Indonesia juga memiliki kecemasan yang sama.
Akhirnya, saat rombongan memutuskan pulang ke Indonesia, lima delegasi pemuda memilih bertahan di Beijing.
“Beberapa kawan membujuk saya untuk tak kembali ke Indonesia. Katanya, saya bisa kena tangkap,” ujarnya.
Keng Bouw mematuhi nasihat itu. Ia bertahan di China. Ia bahkan memutuskan menikah dengan perempuan Tionghoa yang ia temui di Hong Kong dan tinggal di negeri tersebut hingga sekarang.
Sementara empat mantan delegasi pemuda lainnya hijrah ke Eropa. Salah satu bahkan meninggal di tanah asing tersebut tanpa sempat pulang ke Indonesia.
disalin dari {Pantau} Masa Lalu Bersenandung di Mirador Mansion – Fransisca Ria Susanti
Memoar Thio Keng Bouw Dalam 12 Bagian
SUKA DUKA DI RRT (1965-1977)
PARADE NASIONAL DAN PESTA KEMBANG API
BERLATIH PIANO 8 JAM PER HARI
TIDAK BOLEH PACARAN DENGAN GADIS TIONGKOK
JADI GURU AKORDEON DAN PIANO
PADUAN SUARA, TARI2AN, BAND DAN SASTRA/DRAMA
SEKOLAH TUJUH MEI ATAU STM (1970 – 1977)
KISAH EMBAH SURO, PEJUANG TUA DARI BOVEN DIGUL.
KELUAR MASUK RUMAH SAKIT DI NANCHANG
MUSIM PANAS, MENINJAU KELILING TIONGKOK
SURAT MENYURAT DENGAN KELUARGA DI Indonesia NYAMBUNG LAGI
SAYONARA STM! SAYONARA TIONGKOK DARATAN!