Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Puzzle Peking – Jakarta di Masa Perang Dingin : Revolusi Tiongkok, Mao Zedong, Sukarno, Pramoedya Ananta Toer, D.N Aidit dan Terkuburnya Revolusi Indonesia


kompilasi ini hanyalah sekedar pengantar saja dan sejauh mungkin dapat menghantar ke bacaan yang relevan dan menarik minat untuk pengkajian lebih lanjut dari perspektif Indone
sia atau kalangan intelektual Indonesia




.Sukarno Disambut Di Beijing China Slide Foto Album 30 September 1956




Delegasi Partai Komunis Indonesia (PKI) Berkunjung Ke Peking



PM RRC Chou En Lai mengunjungi Bandung bln April 1965 utk memperingati 10 thn KAA


tentang Mao dan Revolusi Tiongkok simak diantaranya dalam buku Angin Menerpa Menara : Mao Zedong dan Revolusi Tiongkok (1949–1975) karya Han Suyin diterbitkan oleh Ultimus Bandung

Buku ini adalah bagian dari kisah lengkap tentang Revolusi Tiongkok dan kehidupan Mao Zedong (26 Desember 1893 – 9 September 1976) yang tak terpisahkan dari transformasi Tiongkok. Periode di dalam ANGIN MENERPA MENARA dimulai pada tahun 1949 ketika Partai Komunis Tiongkok dan Tentara Pembebasan Rakyat di bawah Mao berkuasa, dan menggambarkan perubahan-perubahan perjuangan serta kebangkitan spektakuler Tiongkok hingga 1976. Kisah tentang revolusi kebudayaan, maknanya, dan visi Mao yang menciptakan fenomena ini, juga digambarkan secara utuh untuk pertama kalinya.



live peluncuran dan bahas buku oleh Dede Mulyanto dan Tatiana Lukman


Chinese Foreign Policy: Southeast Asia – Taomo Zhou and Hong Liu

This chapter examines the changing contours of China–Southeast Asia relations from the founding of the People’s Republic of China (PRC) in 1949 to the present. It consists of two parts: The first part presents a chronological historical overview of the relationship between China and Southeast Asia. During the Mao era (1949–1976), ideology had been the main driving force behind Chinese policy towards Southeast Asia. Since the launch of the ‘reform and opening-up’ (gaige kaifang, 改革开放) program by a new leadership under Deng Xiaoping at the end of 1978, Sino-Southeast Asian relations have been mainly shaped by the economic interests and realpolitik calculations of different stakeholders, including the Chinese and Southeast Asian governments as well as major external powers such as the United States and Japan. The second part of this chapter discusses three major factors affecting this relationship: ethnic Chinese in Southeast Asia, South China Sea disputes and increasingly complex trade and investment networks. The conclusion identifies a few currently debated issues and some future challenges, including the PRC’s ‘One Belt One Road’ initiative and its efforts to project soft power.

periksa pula Annotated Chronology of Sino-Indonesian dalam Relations dalam China and Indonesia Make Up: Reflections on a Troubled Relationship – Michael Williams

etc dan seterusnya

unduh David Mozingo – ‘Chinese Policy Toward Indonesia’

bagian 1

China and the Shaping of Indonesia-Introduction and Conclusion – Hong Liu

Abstract : The interactions and mutual perceptions of China and Indonesia were a significant element in Asia’s postcolonial transformation, but as result of the prevailing emphasis on diplomatic and political relations within a Cold War and nation-state framework, their multi-dimensional interrelationship and its complex domestic ramifications have escaped scholarly scrutiny. China and the Shaping of Indonesia provides a meticulous account of versatile interplay between knowledge, power, ethnicity, and diplomacy in the context of Sino-Indonesian interactions between 1949 and 1965. Taking a transnational approach that views Asia as a flexible geographical and political construct, this book addresses three central questions. First, what images of China were prevalent in Indonesia, and how were narratives about China construed and reconstructed? Second, why did the China Metaphor – the projection of an imagined foreign land onto the local intellectural and political milieu – become central to Indonesians’ conception of themselves and a cause for self criticism and rediscovery? Third, how was the China Metaphor incorporated into Indonesia’s domestic politics and culture, and how did it affect the postcolonial transformation, the fate of the ethnic Chinese minority, and Sino-Indonesian diplomacy? Employing a wide range of hitherto untapped primary materials in Indonesian and Chinese as well as his own interviews, Hong Liu presents a compelling argument that many influential politicians and intellectuals, among them Sukarno, Hatta, and Pramoedya, utilized China as an alternative model of modernity in conceiving and developing projects of social engineering, cultural regeneration and political restructuring that helped shape the trajectory of modern Indonesia. The multiplicity of China thus constituted a site of political contestations and intellectual imaginations. The study is a major contribution both to the intellectual and political history of Indonesia and to the reconceptualization of Asian studies, it also serves as a timely reminder of the importance of historicizing China’s rising soft power in a transnational Asia.

dari google translate

Abstrak : Interaksi dan persepsi timbal balik antara Tiongkok dan Indonesia merupakan elemen penting dalam transformasi pascakolonial di Asia, namun sebagai akibat dari penekanan yang berlaku pada hubungan diplomatik dan politik dalam kerangka Perang Dingin dan negara-bangsa, hubungan multi-dimensi dan kompleksitasnya dampak domestik telah luput dari pengawasan ilmiah. Tiongkok dan Pembentukan Indonesia memberikan gambaran yang cermat tentang interaksi yang beragam antara pengetahuan, kekuasaan, etnis, dan diplomasi dalam konteks interaksi Tiongkok-Indonesia antara tahun 1949 dan 1965. Mengambil pendekatan transnasional yang memandang Asia sebagai konstruksi geografis dan politik yang fleksibel, buku ini membahas tiga pertanyaan sentral. Pertama, gambaran Tiongkok apa yang lazim di Indonesia, dan bagaimana narasi mengenai Tiongkok diinterpretasikan dan direkonstruksi? Kedua, mengapa Metafora Tiongkok – proyeksi imajinasi negeri asing ke dalam lingkungan intelektual dan politik lokal – menjadi inti konsepsi masyarakat Indonesia tentang diri mereka sendiri dan menjadi alasan untuk mengkritik diri sendiri dan menemukan kembali diri mereka sendiri? Ketiga, bagaimana Metafora Tiongkok dimasukkan ke dalam politik dan budaya dalam negeri Indonesia, dan bagaimana pengaruhnya terhadap transformasi pascakolonial, nasib etnis minoritas Tionghoa, dan diplomasi Tiongkok-Indonesia? Dengan menggunakan berbagai bahan utama yang belum dimanfaatkan dalam bahasa Indonesia dan Tiongkok serta wawancaranya sendiri, Hong Liu menyajikan argumen yang meyakinkan bahwa banyak politisi dan intelektual berpengaruh, di antaranya Sukarno, Hatta, dan Pramoedya, memanfaatkan Tiongkok sebagai model modernitas alternatif. dalam menyusun dan mengembangkan proyek rekayasa sosial, regenerasi budaya, dan restrukturisasi politik yang membantu membentuk arah Indonesia modern. Keberagaman Tiongkok menjadi arena kontestasi politik dan imajinasi intelektual. Kajian ini merupakan kontribusi besar bagi sejarah intelektual dan politik Indonesia serta rekonseptualisasi kajian Asia, dan juga berfungsi sebagai pengingat akan pentingnya menghistoriskan kebangkitan soft power Tiongkok di Asia transnasional

*Constructing a China Metahor Sukarno’s Perception of the PRC and Indonesia’s Political Transformation – Hong Liu

terkait Sukarno dan Demokrasi Terpimpin simak pula BEYOND IDEOLOGY:China-Indonesia Engagement and the Making of the Guided Democracy, 1955-1959 – Kankan Xie

*PRAMOEDYA ANANTA TOER AND CHINA: THE TRANSFORMATION OF A CULTURAL INTELLECTUAL – Hong Liu

This paper discusses Pramoedya’s understanding of the PRC’s cultural principles and practices, and suggests how it is relevant to the evolution of his thought. It will be argued here that, in reformulating his agendas for Indonesia, Pramoedya consistently drew upon his favorable impressions of the PRC and the (perceived) respected role of Chinese intellectuals. His notion of what went wrong with Indonesia was constantly compared with his perception of what went right with the China example. In so doing, the China image constructed and presented by Pramoedya became a mirror and a metaphor which contained transformable implications of far-reaching significance beyond its original connotations. By using China as a political statement and a cultural
symbol, Pramoedya in effect incorporated some key PRC literary doctrines into his modified visions for Indonesia, which in turn prompted his transition to cultural radicalism.

3 artikel ini adalah bab-bab dalam Buku Hong Liu

[Jendela dan Tinjauan Buku] Hong Liu; China and the Shaping of Indonesia, 1949-1965 / Edisi Indonesia – Sukarno, Tiongkok & Pembentukan Indonesia (1949-1965)

bagian 2

Ambivalent Alliance Chinese Policy towardsIndonesia, 1960-1965 – Taomo Zhou

China and the Thirtieth of September Movemen Taomo Zhou

dalam bahasa Indonesia

Tiongkok dan G30S – Taomo Zhou

2 buah artikel aritkel ini adalah bagian dari disertasi Taomo Zhou yang telah dibukukan

unduh DIASPORA AND DIPLOMACY: CHINA, INDONESIA AND THE COLD WAR, 1945-1967 – Taomo Zhou

A Dissertation Presented to the Faculty of the Graduate School of Cornell University In Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree of Doctor of Philosophy

[Tinjauan – Diskusi Buku] Taomo Zhou; DIASPORA AND DIPLOMACY: CHINA, INDONESIA AND THE COLD WAR / Revolusi, Diplomasi, Diaspora : Indonesia, Tiongkok, Etnik Tionghoa, 1945 – 1967

bagian 3

“Heirs to What Had Been Accomplished”: D. N. Aidit, the PKI, and Maoism, 1950–1965 -Hongxuan Lin and Matthew Galway

The emergence of Maoism in Indonesian intellectual circles was facilitated by three principal factors. First, Stalin’s death on 5 March 1953 and the subsequent internal struggle over Communist Party of the Soviet Union (CPSU) leadership, Mozingo notes, “greatly weakened the presumption of Moscow’s leadership of the Sino-Soviet alliance—a process that probably began as a result of dissatisfac- tions relating to the Korean War.”42 Although the CCP had assertive tendencies with regard to the world Communist movement before Stalin’s passing, the absence of Stalin, and Mao Zedong’s increasingly iconic stature, helped to position the CCP as a spiritual successor to leadership of the global Communist movement. Most importantly, Stalin’s successor, Nikita Khrushchev, denounced his predecessor in 1956, which, Mortimer contends, led the PKI leadership to “resent” the CPSU for “delivering a blow to a prestigious international Communist figure without prior consultation with other parties.”43 Stalin’s death and Khrushchev’s posthu- mous denunciation of Stalin led to a seismic shift among Communist parties in Asia: the CCP became an increasingly attractive revolutionary model on which to pattern their own approach to winning state power, and regarded the Chinese as leaders of the world Communist revolution.44 For Aidit and the PKI leadership, de-Stalinization and the overall ideological “drift” in Soviet politics and foreign pol- icy under Khrushchev left them without clear substantive policy guidance—and without safe political cover—from Moscow. This ultimately pushed the PKI leader- ship further toward Mao as a safer and more certain source of ideological legitim- ation during this period. 

Indonesia, Tiongkok dan Komunisme, 1949-1965 – Satriono Priyo Utomo Universitas Indonesia 

Aidit dan kamerad-kamerad terdekatnya, yaitu para pemimpin PKI yang terpilih pada Januari 1951, dengan keras menentang para anggota PKI yang menganjurkan perjuangan bersenjata sebagaimana diambil kaum komunis Tiongkok. Mereka berargumen bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan tidak menawarkan tempat yang bisa menjadi zona pembebasan. Tempat mana pun yang akan digunakan untuk memusatkan angkatan bersenjata PKI dapat dengan mudah diisolasi dan dikepung. Tidak ada pangkalan belakang, seperti Yan’an di Tiongkok atau Viet Bac di Vietnam, yang berbatasan dengan negara tetangga dari mana PKI dapat memperoleh pasokan. Selain itu, sebagian besar pendukung PKI berada di pulau Jawa, di mana tidak ada dataran tinggi atau kawasan hutan yang luas.

Bagi kepemimpinan baru di bawah Aidit, tidak mungkin meniru Revolusi Tiongkok, sama seperti mustahil kembali ke paradigma Bolshevik di balik pemberontakan perkotaan 1926-27. PKI harus menempa jalannya sendiri. Aidit yakin bahwa strategi legal parlementer dapat dijalankan di Indonesia merdeka dalam kerangka demokrasi konstitusional. Sukarno dan Hatta, di tengah-tengah penindasan terhadap PKI pasca-Madiun, tidak melarang PKI dan konstitusi baru negara Indonesia mempersulit mereka untuk melarang partai politik apa pun. Di mata para veteran PKI, yang hanya mengenal pembuangan, pemenjaraan, dan hukuman mati selama dua puluh lima tahun sebelumnya, serta baru saja mengalami serangan teror lagi, kelompok Aidit telah mengusulkan lompatan ke wilayah yang belum pernah dipetakan. Tapi, Indonesia adalah negara-bangsa baru yang menawarkan tanda-tanda harapan.

dipetik dari Komunisme Indonesia: Jalan Parlementer yang Sarat Marabahaya – John Roosa

tentang pokok masalah ini diantaranya periksa pula



This post first appeared on Lentera Di Atas Bukit, please read the originial post: here

Share the post

Puzzle Peking – Jakarta di Masa Perang Dingin : Revolusi Tiongkok, Mao Zedong, Sukarno, Pramoedya Ananta Toer, D.N Aidit dan Terkuburnya Revolusi Indonesia

×

Subscribe to Lentera Di Atas Bukit

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×