Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Kejatuhan dan Hati : Jejak Penulis Perempuan S. Rukiah dan ‘Revolusi’ yang Dibungkam, Dihilangkan……




 jangan lewatkan

Kejatuhan dan Hati
Sebuah pameran yang mempertemukan arsip, sastra dan seni-visual perihal S. Rukiah

Dari Penelitian ke Kekeluargaan – Dianita Kusuma Pertiwi

Telaah Atas Karya S. Rukiah Perang Batin Perempuan Dalam Revolusi oleh Ruth Indiah Rahayu

Buku ‘Kejatuhan dan Hati’: Ini Hidup Diantara Patriarki, Cinta, dan Perjuangan oleh Mira Pariyas

Tatkala perempuan menulis, mereka menulis berdasarkan pengalaman yang tak hanya dibatasi dalam lingkup domestik saja. Begitu pula S. Rukiah yang menuliskan sebuah novel begitu apik dan tetap eksis lintas zaman, berjudul ‘Kejatuhan dan Hati.’

  • Miri Pariyas

S. Rukiah Kertapati

25 April 1927 – 6 Juni 1996

Sadjak-sadjak – S. Rukiah

Sumber: Mimbar Indonesia, No. 43, 23 Oktober 1948.

 Tjakap Angin dengan Warna Hidjau Muda – S. Rukiah

Sumber: Mimbar Indonesia, No. 29-30, 26 Djuli 1950

Sambutan Delegasi LEKRA Pada Kongres Ke-V “Himpunan Sastrawan Jerman”– S. Rukiah Kertapati

PADA masa tahun-tahun awal kemerdekaan, jumlah perempuan terdidik telah meningkat tajam dibandingkan masa Kartini pada awal 1900-an. Namun di saat yang sama pembaca sastra Indonesia masih kesulitan menemukan nama penulis sastra perempuan yang masih sangat didominasi oleh penulis pria. Sementara itu revolusi Indonesia yang baru saja berlangsung antara tahun 1945–1949 menyisakan semangat revolusionernya dalam dunia seni budaya. Bangsa Indonesia mulai memikirkan apa yang harus dilakukan dalam membangun kebudayaan sebagai bangsa yang baru merdeka. Dalam situasi seperti inilah Rukiah hadir sebagai perempuan muda Indonesia yang menembus dominasi pria dalam dunia tulis-menulis dan menunjukkan bagaimana perempuan dapat berperan dalam dunia kesusasteraan pada masa itu. Pengantar ini ditulis untuk penerbitan ulang dua buku karya Rukiah, yaitu Kejatuhan dan Hati (Ultimus, 2017) dan Tandus (Ultimus, 2017).

Rukiah memulai kariernya dalam usia muda di Purwakarta. Buku pertamanya diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1950 berjudul Kedjatuhan dan Hati tercatat sebagai salah satu generasi pertama perempuan yang menerbitkan karyanya pascaperang. Dua tahun kemudian, tepatnya 1952, Rukiah menerbitkan buku keduanya, Tandus, yang berisi kumpulan sajak dan cerita pendek. Buku ini memiliki nilai sejarah penting dalam sastra Indonesia karena menempatkan Rukiah sebagai perempuan pertama yang mendapat hadiah sastra dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN; sebuah hadiah bergengsi kesusastraan pada saat itu) 1952 di antara para pemenang lainnya yang didominasi penulis pria, yait Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, dan Utuy Tatang Sontani.

Rukiah tidak hanya aktif berkarya. Dia juga ikut dalam kepengurusan organisasi kebudayaan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), sebuah organisasi seniman sayap kiri yang cukup besar pada masa pascaperang kemerdekaan. Sayangnya, semua jejak ini seakan terhapus dalam sejarah sastra Indonesia.

Biografi Singkat

Rukiah berasal dari kota kecil Purwakarta di Jawa Barat, sebuah daerah yang memiliki arti penting dalam revolusi Indonesia. Pada masa kolonial, daerah ini merupakan salah satu wilayah yang paling dieksploitasi oleh pemerintah kolonial untuk mendapatkan sumber tenaga kerja dan beras sehingga menjadikannya wilayah yang sangat menderita. Saat perang revolusi, kota ini terletak di wilayah perbatasan pendudukan Belanda dan Republik Indonesia sehingga menjadikannya bagian dari pusat pertempuran saat itu. Di daerah tersebut, para pemuda pejuang revolusi Indonesia yang berasal dari berbagai daerah berkumpul. Rukiah lahir dan tumbuh besar di kota ini.

Rukiah lahir pada tanggal 25 April 1927. Setelah menempuh pendidikan guru selama dua tahun di masa pendudukan Jepang, pada tahun 1945 Rukiah bekerja menjadi guru di Purwakarta. Di tahun yang sama, Rukiah aktif dalam kepalangmerahan membantu para pejuang, namun tidak sampai ikut dalam peperangan gerilya. (Shackford-Bradley: 257)

Di kota kelahirannya ini dia berkesempatan bertemu dengan para pejuang revolusi yang kemudian menjadi inspirasi dari banyak karya-karyanya. Perkenalan Rukiah dengan pejuang revolusi tidak hanya di sekitar kota kelahirannya Purwakarta saja. Pada tahun 1949 dia juga mengunjungi para pejuang yang ditahan di Bukti Duri seperti yang disebutkan Pramoedya Ananta Toer. (Shackford-Bradley: 257)

Rukiah memulai kariernya sebagai penulis di usia yang relatif muda, yaitu 19 tahun dengan menerbitkan puisinya di Gelombang Zaman. Selain itu, dia juga menulis untuk majalah Godam Djelata, sebuah majalah terbitan para pejuang revolusi di Jawa Barat yang salah satu pendirinya adalah Sidik Kertapati, calon suaminya di kemudian hari. Dalam periode revolusioner ini Rukiah sangat aktif dalam dunia kesusasteraan Indonesia dengan menjadi staf majalah budaya Pudjangga Baru pada tahun 1948, sebuah majalah sastra dan budaya bergengsi yang telah berdiri sejak zaman kolonial Belanda. Pada tahun yang kurang lebih sama, dia juga bekerja untuk Mimbar Indonesia dan Indonesia. (Gallop: 2) Pada bulan April 1949, dia menerbitkan mingguan budaya berjudul Irama di kot kelahirannya Purwakarta. (Shackford-Bradley: 257)

Periode 1950-an adalah periode penting bagi kehidupan pribadi dan karier kepenulisan Rukiah. Tidak lama setelah selesainya perang revolusi pada tahun 1950, Rukiah pindah ke Jakarta dan dengan segera dia mendapatkan pekerjaan sebagai sekretaris Pudjangga Baru, majalah budaya yang populer pada saat itu. Selanjutnya di majalah tersebut Rukiah menjadi editor dan menuliskan editorial untuk tiga edisi. Pada tahun 1950, Rukiah menerbitkan Kedjatuhan dan Hati.

 Awalnya sebagai edisi khusus dalam Pudjangga Baru, namun kemudian diterbitkan oleh Pustaka Rakjat pada tahun yang sama. (Gallop: 2–3) Setahun kemudian (1951), Rukiah pindah ke Bandung. Di kota ini dia menjadi editor majalah anak-anak Tjenderawasih antara tahun 1951–1952. Pada tahun 1952 juga bukunya Tandus diterbitkan oleh Balai Pustaka dan Rukiah menikah dengan Sidik Kertapati (1920–2007), seorang pemuda pejuang yang dikenalnya pada masa revolusi. Tahun berikutnya, yaitu 1953, seperti telah disebutkan di atas, bukunya yang terbit tahun 1952 mendapatkan hadiah sastra dari BMKN. Di tahun 1953 ini pula anak pertamanya lahir. (Gallop: 2–3)

Pada tahun-tahun berikutnya Rukiah semakin aktif dalam kegiatan politik kebudayaan, sementara suaminya, Sidik Kertapati, aktif dalam politik parlemen. Rukiah tercatat sebagai salah satu pengurus Lekra dalam kongresnya pada 28 Januari 1959 bersama sejumlah seniman seperti Affandi, Rivai Apin, dan Hendra Gunawan, seorang pelukis asal Garut yang disebut Gallop sebagai mentor Rukiah. (Gallop: 3)

Pada tahun 1960-an, Rukiah mengunjungi Eropa selama 6 bulan sebagai perwakilan seniman Lekra dan menyampaikan pidato dalam sebuah kongres penulis di Jerman Timur.

Sebagai seniman progresif, Rukiahaktif mengisi kolom-kolom terbitan organisasi. Sejak tahun 1962, Rukiah aktifmenulis di Api Kartini, Zaman Baru, Harian Rakjat, dan Lentera.(Shackford-Bradley: 257)

Di antara kawan-kawan senimannya, Rukiah dikenal sebagai seorang perempuan yang cerdas dan berpikiran tajam. Meskipun sibuk dengan berbagai kegiatan organisasi dan penulisan, Rukiah dikenang keluarganya tetap memiliki waktu untuk membesarkan anak-anaknya. (Shackford-Bradley: 39–40)

Peristiwa 1965 mengubah secara drastis keseluruhan sistem sosial politik di Indonesia. Bagi Rukiah dan keluarganya, mereka harus menanggung beban berat pasca pergolakan politik ini. Pukulan terberat adalah Rukiah beserta keenam anak-anaknya terpisah dari Sidik Kertapati yang saat itu menjadi eksil (awalnya di Tiongkok dan kemudian pindah ke Belanda pada tahun 1980-an). Untuk menghindari situasi yang semakin memburuk, Rukiah pulang kembali ke Purwakarta dan menjadi tahanan selama dua tahun (1967–69) di kota kelahirannya. Setelah lepas dari tahanan, Rukiah menghentikan sama sekali aktivitas tulis-menulis dan mengubur dalam-dalam segenap bakat sastranya. Sebaliknya, dia bekerja keras membuat kue dari subuh hingga malam hari untuk membiayai kehidupan keenam anaknya. (Shackford-Bradley:43)

Dunia sastra Indonesia seakan juga turut menguburkan nama Rukiah. Selain buku-bukunya ditarik dari peredaran, sebagian karya-karyanya yang awalnya tercantum dalam antologi sastra Gema Tanah Air: Prosa dan Puisi — ditulis oleh H.B. Jassin — hilang dalam edisi pasca 1965. Hingga akhir hayatnya Rukiah tidak pernah kembali lagi ke dunia sastra yang pernah menjadikannya salah seorang pionir perempuan dalam sastra Indonesia. Rukiah meninggal dengan tenang di Purwakarta pada tahun 1996.

selengkapnya Pengantar Tim Editor Untuk Penerbitan Kembali Buku S. Rukiah Kejatuhan dan Hati serta Tandus

Saya tak bisa berpikir lebih banyak lagi kecuali meyakini, melalui karya-karyanya, S. Rukiah jelas salah satu penulis kita yang terpenting dilihat dari beragam sisi mana pun.

dari Pengantar Eka Kurniawan Untuk Penerbitan Kembali Buku S. Rukiah Kejatuhan dan Hati serta Tandus

Independent Woman in Postcolonial Indonesia: Rereading the Works of Rukiah – Yerry Wirawan*

Perempuan yang dilenyapkan sejarah –  Purnama Ayu Rizky

Historiografi Orde Baru telah melenyapkan nama perempuan-perempuan seperti Sugiarti dan S. Rukiah dari kesusastraan tanah air.

Cendrawasih Priangan -Hawe Setiawan *Pikiran Rakyat 

Persembahan Rukiah oleh Bandung Mawardi (Majalah BASIS) 

Perempuan (Tak) Terlupakan –Bandung Mawardi

S. Rukiah Kertapati, Forgotten Woman Writer of the Indonesian Revolution –  Dhania Sarahtika (JakartaGlobe)

Perempuan dalam Kesunyian: Mengenal Kehidupan dan Karyakarya Siti Rukiah Kertapati (1927-1996) – Peggy Nirwanjanti, Ratu Husmiati, Kurniawati Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta

Siti Rukiah Kertapati, sastrawati era kemerdekaan yang terlupakan -bbc indonesia

Shattered Hearts: Indigenous Women and Subaltern Resistance in Indonesian and Indigenous Canadian Literature by Alicia Marie Lawrence B.A., University of Victoria, 2009

Studi Komparasi Karya S Rukiah (Indonesia) dan Robinson (Canada)

The Work of S Rukiah (Karya-Karya S Rukiah) – Disertasi Annabel Gallop



SITI RUKIAH: YANG HILANG DALAM SEJARAH KASUSASTRAAN INDONESIA – mojokdotco






Ngomong-Ngomong Soal Rukiah: Yang Menuai di Ladang Tandus | Siniar Salihara



Ngomong-Ngomong Soal Rukiah: Yang Menuai di Ladang Tandus | Siniar Salihara

Siti Rukiah atau S. Rukiah aktif menulis pada masa Kemerdekaan hingga 1965. Ia menulis puisi, cerpen, novel dan cerita anak-anak. Di luar pekerjaannya sebagai seorang penulis, Rukiah adalah seorang guru, redaktur dan aktivis politik, ia juga bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan menjadi salah satu elite pemimpinnya. Prosa-prosanya menampilkan kembali korban revolusi di kalangan rakyat jelata yang tidak berdosa, sebagaimana ditampilkan dalam Tandus (1952). Seperti apa kiprah dan karya-karya S. Rukiah? Ibrahim Soetomo bersama Dewi Kharisma Michellia akan mengurainya dalam “Ng



This post first appeared on Lentera Di Atas Bukit, please read the originial post: here

Share the post

Kejatuhan dan Hati : Jejak Penulis Perempuan S. Rukiah dan ‘Revolusi’ yang Dibungkam, Dihilangkan……

×

Subscribe to Lentera Di Atas Bukit

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×