Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

[Taman 65] Kesaksian dan Puisi ‘Aji Raka’ : Guru, Kakek, Bapak I Gusti Made Raka, Pulang Kampung ke Rumah Kelahiran

 Gung Kak Raka adalah salah satu dari sekian banyak guru yang dihilangkan secara paksa ketika kekerasan 65 berlangsung. 

Semenjak itu, dia menjadi sosok misterius. Kisah dan sejarah hidupnya tidak pernah hadir dengan terang benderang. Bahkan para kerabat yang mengenalnya mesti bisik-bisik ketika menyebut namanya. 

Ya, rezim militeristik Orba berhasil membuat para korban kekerasan 65 tercerabut dari komunitasnya. Orang-orang sekerabat jadi canggung, takut bahkan emoh mengakui Mereka sebagai bagian dari keluarga. 

Nasib sejarah orang-orang yang dihilangkan secara paksa ini bak para gelandangan tak berumah. Kisah hidup mereka tidak pernah dipersilahkan masuk ke dalam rumah. 

Maka dari itu penghilangan peran “orang-orang kiri” di masa lalu tidak hanya terjadi dalam sejarah nasional, melainkan juga berlangsung dalam sejarah komunitas di mana mereka dibesarkan.

Hadirnya patung Gung Kak Raka di masa kini sungguh melegakan kami sebagai generasi penerus. Dia tidak lagi berwujud dalam imajinasi. Kami tidak perlu lagi menerka-nerka bagaimana perawakannya. 

Upaya sanak famili menghadirkan patung anggota keluarga mereka yang menjadi korban adalah sebuah terobosan. 

Tembok penyangkalan yang ditanam rezim Orba di dalam kepala warganya haruslah dijebol.  Penyangkalan sama saja dengan praktek penghilangan paksa.

Mereka yang hilang mesti balik ke rumah. Raga-nya barangkali sudah lenyap, namun kisah sejarah hidupnya mesti dibukakan pintu untuk pulang.

Selamat pulang kampung Gung Kak Raka..

(Gde Putra – Cucu)





Hilang dan Mati Pasca 65 – Gde Putra

TIDAK ada keraguan bahwa jumlah korban kekerasan Peristiwa G30S 1965, sangatlah luar biasa besar. Namun, yang masih samar adalah kepastian kabar kematian korban peristiwa itu sendiri, karena seringkali bersumber pada desas desus tanpa bukti serius. Selain itu, pihak keluarga belum pernah melihat mayat Anggota Keluarganya yang menjadi korban. Pemerintah melarang pihak keluarga mencari tubuh anggota keluarganya yang konon telah dibantai. Pihak keluarga akhirnya bersepakat anggota keluarganya yang tak pulang-pulang itu telah mati.

Kematian seperti inilah yang menimpa kakek saya, Gung Kak Raka. Keluarga kami dipaksa menelan desas-desus bahwa kakek tewas di tangan tameng, jagal anti Komunis di Bali.

Upacara kremasi kakek saya unik, tidak mengunakan jenasah melainkan dengan tanah sebagai representasi dari tubuhnya. Tanah itu diyakini mengandung unsur tubuh kakek karena dipercayai berasal dari tempat dia dibunuh. Kremasi tanpa tubuh ini berlangsung pada tahun 1971.

Bukannya pihak keluarga bermaksud lancang menyepakati anggota keluarganya yang tidak pulang-pulang itu telah berada di alam baka. Ada perasaan dosa menghantui keluarga jika kakek tidak diupacarai kalau seandainya memang benar dia telah mati. Upacara ngaben ini penting agar arwah kakek bisa tenang, dan bisa bereinkarnasi. Lagi pula pemerintah tidak ingin warganya mengusik peristiwa berdarah tersebut sehingga satu-satunya pijakan untuk diyakini oleh keluarga adalah desas-desus.

Pertanyaan mengenai bagaimana nasib orang-orang yang tak pulang-pulang terlalu beresiko untuk dicari jawabannya pada masa Orde Baru (Orba). Meyakini mereka “mati” bagi sebagian anggota keluarga jauh terasa lebih aman daripada meyakininya “hilang”.

Meyakininya mati adalah cara untuk bertahan hidup bagi keluarga korban, agar bisa menghindari pertanyaan-pertanyaan mengenai nasib anggota keluarganya yang hilang. Mereka tak ingin pertanyaan-pertanyaan itu memberatkan langkah mereka saat melewati jalan terjal pasca pembantaian massal 65. Mereka harus berjuang dari nol, dipersulit oleh pemerintah, serta dililit stigma PKI.

selengkapnya https://indoprogress.com/2017/

Patung Kakekmu pulang ke rumah 4 Juli 2022, puisi ini saksinya 

Aji Raka

Saat kau hidup, kau jadi guru Sekolah Rakyat,

Prahara 65 tiba menjemputmu,

Kebebasan jiwamu dirampas, ragamu dibegal gerombolan jagal dan serdadu orde baru,

Kau terkapar,

jasadmu berselimut baju dril seragam gurumu, yang lusuh, bercipratan darah ayunan klewang para jagal,

Kau dikubur sembarang tak seijin Dewi Durga, dan tanpa diantar secuil doa keluarga,

Anak2 dan cucumu tak mau lupa, mereka rindu membatu,

Kubuatkan patung mukamu berbaju guru,

Ingin mengajakmu pulang,

Senin 4 juli 2022 sore,

kudandan kau memasuki rumah kelahiran mu,

Anak2 dan cucumu riang gembira menyambut kepulanganmu,

Namun tidak untuk keluarga besarmu, mereka heboh tak mau hirau,

Keluarga besarmu tidak sudi kehadiranmu,

kau dibilang tidak sejuk,

kau lebih cinta pada anjing daripada anak,

kau mengganggu kenyamanan,

kau tidak punya karya yg patut ditiru dan digugu,

kau komunis,

kau PKI tidak disayang Tuhan,

kau layak mati, karena mati di tangan Tuhan katanya,

dan yang lain masih hidup baik2 seperti tanpa cela,

Tega nian Ji,

Prahara 65 lima puluh tujuh tahun lalu, Negara melucuti sekujur jiwa raga dan seragam gurumu,

Kini patungmu dikeroyok keluarga,

Kau dibuatkan sangkep keluarga berencana ,

digelar di Taman 65, bekas rumahmu dulu bercengkrama dengan Ibu,

rumah yg kau bangun dengan mengumpulkan gaji gurumu per bulan,

atas nama natah ajak liu, mereka murka, dan sungguh sungguh murka,

tanpa alasan jelas; kehadiranmu DITOLAK !

Ada apa ya Ji ?

Mereka bilang bersaudara Ji ?

Perjalanan pulangmu ke rumah sendiri bikin gaduh para pemurka,

gaduh meriuh tanda iman yg keruh

Yakinlah Ji,

Anak2 dan para cucu mencintaimu, dalam terang maupun gelap,

teruslah menjadi duri pakeling dalam daging para pemurka, untuk mencegah lahirnya pemurka2 baru di tanah kami semua berpijak

Astungkare,

Patung Aji sudah di rumah bersama kita,

nyalakan terus api kebenaran dari alam baka untuk menempa kami2 dan kita semua !!!

Welcome home and proud of you, semoga baik2 disana bersama Ibu

(Agung Alit – Anak)

Ini rumah bapak saya yang diratakan massa pada peristiwa ‘65. Bapak saya, seorang guru, dibantai 25 Desember 1965. Rumah ini saya jadikan Taman 65 untuk memperingati peristiwa keji itu, sebagai Taman Melawan Lupa untuk orang-orang yang ingin belajar tentang hoax ‘65. Di Bali peristiwa ini makan korban 80 ribu orang, mengerikan. (teks dan cover foto Agung Alit – disalin dari Living1965setiaphari)

In loving memory: I Gusti Ketut Agung set up the Taman 65 (Park 65) space to honor his father, I Gusti Made Raka, who was killed in the 1965 Communist purge, and to give people the opportunity to discuss the incident.

selengkapnya Taman 65 & its fight to turn tables – The Jakarta Post

dari film 40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy – Genocide (FULL FILM)

film bisa disimak di kanal youtube https://www.youtube.com/watch?v=kLT6G8FD3E4



*simak kesaksiannya di film ini setelah menit 25

simak pula

Memorial (‘Monumen Peringatan’) Taman 65.

Komunitas Taman 65 : Memorabilia dan Rumah Sejarah Ingatan Kita


Simak 1700 ‘entry’ lainnya pada link berikut

Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966


Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)




This post first appeared on Lentera Di Atas Bukit, please read the originial post: here

Share the post

[Taman 65] Kesaksian dan Puisi ‘Aji Raka’ : Guru, Kakek, Bapak I Gusti Made Raka, Pulang Kampung ke Rumah Kelahiran

×

Subscribe to Lentera Di Atas Bukit

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×