Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

#PrisonSong Tini dan Yanti – Rara Sekar (Live di Gedung Kesenian Savanajaya, Pulau Buru)




Tini dan Yanti – Rara Sekar (Live di Gedung Kesenian Savanajaya, Buru)

Tini dan Yanti
Kepergianku
Buat kehadiran di hari esok
Yang gemilang

Jangan kecewa
Meski derita menantang
Itu adalah mulia

Tiada bingkisan
Hanya kecintaan
Akan kebebasan mendatang

La historia me absolvera
La historia me absolvera
La historia me absolvera
La historia me absolvera
La historia me absolvera
La historia me absolvera

Setelah sekian lama hanya bisa membaca dan membayangkan Pulau Buru, Desember 2021 akhirnya aku berkesempatan untuk mengunjunginya bersama sebuah organisasi yang berfokus pada perlindungan korban/penyintas. Selama di sana, aku ikut membantu mencatat kabar mantan tahanan politik yang masih tersisa hari ini, khususnya di Desa Savanajaya.

Selama sepuluh tahun, 1969—1979, Pulau Buru menjadi pulau yang dipilih Rezim Orde Baru untuk membuang dan mengasingkan para tahanan politik yang terkait dengan G30S, tanpa ada alasan yang jelas mengapa mereka ditangkap dan ditahan. Sekitar 12.000 tahanan politik membuka lahan dan hutan sendiri, dengan alat seadanya, mencetak sawah hingga seluas 2.500 hektare. Tak hanya bekerja membuka lahan untuk persawahan, mereka juga bekerja membuka hutan, membuka jalan, membangun barak, rumah ibadah, saluran irigasi serta area peternakan, pagi hingga malam, dalam kondisi yang memprihatinkan.

Kini, Pulau Buru terasa begitu steril. Tak ada lagi jejak sejarah kelamnya yang tampak di sana. Yang tersisa dari sejarah kelam Buru hanyalah ingatan yang melekat pada tubuh dan cerita para mantan tahanan politik, dan upaya mereka untuk bisa memaafkan dan tidak mendendam, sesulit apapun itu, untuk bisa terus merawat harapan di hari-hari mereka yang tersisa, sekecil apapun itu.

“Saya, yang paling butuh itu vitamin-vitamin, kacamata. Kebetulan kacamata (lama) yang saya punya udah tidak bisa dipakai untuk melihat.” Begitu jawaban Pak Yadiono ketika ditanya apa hal yang paling ia butuhkan hari ini di usianya yang ke-81 tahun ini. Kondisi kesehatannya sudah sangat tidak baik, begitupula dengan mantan tapol lainnya yang sudah memasuki usia senja. Akses kesehatan, pemasukan yang layak ketika bertani sudah tidak bisa lagi dilakukan dengan badan yang sakit-sakitan, dan uang yang cukup untuk bisa sesekali mengunjungi keluarga di Pulau Jawa adalah hal-hal sederhana yang hari ini mereka prioritaskan—keadilan paling dasar untuk manusia yang seharusnya dipenuhi oleh negara. Melihat kondisi ini, rasanya sulit membayangkan bentuk-bentuk keadilan yang lebih besar untuk para eks-tapol di Pulau Buru. Namun mungkin, merawat kehidupan sampai nafas terakhir, adalah bentuk perlawanan terakhir mereka.

Di hari terakhirku di Pulau Buru, aku duduk di mulut panggung Gedung Kesenian Savanajaya, satu-satunya gedung lama yang tersisa di sana. Aku mencoba mengolah segala macam emosi dan pikiran yang berkecamuk di dalam diriku—marah, kecewa, tak berdaya, sedih juga bersalah. Aku ingin muntah, tapi aku belum makan. Akhirnya, aku memutuskan untuk coba memainkan lagu Tini dan Yanti di Gedung Kesenian Savanajaya. Lagu ini, meski tidak dilatari kisah di Pulau Buru, adalah satu-satunya jembatanku pada tragedi 1965. “La historia me absolvera/La historia me absolvera.” (Sejarah akan membebaskanku/Sejarah akan membebaskanku). Aku mengulanginya terus menerus sampai lagu selesai. Di antaranya aku bertanya-tanya, sejauh apa sejarah telah benar-benar membebaskan kita?

hara, 30 September 2022.

*hara = Rara Sekar

Rara Sekar dan Pesona Sejarah Alternatif – Luh De Suriyani {BaleBengong]

Tini dan Yanti disebut lagu yang paling sering dinyanyikan di penjara oleh penyintas, bagaimana membayangkan ketika mengaransemen ulang?

Selalu memikirkan tiap membawakan bahwa ini tanggung jawab besar, dikasi kehormatan untuk menciptaan ulang sejarah yang sangat intim. Sejarah keluarga yang jadi alternatif dari buku sejarah di sekolah, dan sering jadi alat politik. Punya beban jadi orang yang menginteprestasikan dan membawakannya secara populer. Energinya kuat walau hanya membayangkan dan dengar cerita behind the scene. Mengumpulkan energi saat memamainkan karena kuat sekali, tak mungkin tak tersentuh, ada perasaan membuncah. Kami (Banda Neira) jarang membawakan karena terlalu besar energinya. Punya makna sejarah yang tinggi yang tak bisa dimainkan semena-mena.

Tini, Yanti, dan Sejarah yang Tak Kunjung Membebaskan oleh Albertus Arga Yuda*

Prison Songs (Nyanyian Yang Dibungkam) Membangun Jembatan Sejarah #1965 / Genosida Politik 1965-1966

SEKEPING KENANGAN – Fragment of Memory (Full Movie) – Prison Songs ’65 [Taman 65]


Simak 1700 ‘entry’ lainnya pada link berikut

Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966


Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)



Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)



This post first appeared on Lentera Di Atas Bukit, please read the originial post: here

Share the post

#PrisonSong Tini dan Yanti – Rara Sekar (Live di Gedung Kesenian Savanajaya, Pulau Buru)

×

Subscribe to Lentera Di Atas Bukit

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×