Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

‘Berat Hidup di Barat’ : Kisah Eksil ’65 (Jurnalis dan Cerpenis) Soeprijadi Tomodihardjo. *simak arsip beberapa cerpen dan artikelnya di Kompas, Sinar Harapan dan Jawa Pos.




foto cover sumber https://archive.lenteratimur.com/author/soeprijadi-tomodihardjo/

simak pula Kompilasi Kisah-kisah Para Eksil 1965

Perjalanan ke Barat Mencari Suaka

Akibat Peristiwa 1965, jurnalis Soeprijadi Tomodihardjo terpaksa jadi eksil. Mencari suaka di Negeri Tirai Bambu hingga Benua Biru.

Oleh Randy Wirayudha – historia.id

Berat Hidup di Barat (Kompas, 9 Mei 2004) karya sastrawan eksil Soeprijadi Tomodihardjo menceritakan kisah Eric Sullivan, seorang eksil dari Addis Ababa, Ethiopia. Eric Lewat tokoh aku diceritakan mengalami adaptasi yang setengah-setengah di lingkungan barunya, sebuah flat di Jerman(?). Akibatnya, gaya hidupnya dan kebiasaannya yang berbeda dengan orang-orang sekitar membuat keluarganya dikucilkan. Eric Sullivan sebenarnya adalah proyeksi kehidupan tokoh aku sendiri yang adalah seorang eksil Indonesia. Sesuai judulnya, Berat Hidup di Barat, cerpen ini menggambarkan bagaimana sulitnya para eksil di luar negeri memulai hidup baru di tanah baru, jauh dari lingkungan asalnya. Namun mereka tetap bertahan, seperti Eric Sullivan yang sampai kini masih tinggal di flat itu dengan anaknya yang kini sudah lima orang.

(Berto Tukan dalam Esai Mencongkel Selilit Ingatan)

CERPEN KOMPAS 2004: “BERAT HIDUP DI BARAT” Karya Soeprijadi TOMODIHARDJO

“Soeprijadi Tomodihardjo, 79 tahun, merupakan salah seorang wartawan dan penulis cerita pendek Indonesia yang diundang oleh Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) untuk menghadiri perayaan hari jadi negara itu pada 1 Oktober 1965. Bung Soeprijadi tidak sendirian. Ada ratusan tokoh Indonesia yang hadir dalam perhelatan raksasa yang dipusatkan di Tien An Men, Beijing, waktu itu. Sejarah mencatat, banyak orang Indonesia – tidak hanya di RRT, tetapi juga di negara-negara blok sosialis di seluruh dunia, termasuk Kuba – tak bisa kembali ke tanah air mereka setelah pecahnya bencana politik yang disulut oleh Gerakan Tiga Puluh September (G30S) di Jakarta, malam menjelang 1 Oktober 1965.

Penderitaan mereka semakin menjadi-jadi setelah Revolusi Kebudayaan berkobar di seluruh daratan RRT. Sebagian besar orang-orang Indonesia tadi mengalami imbas gerakan pembersihan terhadap musuh-musuh Revolusi di Negara Naga Merah tersebut. Mereka juga kena gilas, dan disingkirkan, dengan dalih harus membersihkan “penyakit borjuis” yang mereka derita. Mereka diharuskan bekerja secara fisik di desa-desa, termasuk mengangkut kotoran manusia untuk dijadikan pupuk tanaman. Sastrawan Sobron Aidit, Utuy Tatang Sontani, dan Agam Wispi termasuk di antara mereka yang, walau tak kehilangan kata-kata puitis, harus turut kerja kasar yang tak pernah mereka bayangkan ketika bertolak dari Jakarta.

Reda Revolusi Kebudayaan, di RRT bersinar ilham besar, bagaimana mencari pasar untuk produk industri mereka. Indonesia jadi lirikan mata negara yang sekarang berubah haluan, membangun birokrasi kapitalisme yang maju menerjang bagaikan seekor naga ijo yang lapar di bawah kepemimpinan yang pragmatis, perokok berat, Teng Siaw Ping. Untuk pasar, demi keuntungan finansial, apa pun dilakukan para pengambil keputusan di Beijing. Semudah membalik loyang, mereka tunduk pada syarat yang dikenakan oleh rezim militeristis Suharto, yang intinya kalau mau dagang dengan Indonesia maka orang-orang “komunis” Indonesia yang bersarang di RRT harus hengkang lebih dulu. Syarat yang mudah! Orang-orang Indonesia yang terlunta-lunta, tak punya tujuan, tak bertanah air itu, secara halus “dibukakan pintu untuk kabur.” Solidaritas internasional, prinsip yang diagung-agungkan pemimpin partai dan pemerintahan selama ini di sana, tinggal puntung kembang-api yang sudah padam, dicampakkan! Maka melatalah mereka dalam kesengsaraan yang berkepanjangan. Ada yang kandas di Jerman, Prancis, Belgia, terutama Negeri Belanda.

Soeprijadi Tomodihardjo yang terdampar di Koeln, Jerman, tak kehilangan rasa humor ketika menuliskan cerita pendeknya dengan latar masa lalu di sebuah hotel di Beijing, sebagaimana bisa kita nikmati di bawah ini.”

(Martin Aleida)

Berita Lelayu YPKP 1965

Soeprijadi Tomodihardjo | 27 Februari 1933 – 6 Oktober 2019 |

Episode Sebuah Riwayat Panjang Cerpen SOEPRIJADI TOMODIHARDJO

Cerpen Jawa Pos 2009 Tembok Karya Soeprijadi Tomodihardjo*

Cerpen Jawa Pos RYAN Karya Soeprijadi Tomodihardjo

CERPEN KOMPAS 2004: “MEREKA CUMA KETAWA” KARYA SOEPRIJADI TOMODIHARDJO

CERPEN KOMPAS 2004: “BERAT HIDUP DI BARAT” KARYA SOEPRIJADI TOMODIHARDJO

CERPEN KOMPAS 2006 “CUCU TUKANG PERANG” KARYA SOEPRIJADI TOMODIHARDJO

CERPEN KOMPAS 2005 “SARMA” KARYA SOEPRIJADI TOMODIHARDJO

CERPEN KOMPAS 2007 HARI TERAKHIR MEI LAN KARYA SOEPRIJADI TOMODIHARDJO

Sastra Eksil, Adakah? -Soeprijadi Tomodihardjo (Sinar Harapan)

Hemingway – Soeprijadi Tomodihardjo di Jawa Pos

Malaikat Bernama Armagedon Soeprijadi Tomodihardjo di Jawa Pos

sumber Books by Soeprijadi Tomodihardjo goodreads.com.


Simak 1700 ‘entry’ lainnya pada link berikut

 
Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966





Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)







This post first appeared on Lentera Di Atas Bukit, please read the originial post: here

Share the post

‘Berat Hidup di Barat’ : Kisah Eksil ’65 (Jurnalis dan Cerpenis) Soeprijadi Tomodihardjo. *simak arsip beberapa cerpen dan artikelnya di Kompas, Sinar Harapan dan Jawa Pos.

×

Subscribe to Lentera Di Atas Bukit

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×