Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Musik Tigapagi – Semboyan dan Roekmana’s Repertoire l Genosida Politik 1965-1966

Sembojan – Sebuah Entitas Pendek

(dirilis 30 september 2015)





Wajah yang Hilang berkisar di angka 500 ribu jiwa
Perkaranyapun Praduga, Gugurkan 7 sekawan
Kabar ditebar terpapar membakar kesumat seluruh rumah
Hingga mulai bernyali langkahi peran ilahi
Warta Fana a.aaaaaa(2x)
Dalihnya semua demi paduka yang mulia
Siapa yang menduga nyata terencana
Terpisahnya kepala tubuh saling mencari
Nama-nama yang dicuri kan menggugat kembali
Sekarang atau nanti
Warta Fana a.aaaaaa(2x)
Kala dulu penuh waktu
Kini jadi paruh waktu
Tak ada besi dan alu bertalu
Beralih angka-angka semu
Atas asas satu padu
tak usahlah di adu-adu
guna meramu pasal yang baru
Sisihkan Merah Putih Biru
Mari berjuang nyonya dan tuan
Demi gagasan Kesetaraan


versi lengkap 10 menit
versi pendek 3 menit
Tigapagi – “Sembojan” – Rilisan terbaru yang disebut sebagai Entitas Pendek oleh kelompok folk asal Bandung.

Roekmana’s Repertoire
“Cuma pilu, cuma pilu, anakku Hilang Tak kembali, anakku hilang tak kembali…” begitu lirik Alang-Alang, lagu dari album perdana yang mereka luncurkan bertepatan di peringatan G30S tahun lalu.
Album Roekmana’s repertoire seolah ingin mempresentasikan sejarah dan akar yang tak boleh dilupa.
“Mau jelek, mau bagus, sebaiknya jangan kita lupakan,” kata vokalis dan gitaris Sigit Pramudita.
Musik di gudang masa lalu Tigapagi -BBC Indonesia

…..sebuah kisah panjang akan mengalun dalam 14 nomor yang dirangkai jadi satu cerita sepanjang 65 menit tanpa jeda. Empat belas kisah pilu yang diceritakan diantara petikan kecapi Sunda, lengking biola, dan irama syahdu lainnya. Paduan pentatonis Jawa dan klasik Eropa yang rukun bercengkrama. Tigapagi tidak sendirian, banyak tamu yang membuat album ini lebih berwarna. Dalam package Roekmana’s Repertoire ini, disertakan pula lirik dalam kertas kopi dan gambar-gambar tangan, juga foto ruang tamu si tokoh sentral, Roekmana. Sebuah karya yang sangat terkonsep dari trio Sigit Agung Pramudita, Eko Sakti Oktavianto, dan Primadian Febrianto.
Ber-setting di hiruk pikuk Indonesia tahun 1965, album ini secara keseluruhan menceritakan kegelisahan Roekmana. Kegundahan hati yang belum diselesaikan, kehilangan yang belum berakhir pertemuan, harapan di usia senja yang memudar, sampai liang kubur tempat ia akan tertidur. Sendu memang cuacanya.
Dipetik dari [Album Review] Tigapagi – Roekmana’s Repertoire
(warningmagz.com)

Roekmana’s Repertoire saya ibaratkan oase dipadang pasir, berhasil menghilangkan dahaga dan menyegarkan para penggemar mereka yang lama menantikan album penuh dari Tigapagi. Dan jika memang album ini dibuat dalam nuansa September 1965, maka mereka berhasil, baik dari segi kemasan ataupun musik yang terkesan kelabu karenanya.
Dipetik dari (Resensi) Tigapagi dan Hikayat Seorang Roekmana 
(sorgemagz.com)

Alang-Alang
Erika
S(m)unda
Yes We Were Lost in Our Homeland
Batu Tua
Sorrow Haunts
Heufken
Tangan Hampa Kaki Telanjang
Pasir
Vertebrae Song (The Maslow)
Happy Birthday
The Way
De Rode Slaapkamer
Tertidur

Alang-alang

Hangus terbakar rindu masa lalu.
Menanti waktu berpacu tak menentu, ku berdebu, oh berdebu.
Ku berdebu, oh berdebu.
Anganku hilang tak kembali.
Anganku hilang tak kembali.
Anganku yang hilang tak kembali.
Hanya terpaku suaraku pun berseru,
“Cuma pilu! Cuma pilu!”
Anakku hilang tak kembali.
Anakku hilang tak kembali.
Anakku yang hilang, tak kembali.
Anakku yang hilang, tak kembali.
Anakku hilang tak kembali.
Anakku hilang tak kembali.
Anakku yang hilang, tak kembali.
Anakku yang hilang, tak kembali.

S (M)UNDA

Satu per satu, hilang dari hidupku, seiring waktu.
Satu per satu, tiada lagi, beranjak pasti, menghantuiku.
Bagaikan sang waktu membenciku, pisahkan aku dari batinku.
Seakan semua masa lalu yang tak pernah punya arti,
Lalu kita lupakan semua kenangan.
Biarkan ditelan waktu.

Sorrow Haunts

Everything just shades apart, but it’s just the same for me,
When everyone closes their eyes, but there’s nothing changes in me.
Everything just shades apart.
And now it changes in me.
I swallow the seeds of arrogance, feels like a diamond with no shine.
My boat is sinking in the dark, but my soul was sailing to the sun,
Everything just shades apart, yet there’s nothing changed in me,
Why i sing this song for you,
Because death will do us apart.
You shouldn’t say good riddance to me.
Coz you will fly too.
Are you listening to the sound, it’s like a hole in the sun.
Are you digging on the ground, just to break the bound?
Sorrow haunts.

Tangan Hampa Kaki Telanjang

Menjahit luka hati.
Tutupi dusta hati yang abadi.
Mungkin tak terobati, tapi tertolong asa, rasa mati.
Selama hayat ini, ku hanya mengikuti dan ikuti.
Mungkin suatu nanti, saat semua mati, kita mati.
Salahkah aku, hinakah ku, bertutur pun tak mampu.
Salahkah aku, maafkanku,
Aku hanya mampu bertumpu, dan berharap pada tangan hampa
dan kaki telanjang.
Mungkin hancur ragaku, namun tanpa buta hati.
Seakan aku bermimpi, bermimpi.
Bermimpi aku berdiri tanpa kaki.
Kuikuti terus alur ini, yang tak pernah bisa kumengerti.
Pasir

Pasir ini erat kugenggam.
Tak tersisa sebutir di telapak tangan.
Jika ia tak sanggup lagi menghakimi.
Mungkin hanya waktu yang dapat mengadili ia.
Andai jarum dapat kuhalang.
Tak akan terbuang detik akan kudulang,
Dan akan kutuang dalam ruang tak bertulang.
Namun kini kulebih memilih tuk pulang.
Ku pulang pun tak kunjung hilang.
Menjadi bayang, menghadang, lalu menyerang.
Sekonyong datang, lalu hilang, lalu datang,
hilang,
Selalu datang-hilang, lalu datang.
Lalu hilang.
Pasir, aku lelah mengukir. Ku terusir tersingkir.
Pasir, tak terukur, kau gugur teratur.
Aku terkubur tersungkur.

Vertebrata Song (The Maslow)

You taught me well, but it is unnecessary.
You carved me well, but its just misery.
Humanity, humanity, you just won’t believe such a thing anymore.
I’m a living being and you are living being.
There’s a curse and grace for this spinal cord.
Maybe i could sing while you don’t think,
So this question should be in my final chord.
Let me ask you, why do we need love anyway
If in the end it was all about feeding, breeding, and protecting?
Instinctively, naturally we don’t need humanity.
Happy Birthday

Don’t be craze, this is just a little bit surprising.



This post first appeared on Lentera Di Atas Bukit, please read the originial post: here

Share the post

Musik Tigapagi – Semboyan dan Roekmana’s Repertoire l Genosida Politik 1965-1966

×

Subscribe to Lentera Di Atas Bukit

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×