Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Tanah Air Yang Hilang – Martin Aleida : Dari ‘Cinta Tak Mati-Mati di Daratan Jauh’, ‘Trah Aidit di Paris’ Hingga ‘Bom di Hanoi, Keajaiban di Bukit Cahaya’ *Kisah-kisah Para Eksil ’65




Judul: Tanah Air Yang Hilang

Penulis: Martin Aleida

Penerbit: Penerbit Buku Kompas, 2017

Buku ini mengumpulkan cerita 19 oran gIndonesia yang terpaksa kehilangan tanah air dan tinggal di berbagai sudut Eropa. Mereka berkelana menyeberangi berbagai batas negara dalam ketakutan, tanpa paspor, untuk menghindari pengejaran yang dilancarkan oleh sebuah rezim yang bertahta berdasawarsa lamanya. Ketika mendapat suaka di negara baru, mereka lega. Ketika pulang ke Indonesia, mereka menggunakan paspor negara lain. Pada sebentuk hati yang sudah berpuluh tahun kehilangan tanah air, tanpa paspor yang dulu dipegang ketika meninggalkan Indonesia, pulang adalah heroisme yang datang berulang-ulang sampai akhir hayat.

Mereka sudah menjadi warga negara lain, tetapi Indonesia tetaplah tanah air mereka. Kami tak punya kewarganegaraan. Inilah nasib yang kita tidak nyana. Padahal, posisi kita jelas. Kita setia dan cinta tanah air dengan tujuan kembali ke Indonesia untuk menyumbangkan sesuai dengan kemampuan kami masing-masing bagi kemajuan Indonesia. (hlm. 120) Betul, walau sebagai seorang yang terhalang pulang saya mendapat pengetahuan, bisa berbahasa Albania, bisa melihat dunia, tapi apa yang bisa saya sumbangkan untuk Indonesia? Itulah soalnya. (hlm. 211)

Tujuan kami Indonesia, Bung! Bukan Belanda! Pulang untuk membangun Indonesia. Kami akhirnya tinggal di sini karena situasi yang tidak memungkinkan kami pulang pada waktu itu. (hlm. 267)

Cinta Tak Mati-Mati di Daratan Jauh – Martin Aleida

Trah Aidit di Paris – Martin Aleida

Bom Di Hanoi, Keajaiban Di Bukit Cahaya – Martin Aleida

*beberapa artikel versi awal yang diposting Martin Aleida di situs facebooknya

“Hatta dan Sjahrir ditawan Belanda di Boven Digul. Selama itu, mereka digaji dan boleh baca buku. Itu Belanda yang menjajah kita 350 tahun”.

Begitu ujarnya. Bagaimana dengan penguasa Indonesia, bagaimana bangsa kita? Dengan kata lain, bagaimana moral para pencipta kamp tahanan Pulau Buru yang dihuni ribuan tapol dan berkat kerja paksa mereka yang mengubah hutan menjadi sawah ratusan hektar, lalu oleh dua presiden yang mengunjunginya -SBY dan Jokowi- diakui telah menghasilkan swa-sembada beras?

“Kejahatan itu harus dibuka,” demikian kesimpulan Martin Aleida (74) memperkenalkan karyanya ‘Tanah Air Yang Hilang’ dan pandangannya di muka para mahasiswa dan aktivis Indonesia di Leiden (14/11/17).

‘Tanah Air Yang Hilang’ adalah karya jurnalistik. “Bukan fiksi!” tandas Martin.

Oleh karena itu dia menuntut kepada dirinya sendiri untuk, sejauh mungkin, memuat lengkap nama, peristiwa, dan kisah tragik ke-19 eksil (belakangan jadi 11, katanya) yang diwawancarainya. Yang menarik, ‘kelengkapan’ itu seringkali mustahil. Mulai dari penerbit yang melenyapkan indeks, beberapa bagian riwayat dan kisah pengalaman yang harus jadi korban sensor-sensor eksil yang bersangkutan; mau pun sensor-diri sang penulisnya.

Tapi juga ada kebalikannya: mereka yang semula tak tertarik diwawancarai malah jadi hanyut dalam tutur ceritanya.

Betapa pun, sensor eksternal mau pun sensor internal itu berbicara. Sangat bermakna. ‘Sensor’ itu memberi pesan tentang kondisi Indonesia dulu dan kini. Juga tentang kondisi Eksil yang bersangkutan. Martin sendiri dengan pahit menyimpulkan dalam beberapa patah kata. Dengan kakinya yang setengah ‘lumpuh’ dia berperjalanan dengan bus selama 20 jam untuk menjumpai seorang eksil di Albania, hanya untuk kemudian, di Italia, mendengar penolakan yang bersangkutan untuk diwawancarai.

Dia kembali menempuh 20 jam balik ke Amsterdam dengan tangan kosong.

Tapi, simpulnya, lihat betapa hebat bekerjanya propaganda dan stigmatisasi karya Orde Baru. Tak pelak dia pun tegas: Kejahatan itu harus dibuka!

Pada saat yang sama -sambil rada segan- diakuinya, membuka kejahatan itu dilematis. Ada ekses trauma berkat stigmatisasi, yang disesalinya. Dan ada pula hak eksil yang bersangkutan yang harus dihormatinya dan tentang kekhawatiran yang bersangkutan (juga saat di Tribunal IPT 2015) tentang imbasnya bagi keluarga dan kerabat di tanah air.

Ini dilema yang tegar – sekali pun kejahatan negara tersebut telah setengah abad lebih berlalu. Tegar, karena persoalannya kaku, selalu sama; tetapi solusinya bervariasi. Bagus, Martin mengungkapkan semua ini -kisah dirinya, teman-temannya dan bukunya- di muka para mahasiswa dari generasi terlahir pasca-1965. Mereka perlu menyadari bagaimana mereka di masa itu pasti hilang nyawanya bila terciduk di desa-desa. Dan, sebaliknya, bagaimana segelintir yang di kota-kota bisa selamat -berkat surat wasiat orangtua yang kebetulan dikantonginya- seperti nasib Martin. Sekeluar dari tahanan Operasi Kalong (gedungnya kini jadi kantor Indosat), Martin justru merasa hampa, menyusuri rel kereta api di ibukota setelah ditangkap dan ditinggalkan teman-temannya.

Martin tak suka bercerita tentang pergulatan politik dan ideologis para eksil di Eropa. Bukunya lebih menohok pada riwayat, dinamika dan tragik pengalaman kemanusiaan mereka.

Namun cerita-cerita itu juga cerita zaman. Andaikata Martin datang dan menemui eksil di tahun 1970-80an besar kemungkinan dia akan menjumpai keramaian pergolakan politik dan ideologis eksil. Andaikata dia datang pada 1990-an dia akan mendapati segelintir eksil yang rajin berdiskusi dan berdemo di pusat kota Amsterdam. Demonstran itu diantaranya Basuki Resobowo, Francisca Fangidaey, (keduanya almarhum) dan lainnya, juga seorang Ibu, satu-satunya mantan Gerwani yang eksil dan kini masih ada.

selengkapya Martin Aleida: “Kejahatan Itu Harus Dibuka” • Aboeprijadi Santoso

Orang-orang Indonesia yang Kehilangan Tanah Airnya – Nur Janti

Tanah Air yang Hilang

Kisah tentang orang-orang eksil di berbagai negara di Eropa

Handoko Widagdo

RESENSI BUKU: Di Balik Senyuman Para Eksil – M. Farhan Putra Aditama

Nita bukan lagi berkewarganegaraan Indonesia, namun jiwa nasionalis yang diturunkan dari ayah dan ibunya masih melekat pada dirinya.

simak pula dua buku lainnya tentang eksil

Yang Tak Kunjung Padam : Narasi Eksil Politik Indonesia di Jerman oeh Soe Tjen Marching

klik ‘Exile’ oleh Rosa Panggabean

Kompilasi Kisah-kisah Para Eksil 1965

Kompilasi Kisah-kisah Para Eksil 1965



Simak 1700 ‘entry’ lainnya pada link berikut

 
Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966





Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)





Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin



This post first appeared on Lentera Di Atas Bukit, please read the originial post: here

Share the post

Tanah Air Yang Hilang – Martin Aleida : Dari ‘Cinta Tak Mati-Mati di Daratan Jauh’, ‘Trah Aidit di Paris’ Hingga ‘Bom di Hanoi, Keajaiban di Bukit Cahaya’ *Kisah-kisah Para Eksil ’65

×

Subscribe to Lentera Di Atas Bukit

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×