Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

We’re Emotional Animal

undercover.co.id – We’re Emotional Animal , Laki-laki yang selama ini dipercaya sebagai makhluk yang sangat Rasional ternyata juga bisa terpengaruh oleh sisi emosional. Dalam pameranpameran otomotif yang penuh oleh sales promotion girl (SPG) menjadi salah satu magnet bagi laki-laki sehingga rajin datang ke pameran otomotif. Bahkan, para sales promotion girl bisa mengalahkan logika laki-laki karena atas dorongan gengsi yang merupakan bagian dari emosional, membeli kendaraan untuk “menaikkan kadar kegantengannya,” setidaknya di hadapan sang sales promotion girl yang menarik itu.

Tidak bisa dipungkiri, laki-laki yang sering dianggap begitu rasional dan dipercaya bisa mengambil keputusan dengan dominasi rasional sering kali “menyerah kalah” atas godaan-godaan sales promotion girl cantik. Sekadar supaya tidak terlihat tidak mampu atau sebaliknya justru untuk menunjukkan “kehebatannya.”

Pada kesempatan lain, laki-laki juga tidak jarang “kalah” dari godaan emosional dari kepuasan hati, yang juga faktor emosional, dalam mengambil keputusan membeli big boys toys. Sebagai makhluk yang rasional seharusnya laki-laki tahu bahwa mereka sudah cukup dewasa dan sudah cukup sibuk untuk bisa meluangkan waktu untuk mainan-mainan, baik bentuknya Lego, sepeda, motor besar, airsoft gun, hingga mobil sport. 

Akhirnya, pembelian-pembelian yang secara nilai rupiah tidak kecil itu berakhir dengan return of investment yang rendah karena utilitasnya juga rendah akibat kesibukan kita. Jika rasional adalah “jenderalnya” pengambilan keputusan kita, maka kita akan dengan mudah menolak berbagai macam godaan membeli berbagai macam big boys toys tersebut karena menyadari harganya mahal, sementara waktu yang kita miliki untuk menggunakan dan menikmatinya sedikit.

Bagaimana tidak rasionalnya seorang suami yang membeli sepeda dengan harga yang sama dengan harga sebuah mobil low cost green car (LCGC) bekas dibuktikan dengan tidak beraninya sebagian besar suami tersebut mengaku pada istrinya berapa harga sebenarnya sepeda itu. Akhirnya, tidak sedikit para suami tersebut yang mengaku bahwa harga sepeda tersebut tidak lebih dari Rp 10 juta saja.

Jika keputusan membeli sepeda berharga puluhan hingga ratusan juta rupiah adalah keputusan yang logis dan rasional, maka seharusnya mereka tidak perlu takut untuk mengatakan harga sebenarnya ke para istri. Justru, penyangkalan terhadap harga membuktikan bahwa keputusan tersebut bukanlah keputusan yang rasional. Para lakilaki tahu bahwa itu bukan keputusan rasional, tapi masih saja bulat dengan keputusan untuk membelinya. Ini membuktikan bahwa walaupun laki-laki seringkali disebut sebagai makhluk rasional, namun dalam hal pembelian, ternyata juga sangat bisa emosional.

Bagaimana dengan kaum perempuan? Bukankah mereka dipercaya sebagai makhluk yang sangat dipengaruhi oleh emosi? Sekilas para ibu-ibu bisa terlihat lebih rasional dari suaminya, terutama mereka yang gemar berburu diskon. Perempuan dipercaya lebih teliti dalam pembelian, termasuk dalam hal harga. Mereka merupakan kaum yang hafal harga barang-barang yang biasa dibeli dan membuat mereka rela meluangkan waktu keliling pasar hanya untuk mendapatkan barang yang sama bagusnya dengan harga yang sedikit lebih murah.

Para pemburu diskon seolah-olah juga bertindak sangat rasional. Kalau bisa lebih murah, kenapa harus puas dengan yang mahal. Mereka rela melakukan segala cara yang mungkin untuk mendapatkan diskon. Bagaimana banyak dari kaum ini yang mengoleksi berbagai macam platform e-wallet dengan alasan sederhana supaya memiliki kesempatan lebih banyak mendapatkan diskon dan cashback. Tidak jarang, kita jumpai ibuibu di supermarket dan restoran yang rela memecah belanjaan dan makanan pesanannya ke dalam beberapa tagihan terpisah hanya untuk memaksimalkan diskon yang ada. Sungguh terdengar sangat rasional bukan?

Sayangnya, sebuah penelitian tentang purchase drive kaum pemburu diskon menemukan hal yang tidak terduga. Sebagian besar pemburu diskon rela melakukan segala cara untuk mendapatkan diskon, bukan sekadar atas dasar pertimbangan logis, melainkan kepuasan emosional ketika berhasil mendapatkan diskon itu. Hal ini terlihat dari bagaimana kaum ini tidak mempertimbangkan biaya lain-lain yang mereka keluarkan untuk mendapatkan diskon ini, termasuk waktu, tenaga, hingga transportasi yang harus mereka keluarkan lebih banyak untuk mendapatkan diskon tersebut.

Jika waktu adalah uang, maka mendapat penghematan dengan cara meluangkan waktu jauh lebih banyak artinya kita mengeluarkan uang lebih banyak. Akhirnya, keberhasilan mendapatkan potongan harga lebih tidak lagi didominasi atas pertimbangan-pertimbangan logis, melainkan atas dasar kepuasan hati telah “memenangkan permainan diskon” ini yang artinya juga tidak bisa lepas dari faktor emosional.

Belum lagi kebiasaan ibu-ibu untuk berkumpul dengan ibu lain yang seringkali tidak lepas dari kebiasaan membicarakan pembelianpembelian mereka dan berbagi pengalaman mengenai seberapa murah mereka melakukan pembelian telah menjadi peer pressure untuk juga memperjuangkan harga murah at all cost. Sakitnya hati (secara emosional) ketika mendengar barang yang sama dengan yang dibeli bisa didapatkan lebih murah oleh teman sekelompok mereka begitu nyata dan begitu mendorong mereka untuk terus konsisten di jalan pemburu diskon.

Ketika laki-laki mau mengambil keputusan pembelian emosional pada big boys toys, ibu-ibu juga tidak luput dari hal ini. Lihatlah koleksi perkakas, panci, peralatan dapur yang memenuhi lemari, namun jarang digunakan adalah bentuk nyata bagaimana ibu-ibu juga ternyata tidak berpikir logis dengan menghitung nilai utilitas dari setiap pembelian.

We are not a thinking machine that feels, we’re a feeling machine that also thinks.” Kita bukanlah makhluk rasional yang juga emosional, kita adalah makhluk emosional yang juga rasional. Begitu ungkap Antonio Damansio. Dalam banyak kesempatan mengambil keputusan, perilaku dan tindak tanduk kita tidak bisa lepas dari dorongan-dorongan emosional. Terlebih lagi dalam keputusan pembelian.

Pengaruh emosi yang begitu besar pada kita, bahkan membuat rasional kita seringkali mengambil peran sebagai “jongos”-nya emosi dalam pengambilan keputusan. Pembelian mobil mewah yang secara rasional tidak kita butuhkan tetap kita lakukan. Kita tidak butuh sesi brainstorm berjilid-jilid untuk logika kita bisa menemukan pembenaran rasional terhadap pembelian ini. Dorongan emotional brain kita untuk terlihat keren dan up to date dengan sesama kita ketika membeli sepeda puluhan juta rupiah, diamini dan didukung oleh otak rasional kita dengan alibi bahwa pembelian sepeda mahal ini akan membuka banyak pintu-pintu kesempatan untuk karier, pekerjaan, dan bisnis kita.

Alasan bahwa dari momen bersepeda bersama dalam komunitas yang sama, mendorong kesempatan bisnis bisa muncul bukanlah hal fiktif, walaupun tidak memiliki kepastian. Namun bahwa memiliki sepeda trendi puluhan juta akan memberikan kepuasan emosional bagi kita adalah hal yang pasti. Sayangnya, ketika kesempatannya baru sebatas kemungkinan, biaya yang harus kita tanggung adalah satu keniscayaan. Begitulah hebatnya emotional brain kita, tidak hanya mampu mengalahkan rational brain, tapi bahkan memperbudaknya untuk mendukung keputusan-keputusan pembelian emosional. Ketika itu terjadi, maka akal sehat hilang dan kita terjebak pada keputusan-keputusan yang sangat irasional.

baca juga

  • We’re Emotional Animal
  • Teknologi Mendukung Pemasaran PT DCI Indonesia
  • Memperkuat Brand Loyalty
  • Product Management
  • Customer Management 

Tidak heran orang-orang sales dilatih untuk menyasar sisi emosional calon pembeli. Karena, jika hot button itu memang ada, maka mungkin letaknya ada di sisi emosional. Ini bukan berarti kita bisa berhenti memberikan alasan-alasan rasional mengapa konsumen perlu membeli merek kita. Justru alasan-alasan rasional yang sudah kita sediakan tersebut yang akan membuat otak rasional, “yang tidak terlalu pintar dan ternyata lemah,” itu bisa dengan mudah menemukan pembenaran-pembenaran terhadap dorongan pembelian emosional.

Ini pula yang juga menggenapi kepercayaan bagaimana pentingnya kemampuan empati bagi mereka yang bekerja di bidang marketing. Sebab, tanpa empati, bahkan hafalan segudang teori marketing tidak cukup untuk membantu melakukan tugas kita karena kita adalah makhluk emosional yang banyak keputusan dalam hidup kita didominasi oleh emosi. Sehingga kemampuan empati untuk memenangkan, merasakan, dan mengerti perasaan konsumen menjadi mutlak untuk menjadi marketer yang baik.

Begitulah hebatnya emotional brain kita. Tak hanya mampu mengalahkan rational brain, tapi bahkan memperbudaknya untuk mendukung keputusan-keputusan pembelian emosional.



This post first appeared on Undercover.co.id, please read the originial post: here

Share the post

We’re Emotional Animal

×

Subscribe to Undercover.co.id

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×