Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Autisme

Tags: anak

Autisme, Anak dan Madesu


oleh : dr. Yanwar Hadiyanto

Medical Manager Janssen Pharmaceutica


Angka kejadian autisme di dunia telah mencapai 15-20 per 10.000 Anak ( 0,15-0,2 % ), meningkat tajam dibanding sepuluh tahun yang lalu yang hanya 2-4 per 10.000 anak. Jika merujuk dari angka ini, maka dapat diperkirakan di Indonesia setiap tahun akan lahir kurang lebih 6900 anak penyandang autisme. Bukan angka yang kecil sehingga dapat diacuhkan begitu saja. Apakah kita telah siap menghadapi suatu jumlah anak autistik yang demikian besar? Padahal , anak adalah generasi penerus yang harus dipersiapkan secara matang agar dapat menjadi orang yang berguna? Masih adakah hal yang dapat dilakukan untuk 'menyelamatkan' mereka dari masa depan yang suram (Madesu) dan terbuang begitu saja?


Anak merupakan sumber kebahagiaan dan penerus dari suatu keluarga bahkan ikut menentukan masa depan suatu bangsa. Setiap orang tua pasti berkeinginan untuk mencurahkan segenap perhatian dan kasih sayang kepada anak-anaknya. Dan orang tua, juga ingin melihat anaknya tumbuh dan berkembang secara normal, selayaknya anak seusianya. Dimana orang tua juga berharap agar anaknya dapat membalas dan menyatakan rasa cinta kasihnya kepada orang tua. Baik melalui ciuman ataupun pelukan. Betatapun, seorang anak merupakan tumpuan harapan kedua orangtuanya, yang diharapkan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, dan kelak dapat menjadi anak yang membanggakan bagi mereka.


Namun apa yang terjadi, bila ternyata anak kesayangannya tidak berkembang seperti yang diharapkan? Sang anak ternyata terkurung, seakan-akan hidup dalam dunianya sendiri, yang tidak dapat dimengerti orang lain bahkan orang tuanya sekalipun. Jika didekati, dia malah menjauh, seakan-akan terganggu dengan kehadiran orang lain di sekitarnya, termasuk orang tuanya. Dia seringkali tidak mau menatap lawan bicaranya, saat diajak berbicara. Dia akan diam mematung atau bahkan lari menghindar saat, ibu atau ayahnya ingin memeluknya sebagai ungkapan rasa kasih atau untuk memberikan rasa aman padanya. Dia tidak pernah menyatakan keinginannya dan mengekspresikan perasaannya. Jika orang tua merasakan hal-hal yang disebutkan di atas, mungkin hal itu merupakan gejala-gejala dari suatu kelainan yang diderita anak anda, yang dalam dunia kedokteran lazim disebut sebagai Autisme.


Autisme: Sering Terlambat Terdiagnosis


Autisme merupakan suatu kelainan perkembangan pada anak yang semakin hari semakin meningkat angka kejadiannya. Dibandingkan dengan keadaan sepuluh tahun yang lalu, maka angka kejadian autisme sekarang ini telah meningkat kurang lebih 10 kali lipat. Karena itu, autisme tidak dapat disepelekan dan diabaikan lagi, serta memerlukan diagnosis secara dini dan dengan penanganan yang tepat dan benar. Istilah autisme sendiri pertama kali dipakai oleh Dr. Leo Kanner, seorang psikiater anak pada tahun 1943. Istilah ini dipakainya untuk menggambarkan keadaan 11 orang anak dengan karakteristik yang hampir mirip, yaitu tidak mampu mengadakan interaksi sosial dan seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri.


Di Indonesia, pengetahuan tentang autisme banyak dipelajari baru dalam beberapa tahun terakhir ini. Dulu, seringkali anak autistik dibawa ke dokter pertama kali dengan keluhan adanya keterlambatan berbicara. Beberapa dokter pada mulanya menganggap keluhan itu tidak terlalu penting. Sehingga, biasanya orangtua disuruh pulang dan menunggu saja karena beranggapan bahwa si anak memang belum waktunya untuk dapat berbicara. Pada umumnya, orangtua merasa lega mendengar penjelasan dokter, yang bersifat menenangkan ini. Mereka kemudian pulang dan menunggu anaknya hingga sampai pada usia normal untuk dapat berbicara. Bila dalam waktu 1-2 tahun si anak belum dapat berbicara, orang tua akan kembali lagi ke dokter, malah sekarang disertai gejala-gejala lain. Seperti selalu menghindari kontak mata jika diajak berbicara, mengamuk jika tidak mendapatkan keinginannya, atau lebih suka bermain sendiri ketimbang bermain bersama teman-teman sebayanya. Perilaku si anak yang demikian terkadang membuat orang tua enggan untuk pergi mencari tahu. Inilah yang kemudian menyebabkan keterlambatan dalam mendiagnosis. Akibatnya, terlambat untuk mendapatkan penanganan secara tepat, sehingga hasilnya pun tidak terlalu baik.


Saat ini, pengetahuan tentang autisme semakin luas dan juga kian dipahami oleh dokter, terlebih lagi oleh dokter yang mendalami bidang psikiatri anak, yang memang lebih sering menemui dan menangani anak-anak autistik. Bila anda menemukan gejala-gejala diatas pada anak anda, anda dapat berkonsultasi ke dokter, serta bersama-sama mencari solusi yang terbaik demi kepentingan anak anda. Untuk konsultasi tentang autisme, para orang tua bisa menghubungi Yayasan Autisme, yang didirikan oleh para dokter yang berkecimpung di bidang autisme dan didukung oleh Janssen Pharmaceutica -perusahaan riset farmasi yang mempunyai komitmen tinggi untuk menangani bidang Kesehatan Jiwa mulai dari anak-anak, remaja dewasa hingga orang tua.


Bukan Karena Kesalahan Orangtua


Sebelum pengetahuan tentang autisme berkembang, banyak orang yang mengira bahwa autisme disebabkan oleh kesalahan orang tuanya yang sering bersikap 'keras' menyuruh anaknya untuk diam, ataupun jangan nakal. Sehingga si anak menjadi pasif. Ada pula yang mengatakan seorang anak 'masuk ke dalam dunianya sendiri' karena merasa ditolak kehadirannya oleh oangtuanya, terutama oleh ibunya. Dimana si ibu bersikap dingin dan kurang menjalin komunikasi dengan anaknya. Anggapan ini sering membuat orangtua anak penyandang autisme merasa tertekan dan bersalah dengan kondisi anaknya tersebut. Mereka disalahkan oleh lingkungan sekitar. Padahal beban yang mereka pikul dengan mempunyai anak autistik juga tidak kurang beratnya. Namun teori ini kemudian dibantah karena kenyataanya banyak ibu yang hangat dan penyayang juga memiliki anak autistik. Ketika penyebab autisme belum diketahui, muncul hipotesis yang bermacam-macam. Sehingga pengobatan yang diberikan juga menjadi tidak terarah.


Dengan berkembangnya ilmu dalam dunia kedokteran, terutama dalam sepuluh tahun belakangan ini, khususnya bidang neurobiologis dan genetika. Kedua bidang ini telah mendatangkan kemajuan yang sangat berarti untuk lebih memahami autisme. Riset terakhir menunjukkan, bahwa autisme terjadi karena adanya gangguan neurobiologis. Ini timbul akibat kelainan perkembangan sel-sel otak selama dalam kandungan. Gangguan perkembangan ini dapat disebabkan oleh infeksi virus ( rubella, herpes, CMV ), infeksi toxoplasma, infeksi jamur, perdarahan ataupun keracunan. Akibatnya pertumbuhan sel-sel otak di beberapa tempat menjadi kurang sempurna. Lokasi pada otak yang sering dijumpai adanya kelainan adalah otak kecil ( cerebelum ), yang berfungsi dalam hal kesimbangan, berpikir, daya ingat, belajar bahasa dan perhatian. Pada area ini terjadi kekurangan sel-sel Purkinje, yang banyak mengandung serotonin. Serotonin adalah neurotransmitter, yaitu suatu substansi yang berfungsi menghantarkan impuls. Adanya ketidakseimbangan neurotransmitter dalam otak menyebabkan kekacauan lalu lintas impuls dalam otak. Kelainan dapat pula terjadi pada sistem limbik, yang merupakan pusat emosi, dan turut berperan dalam proses belajar dan daya ingat. Sehingga kelainan tersebut menimbulkan kesulitan untuk menyimpan informasi baru. Faktor lain yang diduga menjadi penyebab adalah faktor genetik, karena sekitar 2,5 % anak autistik mempunyai kromosom X yang mengalami kerapuhan pada lengan panjangnya. Gangguan autisme juga ditemukan pada saudara kembar satu telur, dimana kedua-duanya mengalami hal yang sama. Apakah orangtua yang menderita autisme akan bertendensi memiliki anak autistik juga ? Hal ini tidak mudah dijawab dengan pasti, karena tidak banyak data yang diperoleh sebab tidak banyak penderita autisme yang berkeluarga dan memiliki anak.


Gejala Autisme Bervariasi dari Ringan Sampai Berat


Beberapa penyandang autisme, ternyata sempat berkembang secara normal. Namun sebelum mencapai usia 3 tahun, perkembangan itu berhenti, kemudian timbul kemunduran dan mulai tampak gejala-gejala autisme. Gejala-gejala autisme dapat bervariasi dari yang sangat ringan sampai berat. Gejalanya dapat berupa :


Gangguan dalam bidang komunikasi verbal maupun non-verbal Terlambat berbicara Mengoceh dengan bahasa yang tidak dimengerti Banyak meniru perkataan yang pernah didengarnya ( membeo/ echolalia ) Tidak mengerti bahasa simbolik, seperti lambaian tangan atau senyuman Suara anak autistik sangat datar dan monoton, serta tidak mempunyai kontrol terhadap tinggi rendah volume dan nada suaranya.


Gangguan dalam bidang interaksi sosial Menolak/ menghindar tatap mata Tidak menengok bila dipanggil Lebih suka main sendiri Bila didekati untuk diajak bermain bersama, malah menghindar


Gangguan dalam bidang perilaku Perilaku ritualistik, mengikuti aturan-aturan ataupun urutan-urutan tertentu, apabila diminta untuk diubah, akan menimbulkan kemarahan. ( need for sameness ) Tidak bisa diam, mondar-mandir tanpa alasan yang jelas Mengulang-ulang suatu gerakan tertentu Melakukan permainan yang sama terus menerus/ monoton dan kurang variatif


Gangguan dalam emosi Tidak dapat ikut merasakan perasaan orang lain Tertawa atau menangis sendiri tanpa sebab yang jelas Seringmengamuk tak terkendali terutama bila tidak mendapatkan apa yang diinginkan.


Gangguan dalam persepsi pancaindera Mencium-cium atau menggigit mainan atau benda apa saja Bila mendengar suara yang tidak disukai langsung menutup telinga, bahkan dapat menjadi jengkel dan meluapkan kemarahannya Tidak menyukai rabaan atau pelukan Merasa tidak senang apabila dipakaikan pakaian dari bahan yang kasar.


Gejala-gejala di atas tidak harus ada semua pada seorang anak penyandang autisme.


Anak Autistik Masih Memiliki Harapan


Pertanyaan yang sering diajukan para orangtua anak penyandang autisme adalah apakah anak saya dapat sembuh ? Apakah dapat kembali berkembang secara normal seperti teman-teman sebayanya? Semua ini adalah pertanyaan yang wajar, yang sering diajukan oleh para orang tua yang merasa ketakutan dan kuatir mengenai masa depan anak mereka di kemudian hari. Anak autistik tidak dapat sembuh total, karena adanya kelainan dalam otaknya. Namun, tetap dapat diusahakan agar sel-sel otak yang masih baik dapat mengambil alih dan berfungsi menggantikan sel yang rusak. Asalkan dilakukan secara cepat dan tepat, yang dimulai pada saat gejalanya masih sangat ringan. Sebagai orangtua, sebaiknya cepat merasa 'curiga' bila melihat kelainan pada anaknya dan segera membawanya pada tenaga ahli yang tepat.


Hal terpenting yang mempengaruhi kemajuan anak autistik adalah deteksi yang dilakukan, semakin dini kelainan tersebut diketahui akan semakin baik. Tentu saja deteksi dini ini harus diikuti pula dengan penanganan yang tepat dan benar. Jika kedua hal ini dapat dipenuhi, maka anak autistik akan memiliki harapan yang lebih baik untuk dapat hidup mandiri dan bersosialisasi ke dalam masyarakat normal. Hal lain yang juga mempengaruhi adalah tingkat kecerdasan anak, makin cerdas anak akan semakin baik kemajuannya. Intensitas terapi juga berpengaruh penting, minimal dilakukan 4-8 jam sehari. Berbagai jenis terapi yang telah dikembangkan demi mengembangkan kemampuan anak autistik agar dapat hidup mendekati normal adalah :


Terapi Medikamentosa

Yaitu terapi dengan menggunakan obat-obatan. Pemakaian obat-obat ini akan sangat membantu untuk memperbaiki respon anak terhadap lingkungan. Sehingga ia lebih mudah menerima tatalaksana terapi yang lain. Obat yang selama ini cukup sering digunakan dan memberikan respon yang baik adalah risperidone. Bila kemajuan yang dicapai sudah bagus, maka obat-obatan bisa mulai dikurangi bahkan dihentikan.


Terapi Wicara

Terapi wicara merupakan suatu keharusan bagi penyandang autisme, karena semua anak autistik mengalami gangguan bicara dan berbahasa. Hal ini harus dilakukan oleh seorang ahli terapi wicara yang memang dididik khusus untuk itu.


Terapi Okupasional

Jenis terapi ini perlu diberikan pada anak yang memiliki gangguan perkembangan motorik halus untuk memperbaiki kekuatan, koordinasi dan ketrampilan. Hal ini berkaitan dengan gerakan-gerakan halus dan trampil, seperti menulis.


Terapi Perilaku

Terapi ini penting untuk membantu anak autistik agar kelak dapat berbaur dalam masyarakat, dan menyesuaikan diri dalam lingkungannya. Mereka akan diajarkan perilaku-perilaku yang umum, dengan cara reward and punishment, dimana kita memberikan pujian bila mereka melakukan perintah dengan benar, dan kita berikan hukuman melalui perkataan yang bernada biasa jika mereka salah melaksanakan perintah. Perintah yang diberikan adalah perintah-perintah ringan, dan mudah dimengerti.


Pendidikan Khusus

Hal ini dilakukan dengan cara satu guru satu murid, agar guru dapat terus memantau perkembangan muridnya. Cara ini dilakukan karena pada awalnya anak autistik akan sulit memusatkan perhatian dalam kelas yang besar dan ramai. Jika ada perbaikan, maka mereka dapat coba dimasukkan ke dalam sekolah normal. Seperti yang telah dijelaskan di atas, harapan seorang anak penyandang autisme sangat bergantung berat-ringannya gejala, umur saat dimulainya terapi, kecerdasan dan intensitas terapi yang diberikan. Telah banyak penyandang autisme yang berhasil dalam hidupnya, mempunyai karir yang baik dan menyandang gelar sarjana. Di Indonesia sendiri beberapa anak telah berhasil duduk di TK dan SD biasa, bahkan adapula yang duduk di SMA.


Anak autisme bukanlah seorang manusia yang hanya memiliki satu karateristik. Mereka juga mempunyai multi sifat dan kepribadian sebagaimana manusia normal. Orang tua dan seluruh keluarga harus tetap berpendapat bahwa untuk perawatan anggota keluarga yang menderita autisme, pertama ia harus tetap diposisikan sebagai orang yang tengah belajar, baru kemudian ia dianggap sebagai anak autisme yang tengah belajar. Dalam menghadapi masa depannya, kita juga harus tetap optimis bahwa masa depan mereka akan tetap cerah dan membaik. Sehingga ini menjadi dorongan bagi keluarganya untuk terus mengupayakan pengobatan dan mengusahakan masa depan yang lebih baik.


Imunisasi MMR Tak Sebabkan Autisme

pdpersi - Jangan takut memberi imunisasi MMR (Measles, Mumps, Rubella) pada anak anda. Imunisasi MMR tidak menyebabkan autisme pada anak. Keamanan vaksin MMR telah dibuktikan dengan berbagai penelitian di luar negeri. Di Indonesia, vaksin MMR yang dipasarkan telah mendapat izin edar dari Komisi Nasional Penilai Obat Jadi.
Hal tersebut tertuang dalam penjelasan bersama yang ditandatangani Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Depkes & Kesos Prof Dr Umar Fahmi Achmadi MPH PhD, Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Drs Sampurno MBA, dan Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia Dr Jose Batubara SpAK.


Sebagaimana disebutkan dalam release yang diberikan Depkes & Kesos kepada pdpersi.co.id Jumat (16/2), dalam kesepakatan dijelaskan bahwa penelitian terhadap keamanan vaksin MMR mencakup pengamatan paska pemasaran selama 30 tahun terhadap 250 juta dosis vaksin MMR di lebih dari 40 negara di Eropa, Amerika Utara, Australia, dan Asia. Laporan terakhir mengenai keamanan vaksin dilakukan di Finlandia sejak tahun 1982 selama 14 tahun.


Studi tersebut dilakukan pada 1.8 juta anak yang menggunakan 3 juta dosis vaksin MMR. Pemantauan dilakukan terhadap semua kejadian serius setelah imunisasi dan hasilnya menunjukkan tidak ada laporan kasus autisme yang berhubungan dengan penggunaan vaksin MMR. Hasil tersebut sesuai dengan Specific hypothesis driven studies yang pernah dilakukan sebelumnya.


Dijelaskan, vaksin MMR merupakan vaksin yang diberikan kepada anak untuk mencegah penyakit campak, gondongan, dan campak Jerman. Di negara-negara maju, vaksin MMR digunakan secara luas untuk imunisasi anak. Di Indonesia, vaksin ini telah digunakan untuk imunisasi anak di rumah-rumah sakit dan klinik, namun belum termasuk dalam program imunisasi nasional. Vaksin MMR yang dipasarkan di Indonesia telah mendapat izin edar dari Komisi Nasional Penilai Obat Jadi setelah dilakukan evaluasi terhadap efektivitas, keamanan dan mutu vaksin.


Autisme memang menjadi momok para orangtua, karena anak-anak yang terkena autisme ini mengalami gangguan pertumbuhan yang kronik dengan gejala utama gangguan interaksi sosial, komunikasi serta keterbatasan perhatian dan aktivitas. Namun, janganlah khawatir memberikan vaksin MMR pada anak, karena penelitian telah membuktikan tidak ada kaitan antara imunisasi MMR dengan kejadian autisme.



This post first appeared on Mother And Baby, please read the originial post: here

Share the post

Autisme

×

Subscribe to Mother And Baby

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×