Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Ways to be Heard and Seen

Tags:

Saya pernah percaya bahwa menulis adalah cara yang paling baik untuk mengembangkan diri. Sebab, menulis membutuhkan proses berpikir yang logis, terstruktur, dan kritis, khususnya bagi mereka yang merasa kemampuan lisan mereka tidak begitu baik. Terlahir sebagai seorang pemalu, tidak banyak bicara, dan kecerdasan yang biasa-biasa saja membuat hidup saya tidak mulus dalam perjalanannya. Jika ditanya hal apa yang paling saya sesali dari kekurangan saya tadi, jawabannya adalah mengenai tidak dinaikkannya saya ke kelas 2 saat masih di bangku Sekolah Dasar. Ketidakmampuan saya membaca dan menulis disinyalir adalah biang keladinya. Beberapa tahun berlalu, saya berubah, dan versi terbaik yang bisa saya berikan adalah dengan belajar lebih giat. Di kelas 3, saya berhasil meraih peringkat 4, di kelas 4 saya berhasil meraih peringkat 1 hingga tiga tahun berturut-turut setelahnya. Tapi, kebanggaan dan masa kejayaan ini tidak bertahan lama. Saya kembali harus beradaptasi dengan lingkungan baru setelah masuk jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Di bangku kelas 7, saya rasanya kembali jatuh ke versi terburuk saya. Ketika orang-orang dengan kecerdasan di atas rata-rata dikumpulkan di tempat yang sama, saya tidak serta merta bisa langsung bersaing dengan mereka. Malahan, tempat ini sempat menjadi mimpi buruk bagi saya hingga berbulan-bulan lamanya. Di jenjang SD, saya sama sekali tidak mengenal bagaimana cara menulis. Tulisan terpanjang saya barangkali adalah jawaban esai ujian nasional yang saya rangkai sedemikian rupa sesuai dengan teks aslinya yang ada di dalam buku paket. Sebab, kepintaran saya dulu adalah produk dari betapa rajinnya saya, terlebih dalam urusan menghafal, bukan karena cerdas dari lahir seperti orang-orang pemenang olimpiade misalnya. Saya ingat betul tulisan pertama saya adalah hasil salin tempel dari tulisan kakak saya. Pagi hari yang semestinya damai, seisi rumah mendadak saya buat riuh. Di hari itu, setiap murid kelas 7 diwajibkan membawa satu buah karya tulis, baik puisi, pantun, cerita pendek, esai, dan lain sebagainya. Saya yang tidak memiliki bakat menulis ini sontak panik. Ketimbang masuk sekolah tanpa membawa kewajiban tadi, saya pun mengancam lebih baik untuk tidak hadir saja daripada dilanda malu dan pikiran buruk lainnya. Akhirnya, kakak saya lah yang menjadi sosok penyelamat di sini. Ia mengubek-ubek catatannya beberapa tahun silam dan menemukan secarik puisi yang kemudian saya salin ke kertas binder berwarna yang sedang tren kala itu. Dua hari kemudian, tepatnya di hari Sabtu, hari di mana majalah dinding (mading) sekolah diperbaharui setiap minggunya, terpampang jelas puisi dengan guratan tulisan tangan saya. Saya heran, apa bagusnya puisi itu? Kenapa bisa ia terpilih dari banyaknya kumpulan karya tulis lain di kelas 7? Saya pun tak tahu jawabannya lantaran saya tidak benar-benar membaca apalagi mencoba memaknai isi puisi tersebut. Setelah publikasi itu, mendadak, saya dikenal sebagai seorang yang piawai menulis. Teman sekelas, senior, hingga guru pun menaruh kepercayaan besar jikalau saya memiliki bakat tersembunyi ini. Hingga suatu ketika saya dipanggil seorang guru ke ruangannya melalui pengeras suara yang terpasang di koridor ruang guru. “Ini ada lomba menulis cerpen, kamu ikut ya, saya lihat kemampuan menulismu bagus,” ucap Guru Bahasa Indonesia saat itu yang namanya sudah tidak saya ingat. Satu hal yang saya masih ingat, cerpen yang saya buat dulu berjudul “Tersesat di Pelosok Loksado” entah dapat ilham dari mana, cerpen ini tentu saja tidak berhasil membawa saya keluar sebagai jawara. Di samping karena stok puisi milik kakak sudah habis, saya juga merasa tidak berbakat menulis. Di mading sekolah saat itu, ramalan zodiak, karikatur, kaligrafi, dan poster cukup menjadi primadona yang dielu-elukan siswa. Jadilah saya mencoba satu per satu yang disambut baik dengan seringnya karya saya lolos kurasi panitia. How did you do that? Ada yang seratus persen saya jiplak, ada yang saya modifikasi, ada pula yang memang buah pemikiran kepepet dari imajinasi saya sendiri. Minggu demi minggu berlalu, saya kemudian terkenal sebagai penulis dan pelukis. Padahal, kualitas melukis saya waktu itu bisa dibilang standar saja. Masih banyak siswa lain yang kemampuan melukisnya jauh melebihi saya. Hingga kemudian terdengar pengumuman dari kepala sekolah yang memanggil saya ke ruangannya. “Bulan depan, kita akan ke Jakarta untuk berpartisipasi di acara Astra International, kebetulan ada kompetisi melukis mural, kamu ikut ya,” ucap beliau. Baca di sini: Our Journey To Jakarta Beruntung, saat lomba ini, saya tidak berjuang sendiri, dan saya rasa inilah faktor terbesar yang akhirnya membawa kami menyabet juara dua se-Indonesia. “Minggu depan ada lomba kaligrafi, tolong persiapkan,” pesan yang sama namun untuk tujuan yang berbeda. Padahal, kalau diingat-ingat, kaligrafi yang pernah terpampang di mading tidak lain dan bukan adalah bersumber dari buku kaligrafi yang saya beli dari toko buku. Namun, karena telah diberi mandat ini, saya harus mempersiapkannya dengan baik. Tanpa diduga, saya berhasil mendapatkan juara ketiga se-Kabupaten. Kembali ke pembahasan menulis, menginjak kelas 8, akhirnya saya berkenalan dengan teknologi bernama online blog. Cerita penuhnya ternyata sudah pernah saya rangkum di artikel berjudul “Perjalan 7 Tahun Menjadi Blogger” proses di mana kemampuan menulis saya yang tadinya dangkal, perlahan-lahan menjadi lebih baik. Hingga media menulis ini jugalah yang masih saya andalkan untuk dapat didengarkan di tengah kebisingan media sosial lain. Rentetan kejadian masa lampau ini hanya sepenggal dari banyak cerita yang pernah saya lalui. Berbeda dengan jenjang SD, di jenjang SMP ini, performa akademik saya bisa dibilang cukup buruk. Tidak ada yang bisa dibanggakan. Hingga kini pun, saya masih berkeyakinan bahwa bakat bukanlah yang utama. Dengan usaha dan kerja keras, manusia akan mampu melewati segala rintangannya. Jika perlu, kita harus berpura-pura memiliki kepercayaan diri dan kemampuan yang kita inginkan tersebut, sehingga pada akhirnya kita akan benar-benar memilikinya. Just fake it till you make it. English Version I once believed that writing was the best way to develop oneself. It is because writing requires logical, structured, and critical thinking, especially for those who feel their oral skills are not so good. Born as a shy person, not speaking much, and having average intelligence made me to encounter many bumps along the way. If I were asked what I regret the most about my past, the answer would be about not being promoted to grade 2 when I was still in elementary school (SD). My inability to read and write was suspected to be the root cause. Several years passed, I changed I presumed, and the best version I could give was to study harder. In grade 3, I managed to rank 4th, and in grade 4, I ranked 1st for three consecutive years after that. But, this pride and glory did not last long. I had to adapt to a new environment again after entering junior high school (SMP). In 7th grade, I felt like I fell back to my worst version of me. When previleged people with above-average intelligence were gathered in the same place, I couldn’t immediately blend with them. Instead, this place became a nightmare for me for months. In elementary school, I didn’t know how to write at all. Perhaps the longest piece of writing I had was an essay answer to the national exam back then, which I put together according to the original text in the textbook. Because my intelligence back then was the result of how diligent I was, especially in memorization, not because I was inherently smart like Olympiad winners, for example. I remember clearly that my first writing was a copy of my sister’s writing. The peaceful morning suddenly became noisy throughout the house. On that day, every 7th-grade student was required to bring a piece of writing, be it poetry, pantun, short story, essay, and so on. I, who had no talent for writing, panicked. Instead of going to school without fulfilling that obligation, I threatened that it would be better not to attend at all than to be embarrassed myself and have other negative thoughts in mind. Finally, my sister became the savior here. She rummaged through her notes from a few years ago and found a piece of poetry that I then copied onto trendy colored binder paper at that time. Two days later, precisely on Saturday, the day when the school’s bulletin board (mading) was updated every week, my handwritten poetry was prominently displayed. I was puzzled, what was so good about that poetry? Why was it chosen from among many other writings in the 7th grade? I didn’t know the answer because I didn’t really read or try to understand the content of the poetry. After that publication, suddenly, I was known as someone skilled in writing. Classmates, seniors, and even teachers had great confidence that I had this hidden talent. Until one day, a teacher called me to her office through the loudspeaker installed in the teacher’s corridor. “There’s a short story writing competition, will you participate? I see that your writing skills are good,” said the Indonesian language teacher at that time, whose name I no longer remember. I still remember, the short story I made was titled “Lost in the Depths of Loksado,” I don’t know where the inspiration came from, of course, this short story did not succeed in making me a champion. In addition to my sister’s poetry stock running out, I also felt I had no talent for writing. In the school bulletin board at that time, horoscope predictions, caricatures, calligraphy, and posters were quite popular among students. So I tried one by one, which was well received with my works often passing the committee’s curation. How did you do that? Some were 100% copied, some I modified, and some were desperate ideas from my own imagination. Weeks passed, and I became known as a good writer and artist. However, my painting skills at that time could be considered standard. There were still many other students whose painting skills far exceeded mine. Until one day, an announcement was heard from the principal calling me to his office. “Next month, we will go to Jakarta to participate in the Astra International event, coincidentally there is a mural painting competition, will you join?” he said. Fortunately, in this competition, I didn’t fight alone, and I think this was the biggest factor that eventually led us to win second place in Jakarta. “Next week there’s a calligraphy competition, please prepare,” the same message but for a different purpose. Although, if remembered, the calligraphy that had been displayed on the bulletin board was nothing but sourced from a calligraphy book that I bought from the bookstore. But, because I was given this mandate, I had to prepare it well. Unexpectedly, I managed to get third place in the region. Going back to the topic of writing, stepping into grade 8, I finally acquainted myself with a technology called the blog. Turned out, I had already summarized the full story in an article titled “7-Year Journey of Becoming a Blogger,” a process where my shallow writing skills gradually improved-a medium I still rely on to have my voice heard amidst the cacophony of other social media platforms. This series of past events is just a snippet of many stories I have experienced. Unlike elementary school, in junior high school, my academic performance could be considered quite poor. There’s nothing to be proud of. Until now, I still believe that talent is not the main thing. With effort and hard work, we will be able to overcome all obstacles. If necessary, we must pretend to have the confidence and abilities we desire, so that in the end, we will truly have them. Just fake it till you make it.

The post Ways to be Heard and Seen first appeared on Ridha Tantowi's Personal Blog.


This post first appeared on Ridha Tantowi's Personal Blog | A Kindhearted Youn, please read the originial post: here

Share the post

Ways to be Heard and Seen

×