Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

"Hidup Kami Belum 'Merdeka' dari Sepakbola.."

Tags: pemain
Sepakbola dipahami sebagai sebuah permainan yang melibatkan nasib didalamnya. Nasib itu dimain-mainkan di antara kaki ke kaki. Terkadang pula, nasib yang dimain-mainkan itu berbelok tanpa disangka-sangka.

Begitu pula yang dijalani seorang anak manusia bernama Martunis. Dia seorang anak petani tambak di Desa Tibang, Syiah Kuala, Banda Aceh yang ikut menjadi korban bencana dahsyat pada 26 Desember 2004.

Meski talentanya belum teruji seperti pemain nasional, Evan Dimas, tapi Martunis sudah menginjakkan kakinya ke akademi Sporting Lisbon, Portugal. Akademi ini diyakini sebagai sebuah sekolah bola terbaik di Eropa.

Bukan sekadar gagah-gagahan saja. Terbukti, ada sederet pemain top dunia yang pernah berguru di akademi tersebut. Katakan saja, Luis Figo, Calvanho, Pepe hingga Cristiano Ronaldo. Nama terakir ini punya hubungan baik dengan pemain Aceh; Martunis.

Terkait permainan nasib, saat ini cukup banyak pemain profesional di Indonesia yang menjadi kurang beruntung setelah PSSI dibekukan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga. Akibatnya, semua kompetisi resmi di semua strata terhenti sejak 2 Mei lalu.

Kondisi buruk inilah yang sangat berdampak langsung bagi pemain sepakbola di Indosesia. Khususnya pemain yang hanya semata-mata mencari nafkah di lapangan hijau. Untuk membuat asap dapur mengepul, tak sedikit pemain profesional yang biasa bermain di liga bergengsi harus turun kasta.

Turun kasta akibat degradasi isi dompet inilah yang membuat banyak pemain harus rela bermain bola antar kampung yang akrab dikenal tarkam. Hasil atau bayaran yang diperoleh, tentu saja tak sebanyak saat masih berbaju klub-klub profesional.

Karena alasan manusiawi itulah, mereka mengunci rasa gengsi dalam lemari. Demi bisa bertahan hidup dengan keahlian yang mereka miliki hanya bermain bola, maka kompetisi Tarkam menjadi sebuah harapan.

Lebih memiriskan lagi, sejak kompetisi berhenti disusul kebijakan klub yang membubarkan tim, praktis isi dompet tipis bin kosong. Bahkan, tak sedikit pemain liga yang belum menerima gaji mereka di klub.

Karena itu, mau tak mau, para pemain inipun melirik liga antar kampung untuk mencari nafkah dengan bayaran yang pas-pasan. Kondisi ini bisa kita lihat langsung di sejumlah daerah yang menjadi lumbung pemain.

Khusus Banda Aceh, akhir pekan kemarin di lapangan Jasdam, Neusu, dipenuhi pemain-pemain yang masuk dalam uraian di atas. Apalagi di lapangan tersebut, sedang ada tarkam bertajuk Turnamen HUT RI ke-70 memperebutkan Piala Kodam Iskandar Muda.

Ada 16 klub yang ambil bagian. Ada dua klub bertarung di final yang umumnya diperkuat pemain-pemain profesional. Dua tim finalis itu adalah AMPI FC dan Keutapang Dua Club atau KDC Keutapang.

Di kubu AMPI FC misalnya, ada Syakir Sulaiman, mantan pemain muda terbaik ISL dua musim lalu. Kurniawan Septi Hariansyah, Safrizani, Andri Muliadi (pemain Persiraja), Ikhwani Hasanuddin (Persigres Gresik) dan lainnya.

Sedangkan di KDC ada pemain veteran macam Dahlan Jalil, Wahyu AW, Randy Rizky mantan pemain Persiraja, serta pemain-pemain lain yang sempat mengenyam liga profesional; Fitra Ridwan, Rahmat, Helmi PSMS , Nurul Zikra, Jalwandi dan lain-lain.

Striker Persiraja yang memperkuat AMPI FC, Septi Hariansyah mengaku dengan mati surinya kompetisi, sulit menolak tawaran main tarkam. "Hidup kami sangat tergantung pada sepakbola," ungkap Septi yang diamini rekannya, Safrizani.

"Kami juga tidak punya pemasukan lain, dengan main tarkam, setidaknya bisa dipakai untuk kebutuhan sehari-hari, beli susu anak juga. Semoga kisruh ini cepat selesai, jangan sampai mematikan karier kami," ungkapnya dengan nada memilukan.

Kecuali tampil di tarkam yang ada di seputaran Banda Aceh dan Aceh Besar, Septi dkk juga tak menolak tawaran main di turnamen-turnamen serupa di  seantero Aceh, seperti di wilayah Pantai Barat Selatan Aceh hingga wilayah Timur dan Utara.

Hal itu diakui kapten Persiraja Banda Aceh Kurniawan yang mengaku nasibnya tak jauh beda dengan pemian lain, seperti Septi. "Tawaran ke luar daerah ada juga kami terima dengan tarif  berbeda," kata dia.

Kurniawan mengaku tidak malu membeberkan tarif setiap kali tampil pada turnamen antar kampung. "Di Banda Aceh biasa Rp300-350, kalau Aceh Besar dan luar kota sering di bayar Rp 500-700 ribu," ungkap dia.

Pemain Sriwijaya FC, Syakir Sulaiman yang juga sempat "dikontrak" AMPI FC juga tampil pada turnamen serupa. Dia sempat tampil dua kali membela tim amatir. Selama dua kali turun itu dia berhasil mencetak empat gol untuk duduk sebagai top skor bersama tiga kawan yang lain.

Penampilan mantan pemain Barito Putra ini mampu menghibur publik Banda Aceh. Skill mumpuni lajang asal Bireuen ini mampu menghipnotis penonton.

"Selama tak ada kompetisi, sudah sering saya main tarkam. Kalau tidak main bola sakit badan saya, ini juga sekaligus untuk jaga badan biar tetap bugar," ungkap Syakir, yang juga mantan pemain Timnas U-23 ini.

Lain ambisi pemain, lain pula motivasi penonton. "Ini hiburan bagi kami, apalagi sepakbola kompetisi tak ada lagi. Ya, nasib negara kita begitu," tukas Halim, warga setempat.

"Harapan kami pada HUT RI ke-70 ini, kisruh PSSI dengan Kemenpora cepat selesai. Jika begini terus, bukan saja menyiksa banyak pemain, banyak pihak juga rugi. Padalah kemerdekaan sejati kami rakyat kecil adalah mendapat hiburan dengan menonton sepakbola," ujar Halim lagi.

Tapi apa daya, harapan pemain dan penonton seperti membentur tembok. Sebab, Menpora Imam Nahrawi belum "memerdekakan" pikirannya dari harapan banyak orang. Ya, nasib.


This post first appeared on Pedagang Kata | Arsip Tulisan Munawardi, please read the originial post: here

Share the post

"Hidup Kami Belum 'Merdeka' dari Sepakbola.."

×

Subscribe to Pedagang Kata | Arsip Tulisan Munawardi

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×