Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Dian - Ketika semuanya berubah malam itu

Namaku Dian 26 tahun, aku baru menikah 1 tahun yang lalu dengan mas Gino. Kami baru pindah ke rumah ini sekitar 2 minggu yang lalu, dengan rumah sebesar ini memang cukup merepotkan untuk membersihkan dan merawatnya sendiri karena kami belum sempat mencari pembantu. Aku dan suamiku belum ada niat untuk mempunyai anak, karena dia memiliki perhitungannya sendiri kapan saat yang tepat untuk menghamiliku. Oleh karena itu bila kami bersetubuh dia selalu menggunakan kondom ataupun aku yang meminum obat anti hamil.

Malam itu aku terbangun oleh suara gaduh yang datang dari halaman belakang, ku lihat suamiku masih berada di sisiku tertidur dengan pulasnya tidak menyadari suara tersebut. Aku penasaran, namun karena tidak enak membangunkan suamiku maka aku putuskan untuk mencari tahu sendiri. Ku bangkit dari ranjangku dan segera keluar dari kamar. Aku coba berjalan melewati lorong dari kamarku menuju tangga, menuruninya dan berjalan melewati ruang televisi yang bersebelahan dengan halaman belakang. Suasana menjadi sangat sepi sekarang, ditambah kegelapan yang menyelimuti karena hampir seluruh lampu rumah yang sengaja dimatikan. Aku menjadi sedikit takut, mungkin lebih baik aku kembali dan membangunkan suamiku, namun akhirnya ku beranikan diri untuk tetap mengeceknya sendiri.

Dari jendela dengan kaca yang lebar ini aku dapat melihat halaman belakang rumahku dengan baik, lampu halaman yang menyala memberiku penglihatan yang bagus ke segara penjuru halaman. Memang dari lampu halaman itulah yang menjadi sumber cahaya satu-satunya sekitarku saat ini.

“Tidak ada yang aneh, tapi tunggu, pintunya terbuka?” Dan ku lihat kunci pintu menuju halaman belakang ini juga telah rusak. Aku bergidik, aku menjadi benar-benar takut sekarang.

“Seseorang telah masuk ke dalam rumah? Jika suara gaduh yang ku dengar beberapa menit yang lalu itulah penyebab rusaknya pintu ini berarti ada seseorang yang masuk ke dalam rumahku dan kini sedang bersembunyi? Apakah selama aku berjalan tadi menuju ke halaman belakang ini dia mengawasiku dari balik kegelapan? Jika benar, ini gawat..” dengan gemetaran ku balikkan tubuhku dan menyapu pandanganku ke sekeliling. Mencoba memperhatikan dan melihat sedalam mungkin kedalam kegelapan itu.



“Aku harus kembali, memberi tahu suamiku” ku berjalan sedikit berlari melewati kegelapan itu untuk kembali menuju ke kamarku. Dalam kesunyian itu hanya suara langkah kakiku yang terdengar menderu-deru, ku paksakan melangkah secepat mungkin walau aku gemetar ketakutan. Aku tidak tahan lagi, ku putuskan untuk berteriak memanggil suamiku. Baru saja ku akan membuka mulut memanggil suamiku, sebuah telapak tengan menutup mulutku. Aku takut, aku meronta mencoba melepaskan diri dari genggamannya, namun ku tak kuasa karena tenaganya yang jauh lebih besar dariku.

“Diam.. atau kamu mau ku bunuh?” katanya berbisik dengan keras sambil menodongkan pisau ke leherku. Aku yang mati ketakutan akhirnya pasrah dan berhenti melawan. Air mataku mulai menetes, tubuhku bergetar karena takutnya. Dia lepaskan genggaman tangannya dari mulutku namun pisau itu masih berada tepat di depan leherku, yang sepertinya siap menyayat leherku jika aku berani melawan.

“Berapa orang yang ada di rumah?” tanya orang ini padaku, namun aku masih diam karena ketakutan.

“Jawab! Ada berapa?” tanyanya lagi.

“Cuma aku dan suamiku” kataku dengan suara bergetar. Aku tidak dapat melihat wajahnya karena dia mengenakan topeng, pakaiannya pun serba hitam.

“Sekarang lo harus ikutin apa yang gue minta atau pisau ini bakalan nancap di leher lo, ngerti” aku mengangguk sambil menatap ke lantai dengan cekukan tangisku.

“Bagus.. siapa nama lo cantik? “ tanyanya sambil tangannya mengelus pundakku.

“Di-dian..”

“Hmm.. Dian, cantik.. dengar, awalnya gue niatnya Cuma mau menjarah sedikit harta lo, tapi karena melihat lo gue jadi ada perubahan rencana.. hehe” katanya.

Aku mulai takut kalau orang ini berniat berbuat macam-macam kepadaku, tangannya yang terasa kasar masih mengelus pundakku, aku coba mengelak dan menjauhi tubuhku dari tangannya sebisaku.

“Gue lihat disana ada kamar kosong, ayo kesana, kita bersenang-senang sedikit.. hehe” katanya sambil menarik tanganku.

“Jangan.. tolong, ampun” tangisku pecah, aku semakin yakin kalau dia kini memang berniat mencabuliku.

Aku mencoba menahan posisi kakiku agar tetap berada disana, tapi karena tenaganya yang besar akhirnya ku pasrah mengikuti ajakannya ini. Dia menyeretku ke dalam kamar kosong yang biasanya digunakan sebagai kamar tamu, karena kamar ini sering dibersihkan maka kamar ini tetap bersih.

“ayo.. kunci pintunya dan hidupkan lampunya” perintahnya padaku. Dengan tangan gemetaran ku putar kunci kamar tersebut dan meraih kontak lampu. Kini aku terkurung dengan seseorang yang entah siapa yang siap menerkamku dan mengambil kenikmatan dariku.

“Mantap.. kita akan berpesta sayang.. hehe..” katanya mesum yang sudah mulai membuka pakaian yang dia kenakan. Dia lepaskan juga topeng yang sedari tadi menutupi wajahnya. Aku benar-benar tidak mengenal siapa orang ini, wajahnya yang jelek, hitam penuh jerawat dengan rambut cepak ini betul-betul membuatku jijik. Ku taksir usianya sekitar 40 tahun. Kini dia hanya mengenakan celana dalam yang kumal, dia berjalan mendekatiku yang masih tertunduk ketakutan ke arah lantai.

“Sekarang lo buka pelan-pelan baju lo itu sambil lo tersenyum seperti tanpa paksaan, gue pengen nikmatin.. inget! Pelan-pelan dan sambil tersenyum” perintahnya mesum padaku. Dengan tangan gemetar aku buka satu kancing kemeja tidurku perlahan-lahan.

“Senyum lo mana!” bentaknya membuatku terkejut. Ku seka air mataku dan mencoba melebarkan senyumku ke arahnya seperti yang dia minta. Mencoba tersenyum semanis mungkin padanya seolah aku adalah perempuan yang siap melayaninya tanpa paksaan. Sambil meneruskan membuka kancing bajuku yang lain, aku sesekali melirik dan tersenyum manis padanya.

“Bagus.. gitu baru lonte gue” katanya penuh penghinaan padaku dengan menyebutku seperti itu. Seorang istri terhormat dari pengusaha muda yang sehari-harinya mengenakan jilbab kalau keluar rumah, kini dengan hinanya menyebut aku lonte. Hatiku terasa sakit namun ku teguhkan hati agar tetap kuat dan terus berusaha tersenyum mengikuti perintahnya ini.

Kini seluruh kancing kemejaku sudah terlepas semua, menampakkan bra berenda bewarna krem yang aku kenakan.

“Wow.. gede, gak tahan gue pengen ngeremes tetek lo.. wakakakak” tertawanya mesum memperhatikan dadaku, aku hanya membalasnya dengan senyuman yang dibuat-buat. Aku mulai membuka celana panjang tidurku juga dengan perlahan. Posisiku yang sedikit membungkuk membuat rambut panjangku terusai dan menutupi wajahku, sehingga aku harus menyibakkan rambutku ke belakang sambil tetap tersenyum nakal padanya.

Kini aku berdiri setengah telanjang di hadapannya. Aku lanjutkan membuka kaitan bra di punggungku dengan menghadap ke tembok membelakanginya. Setelah bra terbuka dan terjatuh aku katupkan tanganku menutup pucuk payudaraku dan kembali menghadap padanya.

“Hehe.. lo emang pandai menggoda” katanya yang ku balas dengan senyumku.

“Mulai sekarang gue pengen lo juga ngomong.. gak cuma diam senyum-senyum doang..” perintahnya lagi.

“I-iya..” kataku dengan terpaksa harus mengikuti kemauannya sambil berusaha tersenyum manis. Ini sangat memalukan, harus bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana dalam saja di hadapan pria entah siapa ini. Yang memaksaku mengikuti segala kemauannya seperti tanpa paksaan. Tapi entah kenapa selain merasa malu aku merasa seksi dengan keadaan seperti ini. Ku lihat di cermin tubuh putih mulusku yang hampir telanjang berdiri di hadapan pria buruk rupa berkulit gelap yang menanti kenikmatan dariku.

“Hmm.. Pak, suka liat ini ya?” kataku tersenyum manis sambil mengguncang buah dadaku yang masih kututupi dengan tangan.

“Hehe.. suka banget.. buka dong”

“Nanti yah pak..” kataku kini membelakanginya lagi kembali menghadap ke tembok. Kini dengan perlahan aku buka celana dalam yang satu-satunya menjadi penutup tubuhku. Memperlihatkan bongkahan pantatku yang bulat menggoda padanya dengan posisiku yang membungkuk membelakanginya ini. Aku kembali menghadapnya, kini tanganku yang satu menutup vaginaku serta tanganku yang satu lagi menutup kedua putting payudaraku secara melintang.

“Waaah.. mantap abis, ngaceng berat gue” katanya, ku lihat tonjolan besar di balik celana dalamnya mencoba untuk berontak keluar.

“Suka pak? Udah gak sabar yah..” kataku dengan intonasi yang menggoda yang pastinya membuat dia makin gelojotan menahan nafsu. Entah kenapa kini aku menjadi tertarik mengikuti permainannya ini, dengan aku yang masih merasakan ketakutan dan rasa malu yang sangat, namun malah mengeluarkan kata-kata menggoda yang sengaja ku keluarkan dari mulutku tanpa paksaan.

“Kalau gak tahan buka aja pak celana dalamnya” godaku lagi. Aku sendiri tidak percaya aku mangatakan hal ini pada orang yang bukan suamiku. Ada rasa malu yang sangat dari dalam diriku namun ku coba menahannya. Dia dengan tergesa melepaskan celana dalamnya dan mengocok penisnya sendiri di hadapanku. Aku merasa jijik dan terhina dipandangi dan dijadikan objek masturbasinya seperti ini.

“Sekarang buka tangan lo, gue pengen liat” pintanya padaku. Dengan agak ragu ku buka tanganku dan mempersilahkannya melihat ke arah putting dan vaginaku yang kini sudah terpampang bebas.

Dia mendekat ke arahku dan tiba-tiba menghujaniku dengan ciumannya. Baik wajah, leher, pundak habis diciumi olehnya. Aku merasa sangat risih, ku coba sebisa mungkin mendorong tubuhnya menjauh dariku, namun dia tetap tidak berhenti dan menahan tubuhku sehingga kini aku diciuminya dalam dekapannya. Sambil menciumiku dia meremas buah dadaku bergantian dengan kencangnya, membuatku merintih kesakitan sekaligus keenakan karenanya.

“Hmpph.. pak.. sakit, pelan-pelan dong..” kataku mengiba namun dia seolah tidak peduli dan tetap meneruskan aksinya tersebut.

“Hmmhh.. oughh..Pak.. pelan-pelan..” dia tetap tidak peduli. Aku akhirnya membiarkan saja aksinya hingga tidak lama kemudian dia melepaskan sendiri remasannya dari buah dadaku.

“Sakit pak.. kasar amat ke cewek” rungutku kesakitan tapi dengan nada manja.

“Emang lo siapa nyuruh-nyuruh gue, lo seharusnya yang nurut ke gue.. ngerti?” katanya sambil tangannya menggenggam dan menjepit rahangku membuatku kesakitan. Seharusnya aku yang ngomong begitu, dialah yang entah siapa dan menyuruhku melakukan hal-hal mesum kepadaku seenak hatinya, di rumahku sendiri, dimana ada suamiku disana.

“shh.. sa-sakit pak.. i-iya.. ngerti..” jawabku yang masih kesakitan karena ulahnya barusan, dia akhirnya melepasakan genggamannya.

“Sekarang lo jilatin kontol gue, sampai benar-benar basah.. jangan sampai kena gigi lo..” perintahnya padaku.

“I-ya pak” kataku yang kemudian berjongkok dihadapannya. Kini aku diharuskan menghisap penisnya. Memang kadang aku melakukan oral seks seperti ini pada suamiku, namun kini penis yang harus aku hisap ini bukan milik suamiku, penis hitam yang bau dengan bulu lebat yang tidak terawat. Aku berjongkok dibawahnya, menahan aroma tak sedap dari selangkanngannya sambil tetap berusaha tersenyum.

Dengan masih merasa jijik aku mulai menjilati penisnya, aku sapu lidahku membasahi batang penisnya kemudian naik ke kepala penisnya. Memasukkannya ke mulutku dan memaju mundurkan penisnya di dalam mulutku. Kemudian ku lepasakan lagi penisnya dari kulumanku dan kini ku jilati buah zakarnya sambil tanganku tetap mengocok batang penisnya. Semua itu aku lakukan dengan sesekali memandang dan tersenyum ke arahnya. Memang aku lakukan ini dengan terpaksa namun anehnya aku merasa bahwa ini adalah kewajibanku untuk membersihkan penisnya dengan sebaik mungkin. Kadang aku berinisiatif sendiri untuk memasukkan penisnya sedalam mungkin ke dalam mulutku hingga mentok di pangkal kerongkonganku, membuat aku kesusahan bernafas dan terbatuk-batuk.

“Hehehe.. enak ya jilatin kontol gue?” tanyanya mesum, ku balas saja dengan senyuman ke arahnya lalu melanjutkan mengemut penisnya lagi. Aku seperti wanita jalang saja, menghisap penis orang lain yang entah siapa sedangkan suamiku di kamar sedang tertidur nyenyak.

“Itu bersihin juga bulu-bulu gue.. emut-emut seperti dikeramas..” pintanya mesum. Tanpa menjawab aku ikuti kemauannya itu. Dengan tetap mengocok penisnya dengan tanganku, ku emut bulu-bulu kemaluannya yang panjang tak terawat itu. Rasa dan aromanya sungguh menyengat, kadang bulu-bulunya itu rontok dan masuk ke mulutku. Ku ludahi penisnya beberapa kali, kemudian ku usap daerah selangkangannya yang berbulu lebat itu dengan kedua tanganku sambil aku tersenyum padanya, sehingga selangkangannya kini makin basah saja oleh liurku. Benar-benar nakal.

“Lo benar-benar mantap, gak salah gue milih rumah ini sebagai target gue, ternyata gue dapat durian runtuh.. hahaha”

“Napa muka lo merah gitu? Kepanasan lo? Belum apa-apa juga.. wuahahaha.. Sekarang lo baring ke ranjang..” dia menarikkku agar berdiri lalu menarikku ke ranjang. Dia dengan brutalnya langsung menindih tubuhku dan mencumbuiku. Dia ciumi wajahku dan meremas kasar buah dadaku ini sehingga membuatku melenguh lagi.

“Pak.. pe-pelan.. pelan-pelan dong.. ough.. ssshhh”

“Oughhh… shhhhhh” Dia kini menurunkan posisi tubuhnya dan menghisap puting buah dadaku, mengenyotnya sesuka hati dan memainkan lidahnya pada putingku. Dia juga membenamkan kepalanya ke buah dadaku dan menjilati seluruh kulit payudaraku yang putih mulus. Aku palingkan wajahku menghadap ke cermin yang ada disana, wajahku tampak memerah karena hawa yang panas, yang mana posisiku sedang digerayangi oleh pria ini.

Kini tangannya turun ke daerah selangkanganku, mengusap-ngusap vaginaku dengan tangan besarnya. Aku sedikit ngeri memikirkan bila jari-jarinya yang besar itu masuk dan mengobok-ngobok vaginaku.

“Tadi lo yang kasih enak ke gue, sekarang gantian.. tenang aja, lo bakalan ngerasa nikmat kok.. hehehe”

“Hmphh.. jangan pak.. jangan dimasukiiiiiiiiiiiiin” aku menjerit tertahan, dengan tiba-tibanya jari-jarinya masuk ke liang vaginaku, mungkin Cuma dua jari namun serasa penuh sesak.

“Shh.. pak.. pelan-pelan…” Dia mulai memaju-mundurkan jemarinya di liang vaginaku, kadang dia mainkan jarinya disana dengan meliuk-liukkan jarinya di dalam liang vaginaku sehingga membuatku geli kenikmatan. Aku memejamkan mataku, mencoba meresapi nikmatnya dimasuki jemarinya sambil melenguh kenikmatan. Baru kali ini ada jari yang masuk ke vaginaku karena suamiku sendiri tidak pernah melakukannya terhadapku.

“Oughhh… shhh..pak”

“pelan-pelan… shhh… ougggghhhh”

“Gimana? Enakkan ? Gak pernah kan suami lo giniin lo? Wahaha..”

“hmmpph.. gak, gak pernah pak.. hhmm” aku jawab pertanyaannya dengan tertawa tertahan karena rasa geli nikmat ini. Setelah beberapa saat aku merasa seperti ada ada aliran listrik yang mengalir menyetrumku.

“Hmmpph…. Paaaaaakkk… ougghhhh” aku orgasme. Baru kali aku merasakan orgasme sehebat ini. Terlebih itu dilakukan hanya dengan jari-jari. Cairan terasa keluar sangat banyak dari vaginaku, membasahi sprei ranjang dan tangan pria itu.

“Hehe.. liat nih..” katanya sambil menunjukkan jari-jarinya yang berlumuran cairanku. Dia kemudian berangsur kesebelahku dan mengarahkan jari-jarinya itu di atas mulutku.

“Buka mulut lo lebar-lebar.. nikmati rasa memek lo sendiri.. hehe” pintanya mesum. Aku kemudian membuka perlahan mulutku selebar mungkin dan menjulurkan lidahku keluar, membiarkan cairan itu masuk ke mulutku. Tampak cairan itu turun membentuk seperti benang jatuh di atas lidahku. Baru kali ini aku merasakan cairanku sendiri, ternyata rasanya unik juga. Setelah seluruh cairan itu jatuh ke mulutku, dia mengusap-ngusapkan jarinya di atas lidahku yang masih terjulur itu. Aku berinisiatif sendiri memegang tangannya dan mengulum jarinya di dalam mulutku. Ku hisap jari-jarinya sambil memainkan lidahku pada jarinya itu. Ku pejamkan mataku menikmati mengulum sisa-sisa cairanku di jarinya sambil sesekali memandang dan tersenyum ke arahnya.

“Nikmatin banget lo yah.. dasar lonte..” katanya menghinaku.

“Udahan, gue udah gak sabar pengen nyodok memek lo” katanya sambil melepaskan jarinya dari mulutku.

“Sekarang lo nungging, gue pingin nyodok lo dari belakang..” pintanya padaku. Aku kemudian dengan agak ragu bangkit dan mengambil posisi menungging membelakanginya. Aku merasa tidak siap dan bimbang karena sesaat lagi vaginaku akan dimasuki penis selain milik suamiku. Haruskah aku melayaninya? Mengkhianati suamiku seperti ini?

“Hehe.. masih rapat benar kayaknya.. jarang dipake lo ya? Atau kontol suami lo kekecilan? Huahahahaha..” tawanya melecehkan.

Dia mulai memasukkan penisnya ke vaginaku, menggoyangkan pinggulnya menggenjotku dari belakang. Penisnya terasa jauh lebih panjang dan tebal dari punya suamiku.

“Oughhh… pak… ughhh..” erangku tertahan. Rahimku terasa sesak, ini bahkan lebih nikmat dari permainan jari-jarinya tadi. Aku merasa sangat hina. Tegakah aku merasakan kenikmatan disodok penis pria lain di rumahku sendiri? Tapi rasa ini sungguh luar biasa yang baru kali ini aku rasakan. Dia goyangkan pinggulnya sekencang-kencangnya, bahkan aku juga ikut-ikutan menggoyangkan pinggulku maju mundur mengikuti irama permainannya. Kadang dia sengaja berhenti membuatku seperti wanita jalang menggoyang-goyangkan pinggulku sendiri. Ku memandang sayu menatapnya berharap dia kembali mengobok penisku, namun dia seperti tidak peduli, membiarkanku sendiri menggoyangkan pinggulku sambil berharap dia melanjutkan menyodok penisnya kembali.

“Kenapa lo? Pengen gue goyang lagi??” aku tidak menjawab karena malu mengakuinya. Diapun mencabut penisnya dari vaginaku.

“Udah ah.. malas gue..” katanya sambil duduk disebelahku membiarkanku yang masih menungging dan merasa amat tanggung tersebut. Sangat tidak enak sekali rasanya kentang gini, padahal aku sedang horny-hornynya namun dia malah melepaskan penisnya mempermainkanku.

“ngmmmhhh..” ku melenguh manja, sebuah isyarat agar dia kembali menyetubuhiku untuk memuaskan birahiku yang belum terpuaskan itu. Bahkan aku seperti orang gila menggoyangkan pinggulku sendiri dalam posisi menungging itu.

“Huahahaha.. napa lo?”

“hmmppphhh.. paaak..” ibaku padanya dengan posisi masih menungging, melentikkan tubuhku semenggoda mungkin berharap dia segera menyetubuhiku lagi.

“ Lo pingin gue genjotin lagi?” aku masih juga terdiam, mukaku memerah menahan malu untuk mengakuinya.

“I-iya paak.. entotin Dian lagi… pliss..” ku kini seperti sudah menjadi budaknya yang mengiba-ngiba padanya demi kepuasan dari penisnya tersebut.

“Pliss pak.. entotin Dian lagi… “ kataku memohon yang masih menggoyangkan pinggulku dalam posisi menungging tersebut.

“Terus gue dapat apa?” katanya mempermainkanku.

“Hmm… ntar bapak boleh ambil berapapun yang bapak mau dari sini.. gak papa..” kataku hilang akal merelakan harta bendaku demi sebuah genjotan birahi dari seorang pria tidak tahu asal-usulnya ini.

“Huahahahaha… goblok, dasar lonte murahan, oke gue kabulin, tapi gue ada permintaan lain, gimana?”

“hmm.. iya pak.. boleh, berapapun yang bapak minta..”

“Dasar goblok, bukan uang maksud gue..” katanya yang terus menghinaku. Namun ku terima hinaannya demi sebuah genjotan penisnya.

“Iya.. pak, maaf.. bapak minta apa?” tanyaku padanya.

“Gue pingin lo jadi pelacur gue, kalau gue sedang kepingin, lo harus bersedia muasin gue.. ngerti?” pintanya padaku. Apa aku harus menyetujui permintaannya ini? Sebagai istri normal tentu saja aku seharusnya menolak dengan tegas permintaannya ini. Namun akal sehat telah mengalahkanku, aku yang sedang dilanda birahi yang menanggung ini tidak dapat berfikir jernih dan akhirnya mengiyakan permintaannya ini.

Dia kemudian kembali ke belakangku, terasa kepala penisnya sudah berada dibibir vaginaku siap untuk disodok oleh penisnya namun dia hanya menggesek-gesekkan penisnya di bibir vaginaku sambil menggoyangkan pinggulnya.

“Oii.. gue pingin ngerasain bool lu deh, Bolehkan? Boleh deehh.. hehe” pintanya. Aku cukup terkejut, aku tidak pernah melakukan anal seks sebelumnya dengan suamiku. Aku fikir itu sangat sakit sekaligus menjijikkan begitu juga dengan suamiku yang tidak pernah mau.

“Nngg… jangan pak.. sakit” kataku menolak.

“Gak sakit kok.. mau coba gak? Lo kan gak pernah ngerasaain.. gak ada salahnya nyobain.. siapa tahu lo suka.. gimana?” bujuknya lagi. Aku masih keberatan untuk menerima ajakannya ini, tapi sepertinya omongannya benar, tidak ada salahnya mencoba hal baru, lagian aku sedang horny banget karena belum terpuaskan.

“Iya deh.. tapi pelan-pelan..” pintaku padanya. Dia kemudian mengarahkan penisnya di lubang anusku. Dia ludahi lubang anusku sebagai pelicin sebelum melesakkan penisnya masuk ke anusku. Kepala penisnya mulai menyeruak masuk.

“Nggghhh.. sakit pak.. pelan-pelan” pintaku padanya.

Kini batangnya sudah mulai masuk, terasa kepala penisnya mentok menyentuh sesuatu di bagian dalam anusku. Dia mendiamkan penisnya sejenak, memberiku waktu untuk terbiasa dimasuki penis di pantatku.

“Gue goyang yah..”

Dia mulai menggoyangkan pinggulnya perlahan, terasa amat sakit bagiku awalnya namun akhirnya perlahan mulai terasa nikmat. Sebuah sensasi yang baru pertama ku rasakan yang tidak pernah ku dapatkan dari suamiku. Lama-kelamaan goyangannya makin cepat seperti sedang menyetubuhi vaginaku saja.

“Ngghhh.. pak… ougghhh…” erangku.

“Ngapa? Enak? Bilang aja kalau enak.. hehe”

“Hmphh.. i-iya pak.. enak…”

“Dasar lonte, awalnya nolak tapi ketagihan juga… huahahaha..” katanya merendahkanku. Aku hanya menahan rasa malu dalam hati.

“Pantat istri orang kaya emang mantap.. hahaha..”

Setelah sekian lama menggenjot anusku, kurasakan penisnya mulai berdenyut seperti ingin mengeluarkan isinya.

“Gue keluarin di memek lo.. moga-moga hamil.. “ katanya lalu melepaskan penisnya dari anusku dan memasukkannya kembali ke vaginaku lalu menyemprotkan banyak-banyak seluruh spermanya kerahimku. Ke rahim yang bahkan belakangan ini suamiku tidak pernah menyemprotnya dengan spermanya karena selalu menggunakan kondom. Kini harus menerima cairan hina dari seorang pria tak dikenal ini, yang mungkin bisa saja membuatku menjadi hamil.

“Huaahh… mantap.. gila.. lo emang lonte yang baik..” komentarnya sambil terengah-engah penuh kenikmatan sesudah menuntaskan birahinya padaku. Aku juga tidak memungkuri bahwa aku juga merasakan hal yang sama, sebuah kepuasan yang baru kali ini ku rasakan.

“Oke, gue mau istirahat bentar.. lo ambilin gue minum dulu sana..” suruhnya padaku seperti aku ini istrinya saja yang melayani dan mengambilkannya minum. Dengan agak letih aku mencoba bangkit dari tempat tidur.

“Mau minum apa? Kopi atau teh?” tanyaku padanya ketika hendak membuka pintu kamar.

“Kopi aja, gak pakai gula.. kalau ada yang bisa dimakan lo bawa aja sekalian..” aku kemudian meninggalkannya sendiri dan menuju ke dapur dengan bertelanjang bulat. Seharusnya kesempatan ini aku gunakan untuk meminta tolong pada suamiku, tapi entah kenapa tidak aku lakukan, malah aku merasa merupakan kewajiban untuk melayani pria itu walau dia baru saja memperkosa dan melecehkanku.

Dalam kegelapan itu aku membuatkannya kopi yang biasa diminum suamiku dan mencari sesuatu untuk dimakan dari dalam kulkas seperti yang dia minta. Aku ambil sebungkus keripik kentang dan kacang kulit disana. Ketika aku hendak kembali tiba-tiba ada suara yang mengejutkanku.

“Dian? Kamukah itu sayang?” aku terkejut bukan main, itu suamiku terbangun. Dia berdiri di anak tangga beberapa meter dari tempatku berdiri sekarang. Namun aku beruntung sedang berdiri ditempat yang tepat, tempat ku berdiri ini sangat gelap sehingga bila tidak diperhatikan dengan seksama dia tidak akan tahu bahwa aku sedang telanjang bulat, terlebih dia sedang mengantuk sehingga tentunya kesadarannya masih setengah-setengah. Seharusnya saat itu juga aku memeluknya dan meminta tolong, namun tidak ku lakukan malah aku berpikir seharusnya dia tidak muncul sekarang.

“I-iya mas.. kok mas bangun?” kataku grogri, berharap dia tidak mendekat dan menemukanku sedang bertelanjang bulat dengan secangkir kopi berada di tanganku yang akan kuberikan kepada seorang pria disana yang sedang menungguku.

“Mas tadi kepingin kencing, tapi mas lihat kamu gak ada di samping mas makanya mas cek kemari, ternyata kamu disini.. hooammm” katanya yang sepertinya masih ngantuk berat.

“Iya.. tiba-tiba haus, mau ambil minum..” kataku mencari alasan.

“Oh.. ya udah, mas balik dulu ya..masih ngantuk banget nih.. hoaammm” dia kembali ke kamar. Aku merasa bersalah membohonginya seperti ini. “Maaf mas..”

Aku kembali ke kamar tamu itu, ku lihat pria ini masih terbaring di atas kasur.

“Hahaha.. hampir ketahuan ya lo tadi?? bagus juga bohong lo..” ternyata dia mendengar semuanya. Aku merasa sangat malu, harus membohongi suamiku untuk dapat bersama orang ini. Ku letakkan kopi dan makanan itu di atas meja.

“hmm.. kalau boleh tau nama bapak siapa pak?” tanyaku padanya karena penasaran juga siapa namanya, apalagi dia sudah membuang pejunya ke rahimku, jika nanti ternyata aku hamil olehnya, masa aku tidak tahu siapa nama bapak anak ini.

“hehe.. nama gue? Gue Pono.. terus lo mau apa habis tahu nama gue?”

“nngg.. gak kenapa-kenapa kok pak, pengen tau aja” kataku sambil membuka bungkus keripik kentang lalu mengambilnya satu, setelah itu mengulurkan bungkusan itu padanya menawarkan pada pria ini.

“Mau pak?” tawarku padanya.

“oke, tapi lo yang nyuapin gue ya..” suruhnya padaku. Akupun duduk di sebelahnya dan mengambil satu potong keripik kentang itu dan menyuapinya. Gila memang, kini aku menyuapi pria yang telah memperkosaku ini, menyuapi keripik itu satu demi satu hingga akhirnya dia memintaku mengambilkan kopi untuknya. Akupun memberikannya kopi hangat itu, dia minum sendiri.

“Hehe.. gue punya ide, lo suapin juga gue ini kopi, tapi langsung dari mulut lo..” pintanya aneh padaku. Aku ikuti kemauannya dan ku seruput kopi itu, terasa sangat pahit karena aku tidak biasa minum kopi, terlebih kopi ini tidak pakai gula sama sekali dan masih cukup panas.

“Huahaha.. kenapa? Pahit?” tanyanya padaku. Aku hanya mengangguk, yang mana aku masih menampung kopi pahit itu di mulutku sehingga mulutku tampak menggembung.

“mmhh.. mmmhhh… mmmhhh??” kataku dengan mulut yang masih penuh kopi, sambil jariku menunjuk ke mulutku lalu kearah mulutnya, sebagai isyarat menyuruhnya membuka mulutnya dan membiarkanku menyuapinya dari mulut ke mulut.

“kenapa lo? Pengen ciuman?” katanya pura-pura tidak tahu mempermainkanku. Aku tertawa dengan kopi yang masih penuh dimulutku sambil tanganku mengisyaratkan tidak, bukan itu. Aku kemudian mengulanginya lagi, menunjuk bibirku lalu menunjuk ke bibirnya. Akhirnya dia pura-pura sudah mengerti dan membuka mulutnya.

Aku dekatkan tubuhku padanya sehingga paha kami kini menempel, ku dekatkan mulutku menuju mulutnya yang terbuka dan dengan cepat menyatukan mulut kami. Karena posisi kami yang duduk lurus membuat kopi dari mulutku itu malah banyak yang jatuh dan mengalir ke dagu dan pahaku, hanya sedikit yang masuk kemulutnya.

“hihihi.. maaf pak, jadi tumpah..” kataku tertawa sambil mengelap dagu dan pahaku yang terkena lelehan kopi itu. Aku pun menyeruput kopi itu sekali lagi, kali ini aku berdiri dan dia masih tetap duduk di tepi ranjang. Dia menengadahkan kepalanya keatas sambil membuka mulutnya, ku tumpahkan kopi yang telah ditampung oleh mulutku ini langsung kepada mulutnya. Ku lakukan hal ini beberapa kali hingga kopi ini tinggal setengah. Aku kadang juga meminumnya sendiri, yang mana selama ini tidak terlalu suka dengan kopi kini bersama-sama dengan pria asing ini menghabiskan kopi pahit itu.

“Hehehe.. lo emang mantap..” katanya memujiku. Suasana kamar ini menjadi semakin panas setelah aksi suap menyuap kopi hangat barusan, ditambah ac di kamar ini sengaja tidak dihidupkan. Aku merasa semakin gerah, tubuhku bercucuran keringat begitupun pak Pono ini. Pak Pono dengan tubuh keringatnya kembali menindihku dan mencumbuiku. Entah kenapa aroma keringatnya yang bau ini malah membangkitkan gairahku, kini aku ikut aktif membelai punggungnya, bahkan mengajaknya berciuman. Aroma kopi dari mulut kami menyatu menciptakan sensasi tersendiri yang menggairahkan ketika saling mengulum dan membelit lidah. Kami berguling-guling di atas ranjang ini dengan saling berpelukan dan berciuman. Membuat tubuhku lengket oleh keringatku sendiri dan juga keringat pak Pono.

“Sayang.. sayang… kamu dimana?” kami terkejut, terdengar suara mas Gino memanggilku mencari tahu aku sedang dimana. Kami terdiam sesaat sambil menatap ke arah pintu. Celaka, aku baru ingat kalau aku lupa mengunci pintu. Aku berharap mas Gino tidak memeriksa kamar ini.

“Sayang.. kamu dimana sih?” suara itu makin dekat, sepertinya dia berada tak jauh dari pintu kamar ini. Aku semakin takut karenanya. Namun pak Pono yang berada dibawahku tiba-tiba menarik daguku dan mencium bibirku lagi. Gila, aku sedang bertelanjang bulat dan berciuman dengan pria asing ini, sedangkan di balik pintu yang tak terkunci ini, suamiku sedang sibuk bahkan khawatir mencariku.

Aku hanya memejamkan mataku saat berciuman sambil berharap mas Gino tidak masuk ke kamar ini. Beberapa saat kemudian ku dengar kembali panggilan mas Gino, kali ini terdengar seperti dari arah belakang rumah. Aku menghela nafas lega karena akhirnya dia menjauh. Segera ku lepaskan bibirku dari pagutan pak Pono dan segera mengunci pintu.

“Duh.. pak, hampir ketahuan tadi..”

“hehe.. padahal lo senang kan sembunyi-sembunyi gitu.. dasar binal lo” katanya.

“Ya udah, mending gue cabut dulu.. gue gak pengen juga kalau terjadi hal-hal gak diinginkan, bisa dikeroyok warga sekomplek gue” sambungnya lagi sambil mengenakan lagi pakaiannya.

“Hmm.. bentar pak, biar Dian urus sebentar, bapak tunggu aja di sini, jangan lupa kunci pintunya” kataku mengenakan kemeja tidurku lagi namun kali ini tidak ku kenakan lagi dalamanku. Kenapa kini aku malah menahannya saat dia hendak pergi? Apa aku saking ketagihannya dengan penisnya sehingga tidak rela dia pergi? Apa yang sebenarnya terjadi padaku?

Aku keluar dari kamar itu dan segera menemui suamiku yang berada di ruangan belakang.

“Mas..” panggilku.

“Dian, kamu kemana aja sih? Dicariin juga dari tadi gak nyahut-nyahut”

“Itu.. itu.. aku lagi.. mas sendiri ngapain?”

“aku tersentak tadi, pas ku lihat lagi ternyata kamu masih gak ada di kamar, dicariin kemana-mana gak nyahut-nyahut, emang dimana kamu?”

“hmm.. dari pada itu mending kita balik aja yuk ke atas.. mas mau minum? Biar aku ambilkan, mas duluan deh ke kamar” kataku padanya. Diapun kembali ke kamar sedangkan aku menuju dapur untuk mengambilkannya minum. Kini aku kembali merasa bimbang, haruskah aku melakukannya hingga sejauh ini? Mengkhianati suamiku dengan cara seperti ini? Main serong di belakangnya dengan seorang pria yang tadi memperkosaku? Aku buka rak obat-obatan, ku campurkan minumannya dengan obat tidur dosis rendah yang cukup membuatnya tertidur pulas beberapa jam. Aku pun kembali ke kamar dan memberikannya minum itu.

Tidak butuh waktu lama, dia telah tertidur pulas di atas ranjang. Kini aku kembali ke kamar tamu menemui pak Pono dan memberitahunya apa yang barusan terjadi.

“Dasar lonte binal.. jadi lo mau lanjutin lagi? gini aja.. karena lo istri yang nakal, gimana kalau kita ngentotnya di samping suami lo yang udah tewas itu?” ajaknya padaku. Aku terkejut dengan permintaannya. Bermain dengan pria asing ini di samping suamiku yang sedang tertidur diatas ranjangku sendiri? Aku tentunya sudah gila bila mengiyakannya. Namun membayangkannya saja membuat gairah ku bangkit dan menghilangkan akal sehatku. Dengan mengangguk malu aku meyetujui permintaan porno si Pono ini.

Kamipun keluar dari kamar ini dan menuju kamarku. Ku perhatikan suamiku masih tertidur nyenyak. Akupun membuka pakaianku lagi diikuti pak Pono. Kini akupun mengambil posisi telentang di atas ranjang, pak Pono langsung menindih dan mencumbuiku. Menyetubuhi ku dengan brutal yang mana ada disampingku suamiku sedang tertidur nyenyak. Pengaruh obat tidur itu membuat kami cukup leluasa melakukan gaya apapun dan berteriak kenikmatan.

“Oughhh… uhhhhhh….”

“Hmmphh… pak.. pelan-pelan.. jangan kasar” kataku padanya.

“Oughhh.. lo emang lonte yang nakal.. ngentot dengan pria lain di atas ranjang lo sendiri selagi suami lo sedang tidur.. hahahaha”

Kini aku sedang dalam posisi tengkurap disetubuhi dari belakang, kepalaku menempel di ranjang. Ku menoleh ke kiri sehingga wajahku berhadapan dengan wajah suamiku dan hanya berjarak beberapa belas senti saja dari wajahnya. Aku merasa tidak enak hati dan malu bukan main.

“Plaak” suara tamparan tangan pak Pino pada kulit pantatku.

“sshhh.. sa-sakit pak…” namun dia tidak mempedulikan rintihanku dan terus menampar pantatku. Aku cukup tenang karena pengaruh obat tidur pada suamiku, jika tidak tentu saja dia bisa terbangun mendengar suara tamparan yang cukup keras itu.

“pak… pelan-pelan.. sakit, jangan kasar pliss..” kataku mengiba padanya sambil tanganku meremas sprei tempat tidur.

“Apaan lo nyuruh-nyuruh gue? Padahal lo suka kan gue kasarin gini? Huahaha..” Dia pun menjambak rambutku selagi meneruskan menampar pantatku hingga kulit pantatku memerah. Anehnya aku merasa sensasi lain yang nikmat saat disiksa fisik dan mental seperti ini.

“Oughh.. enak banget gue pengen ngecrot di memek lo lagi..” katanya.

“I-iya pak.. keluarin aja di dalam” kataku yang sedang horny menyetujuinya. Tidak lama kemudian tubuhnya bergetar, penisnya dia tekan sedalam mungkin dan cairan hangat yang lengket terasa kembali memenuhi rahimku.

“Oughh..ughh..” lenguhnya kenikmatan saat penisnya menyemprotkan spermanya ke rahimku. Melenguh kencang menggema di dalam kamar itu.

Setelah beberapa saat beristirahat, dia kembali menyetubuhi ku, kali ini dia kembali menggenjot anusku. Kami lakukan persetubuhan yang ganjil ini beberapa ronde lagi setelahnya, hingga kamipun akhirnya tertidur kelelahan, aku tertidur di tengah, di kiri dan kananku ada suami dan si Pono ini.

**
**

Paginya aku tersentak, ku lihat pak Pono masih tertidur di sampingku. Benar-benar gila, si Pono ini ternyata masih berada di atas ranjang, ku lihat jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Tentu saja pengaruh obat tidur itu sudah habis dan suamiku bisa terbangun kapanpun dan menemukan aku dan pria asing ini sedang bertelanjang berduaan di sebelahnya.

Aku guncang-guncang tubuh si Pono untuk membangunkannya.

“Pak.. bangun.. pak..” kataku berbisik pelan di dekatnya.

“Hoaaammmm..” dia menguap dengan kencangnya. Aku terkejut bukan main, bisa-bisa suamiku terbangun mendengarnya.

“sshhh..” kataku menutup mulutnya dengan telapak tanganku, tanganku yang satu lagi menunjuk-nunjuk ke arah suamiku, mengisyaratkan agar jangan berisik karena ada suamiku yang bisa terbangun mendengar suara berisik.

Dia mengangguk mengerti, sehingga aku pun melepaskan tanganku dari mulutnya. Namun tiba-tiba dia menindihku dan melumat bibirku. Aku berusaha untuk mendorong tubuhnya agar dia menghentikan aksinya ini. Aku yang masih terkejut hanya pasrah saja menerima permainan mulutnya, bahkan tangan kanannya meremas buah dadaku sedangkan jari tangan kirinya bermain di liang vaginaku.

“Sshh… pak.. berhenti.. pak.. pliss” kataku memohon berbisik padanya. Aku takut bukan main kalau sampai hal ini ketahuan oleh suamiku yang bisa bangun kapanpun. Untung saja dia mendengar apa yang ku katakan dan menghentikan aksinya. Aku bangkit dari ranjang.

“Hmm.. pak, kita mandi bareng yuk” kataku dengan wajah memerah malu sambil menunjuk ke arah kamar mandi.

“Hehehe.. lo sebenarnya masih kepengen kan?? Dasar binal lo.. hehe” Kamipun masuk ke dalam kamar mandi yang berada dalam kamar itu. Untuk jaga-jaga ku bawa pakaianku dan pak Pono yang tadi berserakan di lantai.

Di dalam kamar mandi aku melakukannya sekali lagi sambil membersihkan diri. Aku disetubuhi olehnya lagi baik di vagina maupun lubang anus.

“Yang.. kamu di dalam?” aku terkejut, suamiku sudah bangun dan berada di balik pintu.

“I-iya mas.. lagi mandi” kataku ketakutan. Saat ini aku sedang melayani penis si Pono dengan menjepitnya di belahan buah dadaku, sesuatu yang juga tidak pernah aku lakukan pada suamiku sebelumnya.

“buka bentar yang.. mas pengen kencing dulu” pintanya padaku. Aku tentu saja tidak akan membuka pintunya, mana mungkin aku buka dan memperlihatkannya apa yang sedang istrinya ini lakukan pada pria lain.

“Mas pakai kamar mandi di bawah aja deh.. lagi asik berendam nih.. malas bangkit” kataku beralasan.

“Ah, kamu ini.. ya sudah” ku dengar langkah kaki suamiku meninggalkan kamar. Selanjutnya apa? Dia pasti akan kembali lagi ke dalam kamar, tidak mungkin aku terus bersembunyi di dalam kamar mandi ini.

“Pak.. udah dulu ya.. tadi udah nyemprot lagi kan di dalam” kataku pada si Pono.

“tapi yang kali ini kan belum, gue pengen juga coba ngecrot di mulut lo, tanggung bentar lagi..” tawarnya.

Aku kemudian menuruti perkataannya dan kembali menjepit penisnya naik turun di belahan buah dadaku. Tidak lama kemudian penisnya berdenyut dan dia segera memasukkan penisnya ke dalam mulutku dan menumpahkan isinya di sana.

“Oughhh… nikmat.. lo emang mantap”

Tanpa disuruh aku kemudian membuka mulutku dan menunjukkan cairan spermanya yang tertampung di mulutku. Mengecap-ngecap spermanya dan mengaduk-aduknya dengan lidahku. Memuaskan matanya dengan melihatku memainkan spermanya dengan girang seperti ini. Beberapa tetes meleleh ke daguku membuat aku tertawa-tawa nakal sendiri. Dia tersenyum saja melihatku yang asik bermain dengan spermanya. Setelah itu aku telan spermanya tanpa tersisa di mulutku dan menunjukkan padanya lagi mulutku yang telah menelan seluruh spermanya.

“Hahaha.. lo emang jalang.. dasar perek” komentarnya menghinaku yang ku balas saja dengan senyuman. Dia kemudian mengenakan pakaiannya kembali dan bersiap untuk meninggalkan rumah. Dia tinggalkan aku yang masih bertelanjang di kamar mandi karena aku masih ingin melanjutkan mandi. Sedangkan dia entah bagaimana caranya meninggalkan rumah tanpa ketahuan suamiku, itu sudah menjadi keahliannya jadi aku tidak perlu khawatir.

**
**

“Yang.. lihat pintunya rusak.. sepertinya ada maling yang masuk” katanya padaku saat melihat pegangan pintu belakang rusak. Aku pura-pura saja tidak tahu apa yang telah terjadi tadi malam.

“hmm.. mungkin mas, tapi gak ada yang hilang kan?” kataku yang seperti mencoba membela maling itu, alias pak Pono. Ya, memang tidak ada harta benda yang hilang, tapi sesuatu yang lebih besar lah yang telah hilang yakni kesetiaanku.

**
**

Setelah kejadian itu, beberapa kali si pono ini datang ke rumahku saat suamiku sedang pergi kerja. Aku melayaninya bagaikan melayani suamiku sendiri, malahan layanan seks yang aku berikan jauh melebihi apa yang didapat suamiku. Aku membelikannya handphone agar dia dapat selalu menghubungiku, uang belanja yang dititipkan suamikupun aku sisihkan untuk membelikannya pulsa ataupun sesuatu yang dia inginkan.

Suatu hari, mas Gino meninggalkanku sendiri di rumah karena ada urusan bisnis di luar kota untuk beberapa hari. Selama itu juga pak Pono menginap di rumahku, dia lakukan apapun semaunya di rumahku bagaikan itu rumahnya sendiri, sedangkan aku sang nyonya rumah dijadikan budak pemuas nafsunya yang harus setia melayaninya.

Dia bahkan berbuat kelewatan dengan mengajak teman-temannya yang entah siapa dan darimana untuk ikut menginap dirumahku, menikmati segala fasilitas yang ada di rumahku termasuk fasilitas menikmati tubuh nyonya rumah ini. Aku tentu saja merasa risih dan tidak nyaman karenanya, ketentraman dan kebebasan hidupku terganggu, namun dilain sisi aku merasakan sesuatu yang aneh. Perasaan aneh yang timbul dari diriku ketika main serong dengan beberapa pria di rumahku sendiri ketika suami sedang bisnis di luar kota.

“Neng.. ada handycam gak? Kita bikin bokep yuukk” ajaknya padaku yang ku ketahui namanya Wanto ini.

“wah.. ide bagus tuh wan, pintar juga lo..” setuju temannya yang satu lagi yang bernama Husni. Teman-teman si Pano ini ku rasa juga seumuran dengannya.

Gila? Bikin bokep? Kurang ajar sekali mereka meminta sebuah permintaan yang kurang ajar itu padaku. Namun aku tahu bahwa aku tidak akan kuasa menolak permintaannya.

Akhirnya aku menuruti kemauannya dan menyiapkan handycam. Mereka menyuruhku mengenakan kebaya yang mahal lengkap dengan jilbab dan selendang yang biasanya ku kenakan saat ada hajatan. Aku didudukkan di sofa ruang tamu.

“Ingat.. lo harus berakting sebinal mungkin.. jangan sampai kelihatan kalau lo terpaksa.. ngerti??” perintah Pano padaku yang ku balas dengan anggukan kepala. Kamera mulai dinyalakan, kemudian aku berpose di depan kamera dan di suruh memperkenalkan diri.

“hmm.. kenalkan.. namaku Dian, umur 26 tahun, sudah berumah tangga” kataku sambil tersenyum manis di depan kamera dengan intonasi suara yang ku buat semenggoda mungkin. Setelah itu Pano dan Wanto mendekat dan aku disuruh untuk mengocok penisnya di sisi kiri dan kananku. Sungguh pemandangan yang ganjil, seorang istri muda yang berpakain kebaya lengkap sedang mengocok penis dua orang yang tidak jelas status sosialnya.

“Kenalkan.. yang disebelah kiri ini pak Pono.. dan di sebelah kananku pak Wanto.. Dian bakal muasin penis-penis mereka.. hihihi” kataku tertawa menggemaskan, berusaha berakting sebaik mungkin seperti yang mereka suruh. Aku sendiri tidak tahu apakah aku sedang berakting atau tidak.

Aku kocok dan emut penis mereka bergantian sambil sesekali tersenyum nakal ke kamera. Aku jilati dan lumuri penis-penis itu hingga basah oleh liurku, baik batang, buah zakar hingga bulu kemaluan mereka yang lebat, bahkan aku sampai menjilati hingga ke sekitar lubang anus mereka yang menyengat bukan main. Setelah beberapa saat, penis mereka berdenyut hendak memuntahkan isinya, ku percepat kocokan tanganku pada penis-penis itu dan..

“Croott.. croot..” penis mereka tumpah dengan banyaknya menyemprot-nyemprot kebaya mahalku. Mereka juga mengelap ujung penis mereka ke kebayaku. Adegan yang sangat mesum dan ganjil ini pasti terlihat sangat bagus di kamera.

Itu baru permulaan, setelah itu mereka memaksa untuk menyetubuhiku dengan masih mengenakan kebaya lengkap kecuali rok yang telah dilepaskan. Aku disetubuhi depan belakang dengan masih mengenakan kebaya. Bagian bawah tubuhku terasa sangat sesak. Penis mereka bergantian bergoyang mengorek-ngorek vagina dan anusku menimbulkan rasa nikmat yang baru kali ini kurasakan. Kemudian aku tidak menyadari kalau seluruh pakaianku telah tanggal dari tubuhku sehingga kini kami semua bertelanjang ria. Mereka benar-benar membuat video porno yang mesum terhadapku, melecehkanku sang nyonya rumah disini. Menyuruhku bermasturbasi dengan vibrator, terong ataupun mentimun hingga cairanku menyemprot-nyemprot dengan kencangnya. Bahkan ada scene saat aku mengenakan kalung anjing dan disuruh merangkak keliling rumah menirukan suara anjing sambil mereka yang memegangi tali. Aku sang nyonya rumah, yang status sosialnya lebih tinggi dari mereka bersedia merangkak seperti anjing yang patuh pada tuannya.

Beberapa hari itu merupakan hari terburuk dalam hidupku, penuh hinaan dan pelecehan dari mereka. Mereka dengan seenaknya menyetubuhiku kapanpun, membuang sperma mereka baik di vagina, anus ataupun mulutku.

Aku lega hari ini merupakan hari terakhir mereka di rumahku, namun entah kenapa aku juga menyayangkan kenapa ini terlalu cepat berlalu, apakah aku telah jatuh sepenuhnya menjadi budak mereka? Bersedia untuk menjadikan tubuhku sebagai penampungan sperma mereka?

Sore itu, akhirnya mereka pergi dari rumahku. Mereka memberiku waktu untuk membersihkan rumah dari noda-noda dan aroma persetubuhan kami karena suamiku akan pulang esok pagi. Aku hanya berdoa semoga aku tidak hamil karenanya, karena mereka tidak mengizinkanku minum obat anti hamil ataupun memakai kondom saat menyetubuhiku. Namun sisi diriku yang binal sangat menginginkan hal tersebut terjadi, bagaimana nikmatnya sensasi dihamil oleh pria-pria asing itu. Garis bibirku melebar, aku tersenyum sendiri memikirkannya.

Sejak saat itu, secara diam-diam aku selalu melayani mereka. Kadang mereka datang sendiri-sendiri ataupun bertiga, bahkan kadang mereka mengajak teman mereka yang lain untuk ikut menikmati tubuhku. Bila situasi tidak memungkinkan untuk melakukannya di rumah, aku bahkan harus membayar dengan uangku sendiri sebuah penginapan ataupun hotel untuk dapat melakukannya dengan salah satu, ataupun dikeroyok beramai-ramai oleh mereka. Mereka juga pernah membawaku ke sarang mereka, menyuruhku melayani anggota-anggota mereka termasuk preman-preman dan tunawisma di sana. Ya, aku kini telah berubah karena pak Pono, karena kejadian malam itu. Yang mana aku luarnya merupakan seorang istri terhormat dari suami yang disegani, namun dalamnya aku merupakan pelacur pemuas nafsu para kalangan yang status sosialnya jauh di bawahku.

Sudah dua minggu berlalu sejak kejadian malam itu. Aku seorang istri dari pengusaha muda yang disegani jatuh ke dalam perbudakan oleh orang-orang yang status sosialnya jauh di bawahku. Menyuruhku melakukan apapun yang mereka inginkan terhadap tubuhku di rumahku sendiri.

Saat ini bahkan mereka tinggal dengan leluasa di rumahku. Pak Pono menjadi satpam, sedangkan Wanto dan Husni menjadi pembantu dan tukang kebun di rumahku. Tentu saja aku yang mengusulkannya pada suamiku dengan paksaan dari mereka. Awalnya suamiku kurang setuju saat pertama kali ku memperkenalkan mereka karena tampak tidak berpengalaman ataupun terlihat seperti pembantu, namun akhirnya aku dapat meyakinkan suamiku bahwa aku menemukan mereka dari agen pembantu yang terpercaya. Karena badan pak Pono yang besar maka iya pun diubah statusnya menjadi satpam oleh suamiku.

Mau tidak mau tiap hari aku harus berjumpa dengan mereka bila aku sedang di rumah. Mereka tidak berani macam-macam padaku di depan suamiku dan bertingkah bagaikan seorang pembantu dan satpam yang baik, namun bila suamiku lengah ataupun sedang kerja barulah aku dipermainkan seenak mereka dan bertindak seperti tuan rumah bukan seperti seorang satpam dan pembantu. Malah aku yang yang harus memasak dan bersih-bersih rumah yang seharusnya menjadi pekerjaan mereka. Para begundal itu semakin nikmat saja hidupnya, sudah tidak melakukan pekerjaan apapun di rumahku malah dapat gaji dan makan gratis pula.

Mereka juga seenaknya menghabiskan uang untuk hal yang aneh-aneh, seperti menyuruhku membeli berbagai mainan seks baik untuk perempuan ataupun laki-laki. Beberapa bahkan ada yang harus dipesan dari luar negeri dengan biaya yang tidak sedikit. Yang tentunya semuanya itu atas namaku dan berasal dari uang tabunganku sendiri.

Siang itu aku berencana untuk mandi karena cuaca yang sangat panas sekali. Aku menuju kamar mandi yang ada di dalam kamarku. Aku terkejut menemukan si Wanto sedang tiduran di atas ranjangku tanpa minta izin.

“Pak.. apa-apan sih.. seenaknya tidur-tiduran di ranjang aku” kataku dengan wajah kesal padanya.

“hehe.. abisnya enak sih non, ini kamar yang paling bagus dan paling adem.. beda sama kamar bapak di belakang sono.. sumpek” katanya membela diri.

“ Lagian pak Gino kan lagi keluar kota seminggu ini non, jadi gak papa dong kalau bapak yang gantiin posisinya di ranjang ini.. khekhekhe..” katanya lagi seenak jidatnya.

Aku yang masih kesal berusaha tidak mempedulikannya dan segera masuk ke dalam kamar mandi. Segera ku lepas seluruh pakaian yang sedang ku kenakan dan menyalakan air untuk mengisi bathtub.

“Tok-tok-tok..” terdengar suara ketukan pada pintu di kamar mandi. Tentu saja aku tahu siapa orangnya yang tidak lain adalah si Wanto. Dengan langkah yang berat ku buka pintu kamar mandiku dan hanya ku keluarkan kepalaku saja, menyembunyikan tubuh telanjangku dari balik pintu agar dia tidak mupeng lagi melihat ketelanjanganku.

“Ada apa sih pak? Dian mau mandi.. jangan ganggu deh” kataku dengan wajah kesal.

“hehehe.. gak ganggu kok non.. Cuma mau pipis aja bentar.. boleh yah bapak masuk? Bentar aja kok.. hehe” pintanya mesum mencari-cari alasan.

“Pipis aja di celana!!” kataku jutek sambil berusaha menutup pintu, namun tangan si Wanto ini mencegahnya.

“Bentar aja kok non.. bapak janji gak ngapa-ngapain kok” katanya berusaha meyakinkanku dengan senyuman mesumnya.

“Ya udah.. coba aja kalau macam-macam!!” ku tutup sebentar pintu kamar mandi dan ku kenakan kembali handukku, lalu dengan berat hati ku buka pintu kamar mandi dan mempersilahkan orang ini masuk. Dia sempat terpelongo melihat tubuhku yang kelihatan seksi dengan hanya dibalut handuk putih begini, hanya menutupi sedikit di atas puting payudaraku hingga paha atasku. Walau sudah sering melihat ketelanjanganku namun matanya tetap saja tidak bisa lepas.

“Cepat aja pak.. jangan aneh-aneh deh..” kataku menyadarkannya dari lamunan joroknya.

“hehe.. iya non, tapi ininya buka aja non” katanya dengan tiba-tiba seenaknya menarik handukku sehingga tubuh telanjangku pun akhirnya terpampang dihadapannya, membuat aku menjerit kecil.

“Ahh.. pak, katanya mau kencing..” Dia hanya tertawa cengengesan sambil mengalungkan handukku itu ke lehernya dan menyeka keringatnya.

Aku makin kesal saja melihat tingkahnya. Dia akhirnya kencing juga namun sambil melirik-lirik ke tubuhku. Ku biarkan saja tubuh basah telanjangku ini menjadi santapan matanya sambil meneruskan mandiku.

“Udahkan pak? Keluar sana..” suruhku padanya.

“udah non, tapi belum di cebok nih.. cebokin dong..” pintanya kurang ajar padaku.

“Cebok sendiri dong pak.. nih.. “ kataku sambil memberikannya selang shower.

“Maunya sih dicebokin pake mulutnya non.. hehe, mau yah non.. udah tegang lagi nih.. cebokin dong sampai keluar lagi peju bapak.. hehe” pintanya sambil mengurut-ngurut penisnya yang tampak semakin tegang.

“Tadi kan janjinya gak macam-macam pak?”

“Hehe.. pejabat aja bisa melanggar janji agar gak korup, masa bapak gak boleh langgar janji dikit non.. hehe” katanya sok diplomatis.

Apa daya, dia pasti tidak akan mau mendengarku. Segera saja ku mengambil posisi bersimpuh di depan selangkangannya. Ku lihat ujung kepala penisnya masih terdapat cairan bening sisa kencingnya, membuatku makin jijik. Ku masukkan penis itu ke mulutku, segera rasa anyir dan asin dari sisa kencingnya terasa di lidahku. Aku, nyonya rumah di sini, harus menceboki penis kacungku yang habis buang air dengan mulutku. Ku coba sebisa mungkin untuk bertahan dari rasa tersebut dan tidak menarik penisnya dari mulutku, melentikkan tubuhku se-seksi mungkin sambil menghisap penisnya agar dia cepat keluar dan membuat ini segera berakhir.

“Enak gak non rasa pipis bapak?? khekhekhe” tanyanya mesum, ku balas saja dengan senyumku yang dibuat-buat dengan mulut yang masih penuh terganjal penisnya.

Setelah sekian lama mengocok penisnya di dalam mulutku, akhirnya dia tidak tahan dan melepaskan penisnya dari kulumanku, menyemprotkan banyak-banyak spermanya di rambutku.

“oughhh.. nih bapak kasih krimbat gratis..” katanya seraya menyemprotkan pejunya. Aku meraba-raba spermanya di atas rambutku ini sambil mengutuk dalam hati, terpaksa aku harus bersusah payah nanti membersihkan pejunya yang ada di rambutku ini.

“Udah pak? Puas? Sekarang keluar dulu.. Dian mau mandi..”

“Hmm.. gini aja deh non, biar bapak temanin mandi gimana?” usulnya padaku. Aku diam tidak menjawab, Wanto menganggap itu sebagai persetujuan sambil melepaskan pakaian yang masih menempel di tubuhnya. Terpaksa aku harus mandi namun ditemani pria dekil ini. Saling membersihkan badan satu sama lain, dan tentu saja tidak mungkin penisnya tidak tegang lagi.

“Pak.. itu..” kataku sambil menunjuk penisnya yang berdiri tegang menantangku, tidak sabar untuk kembali mengorek-ngorek isi vaginaku.

“Hehe.. tegang lagi yah non..” katanya. Sambil berseringai mesum dia maju ke arahku yang mana aku malah mundur hingga akhirnya mentok ke tembok. Aku pasrah dengan apa yang akan terjadi.

“Non.. enaknya posisi apa yah? Hehe” tanyanya gak penting padaku.

“Terserah!!” jawabku jutek. Diapun masuk ke dalam bathtub dan duduk di dalamnya.

“Sini non.. tunggangin kontol pacarmu ini.. hehe” suruhnya padaku. Apa? Pacar? Orang kaya gini ngaku-ngaku jadi pacarku? Sejuta kali lebih ganteng suamiku dari pada dia. Namun aku yang tidak punya pilihan mengikuti keinginannya, ikut masuk ke dalam bathtub dan duduk di atas pahanya dan memasukkan penisnya ke dalam vaginaku. Aku yang kemudian memegang kendali, dengan mengalungkan lenganku ke lehernya, ku goyangkan pinggulku sedangkan si Wanto Cuma mengerang-ngerang kenikmatan. Air dalam bathtub kelihatan beriak-riak karena goyanganku ini.

“Hehe.. gak salah si Pono nyebut non lonte.. nikmat benar goyangan non.. khekhekhe..” lecehnya yang hanya ku balas dengan senyumku. Aku ingin semua ini cepat berakhir, pria ini benar-benar sudah mengganggu acara mandiku, ku putuskan untuk menggodanya agar dia cepat keluar.

“Enak banget yah pak?? Hihihi..” kataku dengan suara mendesah menggoda.

“Ougghh.. enak banget non..” lenguhnya. Aku goyangkan pinggulku maju mundur, berputar-putar, memandang ke arahnya sambil memasang wajah nakal. Ku dekati wajahnya dan ku cium bibirnya, mengajaknya bermain lidah sambil aku sibuk menggoyangkan pinggulku. Kedua tangannya ku letakkan di masing-masing buah dadaku. Mencoba memberinya kenikmatan semaksimal mungkin.

Akhirnya setelah cukup lama aku menunggangi penisnya, dia pun tampak tidak tahan untuk segera menyemprotkan spermanya ke dalam vaginaku. Ku percepat goyanganku karena aku juga mau sampai.

“Crott.. croot..” Kami keluar berbarengan. Dia tumpahkan lagi yang untuk kesekian kalinya spermanya ke liang rahimku. Aku mengeringkan tubuhku setelah itu, termasuk tubuh si Wanto juga mesti aku yang keringkan.

“Bentar non, biar bapak yang milihkan baju untuk non.. hehe..” katanya padaku. Aku pun kemudian hanya berdiri telanjang sambil menunggunya memilihkan baju untukku. Dia obrak-abrik isi lemari pakaianku. Aku sempat kesal melihatnya yang seenaknya mengacak lemariku, namun ku biarkan saja. Dia akhirnya memilih pakaian untukku.

“Ini non..hehe” Dia memberiku sebuah kaos longgar putih dan sebuah celana dalam warna hitam. Dengan malas aku kenakan pakaian itu.

Setelah mandi aku cuma bersantai menikmati acara tv di ruang keluarga, hanya mengenakan celana dalam dan baju kaos longgar tanpa dalaman apa-apa lagi seperti yang diinginkan si Wanto saat memilhkan pakaian untuk ku kenakan saat selesai mandi tadi. Posisiku saat itu berbaring di sofa yang mana kepalaku beralasan bantal boneka.

“Non.. ada tamu nih non” tiba-tiba aku dikejutkan oleh kehadiran si Wanto.

“Tamu? Siapa pak?” tanyaku penasaran memandangnya tanpa mengubah posisi berbaringku. Melihatku dengan posisi itu sepertinya membuatnya mupeng lagi karena dia sempat terpelongo sesaat. Apalagi baju kaosku yang longgar ini tersingkap dan menampakkan perut putih rataku.

“Itu non.. “ katanya menunjuk ke arah ruang tamu.

“Gak usah ganti baju segala non, pake gituan aja.. hehe“ Aku yang penasaran akhirnya bangkit dari posisi tiduranku sambil mengambil ikat rambut di atas meja, mengikat rambutku kincir kuda, lalu berjalan menuju ruang tamu menemui orang yang dimaksud Wanto ini. Aku cukup terheran menemukan ada tiga bocah di sana, ada pak Pono mendampingi mereka.

“Non.. kenalin nih.. anak buah gue..” kata si Pono. Ku perhatikan keadaan mereka, pakaian mereka tampak berantakan dan kumal, kulit mereka juga hitam dekil dan berkesan berdebu tampak seperti anak jalanan yang putus sekolah, yang aku perkirakan mereka seumuran dengan anak-anak smp umumnya. Tentu saja mereka terpana melihat keadaanku, seorang ibu muda dengan pakaian menggoda berdiri di hadapan mereka.

“Mereka ini anak buah gue, yang nyetor ke gue tiap harinya dari hasil ngamen di lampu merah sama malakin anak orang” ujarnya menerangkan. Dua dari tiga orang bocah itupun bangkit dan bersalaman denganku yang ku ketahui bernama Wawan dan Riko, terpaksa aku terima salaman mereka sambil berusaha tersenyum.

“Wah.. si Non ini, cakep, seksi , tangannya mulus lagi..” kata Wawan mengomentariku, sepertinya tidak ada sifat polos padanya.

“Makasih dek.. gak usah panggil Non dek, panggil kakak atau mbak aja” kataku sambil tersenyum membalas komentarnya itu, yang aku tahu pasti dipikiran mereka sudah dipenuhi pikiran-pikiran jorok terhadapku.

“Nah.. tapi si brengsek satu ini gak nih.. “ katanya menunjuk ke bocah satunya. Tapi tunggu dulu, itu bukan bocah, itu pria dewasa namun berbadan cebol. Perawakannya mirip seperti pemeran tuyul-tuyul di sinetron-sinetron zaman dulu itu, tinggi badannya pun ternyata lebih pendek dari dua bocah yang tadi.

“Kenalan dong non sama abang ganteng ini.. gue Bontet, orang-orang biasanya manggil gue gitu.. hehe” kata si cebol ini memperkenalkan diri. Apa? Ganteng? Melihatnya saja aku jijik. Dengan tubuh cebol dan gempal, tingginya paling-paling cuma 100cm, dengan wajah sedikit berjerawat dengan rambut cepak. Aku mengira-ngira bahwa si Bontet ini umurnya sekitar tiga puluhan.

“Napa non? Jijik ya liat si Bontet.. gue juga.. wakakakak” kata Pono. Pria cebol ini juga ikut bersalaman denganku, tingginya hanya sebatas perutku.

“Nah.. sekarang nyonya yang cantik ini juga merupakan lonte kalian.. kalian bebas deh ngapain aja sama nih lonte” kata Pono pada orang-orang ini. Aku hanya memandang kesal pada pak Pono dengan ekor mataku sambil mengutuk dalam hati. Seenaknya mengobral gratis tubuhku pada orang-orang aneh seperti mereka.

“Sekarang lo harus matuhin mereka seperti lo patuh ke gue.. ngerti? Mereka juga bakal nginap di sini selama laki lo pergi..” kata Pono seenaknya. Sungguh keterlaluan si Pono ini, terpaksa aku harus menambah biaya lagi karena bertambah beberapa orang lagi di rumahku.

“Kak.. kita lapar nih..minta makan dong..” kata si Wawan ini padaku. Enak saja mereka datang-datang minta makan, aku sendiri belum makan.

“Ya udah.. kita makan bareng aja, kakak juga belum makan..” ajakku pada mereka sambil beranjak dari sana menuju dapur. Akupun menyiapkan makan untuk mereka, seperti seorang istri yang baik aku sendokkan nasi di atas piring mereka.

“Wah.. ayam goreng, udah lama gue gak makan ayam.. enak nih kelihatannya” kata Wawan kesenangan dan mulai makan dengan lahapnya. Mereka duduk di depan meja makan bersama-sama denganku, bahkan si Bontet duduk di tempat yang biasanya diduduki suamiku. Agak lucu melihatnya karena hanya kepalanya saja yang tampak di depan meja karena tubuh cebolnya ini. Ku alihkan pandanganku memperhatikan si Riko yang dari tadi tidak pernah bicara sedikitpun.

“Napa dek? Gak enak ayamnya?” tanyaku pada Riko, dia hanya menggelang-geleng saja.

“Hehe kak, si Riko ini bisu kak, dan dia juga agak gini” kata Wawan sambil menggesek-gesekkan telunjuknya di keningnya. Apa? Maksudnya bocah ini idiot? Gila, apa nanti aku juga harus dientot bocah keterbelakangan mental ini? Tubuhku menjadi merinding membayangkannya. Namun aku merasa cukup kasihan juga melihat keadaanya itu.

“Mau kakak suapin dek? “ kataku berinisiatif menawarkan diri untuk menyuapi si Riko ini. Dia hanya mengangguk angguk kayak orang terkena ayan. Akupun bangkit dan duduk di kursi di sebelahnya. Mengambil nasi dari piringnya dan menyuapinya langsung menggunakan tanganku. Merasa tanggung, akupun mengambil nasi dan ayam di piringku dan ku campurkan ke piringnya, jadilah kini nasiku dan nasinya tercampur. Sambil makan akupun menyuapinya, sesekali ada nasi yang bercecer di pipinya, ku colek nasi itu dan memasukkannya ke mulutku memakannya. Kelihatan sangat liar dan erotis sekali, seorang istri muda yang cantik sedang menyuapi bocah tanggung dekil yang idiot. Terlihat Wawan dan Bontet melongo melihat aksiku.

“Napa? Mau disuapin juga kalian?” kataku menggoda mereka.

“Eh.. eh.. boleh..” kata mereka sambil mendekat. Akupun kini menyuapi tiga makhluk itu bergantian hingga nasi mereka habis. Tanganku terpaksa bergantian terkena air liur mereka yang bau ini.

“Huaah.. kenyang.. si non ini emang pantas jadi bini kita.. hahaha” kata si Bontet ketika telah menghabiskan seluruh makanannya.

“Iya bang, emang mantap nih cewek..” ikut si Wawan.

“Ya udah kalau gitu.. kita sikat aja..” kata si Bontet bangkit dari tempat duduk dan menarikku ke sofa di ruang tv.

“Duh.. sakit… pelan-pelan dong kalau narik tangan cewek..” kataku kesal pada si Bontet ini.

“Eh.. mendingan kita ke kamarnya aja deh.. lebih asik kayanya.. hehe” usul Wawan. Mau tidak mau ku ikuti kemauan mereka dan berjalan membimbing mereka ke arah kamar. Kini di kamarku ini lagi-lagi dimasuki orang lain yang tidak jelas statusnya yang siap menikmati tubuhku. Kelihatan Bontet, Wawan dan Riko sudah mupeng berat. Mereka yang tidak sabaran langsung membuka pakaian mereka hingga bertelanjang di depanku. Apa aku akan dikerjai makhluk yang bertubuh kecil dariku seperti mereka? Rasanya menjijikkan sekali.

“Non.. buka bajunya dong..” pinta si Bontet.

“Iya nih kak.. udah gak sabar nih pengen ngewe lonte cantik kayak kakak, bini orang lagi..” sambung wawan kurang ajar.

“Apaan sih kamu wan.. gak sopan banget sama orang yang lebih tua..&


This post first appeared on Kisah 17Thn | Cerita Dewasa Khusus 18 Tahun Keatas, please read the originial post: here

Share the post

Dian - Ketika semuanya berubah malam itu

×

Subscribe to Kisah 17thn | Cerita Dewasa Khusus 18 Tahun Keatas

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×