Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

AG Divonis Penjara, Simak Penerapan Pidana dan Pembinaan Khusus Anak

AG (15) divonis 3,5 tahun penjara dalam kasus rencana penyerangan terhadap Cristalino David Ozora oleh Mario Dandy pada Senin (10/4). Vonis itu lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menuntut hukuman empat tahun penjara.

Jaksa Agung diduga melanggar Pasal 355 ayat 1 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP yaitu tindak Pidana penyerangan dengan pemberatan, terencana dan sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan tanpa mencegahnya. Hakim menyatakan tidak ada alasan untuk memaafkan dan memaklumi perbuatan Jaksa Agung.

Juri tunggal Sri Wahyuni ​​Batubara mengatakan, hal yang membuat AG lebih ringan adalah karena usianya masih 15 tahun, sehingga diharapkan bisa memperbaiki diri. AG yang masih di bawah umur akan menjalani hukuman pidana di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA).

PROSEDUR VENDENTIS DALAM KASUS PELECEHAN DAVID (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/tom.)

Mengetahui Istilah-istilah dalam Sistem Peradilan Anak

Sistem peradilan anak di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam UU SPPA, kedudukan anak dalam hukum dibagi menjadi beberapa kategori sesuai dengan kedudukannya dalam perkara hukum yang melibatkan anak.

Syaratnya adalah:
– Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, korban tindak pidana dan saksi tindak pidana.
– Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang berumur 12-18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
– Anak korban kejahatan yang disebut anak korban adalah anak yang belum berumur 18 tahun yang menderita kerugian fisik, mental dan/atau ekonomi yang diakibatkan oleh kejahatan.
– Anak yang menjadi saksi suatu tindak pidana yang sering disebut saksi anak adalah anak yang belum berumur 18 tahun yang dapat memberikan keterangan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu tindak pidana yang didengar, dilihat atau berpengalaman.

UU SPPA juga mengakui keadilan restoratif. Undang-undang tersebut mendefinisikan keadilan restoratif sebagai penyelesaian perkara pidana yang melibatkan pelaku, korban, dan keluarga kedua belah pihak serta pihak terkait lainnya, untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan mengutamakan rehabilitasi, bukan retribusi.

Dalam UU SPPA juga terdapat istilah diversi yang mengacu pada penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar sistem peradilan pidana.

Sistem Peradilan Anak di Indonesia

Mengacu pada UU SPPA, Pasal 2 dan 3 menegaskan bahwa sistem peradilan anak dilaksanakan berdasarkan berbagai asas, mulai dari perlindungan, keadilan, nondiskriminasi, hingga penghindaran pembalasan. Kedua pasal tersebut juga menekankan perampasan kebebasan dan hukuman sebagai upaya terakhir.

Penangkapan, penahanan dan penghukuman dilakukan sebagai upaya terakhir dan dilakukan dalam waktu singkat. Bahkan jika terbukti bersalah, seorang anak tidak dapat dijatuhi hukuman mati atau penjara seumur hidup.

UU SPPA menyebutkan bahwa sistem peradilan pidana anak harus mengedepankan pendekatan keadilan restoratif. Oleh karena itu, dinyatakan bahwa proses hukum yang berlaku harus menghindari pembalasan, hanya melaksanakan pemidanaan sebagai upaya terakhir, dan harus mengupayakan diversi pada tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara.

Diversi dimaksud diatur dalam Bab II UU SPPA yang menyebutkan bahwa diversi bertujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara di luar proses peradilan, mencegah anak terampas kemerdekaannya, dan menanamkan rasa tanggung jawab pada anak-anak. anak-anak.

Diversi dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor, antara lain kategori tindak pidana yang melibatkan anak, dan usia anak. Diversi ini dilakukan untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara kurang dari tujuh tahun dan tidak untuk tindak pidana berulang yang dilakukan oleh anak.

Proses peradilan anak tetap berjalan apabila proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan atau kesepakatan diversi tidak dilaksanakan. Dalam proses peradilan anak, penyidik, penuntut umum, dan hakim wajib memberikan perlindungan khusus bagi anak dalam penyidikan apabila tindak pidana dilakukan dalam keadaan darurat yang dilakukan melalui sanksi yang tidak dibebani.

Penahanan anak untuk kepentingan penyidikan hanya dapat dilakukan apabila anak tersebut telah berumur 14 tahun dan diduga melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana tujuh tahun atau lebih. Penahanan dapat dilakukan paling lama tujuh hari dan dapat diperpanjang paling lama delapan hari.

Untuk kepentingan penuntutan, penahanan dapat dilakukan paling lama lima hari dan diperpanjang paling lama lima hari. Sedangkan untuk kepentingan pemeriksaan sidang, hakim dapat menahan paling lama 10 hari dan dapat diperpanjang paling lama 15 hari.

Untuk kepentingan pemeriksaan tingkat banding, hakim tingkat banding dapat melakukan penahanan paling lama 10 hari dan dapat diperpanjang paling lama 15 hari. Pada tingkat kasasi, penahanan untuk pemeriksaan dilakukan paling lama 15 hari dan dapat diperpanjang paling lama 20 hari.

Aplikasi Pidana

Dalam UU SPPA disebutkan bahwa anak yang belum berusia 14 tahun tidak dapat dijerat dengan pidana, hanya dapat dijerat dengan perbuatan. Jika dalam hukum materil terdapat pidana kumulatif berupa pidana kurungan dan denda, maka pidana denda ini diganti dengan latihan kerja.

Ada berbagai jenis kejahatan. Sanksi pembinaan di luar lembaga, berupa keharusan mengikuti terapi tertentu dan mengikuti program pendampingan dan konseling yang dilakukan oleh dinas pengawas. Hukuman pengabdian masyarakat adalah kejahatan yang bertujuan untuk mendidik anak dan meningkatkan kepedulian mereka terhadap kegiatan masyarakat yang positif.

Ada pula tindak pidana pengawasan yang menempatkan anak di bawah pengawasan jaksa dan dibimbing oleh pembimbing sosial. Hukuman latihan kerja dilaksanakan oleh anak di lembaga latihan kerja yang disesuaikan dengan usia anak.

Sedangkan pidana penjara atau pembatasan kebebasan hanya dapat dijatuhkan jika seorang anak melakukan tindak pidana berat atau tindak pidana yang disertai dengan kekerasan. Pidana yang dijatuhkan menurut UU SPPA maksimal 1/2 dari maksimal pidana penjara yang dijatuhkan kepada orang dewasa.

Jika tindak pidana yang dilakukan merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dijatuhkan kepada anak paling lama 10 tahun.

Anak akan ditempatkan di bawah hukuman di lembaga pembinaan atau pelatihan kerja jika perbuatannya dianggap tidak merugikan masyarakat dan dilakukan minimal tiga bulan, maksimal dua tahun.

UU SPPA mengatur bahwa anak dipidana penjara jika perbuatannya membahayakan masyarakat dan dianggap sebagai upaya terakhir. Anak-anak yang dijatuhi hukuman penjara akan ditempatkan di LPKA.

Pembinaan di LPKA dapat dilakukan sampai anak berusia 18 tahun. Ketika seorang anak berusia 21 tahun tetapi belum selesai menjalani hukumannya, dia akan dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan dewasa. Selain itu, anak-anak yang telah menjalani setengah dari masa hukumannya dan berkelakuan baik berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.

Di LPKA, anak-anak menjalani kegiatan bimbingan didampingi oleh seorang pendamping sosial (PK). Bimbingan tersebut meliputi pengembangan karakter, bimbingan mandiri, dan pendidikan formal dan informal seperti sekolah paket A, B, dan C.

The post AG Divonis Penjara, Simak Penerapan Pidana dan Pembinaan Khusus Anak appeared first on FENUZ.COM.



This post first appeared on Gambar Desain Rumah Minimalis Modern Terbaru | 19000 Contoh, please read the originial post: here

Share the post

AG Divonis Penjara, Simak Penerapan Pidana dan Pembinaan Khusus Anak

×

Subscribe to Gambar Desain Rumah Minimalis Modern Terbaru | 19000 Contoh

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×