Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Manut opo jare Kyai

Dekonstruksi “Sami’na wa Atho’na” Kalimat sami’na wa atho’na merupakan kalimat suci yang disebutkan Allah dalam al-qur’an sebanyak empat kali. Kalimat ini sangat terkenal sehingga menjadi sebuah istilah tersendiri yang kerap kali terucap dari mulut seseorang.
Karena popularitasnya, ketika menyebut istilah ini, sekalipuntanpa menyebut artinya, semua orang pasti akan paham. Bahkan, pada tingkat tertentu istilah ini menjadi sebuah falsafah yang mengakar kuat dalam dinamika kehidupan pesantren.

Santri yang sejati diasumsikan sebagai orang yang berpegang teguh pada istilah ini. Sehingga, tak ayal jika stigma yang diberikan pada orang-orang pesantren adalah tipologi manut yang selalu ikut.

Membelenggu kritisisme Secara praksis, istilah ini menuntut para santri untuk selalu manut dantaken for granted terhadap apa yang di dengar dari orang yang dianggap lebih tinggi “status sosial”-nya, seperti halnya kiai, pengurus, dan lain sebagainya. Dengan dasar ini pula, para santri menganggap apa yang keluar dari mereka, baik berupa ucap maupun sikap, sebagai kebenaran absolut yang tidak boleh dilangkahi, apalagi dikritisi.

Nalar mereka “diharamkan” untuk sekedar berpikir dan menanyakan tentang semua yang datang dari orang-orang—yang dianggap—“suci”. Setelah mendengar, tak ada pilihan lain yang mesti mereka lakukan, selain hanya tunduk dan patuh dengan sepenuh hati. Keyakinan yang demikian sudah tertanam kuat dalam diri santri, sehingga pada akhirnya dapat membelenggu kritisisme santri itu sendiri.

Dalam bahasa yang lebih ekstrem, santri “diharamkan” untuk berpikir tentang hal-hal yang berkenaan dengan atasan. Padahal, kritisisme dan kreativitas berpikir itu sangatlah penting untuk dimiliki santri—yang diyakini—sebagai agent of change. Spirit kritisisme yang mengajarkan santri untuk terbiasa berpikir dan menganalisis sebelum menerima sebuah proposisi sebagai kebenaran, ternyata dibunuh secara sistemik dalam tradisi yang otokratik. Sistem pesantren yang cenderung represif, memaksa santri untuk selalu membeo dan melarang keras untuk berpikir secara kritis. Bicara seperti ini pada atasan, akan dianggap menentang; bicara seperti itu, akan dicap pembangkang; pokoknya santri Harus diam, ketika berhadapan dengan atasan.

Hal lain yang mendorong para santri untuk selalu manut dan taken for granted adalah keyakinan bahwa di balik istilahsami’na wa atho’na ada hal yang supra-rasional berupa nilai berokah.
Mereka punya keyakinan bahwa dengan selalu taken for granted pada hal yang berkenaan dengan atasan akan mendatangkan kebaikan bagi dirinya di masa depan. Oleh karena demikian, mereka enggan untuk sekedar bertanya dan berpikir secara kritis karena dijangkiti rasa sungkan, takut, dan serba salah. Melepas belenggu Kritisisme yang semestinya ditumbuh kembangkan dalam diri santri, namun ternyata di eksploitasi oleh interpretasi picik yang mentradisi.

Istilah sami’na wa atho’na didekati secara tekstual, yaitu sebagai ketaatan penuh setelah mendengar tanpa memikirkan terlebih dahulu terhadap apa yang didengar. Inilah yang berpotensi membelenggu kritisisme santri. Oleh karena itu, pemahaman kita terhadap istilah sami’na wa atho’na yang tekstual, harus segera dibongkar dan mencari pemahaman lain yang komprehensif.
Menurut Abdur Rosyid, pengelola situs www.menaraislam.com,sami’na wa atho’na bermakna seperti di atas hanya apabila berkenaan dengan sesuatu yang datang dari Tuhan ataupun nabi. Sebab, semua yang datang dari keduanya sudah terjamin kebenarannya. Maka, kita tak perlu meragukan dan mempertanyakan lagi kebenarannya. Namun, lanjut Rosyid, apabila berkenaan dengan selain Tuhan dan nabi, maka antara “mendengar” dengan “taat” masih diperlukan proses berpikir.

Istilah sami’na wa atho’na tidak hanya merepresentasikan kegiatan “mendengar” dan “taat”, tetapi juga menggambarkan sebuah proses panjang yang harus dilalui antara keduanya, yaitu proses berpikir yang kritis-analitis. Jadi, setelah kita mendengar tidak kemudian langsung dengan serta-merta menerima secara taken for granted tanpa berpikir terlebih dahulu apakah itu baik untuk kita taati atau tidak.

Dalam pandangan seperti inilah istilah s ami’na wa atho’na tidak akan berbahaya pada kritisisme santri. Namun, biar tidak jadi kritisisme yang kebablasan, kita juga harus tahu kapan harus membeo dan kapan harus kritis. Sikap kritis yang harus kita daya gunakan adalah kepada hal-hal belum pasti dan bersifat ideologis. Jika misalkan kita diperintah untuk mencuci pakaian oleh orang tua ataupun kiai, maka dalam hal ini tidak dibutuhkan proses berpikir, dan kita tidak boleh tidak wajib patuh pada perintah mereka. Ini yang penting untuk kita lestarikan sebagai tradisi pesantren yang mendoktrin untuk selalu menghormati yang lebih tua. Akan tetapi dalam konteks ideologi, kita tetap wajib kritis sekalipun terhadap orang tua ataupun kiai.
Sah-sah saja jika—misalkan—secara ideologi kita tidak sepaham dengan pengurus, ustadz, ataupun kiai, tetapi rasa ta’dzimdan penghormatan kita kepada mereka tetap harus dijaga. Hal ini telah dicontohkan oleh ulama terdahulu, semisal Imam Syafi’ie yang "keluar” dari mainstream gurunya, Imam Hambali. Oleh karena demikian, pemahaman kita terhadap istilah sami’na wa atho’na yang cenderung tekstual harus segera didekonstruksi, agar kritisisme yang diidam-idamkan tidak terbelenggu dan mati suri. Sebab, bagaimanapun juga kita sebagai santri yang digembar-gemborkan sebagai agent of change harus punya nalar kritis yang tinggi. Apalagi dalam Islam larangan taklid butasudah menjadi harga mati.

Terakhir, saya hanya ingin menuliskan pesan Prof. Dr. K. Abd. A’la, bahwa pesantren bukanlah museum purba tempat benda-benda kuno disimpan dan dilestarikan, tetapi pesantren merupakan laboratorium tempat berbagai macam pemikiran dan kajian mengenai tatacara hidup untuk memperoleh ke bahagiaan dunia akhirat.


This post first appeared on Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi, please read the originial post: here

Share the post

Manut opo jare Kyai

×

Subscribe to Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×