Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Hati-hati Menilai Seseorang

Al-Imam Ghozali berkata :

ﻳﻨﺒﻐﻲ ﺃﻻ ﺗﻨﻈﺮ ﺇﻟﻰ ﺃﺣﺪ ﺇﻻ ﻭﺗﺮﻯ ﺃﻧﻪ ﺧﻴﺮ ﻣﻨﻚ ﻭﺃﻥ ﺍﻟﻔﻀﻞ ﻟﻪ ﻋﻠﻰ ﻧﻔﺴﻚ ﻓﺈﻥ ﺭﺃﻳﺖ ﺻﻐﻴﺮﺍ ﻗﻠﺖ :

Sepatutnya jangan-lah engkau melihat kepada seseorang-pun kecuali engkau melihat kepadanya bahwasan-nya Dia Lebih Baik darrimu, dan sesungguhnya dia lebih mulai darimu, maka jika engkau melihat kepada anak kecil, engkau katakan didalam hatimu

ﻫﺬﺍ ﻟﻢ ﻳﻌﺺ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺃﻧﺎ ﻋﺼﻴﺘﻪ ﻓﻼ ﺷﻚ ﺃﻧﻪ ﺧﻴﺮ ﻣﻨﻲ

"Anak kecil ini tidak bermaksiat kepada Allah SWT, sedangkan aku bermaksiat kepada-Nya, maka sudah pasti dia lebih baik daripada diriku".

ﻭﺇﻥ ﺭﺃﻳﺖ ﻛﺒﻴﺮﺍ ﻗﻠﺖ : ﻫﺬﺍ ﻗﺪ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻗﺒﻠﻲ ، ﻓﻼ ﺷﻚ ﺃﻧﻪ ﺧﻴﺮ ﻣﻨﻲ

Dan jika engkau melihat kepada yang lebih tua, engkau katakan, "orang ini telah beribadah kepada Allah SWT sebelum diriku, maka sudah pasti dia lebih baik dariku".

ﻭﺇﻥ ﺭﺃﻳﺖ ﻋﺎﻟﻤﺎ ﻗﻠﺖ :

Jika engkau melihat orang yang berilmu, engkau mengatakan

ﻫﺬﺍ ﻗﺪ ﺃﻋﻄﻲ ﻣﺎ ﻟﻢ ﺃﻋﻂ ﻭﺑﻠﻎ ﻣﺎ ﻟﻢ ﺃﺑﻠﻎ ﻭﻋﻠﻢ ﻣﺎ ﺟﻬﻠﺖ ﻓﻜﻴﻒ ﺃﻛﻮﻥ ﻣﺜﻠﻪ

"Orang ini telah diberikan sesuatu yang aku tidak diberikan (tidak mendapatkannya), dan dia telah sampai kepada kemulyaan yang aku tidak sampai pada kemulyaan tersebut, dan dia mengetahui sesuatu yang tidak aku ketahui, maka bagaimana mungkin aku menjadi seperti dia ?"

ﻭﺇﻥ ﺭﺃﻳﺖ ﺟﺎﻫﻼ ﻗﻠﺖ :

Dan jika engkau melihat orang yang bodoh, engkau berkata;

ﻫﺬﺍ ﻗﺪ ﻋﺼﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﺠﻬﻞ ﻭﺃﻧﺎ ﻋﺼﻴﺘﻪ ﺑﻌﻠﻢ

"Orang ini telah bermaksiat kepada Allah SWT, karena kebodohan sedangkan aku bermaksiat kepada Allah SWT dengan pengetahuanku tentang Allah SWT".

ﻓﺤﺠﺔ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻲ ﺁﻛﺪ ﻭﻣﺎ ﺃﺩﺭﻱ ﺑﻢ ﻳﺨﺘﻢ ﻟﻲ ﻭﺑﻢ ﻳﺨﺘﻢ ﻟﻪ ؟

Maka bukti kejelekanku dihadapan Allah SWT lebih kuat, dan akupun tidak mengetahui dengan apa usiaku ditutup, dan dengan apa usianya ditutup.

Dalam kitab Shifat al-Shafwah, Imam Ibnu Jauzi mencatat sebuah riwayat tentang Imam Bakr bin Abdullah al-Muzani. Berikut riwayatnya:

ﻋﻦ ﻛﻨﺎﻧﺔ ﺑﻦ ﺟﺒﻠﺔ ﺍﻟﺴﻠﻤﻲ ﻗﺎﻝ : ﻗﺎﻝ ﺑﻜﺮ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ : ﺇﺫﺍ ﺭﺃﻳﺖ ﻣﻦ ﻫﻮ ﺃﻛﺒﺮ ﻣﻨﻚ ﻓﻘﻞ : ﻫﺬﺍ ﺳﺒﻘﻨﻲ ﺑﺎﻹﻳﻤﺎﻥ ﻭﺍﻟﻌﻤﻠﻲ ﺍﻟﺼﺎﻟﺢ ﻓﻬﻮ ﺧﻴﺮ ﻣﻨّﻲ , ﻭﺇﺫﺍ ﺭﺃﻳﺖ ﻣﻦ ﻫﻮ ﺃﺻﻐﺮ ﻣﻨﻚ ﻓﻘﻞ : ﺳﺒﻘﺘُﻪ ﺇﻟﻲ ﺍﻟﺬﻧﻮﺏ ﻭﺍﻟﻤﻌﺎﺻﻲ ﻓﻬﻮ ﺧﻴﺮ ﻣﻨّﻲ , ﻭﺇﺫﺍ ﺭﺃﻳﺖ ﺇﺧﻮﺍﻧﻚ ﻳﻜﺮﻣﻮﻧﻚ ﻭﻳﻌﻈّﻤﻮﻧﻚ ﻓﻘﻞ : ﻫﺬﺍ ﻓﻀﻞ ﺃﺧﺬﻭﺍ ﺑﻪ , ﻭﺇﺫﺍ ﺭﺃﻳﺖ ﻣﻨﻬﻢ ﺗﻘﺼﻴﺮﺍ ﻓﻘﻞ : ﻫﺬﺍ ﺫﻧﺐ ﺃ
ﺣﺪﺛﺘُﻪ

Dari Kinanah bin Jablah al-Sulami, ia berkata: Imam Bakr bin Abdullah berkata: “Ketika kau melihat orang yang lebih tua darimu, katakanlah (pada dirimu sendiri): ‘Orang ini telah mendahuluiku dengan iman dan amal shalih, maka dia lebih baik dariku.’ Ketika kau melihat orang yang lebih muda darimu, katakanlah: ‘Aku telah mendahuluinya melakukan dosa dan maksiat, maka dia lebih baik dariku.’ Ketika kau melihat teman-temanmu memuliakan dan menghormatimu, katakanlah: ‘Ini (karena) kualitas kebajikan yang mereka miliki.’ Ketika kau melihat mereka kurang (memuliakanmu), katakan: ‘Ini (karena) dosa yang telah kulakukan.” (Imam Ibnu Jauzi, Shifat al-Shafwah, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1985, juz 3, h. 248)

Sebagai pintu masuk memahami ungkapan di atas, kita harus membaca terlebih dahulu hadits nabi yang menjelaskan tentang dosa. Beliau Saw bersabda (HR Imam Muslim):

ﻭَﺍﻟَّﺬِﻱ ﻧَﻔْﺴِﻲ ﺑِﻴَﺪِﻩِ ﻟَﻮْ ﻟَﻢْ ﺗُﺬْﻧِﺒُﻮﺍ ﻟَﺬَﻫَﺐَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺑِﻜُﻢْ ﻭَﻟَﺠَﺎﺀَ ﺑِﻘَﻮْﻡٍ ﻳُﺬْﻧِﺒُﻮﻥَ ﻓَﻴَﺴْﺘَﻐْﻔِﺮُﻭﻥَ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻓَﻴَﻐْﻔِﺮُ ﻟَﻬُﻢْ

“Demi Tuhan yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya. Andai kalian tidak berbuat dosa, sungguh Allah akan melenyapkan kalian dan mendatangkan suatu kaum yang mereka akan berbuat dosa, kemudian mereka memohon ampun kepada Allah, maka Allah mengampuni mereka.” 

Hadits di atas perlu dipahami dengan cermat, karena bisa dianggap seolah-olah berdosa itu tidak masalah. Padahal titik beratnya bukan di situ. Dari kandungan maknanya, kita bisa temukan dua titik penting; pertama, pentingnya memohon ampunan kepada Allah, dan kedua, pengingat bahwa tidak ada manusia yang suci dari dosa, siapa pun orangnya kecuali para nabi. 

Artinya, hadits tersebut adalah pengingat bagi manusia untuk tidak merasa “sok suci” dan “sok tidak memiliki dosa.” Di sinilah hikmah adanya dosa, sebagai penyeimbang dari pahala. Menurut para ulama, merasa berdosa lebih utama daripada merasa berpahala. 

Imam Ibnu Rajab al-Hanbali (w. 795 H) mengomentari hadits di atas dengan mengatakan:

ﻭﻫﺬﺍ ﺃﺣﺐّ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻦ ﻓﻌﻞ ﻛﺜﻴﺮٍ ﻣﻦ ﺍﻟﻄﺎﻋﺎﺕ ﻓﺈﻥّ ﺩﻭﺍﻡ ﺍﻟﻄﺎﻋﺎﺕ ﻗﺪ ﺗﻮﺟﺐ ﻟﺼﺎﺣﺒﻬﺎ ﺍﻟﻌﺠﺐ

“Ini (merasa berdosa) lebih disukai Allah daripada melakukan banyak ketaatan, karena tetapnya ketaatan terkadang membuat ujub pelakunya.” (Imam Ibnu Rajab al-Hanbali, Lathâ’if al-Ma’ârif fî mâ li-Mawâsim al-‘Âm min al-Wadhâ’if, Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1999, h. 57) 

Apalagi jika ujubnya sudah sampai membuatnya menilai orang lain dengan buruk. Sebab, penilaian buruk terhadap orang lain, baik disadari atau tidak, berasal dari anggapan bahwa dirinya sudah baik, sehingga itu dijadikan ukuran dalam menilai orang lain. Karenanya sebagian ulama mengatakan: “Dzanbun aftaqiru bihi ilaihi ahabbu ilayya min thâ’atin adillu bihâ ‘alaihi—dosa yang membuatku butuh akan (ampunan)Nya lebih kusukai daripada ketaatan yang membuatku memamerkannya.” (Imam Ibnu Rajab al-Hanbali, Lathâ’if al-Ma’ârif fî mâ li-Mawâsim al-‘Âm min al-Wadhâ’if, 1999, h. 57-58). 

Sebagai penutup, ada satu nasihat luar biasa dari seorang tabi’in, murid Sayyidina Anas bin Malik (10-93 H), Imam Abû Qilâbah (w. 104 H) yang mengatakan:

ﺇﺫﺍ ﺑﻠﻐﻚ ﻋﻦ ﺃﺧﻴﻚ ﺷﻲﺀ ﺗﻜﺮﻫﻪ ﻓﺎﻟﺘﻤﺲ ﻟﻪ ﺍﻟﻌﺬﺭ ﺟﻬﺪﻙ , ﻓﺈﻥ ﻟﻢ ﺗﺠﺪ ﻟﻪ ﻋﺬﺭﺍ ﻓﻘﻞ ﻓﻲ ﻧﻔﺴﻚ ﻟﻌﻞ ﻷﺧﻲ ﻋﺬﺭﺍ ﻻ ﺃﻋﻠﻤﻪ

“Jika sampai kepadamu informasi tentang perbuatan saudaramu yang kau benci, carikan alasan (berbaik sangka) untuknya semampumu. Jika kau tidak menemukannya, maka katakan pada dirimu sendiri: “Mungkin saudaraku mempunyai alasan yang tidak aku ketahui.” (al-Hafidz Abu Nu’aim al-Asfahani, Hilyah al-Auliyâ’ wa Thabaqât al-Asyfiyâ’, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988, juz 3, hlm 285). 

Maka, berhati-hatilah menilai sesamamu, siapa tahu ia memiliki amal yang lebih banyak darimu.


Nunu Isco


This post first appeared on Musholla RAPI Online, please read the originial post: here

Share the post

Hati-hati Menilai Seseorang

×

Subscribe to Musholla Rapi Online

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×