Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Wedding Proposal

Tags: lana tante kamu





"Lana, proposal Kamu mana?" tanya Tante Kia.
Aku bersikukuh memegang proposalku. Jika bisa aku tidak ingin keluarga mas Al melihatnya. Aku masih setengah kesal dipaksa Mama. 
"Boleh Lana lihat proposal mas Al dulu?" tanyaku balik.
"Lana malu-malu ya. Ya sudah Al kasihkan proposal kamu dulu," ujar Tante Kia menyuruh Mas Al.
Akhirnya Mas Al memberikan proposalnya padaku. 
"Jeng, Lana sudah berapa tahun kerja di sana?" Tante Kia melakukan sesi wawancara dengan Mama.
"Sudah tujuh tahun kalau nggak salah, Jeng," jawab Mama.
"Oh, lumayan juga ya. Lana, katanya anak rumahan? Bagus itu daripada keluyuran yang nggak jelas. Apalagi Lana perempuan bagusnya memang di rumah."
Aku berhenti membaca proposal mas Al. Ingin rasanya kupotong pembicaraan mama dengan Tante Kia ibunya Mas Al.
"Lana ini kalau nggak ada yang ngajak keluar betah di rumah terus, Jeng," ujar Mama mengiyakan. Aku sedikit geram. Oh, Tuhan ini sudah berlebihan aku tak seperti itu. 
"Lana, sepertinya anak yang penurut ya, Jeng. Kalem, tidak banyak bicara cocok sama Al."
Rasanya aku ingin tertawa mendengar penilaian orang lain tentangku.
"Iya betul, Jeng. Nak Al ini juga sepertinya tidak neko-neko cocok untuk Lana."
"Al ini sebenarnya sudah punya target menikah 2 tahun yang lalu. Tapi ya begitulah Allah belum berkehendak," ungkap Tante Kia.
"Iya, Jeng kalau belum waktunya memang belum jadi. Ya semoga saja kali ini Nak Al sama Lana bisa jadi. Saya itu capek jodoh-jodohin Lana. Dulu beberapa kali dia nggak mau katanya masih belum siap. Ada aja yang alasan ini itulah. Eh, waktu sama Nak Al ini kok langsung mau."
Oh, my God! Help me! Pembohongan publik. Kalau tidak terpaksa aku juga tidak akan datang.
Ku lirik Mas Al. Ia memandangku dengan senyuman membuatku memiliki ide untuk keluar dari jebakan.
"Tante, boleh Lana membahas proposal ini hanya berdua dengan mas Al? Biar lebih intens." Aku memotong pembicaraan untuk sebuah aksi penyelamatan diri.
"Nah, kan baru dibicarakan. Lana jadi menggebu-gebu sepertinya, Jeng. Semoga tanda-tanda baik."
Aku hanya nyengir. Aku dan mas Al ke ruang makan berdua empat mata. Kuserahkan proposalku di atas meja. "Aku tahu ini tidak adil karena aku melihat proposal Mas Al dulu. Jadi aku tidak akan berpura-pura semua yang ada di dalamnya adalah sifat asliku," ungkapku. 
Mas Al mengambil proposalku. Beberapa kali Mas Al kudapati menahan tawa.
"Ada yang lucu?" tanyaku kepo.
"Lana yang di proposal ini ternyata sangat berbeda dari yang orang tua kita bicarakan," jawabnya.
"Jelas. Ini dari sumbernya langsung." Aku membela diriku.
"Penggambaran kamu lebih jelas dan nyata di sini. Kamu bukan anak rumahan dan juga bukan penurut. Sepertinya akan sedikit sulit untuk mengontrol kamu."
"Jelas. Akan sulit mengontrolku karena aku tidak suka melakukan sesuatu yang bertentangan denganku. Harus ada penjelasan logis yang bisa kuterima dulu baru aku akan melakukan hal yang tidak ingin kulakukan itu."
"Padahal aku menginginkan seorang wanita yang mau untuk kuarahkan. Wanita yang bisa melakukan pekerjaan rumah. Penyabar bisa meredam amarahku. Tapi sepertinya tak ada padamu. Kamu terlihat sensitif dan meledak-ledak."
"Baguslah. Itu yang sebenarnya kuharapkan. Aku sebenarnya tak suka dijodoh-jodohkan. Aku lebih suka mencari sendiri. Kalau Mas Al tidak suka aku akan sangat tertolong," celetukku.
Mas Al tersenyum mendengar pernyataanku.
"Ini bukan pertama kalinya aku dijodoh-jodohkan Mama. Kenapa aku menyetujui kali ini karena aku tidak enak dengan Tante Kia. Ini sebenarnya yang tidak aku suka dari perjodohan. Jika tidak jadi aku takut merusak segalanya. Tapi jika kupaksakan aku tidak akan bahagia. Ada beberapa orang yang bercerita padaku tentang mereka yang hanya 2 bulan pendekatan lalu menikah. Satu pihak bercerita kebahagiaannya, satu pihak menceritakan tentang ketidakbahagiaannya. Aku tahu acara perjodohan seperti ini hanya menguntungkan satu pihak. Dan aku adalah seorang pemberontak untuk hal ini. Aku menginginkan seseorang yang kupilih sendiri agar kelak aku tidak menyalahkan orang lain atas pilihanku," jelasku.
"Ternyata kamu tidak sependiam yang mereka ceritakan," kata Mas Al seraya menahan senyumnya.
"Ya, aku aslinya seperti ini. Orang terkadang salah menilaiku saat sedang melakukan observasi. Paling tidak aku butuh waktu satu minggu untuk penyesuaian sebelum sifat asliku keluar. Kalau aku tidak nyaman, aku akan diam," jelasku.
"Kau tahu belum ada satu jam kita di sini tapi kamu sudah memberitahuku sifat aslimu. Kau nyaman denganku?" tanya Mas Al menggoda.
"Ya aku seperti ini karena aku merasa ada yang harus dijelaskan panjang lebar agar tidak terjadi salah paham dan merusak hubungan baik Tante Kia. Sebenarnya aku tak suka acara seperti ini," tukasku.
"Jadi kamu mau acara ini dihentikan?" tanya Mas Al seraya tersenyum-senyum sendiri.
"Saat aku melihat proposal Mas Al. Jujur aku minder. Mas Al begitu sempurna. Tapi apa yang Mas Al inginkan di proposal ini bukanlah aku. Mas Al bisa mencari wanita lain yang lebih bisa mendekati kriteria. Aku masih sangat jauh dari ini," ungkapku mengeluarkan unek-unek.
"Bukan itu jawaban yang aku mau." Mas Al menatapku lekat.
"Jadi mas Al masih ingin melanjutkan?" tanyaku.
"Aku tidak akan memaksa. Aku juga sebenarnya bukanlah seperti apa yang tertulis di proposal itu. Itu semua juga bukan aku. Aku yang sebenarnya menginginkan kehidupan yang berwarna dan aku membacanya di proposal kamu. Kamu punya mimpi ingin mengelilingi Indonesia, menaiki berbagai transportasi umum dengan pasanganmu, melakukan hal baru yang belum pernah kamu lakukan berdua. Sepertinya aku menyukai konsep itu," jelas Mas Al.
"Tapi Mas Al aku rasa Tante Kia tidak menyukai hal itu. Sepertinya kriteria mantu idaman Tante Kia berbeda. Aku wanita independen yang sangat jauh dari gambaran Tante Kia. Aku rasa akan sulit beradaptasi dengan hal itu. Aku tidak akan bisa jika mertuaku tidak open minded."
"Kata siapa? Mama yang kukenal bukanlah orang yang seperti itu. Mama adalah wanita open minded. Kamu bisa berkata jujur di depan Mama kalau tidak percaya. Aku rasa Mama tadi hanya berpura-pura untuk mengambil hati orang tuamu misalnya," tukas Mas Al.
"Benarkah? Karena jujur aku pernah memiliki pengalaman tidak menyenangkan seperti ini. Di masa mudaku aku bertemu ibu-ibu dengan pemikiran super jadulnya. Beliau tidak mengikuti kemajuan zaman. Masih menganggap wanita itu harus di rumah, tidak usah bekerja dan mengurusi rumah tangga saja. Begitu mendengar aku yang suka keluyuran ke luar kota beliau memintaku menjauhi anaknya karena berpikir aku tidak jelas. Beliau pikir aku hedon, suka buang-buang uang, boros, tidak memikirkan masa depan. Beliau tidak menerima penjelasanku yang ingin mencari pengalaman di masa muda. Padahal aku banyak belajar dari pengalamanku keluyuran itu. Dunia begitu luas untuk dijelajahi, dipelajari."
Mas Al menutup proposalku dan menatapku lekat. "Kau harus menjelaskan ke Mama. Jika jawaban Mama tidak membuatmu puas maka kamu bisa menghentikannya. Tapi jika kau bisa menerima jawaban Mama maka tanganku selalu terbuka untukmu," kata Mas Al menenangkanku.
Aku pun menutup proposal Mas Al. Aku dan Mas Al ke ruang tamu menghampiri orang tua kami. Aku mencoba memberanikan diri. 
"Tante boleh Lana bicara sesuatu?" tanyaku.
"Sudah bicara sama Al? Gimana Al?" Tante Kia balik bertanya.
"Kami sudah bicara. Tapi sebelumnya Lana mau membuat pengakuan. Mendengar Tante bicara tentang Lana ada yang harus diluruskan. Lana bukan seperti yang Tante dan mama bicarakan. Lana bukan anak rumahan. Lana memang betah di rumah kalau memang ingin di rumah, tapi kalau Lana menginginkan sesuatu Lana bisa saja pergi keluar kota berkelana. Lana tidak keluyuran tak jelas tapi Lana ingin mencari pengalaman. Travelling adalah hobi Lana. Begitu banyak hal baru di dunia luar dan itu sangat mengasyikkan. Lana bukan anak yang penurut. Lana sering berdebat dengan Mama Papa karena hal yang bertentangan dengan Lana. Jika Tante menganggap Lana penurut Lana bukan seperti itu, Lana sering berontak, Mama justru yang sering mengalah untuk Lana," ungkapku jujur.
Tante Kia tersenyum. "Itu yang Tante suka darimu. Kamu pemberani Lana. Persis seperti kata Mama kamu. Kamu memang wanita independen. Zaman memang sudah berubah. Tante tahu anak zaman now berbeda dari zaman Tante dulu. Tapi kami orang tua hanya ingin yang terbaik untuk anaknya."
"Jadi Tante bisa menerima Lana yang seperti ini?" tanyaku menegaskan.
"Lana, jauh sebelum acara perjodohan ini Mamamu dan Tante sudah bicara banyak. Bahkan soal kamu yang susah diatur. Tante juga sudah mengatakan pada Al. Ternyata Al justru tertarik denganmu. Katanya hidupnya akan berwarna jika bisa berjumpa denganmu. Jadi kami merencanakan ini untuk kalian. Sekarang tinggal kalian berdua yang menentukan," ungkap Tante Kia.
"Jadi sedari awal mas Al sudah tahu? Ih, Mas Al jahat." Aku kesal tidak diberitahu konspirasi mereka sedari awal.
Mas Al pun bicara, "Lana, ini salah satu ujian untukmu dan kamu sukses mengambil hatiku."
"Ehmm. Al kamu sudah mulai berani menggombali anak orang," canda Tante Kia.
Mas Al tertawa. 
"Oh, ya ada satu hal yang tidak kubahas dalam proposal itu Mas Al. Kurasa ini bagian terpenting jika akan dilanjutkan," kataku. 
"Silahkan ungkapkan saja!" seru Mas Al.
"Ini terdengar sedikit memalukan. Tapi jangan tertawa. Aku melihat dalam sebuah pernikahan urusan anak menjadi penyebabnya. Aku ingin urusan mengasuh anak berdua tidak dibebankan padaku saja. Lalu untuk urusan pekerjaan rumah juga dibagi berdua. Ini bukan lagi urusan gender wanita yang harus mengerjakan semua. Pembagiannya harus adil. Rata-rata perceraian terjadi karena beban perempuan lebih besar dari laki-laki. Apalagi aku bekerja, Mas Al juga," jelasku panjang lebar.
Mas Al menahan tawanya. Tante Kia dan mama tertawa terbahak-bahak. 
"Lihat hasil didikan kamu! Dia seorang observer. Jadi ini alasannya kenapa dia menolak perjodohan selama ini, Jeng," kata Tante Kia.
"Begitulah, Jeng! Kamu lihat sekarang kan, Jeng. Anak ini unik tapi over thinking-nya itu lho, Jeng. Aku sampai kuwalahan menangani pikirannya," ungkap Mama.
"Lana saran Tante kamu jangan banyak berpikir tapi langsung action aja. Segala sesuatu keputusan itu punya resikonya. Kamu harus bergerak dan hadapi. Memang mengobservasi dan mengetahui penyebabnya untuk antisipasi itu baik tapi kalau nggak mau maju percuma. Kamu terlalu berhati-hati sayang. Tante yakin kalau kalian berdua pasti bisa menghadapinya. Karena dua pikiran yang disatukan lebih baik dari satu orang," jelas Tante Kia.
"Jadi mau lanjut? Will you marry me? Lana sudah siap berkelana denganku?" tanya Mas Al.
Aku garuk-garuk kepala. Bingung. Seolah terjebak di tempat yang salah. "Aku masih ragu. Beri aku waktu satu bulan untuk mengenalmu, Mas. Jika dalam satu bulan itu aku tidak menemukan frekuensi yang sama dengan sangat terpaksa aku akan berhenti," jawabku. 
Mas Al tersenyum. "Ok. Deal." Mas Al mengiyakan syaratku. "Jika kita tidak sefrekuensi aku akan berusaha mengimbangimu."
"Lihat, Jeng! Anak kita sudah sama-sama dewasa." 






-----------------












This post first appeared on CERPENIK, please read the originial post: here

Share the post

Wedding Proposal

×

Subscribe to Cerpenik

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×