Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Perfect Dating

Tags: kamu bisa orang

 



"Aku tidak akan basa basi. Aku tanya Kamu bisa nggak menerima aku yang seperti ini?" tanya laki-laki berambut gondrong, janggut lebat, kaos oblong dan celana jeans sobek yang duduk menantang di hadapanku.
"Ben, aku suka seni. Bagiku seni itu menggambarkan keindahan. Tapi seni kamu itu melambangkan kebebasan, nggak mau diatur, sesuka kamu sendiri," ucapku untuk sebuah penilaian jujur. Jujur aku sedikit kesal foto yang diberikan padaku sangat berbeda. Dia sama sekali tak menghargaiku yang tampil lebih rapi darinya.
"Itu artinya kamu tidak bisa menerima aku?" tanyanya seraya melengkungkan senyum kecut.
"Kamu tahu aku juga tidak suka perubahan. Dunia yang berubah begitu cepatnya dan manusia-manusia yang tidak stabil tapi aku punya seniku yang bisa membuatku menyukai perubahan. Fashion. Kurasa kamu sangat jauh dari seniku. Aku lebih suka yang rapi," jelasku jujur.
"Kamu mau bilang gayaku tidak keren?" tanyanya.
"Aku tahu itu style kamu, jati diri kamu yang melambangkan kebebasanmu itu. Tapi aku beri masukan apa yang kamu lambangkan dalam bentuk ini akan menyusahkanmu. Seseorang dinilai baik atau tidak dari penampilannya. Jujur aku kecewa karena dalam foto yang aku terima kamu sangat berbeda. Lebih baik yang ada di foto ini," cerocosku seraya menunjukkan fotonya ke meja.
"Aku tidak suka diatur-atur dan ini gayaku. Orang yang tidak memahamiku tidak akan bisa menerimaku. Contohnya seperti kamu. Pikiran kamu kolot seperti perempuan lain di luar sana."
"Kamu yang kolot. Pikiran kamu yang tidak mau mengikuti kemajuan zaman. Kamu tidak bisa menghargai dirimu sendiri. Lalu bagaimana aku bisa menghargaimu? Aku dulu juga sama sepertimu tidak peduli dengan apa yang aku kenakan. Sampai akhirnya ada seorang ibu-ibu menjatuhkan harga diriku. Di depan banyak orang dia menyebutku tidak terurus, gembel dan tidak mengizinkan aku dengan anaknya. Mungkin kamu belum pernah merasakannya. Jadi kamu masih nyaman dengan kehidupanmu ini," balasku.
"Bersyukurlah artinya Tuhan sedang menyelamatkanmu dari orang yang salah. Terbukti kan orang yang tidak bisa menerimamu apa adanya tidak pantas untukmu," celetuknya membuatku semakin kesal. Dia menertawakanku.
"Jadi menurut kamu berpakaian seperti ini nyaman? Lalu kau bilang ini salah satu seni? Celana sobek, rambut gondrong dan janggut lebat," ejekku.
"Iya lalu kenapa? Dengan cara ini aku bisa menyeleksi orang-orang yang masuk ke dalam kehidupanku dan kamu salah satunya yang gagal," jelasnya tak mau kalah.
"Oh, terima kasih Tuhan. Dengan senang hati. Aku juga tidak mau dengan orang sepertimu," ujarku kesal.
"Sial," umpatnya.
"Dengan dirimu seperti itu jangan harap akan bertemu princess impianmu. Yang baik, cerdas, yang bisa mengingatkan kebaikan padamu. Jangan harap. Selama kamu seperti ini kamu tidak akan mendapatkan perempuan baik-baik," ancamku.
Beni mengeluarkan rokok dari sakunya. Dengan santainya dia menyulutkan api di puntung rokoknya. Dia mendiamkanku.
Aku sibuk mengamatinya. Caranya menghisap rokok, meletakkan remukan abu dan tibalah masa bosanku. "Ben jadi aku harus menunggumu menghabiskan puntung rokok tak pentingmu itu?" kataku kemudian.
"Kalau mau pergi silahkan pergi. Tidak akan ada yang menahanmu tinggal di sini," usirnya. "Dan satu hal lagi banyak perempuan yang menyukaiku di luar sana, menungguku, lebih menghargaiku," lanjutnya.
"Oh, ya. Lalu kenapa kamu tidak menikahi mereka? Kenapa harus ada pengaturan dating seperti ini?"
"Ya karena mereka bukan kriteriaku," jawabnya.
Aku menertawakannya. "Apa kubilang kau tidak akan pernah mendapatkan perempuan impianmu jika masih berkelakuan seperti ini. Aku tebak kau pasti pernah patah hati sedalam-dalamnya lalu berubah seperti ini. Kau bukan seniman Ben, tapi hanyalah seorang pelarian."
"Sial. Jaga mulut kamu!" umpatnya padaku. "Jika dating ini tidak karena pengaturan dari saudaraku, aku tidak akan datang," lanjutnya.
"Oh, kamu terlihat marah, Ben. Berarti tebakanku benar. Seorang Beni pernah jatuh cinta lalu patah hati dan hasilnya seperti ini. Jangan-jangan kau ditinggalkan kekasihmu lalu kau hancurkan sekalian duniamu. Aku beri tahu pelarianmu salah, Ben."
"Aku bilang jaga mulut kamu!" serunya marah.
Tiba-tiba aku merinding saat menatap matanya yang melotot. Aku mengambil jarak. Tanganku gemetar. Aku berusaha menekan rasa takutku.
"Ben, maaf jika aku sudah lancang menyinggungmu. Sepertinya kita memang tidak cocok. Aku akan memberi tahu kakakmu untuk tidak melanjutkan ini lagi. Aku akan pergi."
Aku beranjak dari tempat dudukku dan meninggalkannya. Ku telpon Ara sahabatku untuk menjemputku.
"Ra, bisa minta tolong jemput aku?" tanyaku setengah meminta tolong.
"Di mana, Lil?" tanya Ara balik.
"Jalan Darmawangsa depan G-mart. Aku tunggu ya ada banyak hal yang mau aku ceritakan padamu."
Akhirnya Ara datang dengan motor dan helm serba pink.
"Are you okay?" tanya Ara yang melihatku sedang mengacak-acak rambut.
"Datingku tidak sukses," jawabku dengan muka setengah kesal.
"Jadi kamu gagal lalu kabur?" tebak Ara.
"Panjang ceritanya. Jangan di sini kita pindah tempat. Aku takut dia di sini."
Ara celingukan mencari Beni. Dia setengah mati penasaran. Bahkan saat kuceritakan betapa mengerikannya seorang Beni di perjalanan, dia justru ingin bertemu Beni. 
"Lega sekarang," kataku seraya melempar tas ke kasur setelah Ara mengantarku pulang.
"Lil, kamu nggak kasihan sama Beni? Kamu tinggal begitu saja setelah mengulitinya?" tanyanya seraya menarik-narik telinga boneka beruangku.
"Nggak ada diksi yang baik apa menguliti menguliti. Aku sudah minta maaf padanya dan dia juga tidak mengharap kehadiranku di sana."
"Kamu ingat ada nenek-nenek tua yang bilang jodoh kamu sudah dekat. Lelaki yang berbeda jauh dari harapanmu saat pertama melihatnya tapi dia bisa memberimu semua perasaannya jika kamu sanggup mengubahnya," celetuk Ara.
"Nenek tarot maksudmu? Aku nggak percaya. Kalau pun percaya orang itu bukan Beni. Amit-amit."
"Kamu tidak bisa menyimpulkannya seperti itu, Lil. Aku sudah rekam percakapan nenek itu buat jaga-jaga seperti ini. Aku pelajari dulu ya soalnya ciri-ciri kejadiannya sama." Ara memulai ritual anehnya. Dengan khidmat mendengarkan kata-kata nenek tarot dengan seksama.
"Eh, syirik itu, Ra. Jangan percaya!" seruku.
"Lil, nenek itu ada benarnya juga lho kalau dipikir-pikir. Kamu tidak akan bisa menerima orang lain kalau kamu masih tidak yakin dengan apa maumu. Begitu katanya." 
"Aku tahu apa mauku," jawabku yakin.
"Benarkah? Yakin? Aku rasa kamu lebih terlihat sedang berusaha menolaknya."
"Siapa yang menolak? Aku dan Beni dari awal memang sudah tidak cocok. Lihat saja penampilannya bukan seleraku. Aku tertipu oleh foto kiriman kakaknya," gerutuku.
"Kalian itu sama, Lil. Pertama kamu suka seni, Beni juga. Kamu bilang Beni pernah patah hati di masa lalunya, kamu juga. Tidakkah kalian terlihat sama? Tidakkah kamu bilang ingin mencari seseorang yang sama denganmu? Orang yang memaklumimu karena orang itu juga paham rasanya jadi kamu."
"Itu dia masalahnya Beni tidak paham rasanya jadi aku. Dia justru menertawakanku, Ra. Kehidupan mengenaskanku jadi bahan tertawaannya."
"Bukankah kamu juga sama menertawakannya? Tidakkah kalian sama?"
"Ra, kamu kenapa jadi bela Beni sih?" gerutuku kesal.
"Aku hanya merasa kalian sama. Itu saja, Lil. Satu hal yang pasti kalian kurang dalam komunikasi."
"Gimana mau komunikasi kalau Beni saja kolot, pemikirannya alien banget, keras kepala, tidak mau diatur. Aku tidak tahan bicara dengannya. Jangan menyuruhku menemuinya lagi."
"Lil, jangan lihat seseorang dari covernya! Setiap orang bisa berubah. Seorang pendosa pun bisa jadi alim," ujar Ara menasehati.
Hari berikutnya tiba-tiba aku terjebak dengan Beni lagi. Ulah Ara yang diam-diam DM Beni meminta waktu untuk menemuinya. Akhirnya pertemuan empat mata terulang lagi dengan suasana yang sama. Dingin.
"Kamu mau bicara apalagi? Tidakkah kemarin kamu sudah minta maaf lalu pergi?" tanyanya seraya mengungkit kejadian lalu.
Aku memandangnya lumayan lama. Kesal bercampur emosi di dalam dada. "Ok. Pertama aku minta maaf. Kedua aku rasa sudah berlebihan. Kata temanku aku terlalu kejam padamu kemarin. Jadi dia menyuruhku untuk menemuimu dan aku harus mengabaikan tampilanmu."
"Oh, jadi hari ini kau masih mau bicara soal penampilanku," katanya seraya menunjukkan rambut gondrong dikuncir, janggut lebat, celana gombrong dengan banyak saku dan kaos oblong.
"Aku bilang aku akan mengabaikan penampilanmu karena kata temanku aku tidak boleh menge-judge orang dari covernya," jelasku.
"Sepertinya teman kamu lebih pintar, lebih bisa menghargai orang," sindirnya.
"Oh, come on! Aku baru mau mulai. Jangan membuatku emosi, Ben. Aku akan mulai menceritakan diriku lalu setelah itu aku akan mendengar versimu. Deal?"
"Jadi kau masih ingin melanjutkan ini?"
"Oh, come on, Ben! Hari ini aku akan mendengarkanmu. Aku akan terlihat jahat jika mengecapmu dari tampilan."
"Oh, ok. Tidak masalah. Berceritalah!"
"Ok. Aku tinggal dengan orang tuaku. Aku anak bungsu. Aku hanya seorang guru honorer yang mengabdikan diri untuk negara. Berangkat pagi pulang sore. Aku yakin kamu tidak akan mau melakukannya karena aku percaya kau tidak mau diatur.  Aku suka seni apapun itu tentang seni. Aku suka sesuatu yang indah, yang rapi, penampilan casual..."
Beni tiba-tiba menertawakanku.
"Apa yang lucu, Ben?" Aku kesal pembicaraanku dipotong.
"Penampilan casual sangat tidak macho untuk laki-laki," ejeknya.
"Aku belum selesai, Ben. Soal macho tidak macho itu tinggal pembawaan." Aku menghelakan nafas sebelum melanjutkan. "Aku tidak ingin pacaran lagi. Aku pernah 2 kali gagal. Aku hanya ingin berkomitmen dengan 1 orang. Aku ingin kelak melanjutkan jenjang pendidikanku tapi bukan sekarang. Aku masih belum mewujudkan mimpiku tapi aku yakin akan mewujudkannya sebentar lagi. Aku butuh partner hidup yang bisa diajak tukar pikiran, diajak kerjasama. Aku ingin laki-laki yang peduli dengan dirinya, menjaga kesehatannya dan tidak merokok. Aku ingin hidup bahagia sederhana. Aku ingin memiliki anak seperti orang lain pada umumnya. Beberapa anak yang jelas asal usulnya. Nama ayahnya tertulis di akte kelahiran. Tidak muluk-muluk bukan? Sesederhana itu sebenarnya impianku."
"Aku tidak keberatan dengan semua itu kecuali soal tampil casual dan pekerjaan mengabdi pada negara," ejeknya membuatku melolot. "Ok, sekarang giliranku. Kau tahu kau bisa dapat uang lebih tanpa harus menjual nama mengabdi pada negara. Sepertiku yang freelance membuka les melukis secara tidak langsung aku juga menyumbang tenagaku pada negara tanpa harus mengabdi dan diatur orang. Untuk urusan uang aku tidak khawatir selama aku masih bisa bekerja keras. Aku tinggal sendiri dan sudah memiliki sebuah rumah tapi aku masih memiliki mimpi mendirikan rumah joglo yang di dalamnya ada sanggar lukis dan perpustakaan kecil untuk anak-anak. Aku sangat menyukai anak-anak dan aku ingin mengembalikan dunia anak-anak seperti dulu sebelum ada gadget."
"Kau tahu kau sungguh mulia sebenarnya, Ben. Hanya kurang soal penampilanmu itu," potongku membalasnya.
"Terima kasih atas kejujurannya. Aku memiliki 2 saudara. Aku juga pernah merencanakan segalanya dengan seseorang lalu gagal. Karena dia lebih memilih menikah dengan orang lain disaat aku sedang berjuang menempuh pendidikanku. Aku ingin memiliki partner hidup yang bisa mengerti dunia seniku ini. Dia yang bisa mengendalikanku agar tak masuk ke dunia hitam. Perempuan yang bisa mengatur keuanganku karena aku tidak pintar menyimpan uang. Aku tidak peduli dia cantik atau tidak aku butuh perempuan yang bisa menerimaku apa adanya."
Aku sedikit terketuk dengan penjelasan Beni. 
"Kau tahu Ben tiba-tiba aku kepikiran dengan kata temanku. Kita memiliki kesamaan dalam beberapa hal. Seperti menyukai seni, menyukai anak-anak, membantu negara menyumbang tenaga di bidang pendidikan dan sama-sama pernah terluka. Tapi sepertinya untuk urusan hati kita tidak cocok. Kau masih belum bisa move on darinya. Itulah sebabnya kau masih memilih pelarianmu seperti ini. Sepertinya kita lebih cocok sebagai teman. Teman yang bisa menerima apa adanya. Aku tak keberatan dengan penampilanmu ini jika kita hanya berstatus teman."
"Ya kau benar. Kita lebih cocok sebagai teman. Karena aku tidak bisa membayangkan hidup denganmu setiap hari. Kau akan bawel mengomentari fashion-ku dan sibuk memaksa untuk menjadi orang lain yang bukan diriku."
"Ya sepertinya aku juga tidak bisa membayangkan jika setiap pagi harus melihat janggutmu atau bahkan rambut gondrongmu yang lebih berkilau dariku," ejekku.
"Bilang saja kau iri dengan penampilanku?" balasnya.
"Ya kau benar. Aku sangat iri melihat rambutmu, Ben." Aku tertawa. Beni pun juga ikut tertawa. Suasana cair itu membuat komunikasiku dengan Ben bertahan lama sebagai teman diskusi tentang seni. Dia dengan pekerjaannya, aku dengan pekerjaanku.
Pesanku jangan membenci berlebihan, karena benci yang berlebihan itu akan menjadi pasangan. Beni orang yang awalnya sangat tidak cocok denganku itu memintaku untuk bertemu lagi setelah 2 bulan dating yang gagal itu. Kupikir dia tidak akan berubah masih menjaga style-nya yang terlihat tua untuk umur yang sebenarnya. Tapi tiba-tiba dia datang merubah semuanya. Rambut dan janggut lebatnya dipangkas rapi, dia mengenakan pakaian casual berdiri di depanku. Lengan kemejanya dilipat 3/4.
"Ternyata aku bosan dengan style senimanku," katanya dengan sangat bangga seraya tertawa.
"Maaf kamu siapa?" candaku pura-pura tidak mengenalinya.
"Sial masih juga mengejekku. Kau benar. Dunia ini berubah sangat cepat dan ada beberapa manusia yang tidak stabil. Aku contohnya. Ternyata aku masih bisa jadi seniman dengan style-ku yang seperti ini. Aku masih bisa membuka les melukis, mendirikan sanggar di rumah jogloku. Kau benar dengan style baruku ini semakin banyak pula tawaran yang datang. Aku diundang seminar, menjadi pembicara kemana-mana. Tapi aku masih kurang satu yaitu perempuan kolot yang tidak mau mengalah, bersedia memarahiku, mengatakan kebenaran yang menyakitkan tapi baik untuk kedepanku dan aku butuh perempuan yang akan menyimpan uangku. Karena aku sudah tidak bisa mengatur keuanganku sendiri. Aku butuh bantuanmu," kata-katanya begitu menyentuhku. 
"Jadi kau baru sadar sekarang. Kalau aku sangat langka bukan. Tapi kau tidak akan bisa mendapatkanku dengan style-mu yang dulu."
"Aku sudah berubah. Jangan bilang kau akan mengomentari penampilanku lagi dan menolakku. Tidakkah kau lihat bentuk perjuanganku?"
"Tidak," godaku.
"Baiklah. Lalu jawabannya apa? Aku tunggu sekarang juga" tanya Beni membuatku sibuk mengolah kata-kata.
"Aku tidak mungkin akan membiarkan orang di depanku ini terluka, patah hati lalu balik ke style lama. Tapi aku ragu jika menerimanya apakah dia akan kambuh dengan style lamanya yang tidak aku sukai itu. Menurutmu aku harus bagaimana?" tanyaku galau.
"Ok. Kamu mau pendapat aku? Terima dia."
"What? Memangnya kamu bisa menjamin?" Aku tertawa. 
"Dia akan melakukan apa saja karena dia sudah jatuh cinta. Kata orang cinta itu bodoh dan orang yang berdiri di depanmu ini sedang bodoh. Jadi dia akan mengiyakan apa saja yang bisa membahagiakan pasangannya."
Aku tersenyum dan meraih jemarinya. Ternyata yang kubutuhkan hanya soal waktu. Andai dulu aku tidak bertemu Beni, andai Ara tidak DM Beni meminta waktu bertemu kembali, andai aku menyerah berdebat dengannya dan tidak datang pada hari kedua semua tidak akan seperti ini. Nenek tarot yang mengatakan jodohku dekat itu entah datang dari mana. Aku tidak percaya tapi kadang ada kata-katanya yang menarik semacam nasihat atau justru membuatku tersugesti.
Yang aku percayai sekarang Beni berubah untukku. Dia mengalah, menyisihkan egonya dan memberikan kepercayaannya untukku. Ini bukan tentang perlombaan debat soal penampilan. Ini adalah soal love. Cinta kadang datang tidak sesuai harapan, tapi ketika diperjuangkan selalu ada yang harus dikorbankan untuk mematahkan perbedaan. Ben telah membuktikan perjuangannya. Aku mengabdikan hidupku untuknya dan tentu saja kami tetap mengabdi untuk negara dengan jalan masing-masing. 



-----------------------







This post first appeared on CERPENIK, please read the originial post: here

Share the post

Perfect Dating

×

Subscribe to Cerpenik

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×