Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Sebuah Siklus Menuju Dewasa

Tags: kamu bunda reni



"Ta, aku udah dilamar Tian. Sebentar lagi aku akan menikah," ungkap Reni terlihat bahagia.

"What? Aku belum siap Ren," responku meruntuhkan kebahagiannya.
Wajah Reni berubah merasa bersalah. "I'm sorry."
"Aku nggak bisa bayangin hidupku setelah Kamu nikah. Semua akan berubah dan aku belum siap kehilangan kamu. Mungkin ini terdengar egois tapi aku ingin mengatakan ini kamu jangan menikah dulu, Ren. Temenin aku dulu. Aku tidak yakin bisa melewati ini tanpa kamu," cerocosku panjang tanpa rem.
Reni meletakkan jemarinya di atas punggung tanganku. Dia menatapku nanar. "Ta, siap nggak siap, aku minta maaf. Ini diluar kehendakku. Aku ingat waktu kamu bilang kita nikahnya kalau kamu sudah ada calon. Tapi Ta keluarga Tian mempercepat semuanya. Ini di luar kendaliku," jelasnya mencoba meyakinkanku.
Aku menarik tanganku dan berkemas. Dadaku terasa sakit. Air mataku di sudut sudah terdesak. "Ok, Ren. Aku pengen sendiri dulu beberapa hari. Jangan hubungi aku dulu. Jangan ke rumahku. Aku butuh waktu. Ini semua terlalu cepat buatku." Aku pun memutuskan untuk pergi meninggalkan Reni duduk sendiri di kedai es krim langganan kami.

Bunda mendekatiku saat aku masuk rumah tanpa menyapa. Aku masuk kamar dan membanting tasku.
"Ta, are you okay?" tanya Bunda di ujung pintu.
"I'm fine, Bunda," jawabku seraya membelakangi Bunda.
Bunda semakin mendekat. Akhirnya duduk di sampingku. "Ta, semua akan terasa mudah kalau kamu mau berbagi sama Bunda."
Air mataku mengalir saat menatap Bunda di sisiku. "Apa aku terlihat sekacau itu Bunda?" tanyaku seraya sesenggukan.
"Kamu tidak pandai berbohong, Ta. Bunda selalu mengajarkan kamu untuk jujur pada diri sendiri dan orang lain."
"Bunda, Reni mau nikah," ungkapku dilanjutkan isak tangis keras.
"Itu kabar bahagia. Kenapa kamu terlihat susah? Seharusnya kamu ikut bahagia, Ta. Teman dekat kamu nikah dan mau berbagi kebahagiaan denganmu."
"Tapi aku belum siap ditinggal nikah Reni, Bun. Bagiku ini terlalu cepat. Aku merencanakan banyak hal dan butuh bantuannya. Aku merasa aku akan sendirian. Aku belum sanggup menghadapinya."
"Kamu tidak bisa mengedepankan ego kamu, Ta. Setiap orang punya kehidupannya. Tidak semua orang bisa mengikuti rencana hidupmu sayang. Bunda tahu ini berat untukmu tapi kamu pasti bisa melaluinya."
"Rasanya seperti hancur. Seperti akan kehilangan Reni, Bun. Aku belum siap sendirian."
"Siapa bilang kamu akan sendiri? Kamu punya keluargamu. Reni juga tidak akan melupakan kamu setelah dia menikah, Ta. Jika dia teman sejatimu dia tetap akan berbagi segalanya denganmu."
"Rasanya seperti patah hati, Bun. Sakit. Aku benci perasaan ini. Apa ini yang namanya iri? Apa aku cemburu padanya? Aku juga ingin sepertinya."
"Bunda tahu rasanya. Itu sebabnya dulu Bunda mencari-carikanmu pasangan agar kamu tidak mengalami ini. Tapi kamu menyadarkan Bunda tidak semua keinginan orang tua akan disetujui anaknya. Bunda tidak bisa memaksakan diri. Bunda juga belajar darimu menikah bukanlah perlombaan. Menikah itu sakral, menyatukan dua keluarga besar. Ingat dulu kamu pernah bilang menikah butuh kesiapan dan kesiapan setiap orang berbeda-beda. Mereka yang terlalu terburu-buru, memaksakan diri, terlalu mendengarkan pendapat orang lain tanpa melihat kesiapan dirinya pada akhirnya tidak mendapatkan kebahagian yang mereka cari. Kamu telah berhasil meyakinkan Bunda waktu itu. Bunda percaya kamu bisa bertanggung jawab atas keputusanmu. Dengarkan kata hatimu. Jangan bertindak atas desakan suasana atau kata orang karena yang sesaat tidak akan berlangsung lama."
"Bunda benar. Aku pernah mengatakannya. Ini semua adalah resiko yang harus aku tanggung. Reni tidak salah. Aku tidak membencinya, Bun. Dia teman terbaik. Mungkin waktunya yang kurang tepat. Aku butuh waktu mengatasi rasa sakit ini. Mungkin picik memiliki perasaan iri. Bunda benar seharusnya aku juga turut bahagia. Betapa bodohnya aku seharusnya ada di sisinya saat dia berbagi kebahagiaan bukan malah meninggalkannya."
"Ta, semua akan ada waktunya. Bayangkan jika kamu di posisi Reni sekarang. Jangan menghambat jodoh orang ya. Reni telah menemukan jodohnya. Hari ini mungkin waktunya buat Reni dan kamu mungkin sebentar lagi. Tidak ada yang tahu misteri itu. Selama kamu percaya semuanya akan baik-baik saja. Kamu anak Bunda tersayang. Kuat, tangguh. Kamu tidak akan berlarut-larut. Kehidupan ini terus berjalan. Jika kamu tidak segera bangkit kamu akan tertinggal. Jika kamu tenggelam dalam kegelapan jiwamu, kamu tidak akan menemukan cahaya di luar sana. Sesuatu kadang terjadi untuk pembelajaran. Manusia yang mau belajar, yang akan berkembang."
"Aku bangga punya Bunda. Thank you."
"Berjanjilah untuk tidak menganggap ini suatu masalah besar. Jika kamu butuh bantuan, Bunda akan selalu ada. Hubungi Reni! Katakan maaf dan ucapkan selamat! Itu kata-kata yang ditunggu olehnya. Bunda yakin kamu bisa. Jangan rusak persahabatan kamu dengan keegoisan kamu. Setiap orang berhak bahagia. Apa yang lebih membahagiakan selain melihat orang yang kita sayang bahagia."
Aku memeluk erat Bunda. Dalam dekapannya aku merasakan kehangatan.
Keesokan harinya aku menghubungi Reni via telepon.
"Ren, I'm sorry. Aku dikendalikan amarahku. Aku tidak bermaksud mengatakannya kemarin. Aku tidak ingin kehilanganmu. Aku ingin kamu bahagia. Kebahagianmu adalah kebahagiaanku juga. Aku ucapkan selamat untukmu dan Tian."
"Ta, aku benar-benar minta maaf."
"It's okay, Ren. Aku akan baik-baik saja. Aku pasti bisa mengatasinya. Kamu tahu aku butuh waktu. Ini semua rasanya seperti putus cinta, Ren. Aku takut kamu akan meninggalkanku. Aku takut kehilangan teman berbagi cerita. Aku takut kita tidak akan bisa minum es krim berdua dan tertawa bersama."
"Aku pastikan itu semua tidak akan terjadi. Aku rasa Tian akan mengerti. Kamu tidak akan kehilanganku, Ta. Prioritasku mungkin akan berbeda tapi keluarga dan sahabatku tidak akan tergantikan."
"Thank you, Ren. Semoga aku bisa melaluinya. Don't leave me!"
"Kamu pasti bisa, Ta. Pasti bisa. Anyway boleh aku ke rumahmu, Ta?" 
"Tentu saja. Aku delete kata-kataku kemarin, Ren. Rumahku selalu terbuka untukmu."
"Kita pesta es krim ya. Aku akan membawakanmu es krim chocolate vanilla."
"Untuk perayaan apa?"
"Perayaan karena kita baikan dan untuk mengawali perubahan."
"The new beginning Nyonya Tian," ucapku lalu tertawa.
"Belum, Ta. Aku masih Nona Reni." Reni pun ikut tertawa.

Terkadang kita memiliki perasaan jealous dengan teman terbaik kita hanya karena mereka mendapatkan sesuatu yang kita inginkan. Semua itu muncul karena kita kehilangan kepercayaan diri. Kita sibuk menerka-nerka apa yang terjadi sebelum semuanya berjalan. Ternyata kita hanya butuh masukan dari orang tersayang. Mungkin akan terasa berat saat melaluinya sendiri, tapi keluargamu sahabatmu adalah solusi yang dikirim Tuhan untukmu. Mereka menarikmu dan meyakinkanmu bahwa semua akan baik-baik saja. Jangan lepaskan sahabat terbaikmu karena kegelapan jiwamu sifat iri dan jealous-mu. Kau akan merusak hubungan yang sudah terjalin lama. Mereka akan selalu memikirkan kita meskipun mereka tidak mengatakannya. 
Kebahagiaan yang kita cari kadang terletak di dalam hati kita tapi kita sibuk menutupi dengan situasi buruk yang kita buat sendiri. 
Perubahan akan selalu terjadi tidak menunggu kamu siap. Perubahan adalah soal waktu. Anak-anak menjadi remaja, remaja menjadi dewasa. Kehidupan jenjang pendidikan pun juga mengalami perubahan SD, SMP, SMA, Kuliah dan dunia kerja. Kita tidak bisa menghindarinya. Manusia didorong situasi kondisi tertentu untuk berubah. Hanya orang-orang tangguh yang masih hidup memperjuangkannya. 
Siklus kehidupan akan selalu terjadi step by step dan aku sedang melalui satu siklus menuju dewasa. Akan ada masa dimana jiwa merasa kosong karena yang biasanya ada menjadi tidak ada. Tapi bukan berarti hidupmu berhenti bergerak. Kamu juga punya masa depan. Kamu berhak bahagia. 




----------------
Tak mudah untuk kita
Hadapi perbedaan yang berarti
Tak mudah untuk kita
Lewati rintangan silih berganti
Engkau masih berdiri
Kita masih di sini
Tunjukkan pada dunia
Arti sahabat
Engkau teman sehati
Kita teman sejati
Hadapilah dunia
Genggam tanganku
Tak mudah untuk kita
Sadari saling mendengarkan hati
Tak mudah untuk kita
Pahami berbagi rasa di hati
(Nidji)



















This post first appeared on CERPENIK, please read the originial post: here

Share the post

Sebuah Siklus Menuju Dewasa

×

Subscribe to Cerpenik

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×