Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Kembali Ke Masa Kini

Tags: kamu alya nggak

 



Cerita Sebelumnya Kembali Ke Masa Lalu



Aku terbangun dari tidurku dan buru-buru melihat kalender di rumah. Masih bulan Juni 2018. Aku pun membanting diri ke kasur. Sudah seminggu aku terjebak di dunia paralel ini. Di masa depan mungkin aku tak jadi menikah dengan Bara karena ragaku di sini.
Tiba-tiba aku penasaran dengan sosoknya yang berbeda di tahun 2018. Bara yang ini terlihat lebih menyenangkan atau memang karena aku yang membuka diri. Mungkin pula karena aku berkenalan langsung dengannya tanpa embel-embel perjodohan di sini.
"Aduh!" teriakku kesakitan.
Alya sudah berdiri di pintu kamar. Pelaku pelemparan boneka yang sesungguhnya.
"Bangun, mandi! Mau aku ajak ke rumah Caca. Katanya hasil cetakan fotonya udah jadi," seru Alya.
"Serius? Eh, Bara ada Nggak nanti?"
"Gea, sadar woi. Kita itu mau cari foto kita bukan fotografernya. Jangan-jangan Kamu jatuh cinta sama cowok itu?" celetuk Alya membuatku ingin melempar boneka.
"Ge, serius jatuh cinta juga boleh. Apalagi lama kamu menjomblo. Daripada mengharap orang lain kayak Dika tapi nggak merespon. Itu cowok boleh juga lho."
"Sial kamu, Al. Ngledek aja kerjanya," kesalku serius melempar boneka ke Alya.
Alya mengambil boneka yang jatuh ke lantai dan memeluknya. "Ge, buruan nikah. Daripada meluk boneka mendingan dapat pelukan hangat yang sebenarnya."
"Apa sih, Al? Mandi, mandi. Aku mau mandi dulu. Jangan buka-buka handphone-ku! Jangan macam-macam!" ancamku.
"Dih, Ge kalau kamu bilang begitu tanganku jadi gatel lho. Serius ada rahasia apa sih? Ada kontaknya Bara di situ? Cie pasti calling-callingan," ejek Alya.
Aku merampas handphone-ku yang nyaris dibuka Alya.
"Yah, nggak seru Ge. Masak mandi bawa handphone. Jatuh nanti. Rusak nangis," ejeknya lagi.
Seusai berdandan, berkemas aku dan Alya pergi ke rumah Rega, suami Caca. Ada mobil Brio merah di luar rumahnya. Mobil yang tak asing lagi. Aku sudah cengar-cengir sebelum masuk pintu.
"Bara ada, Al. Aku harus gimana?" tanyaku grogi.
"Sok yakin kamu. Bisa aja itu mobilnya Rega."
"Aku hafal kok plat nomernya Bara," kataku percaya diri.
"Eh, busyet saiko kamu. Baru ketemu di acaranya Caca kok bisa hafal mobilnya. Kamu cenayang? Dianter pulang juga nggak. Yang ada kita berdua pulang nge-Grab," cerocos Alya panjang.
"Hei, Gea!" Bara menyapaku. Ternyata dia berdiri di samping pintu masuk.
Alya mulai usil menyenggolku.
"Ca, mana fotonya. Lihat dong!" seru Alya. Alya sengaja meninggalkanku dengan Bara berdua.
"Kamu apa kabar, Ge?" tanya Bara basa basi.
"Baik. Kamu sendiri?"
"Beginilah. Kamu nggak kerja?" tanya Bara menyambung obrolan.
"Bar, kamu nggak tahu aku masih kuliah semester akhir?" tanyaku membuat Bara merasa bersalah. 
"Maaf, maaf. Aku sama sekali nggak tahu. Aku pikir kalian, maksudku kamu dan Caca berteman sepantaran dan sama-sama sudah kerja."
"It's okay, Bar! Caca udah lulus duluan sih. Aku masih skripsweet."
Bara tertawa.
"Kamu kerja jadi fotografer udah lama, Bar?" tanyaku penasaran.
"Ini cuma hobi aja sih. Aku bantu-bantu temanku yang buka usaha kecil-kecilan. Kebetulan Caca merengek minta tolong."
"Oh, pantesan setahuku kamu kerja kantoran."
"Kok kamu tahu? Darimana?" Bara kaget mendengar celotehanku yang tanpa rem.
"Maksudnya aku tadi nebak.
Kamu kan kenal sama Rega siapa tahu kalian kerja satu kantor gitu."
"Oh, aku kira kamu bisa nebak pikiran aku."
"Aku bisa lho. Mau bukti?" Aku menantangnya.
"Serius?" Bara sepertinya tertarik.
"Aku tebak kamu suka banget sama sambel dan kamu punya adik perempuan."
"Eh, kok bisa sih? Bener semua lho." Bara terkagum-kagum.
"Kamu percaya de javu?" tanyaku iseng.
"Percaya nggak percaya sih," jawab Bara terlihat serius.
"Kalau bisa balik ke masa lalu kamu percaya?"
"Kalau itu nggak mungkin."
"Kalau menurutku bisa jadi, Bar. Ada kemungkinannya sekian persen. Cenayang aja bisa tuh tahu masa depan. Mungkin kalau bisa balik ke masa lalu lebih tepatnya buat nebus kesalahan dan memperbaikinya."
"Ah, kebanyakan nonton drama kamu."

Aku dan Bara sama-sama tertawa. 

"Boleh aku tanya sesuatu, Bar? Agak pribadi sih."

"Nggak masalah sih. Lagian cuma ada kita berdua."
Aku celingukan takut kalau tiba-tiba Alya menguping.
"Kamu pernah pacaran? Atau punya kekasih gitu?"
Mata Bara membelalak kaget akan menerima pertanyaan itu dariku. Akhirnya dia tertawa. Sadar aku menunggu jawabnya dia pun serius menjawab, "Aku belum pernah jatuh cinta."
"Hah, kok aneh sih. Aku satu-satunya orang yang nggak percaya."
"Menurutku belum ada yang menarik dan aku belum tertarik."
"Kamu masih normal kan?"
Bara tertawa. "Ge, aku itu inginnya langsung menikah dengan orang yang tepat daripada singgah ke hati yang salah."
"Kalau misal kamu dijodohkan oleh orang tuamu tapi kamu nggak suka. Kamu bakal bilang yes or no?"
"Ya, aku sih lihat siapa calonnya dulu. Aku akui nggak mudah jatuh cinta. Bagiku cinta itu limited edition."
"Aku pikir kamu orang yang nurut sama orang tua. Kamu rela melakukan apapun yang diperintah orang tuamu."
"Aku tak sebaik itu, Ge. Untuk soal masa depan aku tidak bisa menyerahkannya pada orang lain. Aku bertanggung jawab penuh atas kehidupanku."
Deg. Tiba-tiba jantungku berdetak cepat. Sensasi yang kucari selama ini barulah merespon.
"Ge, kalau kamu sudah punya kekasih?" Bara balik bertanya padaku.
"Aku punya calon suami, Bar. Tapi aku sembunyi di hari lamaranku."
"Hah, kenapa? Apa karena belum selesai kuliahnya?"
"Nggak, Bar. Karena kupikir laki-laki itu penurut dengan orang tuanya. Aku hanya takut jika suatu saat nanti ada permasalahan antara aku dan mertua dia tidak membelaku. Aku takut dia lebih mementingkan pendapat orang tuanya dan tidak memberikan rasa aman nyaman padaku." Air mataku tiba-tiba mengalir. "Aku pernah punya masa lalu yang buruk. Aku memiliki kekasih dan dia lebih memilih orang tuanya. Dia meninggalkan aku karena dia terlalu berbakti. Aku takut itu terulang. Aku ingin memilih orang yang mempunyai prinsip kuat. Dia tidak mudah digoyahkan, tapi bukan berarti dia keras kepala." Aku menyeka air mataku. Bara mengulurkan tisu padaku.
"Percayalah, Ge. Orang baik akan bertemu orang baik. Jika memantaskan diri, Tuhan akan mengirimkan orang baik untuk menjagamu."
"Kamu ternyata baik, Bar. Seandainya aku membuka diriku lebih baik, memantaskan diriku lebih baik, mungkin aku masih bisa mengubah hasil keputusan akhirku. Tapi aku sudah mengecewakannya dan dia memilih mundur untuk kebahagiaanku. Dia ternyata terlalu baik."
"Mungkin belum terlambat jika kamu menghubunginya. Kamu bilang dia orang baik. Aku rasa dia akan mendengarkan penjelasanmu."
"Aku tak bisa memutar waktu, Bar. Semua sudah terlambat. Aku hanya bisa menjalaninya di masa sekarang. Kamu sendiri yang bilang tidak percaya bisa kembali ke masa lalu."
"I'm sorry to hear that!"
"It's okay, Bar. Terima kasih sudah mau mendengarkanku yang random ini," kataku seraya menertawakan diri.
Alya mendekatiku. Ia memperlihatkan foto bersama saat pernikahan Caca.
"Ge, kamu habis nangis?" tanya Alya seraya mencari-cari arah bola mataku.
"Ya udah, Ge. Aku tinggal sebentar. Kamu bisa lihat-lihat hasil karyaku," ujar Bara pamit.
"Ge, apa dia yang membuatmu menangis? Bilang padaku cepat! Kamu menyatakan perasaan lalu ditolak?" celetuk Alya sembarangan.
"Apa sih, Al? Nggak lucu."
"Ya jelas nggak lucu. Kamu saja nangis. Kalau lucu harusnya kamu haha hihi sekarang."
"Ge, aku bodoh ya mengharap orang lain padahal jelas-jelas ada yang menyayangiku tulus."
"Memangnya siapa? Aku?"
"Ah, tahu ah! Kamu merusak suasanaku, Al. Habis ini aku mau balik. Mau ngerjain revisian skripsweet."
"Tumben semangat."
"Biar cepet lulus, cepet nikah keburu jodohnya lari diambil orang," jawabku asal-asalan.
"Eh, serius nanya. Memangnya siapa? Memangnya udah ada? Bukannya kamu jomblo tulen? Dika kan nggak mau sama kamu." Alya berusaha menerka-nerka pikiranku.
"Ada deh. Iri bilang bos," ejekku.
Aku tertawa geli melihat kepolosan muka Alya. Sepertinya Alya di masa depan lebih pintar dari yang sekarang.
"Ca, sebelum pulang numpung ke toilet ya. Sebelah mana?" tanyaku yang tak bisa menahan hasrat ke belakangku.
"Ya ampun Gea pintu segede itu kamu nggak tahu," ejek Alya.
"Ya maklum ini kan rumah Rega baru pertama ke sini juga. Kalau rumah Caca asli sih udah khatam aku."
Aku pun nyelonong ke toilet. Di samping pintu ada wastafel dan cermin. Tiba-tiba aku ingin memandang diriku lebih lama. Ada lingkaran hitam berputar di cermin dan aku terseret masuk ke dalamnya.
"Gea, bangun. Sudah ditunggu." Suara Alya begitu lembut di telingaku.
Aku menegakkan tubuh dan menatap diriku di cermin. Baju yang kukenakan di malam lamaran kembali.
"Al, ini tahun berapa?" tanyaku seraya menahan kebahagian.
"2019 dong, Ge. Gimana sih?"
"Alhamdulillah."
"Ge, kamu sehat?"
"I'm coming back," kataku seraya jingkrak jingkrak terlalu senang. "Bara mana?" tanyaku kemudian.
"Ya di luar lah. Perlu aku bawa ke sini buat jelasin kalau kamu nggak mau lamaran ini berlangsung?"
"Nggak, Al. Tolong bilang ke dia aku sudah siap sekarang. Aku mau Bara jadi calon suamiku, Al."
"Bentar, bentar. Nggak panas jidatmu. Biasa aja padahal. Mungkin kamu terbentur sesuatu, Ge." Alya bingung mencari benturan di kepalaku.
"I'm fine, Al. Manusia bisa berubah dan aku ingin mengubah sudut pandangku yang sempit. Benar katamu, Al. Aku tak boleh menge-judge orang sembarangan. Aku harus membuka diriku pada kemungkinan-kemungkinan. Aku harus tutup buku perihal Dika. Aku harus merdeka."
"Ya sudah siap-siap kamu, Ge. Buruan keluar sudah ditunggu," perintah Alya.
"Siap, Nona Alya yang manis."
"Ih, jijik ah Ge. Udah ah aku mau ketemu Bara dulu. Takut dia kabur pulang."
Aku tersenyum sendiri di depan cermin. Aku merasa masih harus melakukan sesuatu.

Bara aku ingin minta maaf. Mungkin Alya sudah memberitahumu. Apa yang dikatakan Alya benar. Aku rasa aku ingin tetap melanjutkan lamaran ini karena aku percaya kamu orang baik, Bar.

Terkirim.
Aku memberanikan diri keluar kamar. Budhe dan Tante yang sudah lama menungguku berteriak memanggilku. Aku sedikit malu. Tapi melihat Bara yang berada di depanku kurasa telah membuatku kehilangan akal sehat dan urat maluku. Aku jatuh cinta lagi pada Bara di masa kini. Ternyata dia sangat tampan berbeda dari yang di foto.
"Ehm, sepertinya ada yang sudah tidak sabar. Bagaimana kalau acara di mulai saja?" celetuk Pakdhe membuatku kikuk.
"Pilihan Bapak nggak salah kan, Ge?" Tiba-tiba Bapak ikut bersuara membuatku bertambah kikuk.
Bara tersenyum. Lekuk senyumnya, matanya. Aku bisa gila.
"Ge, jawab. Kamu ditanya itu malah melamun," bisik Alya pelan-pelan membuyarkan lamunan.
"Iya mau, Pakdhe."
"Iya mau apa, Ge? Ditanya apa, jawabnya apa? Selak kesusu kamu, Ge." Pakdhe menertawakanku. Asli namaku tercoreng dan bakal jadi bahan bulanan keluarga besar.
Hai, cermin bawa aku kembali ke masa lalu biar aku tidak memalukan di masa kini. Help me!


---------------- 

The End







This post first appeared on CERPENIK, please read the originial post: here

Share the post

Kembali Ke Masa Kini

×

Subscribe to Cerpenik

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×