Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Biografi Karaeng Pattingalloang Tokoh Inteletual Kerajaan Gowa

Biografi Karaeng Pattingalloang Tokoh Inteletual Kerajaan Gowa - Karaeng Pattingngalloang lahir dari pasangan I Mallingkaang Daeng Mannyonri bergelar Karaeng Matoaya Tumenanga ri Agamana dan permaisuri I Wara Karaeng Lempangang yang merupakan putri sulung dari raja Gowa ke 12 Karaeng Bontolangkasa. Karaeng Matoaya seorang ahli ibadah, dapat membaca kitab gundul dan menerangkan tafsirnya, bergelar Islam Sultan Abdullah Awwalul Islam dengan gelarnya dikarenakan berhasil mengislamkan orang Makassar di seluruh tanah Makassar, mengislamkan orang Bugis di seluruh tanah Bugis kecuali orang Luwu (Palopo). Beliau mendampingi Raja ke XIV I Manngerangi Daeng Manrabiya Sultan Alauddin (1593-1636). Dalam catatan harian Raja-raja Gowa-Tallo menuliskan perkiraan kelahiran beliau. Dalam catatan itu disebutkan bahwa beliau lahir kira-kira pada bulan Agustus tahun 1600 sannak 1009 H dengan nama I Mangadacinna. Kelahirannya disambut dengan royong bajo sama halnya dengan anak bangsawan lainnya . Setelah beliau lahir kemudian diasuh atau dibesarkan oleh Mangkubumi Kerajaan Gowa yakni ayahandanya sendiri. Beliau diajarkan shalat lima waktu dan mengaji serta sangat pandai dalam bermain gasing dan permainan sepak raga.

Diantara 29 bersaudara Karaeng Pattingngalloang memiliki banyak keistimewaan. Di antara saudara-saudaranya beliau dianggap memiliki derajat tertinggi terutama dalam hal kepandaian. Menurut adat lingkungan Kerajaan Gowa di masa lalu, ada dua persyaratan utama yang harus di penuhi bagi terangkatnya seorang dalam jabatan penting. Pertama, calon harus termasuk golongan “bangsawan berderajat tinggi” dalam silsilah keluarganya, dan kedua harus memiliki kecakapan d dalam segala bidang. Kedua syarat ini dipenuhi oleh Karaeng Pattingngalloang. Dialah yeng terpandai dikalangan keluarga Raja-raja Tallo dan mewarisi kegemaran orang tuanya. Kebiasaan membaca sang ayah rupanya menurun kepada Karaeng Pattingngalloang . Maka begitu naik tahta, dia dikenal sebagai sosok pemimpin yang gandrung ilmu. )

Karaeng Pattingngalloang memiliki istri yang bernama Karaeng Ani dan mempunyai anak yang bernama Karaeng Karunrung, I Makmina Daeng Sangnging, dan I Bate Daeng Tommi Karaeng Pakbineang. Karaeng  Pattingngalloang bersama istrinya Karaeng Ani di makamkan satu kobbang (kubah) didalam komplek pemakaman Arung Pallakka di Jl Pallantikang III, Kampung Bontobiraeng, Kelurahan Katangka, Kecamatan Sombaopu, Kabupaten Gowa.

Karaeng Patingngalloang tidak pernah bersekolah formal, taman kanak-kanak pun tidak pernah dimasukinya, karena pada zamannya memang belum ada sekolah di Makassar. Beliau sejak kecilnya banyak bergaul dengan orang-orang Eropa yang berdiam di Makassar. Oleh karena pergaulannya dengan orang-orang Eropa, baik yang berdiam di Bandar Makassar, maupun yang datang membawa barang dagangan dan didukung oleh kecerdasannya beliau mampu menguasai beberapa bahasa. Karaeng Pattingalloang adalah seorang Mahasarjana tanpa gelar dan title karena pada saat itu belum ada sekolah maka ia belajar secara otodidak. Namun dibalik itu karena kercerdasannya ia menjadi salah seorang ilmuwan yang sangat disegani dan dianggap sebagai Galileo Of Macassar. Komunikasinya dengan kaum cerdik cendekia Eropa terus berlangsung dengan intens, yang mendiskusikan secara lugas dan terbuka berbagai masalah dengan penekanan pada aspek-aspek ilmu pengetahuan dan agama. Ini membuat namanya terkenal di lingkar elit cendekiawan Eropa.

Tumbuh sebagai pemuda dalam suasana perdagangan internasional di Makassar beliau banyak bergaul dengan berbagai suku bangsa dan Negara diantaranya Portugis, Inggris, Cina, Arab, Campa, Malaka, India, Denmark, Spanyol. Mereka adalah guru-guru yang baik yang menjadikan Karaeng Pattingngalloang fasih dalam berbahasa asing. Pada situasi seperti itulah membentuk Karaeng Pattingngalloang menjadi manusia internasional di kawasan ini.

Begitu dekatnya hubungan Karaeng Pattingngalloang dan orang-orang Asing tersebut ketika orang yang tidak mengenal Karaeng Pattingngalloang mereka mengira beliau orang Portugis yang beragama Kristen Katolik. Hal ini disebabkan karena apabila orang-orang asing tersebut singgah di sebuah Gereja Karaeng Pattingngalloang selalu ikut dan sangat memahami segala segi ajaran agama Kristen serta sangat fasih dalam berbahasa portugis.

Sebenarnya tidak ada syarat bahwa seorang raja memiliki peluang besar untuk menjadi penerus, tentu ada banyak hal yang harus dipertimbangkan oleh Dewan Bate Salapang, sebelum menetapkan seorang seseorang menjadi Raja. Peranan raja sebelumnya juga sangat diperhitungkan. Bahkan dalam keadaan tertentu usul raja biasanya menjadi pertimbangan kuat bagi Bate Salapang untuk mengambil keputusan.

Pengangkatan Karaeng Pattingngalloang sebagai Raja Tallo ke VIII yang naik takhta setelah ayahandanya Karaeng Matoaya wafat. Karaeng Pattingngalloang juga menduduki jabatan sebagai Mangkubumi di Kerajaan Gowa, sebagaimana yang dikutip dalam lontarak bilang bahwa Karaeng Pattingngalloang yang disebut dengan nama I Mangadacinna Daeng Sitaba Sultan Mahmud Syah pernah menjabat sebagai Raja Tallo, selain itu pernah menjabat sebagai mangkubumi Kerajaan Gowa pada tahun 1639-1654.  Karaeng Pattingalloang adalah sosok pemimpin yang memiliki kesadaran multikulutral. Hal yang ia hidupi melalui proses belajar, menyikapi realitas beragamanya suku dan etnik di Makassar pada zamannya, yang menjadi kota pelabuhan Internasional. Dalam lontarak bilang menyebutkan bahwa Karaeng Pattingngalloang yang disebut dengan nama Sultan Mahmud pernah menjabat sebagai Raja Tallo, menyatakan hal serupa bahwa Karaeng Pattingngalloang menjabat sebagai Raja Tallo pada tahun 1639-1654. Di lantik pada hari sabtu tanggal 18 Juni 1639. Sebagaimana kakeknya (Makkoayang) dan Ayahnya (Matoaya), Pattingngalloang merupakan orang Tallo ketiga yang menjadi perdana menteri di Kerajaan Gowa. Akan tetapi masa pemerintahannya tidak dibahas lebih lanjut dengan lontara bilang dan bahkan tidak terdapat dalam terjemahannya. Hal ini cukup mengherankan karena Karaeng Pattingngaloang merupakan tokoh berpengaruh di Kerajaan tersebut dan memiliki kemampuan luar biasa seperti ayahnya Karaeng Matoaya.

Raja Tallo ke VIII Karaaeng Pattingngalloang diangkat menjadi mangkubumi di Kerajaan Gowa mendampingi I Manuntungi Daeng Mattola Sultan Malikussaid Karaeg Lakiung raja Gowa ke XV, putera sulung Sultan Alauddin yang berusia tiga puluh tahun. Beliau mengatakan kepada beberapa pejabat tinggi Negara bahwa dia akan menerima tahta jika raja Tallo ke VIII Karaeng Pattingngalloang mendampinginya dalam memerintah dan memimpin rakyat Gowa. Pada abad ke XVII, Makassar telah muncul sebagai kerajaan terkaya dan paling kuat di Nusantara bagian timur. Kerajaan Gowa sebagai sumber rempahrempah cukup menarik orang Eropa. Pada 1625, sebanyak 22 kapal Portugis mengunjungi pelabuhan setiap tahun. Inggris mendirikan pabrik di Makassar pada 1613, Denmark pada 1618, Pedagang Spanyol dan Cina mulai muncul pada 1615. Pabrik asing itu berlokasi di utara Sombaopu, di tepi seberang Sungai Jenebereng.

Makassar terkenal sebagai kerajaan di mata orang asing. Terlepas dari kenyataan bahwa itu adalah negara Islam, ada tempat-tempat ibadah Kristen dan kota ini adalah rumah bagi sejumlah pengungsi terkemuka. Karaeng Pattingngalloang memiliki kemampuan diplomasi yang sangat tinggi, dibuktikan dengan terwujudnya kerukunan dengan berbagai kerajaan sekitarnya. Bahkan dalam disertasi Baharuddin Lopa disebutkan Karaeng Pattingngalloang sebagai Faktor penting dalam kerukunan tersebut. I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang sebagai Mangkubumi kerajaan yang terkenal itu, baik dari segi sosok kecendikiawannya maupun keahliannya dalam berdiplomasi, tidak heran Kerajaan Gowa ketika itu telah mampu menjalin hubungan internasional yang akrab denga raja-raja dan pembesar dari negeri luar. Meskipun namanya tidak setenar Sultan Hasanuddin, Sultan Alauddin, dan juga Syekh Yusuf, namun pada masa kejayaan Kerajaan Gowa-Tallo tidak terlepas dari peranan yang dimainkan oleh Karaeng Patingalloang yang juga menjabat sebagai Mangkubumi Kerajaan yang berkuasa (1639-1654). Karaeng Pattingalloang sukses menjadikan Kerajaan Gowa-Tallo menjadi salah satu kerajaan yang besar di Nusantara lewat sains yang ia kuasai secara otomatis membawa Makassar tercatat sebagai kota/bandar terbesar sebagai pusat ibu kota saat itu, telah berkembang menjadi bandar niaga yang amat ramai di kunjungi, baik oleh pedagang-pedagang kerajaan lain di Nusantara maupun oleh bangsabangsa asing. Dan malahan dianggap Malaka kedua sesudah Portugis menduduki Malaka (1511).

Pada masa itu di Gowa tercipta hubungan harmonis antara berbagai pihak dalam kegiatan perdagangan dan kehidupan sosial keagamaan. Selain dari pada menghadapi Belanda Karaeng Pattingngalloang bersama Raja Gowa Sultan Malikussaid harus pula menghadapi musuh kedalam, yakni Kerajaan Bone pada 1643. Ketika Karaeng Pattingngalloang diangkat menjadi Karaenga ri Pabbundukang dalam perang melawan Kerajaan Bone serangan pertama beliau tidak mampu menyelesaikan peperangan ini dengan baik karena beliau digantikan oleh Karaeng Sumanna. Ketika ternyata sebagai pejabat baru Karaeng Sumanna mengalami nasib yang sama ini pun di ganti oleh Arung Tanete. Jabatan sebagai panglima perang dapat diduduki secara berganti-ganti apabila ternyata seorang yang menduduki jabatan itu tidak mampu memenangkan peperangan yang dibebankan kepadanya. Atas perintah Sultan Malikussaid, maka mangkubumi Kerajaan Gowa Karaeng Pattingngalloang (sejak wafatnya disebut Tumenanga ri Bonto Biraeng), mengadakan perundingan dengan Arung Pitue di Bone (majelis pemerintahan di Bone yang terdiri dari tujuh raja) untuk mencari calon pengganti raja Lamaddaremeng. Oleh karena itu tidak ada calon yang berasal dari Bone sendiri yang dianggap cakap untuk dianggap menjadi raja Bone, maka Arung Pitue menyerahkan takhta Kerajaan Bone kepada Sultan sendiri. Akan tetapi sultan menolaknya dengan mengemukakan alasan bahwa menurut adat di Bone dan di Gowa, tidak boleh seseorang diangkat raja yang berasal dari luar. Untuk memperoleh jalan keluar dari kesulitan tersebut, maka Sultan menunjuk Karaeng Pattingngalloang untuk menjadi raja di Bone. Akan tetapi Karaeng Pattingngalloang pun menolaknya.

Kerajaan Bone yang terlibat perang dengan Kerajaan Gowa dan mengalami kekalahan pada tahun 1646, Kerajaan Gowa melakukan penyisiran dan menangkap semua orang-orang yang dianggap membantu La Tenri Aji adik La Maddaremmeng ketika berperang melawan sekutu Gowa. Arung Palakka beserta keluarganya yang terlihat membantu La Tenriaji to Senrima dalam melakukan perlawanan dengan Kerajaan Gowa, mereka dijadikan hamba oleh Mangkubumi Kerajaan Gowa Karaeng Pattingngalloang. Karaeng Pattingngalloang yang dikenal sebagai seorang Mangkubumi yang berpengetahuan luas juga dikenal sebagai tokoh yang disenangi olah rakyat Gowa dan sangat ramah. Karaeng Pattingngalloang memberlakukan Arung Palakka selayaknya anak kandungnya sendiri dan menjadikan pembawa Puan (tempat sirih) untuk melayani tamunya Karaeng Pattingngalloang. Arung Palakka banyak mendapat didikan dan ilmu pengetahuan dari ucapan-ucapan Karaeng Pattingngalloang kepada tamu kerajaannya. Bahkan Arung palakka diberi gelar oleh Karaeng Pattingngalloang dengan nama Daeng Serang karena tumbuh sebagai pemuda yang cerdas dan pandai.

Kemampuan dan kecakapan Karaeng Matoaya rupanya mengalir dalam darah Karaeng Pattingalloang. Sikap dan pikiran terbuka menjadikan Karaeng Pattingalloang bukan sekadar menjadi bangsawan, melainkan menjadi seorang yang memiliki kapasitas intelektual. Beliau disebut tidak hanya lancar berbahasa Portugis, Spanyol, Latin, Inggris, Perancis dan Arab, tetapi juga menguasai sastra dari bahasa-bahasa itu. Seorang misionaris Katolik Jesuit, Alexander de Rhodes, terperangah kagum menghadapi Karaeng Pattingalloang yang bisa berbahasa Portugis selancar penduduk asli Lisbon. Kamar kerjanya yang luas penuh dengan buku-buku ilmu pengetahuan dalam berbagai bahasa Eropa. Beliau pun tak canggung mengupas perkembangan ilmu pengetahuan mutakhir yang sedang bergolak di Eropa, di bidang fisika, matematika, astronomi. Mangkubumi ini terkenal sebagai cendikiawan, mahir dalam bahasa-bahasa asing seperti Portugis, Spanyol, Inggris, Perancis, dan arab. Ditulisnya buku-buku tentang ketatanegaraan, soal-soal perseroan dan hukum pelayaran. Banyak peraturan pemerintahan di Kerajaan Gowa yang diperbaharuinya, hingga saat ini belum ada pemimpin yang mampu menyaingi kemampuannya dalam berbahasa asing begitupun dengan kecendekiawanannya.

Dengan instrumen, dan segala informasi yang dapat diraihnya, Karaeng Pattingalloang mengembara dan menjelajahi dunia dalam imajinasi intelektualnya. Ia melihat bagaimana posisi Kerajaan Gowa serta wilayah yang di bawah pengaruhnya dalam konstelasi dunia. Ia dapat mengenali, menentukan posisi dan mengukur jarak dari Sombaopu ke berbagai wilayah dunia, di Eropa, Amerika, dan kutub utara. Ia melihat betapa kecilnya Sulawesi dalam skala dunia. Ia juga mempertanyakan mengapa orang-orang Eropa itu bisa sampai ke Sulawesi setelah menempuh jarak yang begitu jauh. Mengapa bukan pelaut-pelaut Makassar yang merambah sampai ke Eropa.[ki]



This post first appeared on Kata Ilmu, please read the originial post: here

Share the post

Biografi Karaeng Pattingalloang Tokoh Inteletual Kerajaan Gowa

×

Subscribe to Kata Ilmu

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×