Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Air mata dan darah Pluralisme di Indonesia

Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik. Selain itu pluralisme dapat pula dikatakan sebagai salah satu ciri khas masyarakat modern. Sayangnya, dari beberapa kejadian yang terjadi beberapa tahun yang lalu hingga kejadian yang akhir-akhir ini seperti kasus perseteruan masyarakat Dayak dan Madura di Kalimantan, peperangan kelompok merah dan kelompok putih di Ambon, kasus jemaat gereja HKBP di Bekasi, kasus Ahmadiyah di Cikeusik hingga kasus kerusuhan di Temanggung pada dasarnya hanya menunjukkan secara jelas bahwasanya pluralisme tidak lebih dan tidak kurang hanyalah sekedar kata yang hampir tanpa makna bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Entah memang benar tidak bermakna atau memang mereka sudah tidak mau lagi memaknai arti kata pluralisme itu. Atau, bisa juga mereka memiliki makna tersendiri jika mendengar kata pluralisme.  

Bagi sebagian masyarakat, kata pluralisme tidak lebih hanya bermakna dan berarti upaya penghapusan identitas agama, menciptakan masyarakat yang sekulerisme dan atau suatu doktrin yang berupaya melakukan pembenaran atas timbulnya agama baru. Bagi mereka, didalam makna pluralisme sudah terdapat ide yang mencurigai kebenaran atau paham relativitas kebenaran dengan beberapa pengertian seperti adanya toleransi, dimana masing-masing agama, ras, suku dan kepercayaan berpegang pada prinsip masing-masing dan menghormati prinsip dan kepercayaan orang lain. Bagi mereka, pluralisme juga diartikan bahwasanya sudah tidak perlu lagi berpegang pada suatu dasar apapun. Masyarakat harus menerima kenyataan bahwa di sana tidak ada kebenaran tunggal. Artinya semua benar; atau masyarakat tidak boleh memiliki keyakinan bahwa agama dan kepercayaan mereka itu benar atau paling benar. Kacaunya lagi, mereka juga mengartikan bahwasanya pluralisme mengajarkan kebenaran itu tidak ada. ??? kecurigaan terhadap pemikiran barat juga mempengaruhi alasan penerapan pluralisme. Dengan dalih bahwa pluralisme adalah “peleburan” agama-agama menjadi satu wajah baru yaitu realitas keagamaan yang plural maka agama-agama bersedia membuka diri dan menerima kebenaran yang ada pada agama lain.

Atas dasar pemahaman ini, maka yang kita saksikan adalah jatuhnya korban sia-sia akibat dari pertikaian beda pendapat. Hanya karena mempertahankan keyakinannya untuk beribadah, seorang ibu harus kehilangan nyawa anaknya karena si anak dibunuh oleh kelompok masyarakat yang berbeda paham dan keyakinan. Hanya karena mempertahankan niatnya untuk beribadah, seorang pendeta harus merasakan tajamnya sayatan belati diperutnya. Hanya dan hanya karena ketidakpuasan atas putusan pengadilan yang harus diterima penghina agama, isi satu kota diamuk dan dibakar. Ini jelas bukan ciri khas masyarakat modern. Ini barbar dan harus dihentikan.
Soalnya adalah hanya paham kebangsaan yang dapat mengatasi keterikatan kita, masing-
Konflik demi konflik yang mewarnai pluralisme seperti sekarang ini sesungguhnya pengulangan sejarah kegagalan Negara dalam melindungi warga negaranya dan hanya memperlihatkan bahwasanya negara tidak berdaya serta membiarkan kondisi masyarakat semakin hari semakin terpecah antara mayoritas dan minoritas. Negara ini tidak lagi mengedepankan prinsip negara nasional atau negara–bangsa sebagaimana diharapkan pendirinya yang berupaya mengembangkan paham kebangsaan sebagai salah satu asas negara.

Dari sudut sejarah kita mengetahui bahwasanya para pendiri negara ini jelas berkeyakinan dengan paham kebangsaan sebagai salah satu asas negara, maka orang Islam, orang Kristen, orang Jawa, orang Batak, orang keturunan Tionghoa, semuanya akan memiliki perasaan atau kehendak yang sama sebagai satu bangsa Indonesia. Karenanya mereka menolak penerapan sekulerisme dan lebih memilih nasionalisme yang akhirnya memang terbukti menjadikan negara ini lebih kuat, mampu dan bisa melewati tantangan jaman. Namun, pemilihan semangat nasionalisme ini sempat diuji kembali oleh segelintir masyarakat pada tahun 2002 dimana saat itu beberapa elite politik yang didukung oleh Fron Pembela Islam dan Majelis Mujahidin Indonesia menginginkan Pasal 29 UUD 1945 dikembalikan ke Piagam Jakarta. Dalam Piagam Jakarta, pasal 29 berbunyi, "Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Sementara itu, dalam UUD 1945, tujuh kata yang terakhir dihapuskan setelah sejumlah anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sepakat menghilangkannya, termasuk tokoh Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah) dan Wahid Hasyim (Nahdlatul Ulama). Dalam beberapa kali proses amandemen UUD 1945, PPP terus mengusulkan agar pasal 29 diubah. Untungnya semangat nasionalisme masih menjadi semangat yang besar bagi sebagian besar elite politik saat itu. Upaya itu gagal karena perubahan pasal itu berpotensi mengganggu bangsa Indonesia.

Rasa kebangsaan dan nasionalisme yang melebur dalam pandangan pluralisme pada akhirnya memang akan menjadi wahana titik temu (common denominator) keberagaman latar belakang warga negara Indonesia. Dengan kebangsaan, maka pluralisme bukan menjadi kutukan yang menyeret kita ke dalam perpecahan, tapi justru menjadi faktor yang memperkaya kesatuan atau rasa memiliki (sense of belonging) kita sebagai warga negara Indonesia. Dengan kata lain: pluralisme sesungguhnya menjadi suatu anugerah bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
 
Para pendiri negara juga sudah menyadari bahwasanya hanya dengan paham kebangsaanlah kita bisa merasakan semangat “semua buat semua”. Dengan paham kebangsaan, kita menjadi memiliki kesetaraan di depan hukum dan pemerintahan (equality before the law) tanpa harus mengalami diskriminasi lantaran perbedaan latar belakang primordial atau ikatan sempit seperti suku, agama, ras, atau kedaerahan.
 
Sebagai negara yang menjunjung sila Ketuhanan dan kemanusiaan dalam Pancasila, seharusnya tidak ada penolakan atau pertentangan dalam kegiatan pluralisme di negeri ini karena sudah seharusnya pluralisme sudah menjadi kepahaman bersama. Sebagai kepahaman bersama, tentunya pluralisme tidak dapat diaplikasikan dalam bentuk pemaksaan atau malah kekerasan. Jika hal itu dilakukan pada akhirnya hanya akan menjadi proyek otoritarian dan tidak demokratis. Oleh karena itu pluralisme harus dilakukan dalam kesadaran diri kita .. ya diri kita sendiri. Masing-masing diri kita sendiri harus mampu menghormati menghormati pluralitas yang merupakan fakta tak terbantahkan telah menjadi kondisi alamiah bangsa Indonesia. 

Andaikan negara terus aktif mengembangkan prinsip-prinsip pluralisme di kehidupan bermasyarakat tentunya banyak pakar, tokoh masyarakat atau aktifis LSM yang tidak akan bersikap menyalahkan atau meminta pertanggungjawaban negara atas terjadinya konflik-konflik terkait pluralisme. Jadi, terlepas mengikuti opini para pakar dan tokoh masyarakat yang sudah ada, saya berani mengatakan bahwasanya negara gagal menumbuhkan semangat pluralisme di negeri ini. Namun demikian, saya juga tidak terlalu setuju atau sependapat bahwasanya semua beban atas konflik pluralisme menjadi beban negara. Saya berpendapat, bahwasanya, kita sebagai warganegara juga turut andil bersalah atas konflik-konlik pluralisme yang terjadi.  Seharusnya, kita sebagai warga negara, tanpa mempermasalahkan negara atas keterlambatannya dalam berperan melindungi minoritas atau atas kegagalannya melindungi hak asasi manusia, tetap harus menghormati semua entitas yang homogen atau berbeda tetap dalam homogenitas atau perbedaannya, sekaligus mendorong entitas-entitas ini menjadi apresiatif terhadap kekhasan entitas lainnya sekaligus apresiatif terhadap kebersamaan kita sebagai sebuah bangsa. Jadikanlah negara kita ini, Indonesia sebagai lebensraum (ruang hidup bersama) di satu sisi menenggang keragaman berbagai unsur pembentuk bangsa untuk tetap memelihara kekhasannya masing-masing, namun di sisi lain juga menuntut penghormatan atas spirit kesatuan atau kebersamaan sebagai satu bangsa yang sama. Dengan demikian, kita tidak perlu lagi melihat air mata dan darah dalam penerapan pluralisme di Indonesia.


This post first appeared on ADVOKATKU, please read the originial post: here

Share the post

Air mata dan darah Pluralisme di Indonesia

×

Subscribe to Advokatku

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×