Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Merotan Paham PKI


Oleh : SUGRIYANTO (Guru SMA Negeri 1 Sangkapura) 

Kabar kebangkitan Kembali organisasi garis merah PKI bukan sekadar isapan jempol belaka melainkan sudah menampakkan tanda-tandanya. Lewat penerbitan buku-buku berpaham Marxisme dan simbol-simbol ke-PKI-an kini mulai menyebar di emper-emper trotoar terselubung. Sebagai partai peserta pemilu di masa orde lama, PKI- yang progresive revolusioner, genius, dengan organisasi yang modern dengan anggota yang tidak kuang dari 2 juta orang apabila diselenggarakan pemilu (di masa orla dulu) pasti akan keluar sebagai pemenang (Aminuddin Kasdi, dalam kata pengantar). Sebagai pemicu tergesanya para pengurus teras PKI untuk melakukan gerakan bak gerakan setan itu dilatarbelakangi oleh tiga faktor utama. Pertama, isu santernya Ir. Soekarno sakit serius. Kedua, adanya rencana coup Dewan Jenderal (menurut pandangan PKI). Ketiga, adanya ”perwira progresif” untuk (mengkanter,red) rencana isu gerakan dewan jenderal. Di situlah PKI memainkan peran lihai dan ”cantik”-nya menurut gaya PKI untuk melakukan aksi brutal demi memenuhi hasrat hawa nafsunya dalam mengambil alih kekuasaan dari pemerintah yang syah. Bahkan, dulu DN Aidit (DN: Dipo Nusantara) sudah membuat pernyataan resmi bahwa bila melalui parlemen PKI tidak bisa mengambil alih kekuasaan harus melalui perkelahian. Sekarang, bila bangsa Indonesia mendengar pernyataan DN Aidit sampai segitunya maka akan digerami pula dengan semboyan lantang hingga titik darah penghabisan. ”Itu dulu Aidit, sekarang langkahi dulu seluruh mayat bangsa ini”.

Sebagai bentuk kesengajaan dalam memberikan pencerahan tentang hakikat paham komunis, perlu kiranya dimaktubkan secara menyeluruh esensi dari aliran komunis. Sebuah kisah dua orang dalam pergaulan hidupnya di sebuah sawah Atau di tempat kerjanya. Maklumat ini mempermudah untuk memahamkam ajaran komunis yang mestinya harus membaca buku tebal tulisan Marxis, dan sejenisnya dengan ajaran intinya sama rata sama rasa. Perhatikan fragmen cerita di bawah ini. Kisah tersebut di bawah dicupik dari potongan kisah dari Novel berjudul Kubah karya Ahmad Tohari.

Suta dan Naya sedang beristirahat di pematang sawah sesudah Mereka penat mencangkul. Mereka masing-masing memiliki uang lima rupiah. Suta mengusulkan agar uang milik mereka digabungkan untuk membeli sebatang Rokok. Naya pergi ke warung yang terdekat , dan pulang kembali dengan sebatang rokok di tangannya. Baik Suta maupun Naya tidak menduga mereka akan terlibat pembicaraan yang seru tentang bagaimana mereka dapat menikmati rokok yang hanya sebatang itu secara adil, sebenar-benarnya adil. Pertama-tama mereka berdebat tentang siapa yang hendak mengisap Rokok Itu lebih dulu. Naya bersikeras dialah yang pantas menikmati rokok itu lebih dulu karena dia yang pergi membelinya. Alasan Naya dibantah oleh Suta. ”Tidak bisa. Aku yang mempunyai ide untuk membeli rokok itu. Untung kalau aku menganggap nilai ide yang kukeluarkan setara dengan tenagamu untuk membeli rokok itu”.

”Kalau begitu,” usul Naya ”Siapa yang mengisap lebih dulu dapat kita tentukan dengan undian. Kemudian kita merokok silih berganti, dengan menghitung jumlah isapan kita.”

”Kau ini bagaimana?” Badanmu lebi besar dari badanku. Jelasnya, rongga mulut dan paru-paru kita tidak sama. Bagaimana cara menakar isi isapan kita? Lebih baik kita potong saja roko itu menjadi dua.”

”Kau tidak lebih pintar dari aku. Kau tahu caranya menentukan titik yang tepat untuk memotong rokok itu? Ingat, rokok itu kecil pada ujung yang satu dan besar pada ujung lainnya.”

”Nah, sekarang kita harus membuka kertas yang menggulung rokok sialan itu. Tembakonya kita uraikan, lalu kita bagi dua.”

”Lalu kita percuma membeli rokok, karena kita tak punya kertas untuk menggulungnya kembali. Lagi pula tak ada timbangan yang akan menjamin bagian-bagian kita sama berat. Usulku yang terakhir ialah mengembalikan rokok itu ke warung. Uang lima rupiah akan kembali kepada kita masing-masing. Beres.”

”Ya aku seuju. Siapa yang akan kembali ke warung?”

”Ya Tuhan, kau ini bagaimana.” Seru Naya.

”Tentu saja kaulah orangnya. Pelajaran yang baru kuterima darimu ialah menghargai ide-ide.Aku yang mempunyai ide mengembalikan rokok ini. Jadi kau yang harus membayarnya dengan jalan mengeluarkan tenaga untuk berjalan ke warung.”

Dahi Suta berkerut-kerut ketika ia berjalan ke warung. Ada suara terdengar dalam hatinya sendiri. Suara itu menertawakannya. Suta ragu-ragu dan berhenti. Tiba-tba ia berbalik. Dijumpainya Naya masih duduk di pematang (Bawean: tabun sawah). Cepat Suta mengeluarkan rokok itu, lalu diselipkannya di antara kedua bibir Naya. Sebuah geretan dinyalakan.

”Isaplah.” Kata Suta. ”Aku belakangan, sesudah kau ikhlas menyerahkan sisanya kepadaku. Atau kau boleh menghisapnya sampai habis bila kau berani mengkhianati hati nuranimu sendiri. Percayalah aku akan bersikap ikhlas.”

Sambil berjalan di pematang , Naya menikmati rasa tembakau yang sudah lama dirindukannya. Tetapi setelah beberapa kali isapan ia sadar, sungguh tidak bijaksana menikmati rokok itu terlalu lama sementara Suta yang berjalan di belakangnya sama-sama haus tembakau.

”Nah, tiba giliranmu sekarang. Seharusnya kau lebih pantas menghabiskan rokok itu seorang diri. Saya tahu kau pecandu tembakau. Dengan demikian aku akan membuat hatimu senang, dan itu suatu kebaikan.”

Suta menerima rokok yang masih panjang itu. Mereka berjalan pulang. Di dalam hati keduanya sepakat: tak mungkin menjabarkan arti kata adil biar sekecil apa pun, kecuali dengan hikmah. (Kubah, karya Ahmad Tohari, 84-87).

Tanpa harus membaca bertebal-tebal buku tentang ajaran komunisme sudah tercermin dalam penggalan Novel yang di tulis oleh Ahmad Tohari di atas. Keadilan yang dimaui oleh PKI adalah keadilan menurut rasio atau akal semata. Dalam ukuran manusia dengan kepintaran akalnya yang ditunggangi hawa nafsu tentu sulit menerima keadilan bila tidak dengan hikmah. Adil tidak harus sama rata tetapi adil menurut porsi dan kebutuhannya. Adil yang hakikatnya adalah sama secara arif dan bijaksana.

Pengaruh paham inilah PKI melakukan internalisasi nilai-nilai komunisme melalui kegiatan pencucian otak kader-kader baru PKI. Termasuk kasus beberapa tahun silam di era 60-an Paham Pki menyelinap di Pulau Bawean. Menurut tuturan para pelaku sejarah lewat anggota Badan Otonomi Nahdhatul Ulama yakni Barisan Serba Guna (Banser) Sangkapura bahwa ajaran PKI telah menyusup secara terselubung. Salah seorang komandan Koramil bernama Kambean di era 60-an disinyalir berpaham komunis atau PKI. Termasuk menteri kehutanan bernama Paeran telah merasuki salah seorang warga dusun di kawasan barat Kota Sangkapura dengan memberikan beberapa kemudahan berupa alat-alat pertanian dan keperluan lainnya. Sebagai warga Sangkaura, Bapak Kurdi yang tekun beribadah runtuh juga keyakinannya. Beliau termakan hasutan orang genius dengan kekuatan retorika akal bulusnya para anggota PKI akibatnya beliau sudah tidak bisa diajak kebali kepada keyakinan semula sebagai pemeluk Islam yang teguh secara dhahirnya. Hal ini akibat kekuatan pengaruh yang ditanamkan oleh Paeran yang lebih cerdik dari sisi intelektual dan pendidikannya yang berpaham komunis (PKI) itu. Ini menjadi pelajaran bagi semua warga Pulau Bawean agar mewaspadai munculnya paham komunis yang sepintas nampak berpihak ke rakyat proletar atau rakyat jelata tetapi hakikatnya para anggota PKI memanfaatkan untuk kepentingan diri demi pemuasan hawa nafsunya.

Malam sekitar pukul 11.00 WIB pasukan Banser melakukan sweeping atau razia dari sebuah penyimpangan akidah bagi mereka yang ditengarai kemasukan paham PKI. Dibawa komando Bapak Muhammad Husen Hawafi atau nama familiarnya Pak Gungseng (Almarhum) dan kawan-kawan Banser lainnya malam itu melakukan gerakan sapu bersih terhadap oknum-oknum yang disinyalir berhaluan PKI. Jadi, perlu diluruskan kembali bahwa Bahwa Bapak Muhammad Husen Hawafi diberitakan sebagai tokoh penyembelih PKI itu tidak benar tetapi beliau cukup memanfaatkan rotan atau penjalin milik Bapak Munfaat Pateken untuk membuat paham PKI melayang atau tak berkutik. Kedapatan malam itu Pak Kurdi di rumahnya di kawasan barat Kota Sangkapura diminta untuk kembali ke ajaran yang benar. Bahkan Pak Kurdi disuruh membaca dua kalimat syahadat. Akhirnya, oleh salah seorang pasukan Banser ditikam dengan belati. Begitu tajam dan lancipnya ujung belati belum mampu menembus dada Pak Kurdi. Berbagai macam usaha belum mampu menggoyahkan keyakinan Pak Kurdi untuk kembali ke jalan yang benar karena ajaran PKI atau komunis telah mendarah daging pada dirinya atas ketidak pahamannya terhadap esensi gerakan PKI itu sendiri. Pengaruh akal bulus oknum PKI itu merasuk ke dalam diri Bapak Kurdi-yang notabene kegeniusannya di bawah mereka.

Kegusaran malam itu semakin membara di hati para pasukan Banser untuk melakukan penyelesaian terbaik dan terakhir agar paham itu tidak sampai menjalar ke masyarakat awam pada umumnya. Jika di Bawean dulu terdapat wadah yang menamakan kelompok Barisan Tani Indonesia (BTI) itu karena tidak mengertinya mereka dengan jargon-jargon PKI yang sepintas menggiurkan dan memihaknya. Di balik itu mereka (PKI) tidak suka dengan kemapanan sebagai sebuah usaha dari setiap individu. Nasib manusia harus dikebiri menurut selera dan keinginannya sendiri. Setelah mengalami kebuntuan usaha untuk menghabisi paham yang diajarkan Paeran kepada Pak Kurdi, pasukan Banser mengedepankan sebuah penjalin atau rotan milik Bapak Munfaat Dusun Pateken Desa Kotakusuma Sangkapura Gresik sebagai senjata pamungkas yang cukp mematikan. Sedepah penjalin ’jasakan’ dari pondok pesantren Tebu Ireng Jombang mampu mengakhiri hidup Pak Kurdi di tengah sawah sebelah selatan dari salah satu dusun dibelahan barat Kota Sankapura Kabupaten Gresik di zaman gawat-gawatnya paham PKI masuk ke Pulau Bawean.

Salah satu yang melatar belakangi penulisan sejarah masa lalu ini adanya fenomena kebangkitan kembali PKI yang disiarkan di acara salah satu televisi Nasional. Bahkan penulis merasa turut prihatin mendengar pernyataan Kivlan Zein: Dua Minggu Lalu PKI Telah Mendeklarasikan Kebangkitannya (www. huntnews.id). PKI di negara asalnya Rusia, Unisovyet, Tingkok, tinggal korut sisanya, semua sudah runtuh, kenapa di Indonesia mau bangkit kembali. Betapa mahalnya harga darah tujuh jenderal dan korban pembantaian lainnya oleh PKI. Kita juga tidak perlu balas dendam. Sebagai bangsa yang berjiwa besar mari kita songsong bersama kemajuan dan kesejahteraan sehingga bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar dan berwibawa di mata dunia. Jadikanlah Pancasila sebagai landasan negara tanpa harus merasuki dengan paham-paham yang akan merong-rongnya. Ingat, masa lalu sebagai cerminan, masa kini sebagai pijakan, dan masa depan sebagai harapan. Jangan memancing penjalin atau rotan Bawean untuk berbicara kembali. Jika masih mau mencoba-coba merong-rong kembali khususnya keyakinan warga Pulau Bawean, warga akan merotan paham PKI kembali. Akhirnya, PKI mati di ujungnya.


This post first appeared on Media Bawean | Berita Anyar Eperchaje Oreng Bhebiy, please read the originial post: here

Share the post

Merotan Paham PKI

×

Subscribe to Media Bawean | Berita Anyar Eperchaje Oreng Bhebiy

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×