Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Mengukur Dosis Tepat BI ‘Obati’ Rupiah

Nilai tukar Rupiah yang kian melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sejak akhir Februari lalu membuat banyak pihak mendesak Bank Indonesia (BI) untuk melakukan intervensi guna memulihkan rupiah. BI kemudian menyuntikkan cadangan devisa (cadev) ke pasar sebagai obat penawar pertama untuk menyehatkan rupiah.

Dengan cadev, BI mampu menahan kestabilan nilai tukar rupiah di kisaran Rp13.800 hingga akhir April. Hanya saja, rupiah yang terus melemah membuat pasar kian gelisah terhadap kondisi cadangan devisa.

Dalam tiga bulan, cadangan devisa BI tercatat turun US$7 miliar. Posisi cadev per akhir April 2018 tersisa US$124,9 miliar dari posisi per akhir Januari 2018 yang mencapai US$131,8 miliar.

BI pun harus mencari obat penawar lain untuk rupiah. Kali ini BI meracik kebijakan dalam bentuk peningkatan frekuensi lelang FX swap serta kerja sama dengan negara mitra dagang untuk saling menjaga stabilitas mata uang.

Namun, bauran kebijakan itu rupanya tak mampu menjadi perisai bagi rupiah yang justru kian terperosok ke kisaran Rp13.900 per dolar AS. Akhirnya, pasar kembali mendesak BI untuk mengeluarkan obat dengan dosis lebih tinggi melalui Kenaikan Suku Bunga acuan BI (7 Days Reverse Repo Rate/7DRRR).

Desakan pasar kian besar tatkala rupiah terus merangsek naik hingga tembus Rp14 ribu per dolar AS. BI pun memberi sinyal bahwa ruang kenaikan 7DRRR sudah terbuka, namun baru dilakukan bila kondisi benar-benar menekan.

Sayangnya, pasar dan rupiah seakan tak puas dengan sinyal itu, BI kembali didesak. Bank sentral nasional yang sebelumnya masih kekeh menyebut bahwa tekanan datang dari eksternal dan kondisi perekonomian domestik terjaga, akhirnya harus rela mengerek suku bunganya sebanyak 25 basis poin (bps).

Setelah suku bunga dinaikkan, nyatanya rupiah kian kritis hingga sempat menyentuh Rp14.199 per dolar AS. Kini pasar menebak-nebak, mungkin rupiah tak hanya lemas karena tekanan eksternal yang kian besar. Sentimen positif internal yang tak kuat, hingga kebijakan kenaikan BI yang dinilai terlambat turut menjadi penyebab.

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adinegara menilai memang ada faktor keterlambatan dari kenaikan suku bunga acuan BI. Apalagi, kenaikannya baru dilakukan ketika bank sentral AS, The Federal Reserve justru diperkirakan siap kembali mengerek suku bunganya pada Juni mendatang.

“Sebenarnya terlambat, tapi daripada tidak sama sekali, meski dampaknya juga minim,” ujar Bhima kepada CNNIndonesia.com, baru-baru ini..

Apalagi, sambung Bhima, kenaikan suku bunga BI hanya sebesar 25 bps menjadi 4,5 persen. Maka tak heran bila dampaknya terhadap rupiah tak besar. “Kecuali, BI berani menaikkan sampai 50 basis poin untuk benar-benar memberi dampak pada stabilitas rupiah,” katanya.

Bahkan menurutnya, untuk mengimbangi tekanan eksternal dari kenaikan suku bunga The Fed guna menjaga jarak suku bunga sesama bank sentral dan menjaga rupiah, BI seharusnya bisa membuka ruang untuk kenaikan 7DRRR mencapai 75 bps hingga akhir tahun ini.

Ia memperkirakan rupiah bakal terus melemah hingga menembus level Rp14.300 pada pekan ini jika tak ada sentimen positif baru.

Sementara, Ekonom dari Bank Mandiri Anton Gunawan menilai masih meradangnya rupiah setelah BI mengerek suku bunga, terjadi karena tekanan eksternal dan musiman dalam negeri yang kian besar.

“Rupiah tidak serta merta naik karena memang demand terhadap dolar AS masih besar, khususnya pembayaran dividen, repatriasi dividen, hingga sekarang persiapan liburan. Jadi tekanan riilnya memang ada,” ucapnya.

Selain itu, menurutnya, rupiah kian lemah karena ada permintaan dolar AS yang besar di bank-bank kustodian asing akibat keluarnya investor asing dari pasar modal. Likuiditas dolar AS pun kian mengetat dan memberi dampak semakin lemahnya rupiah.

“Makanya, alangkah baiknya bila bank kustodian tadi yang size-nya relatif kecil, bisa kerja sama dengan kustodian lain, misal bank BUMN untuk cukupi likuiditasnya,” terangnya.

Kendati begitu, Anton menilai bahwa kenaikan suku bunga BI kemarin, tetap menjadi obat penawar bagi rupiah. Meski, obat penawar itu harus diberikan lagi pada kuartal II mendatang. Hal ini sebagai antisipasi untuk tekanan rupiah ke depan.

“Memang kemarin sudah 25 bps, tapi kelihatannya sinyal kenaikan ini mungkin sampai 50 bps, entah di Juni atau Juli. Bergantung pada keberanian pak Perry Warjiyo (Gubernur BI baru), apakah akan langsung menaikkan atau menahan dulu,” katanya.

Baru setelah itu, sambung Anton, kenaikan suku bunga acuan BI perlu dilakukan lagi pada tahun depan sebagai obat penawar terhadap rupiah kala berpotensi terguncang kenaikan suku bunga The Fed pada 2019.

Namun, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo membantah anggapan yang menyebutkan bank sentral terlambat menaikkan suku bunga acuan (behind the curve) sehingga nilai tukar rupiah pada Jumat ini tetap bergerak melemah.

Agus mengatakan rupiah yang masih melemah disebabkan oleh tekanan eskternal yang semakin besar karena ekspektasi kenaikan suku bunga acuan The Federal Reserve, bank sentral AS pada Juni 2018. Selain itu, ada tekanan internal akibat bengkaknya defisit perdagangan pada April yang mencapai US$1,6 miliar dolar AS.

“Jadi kalau ada tekanan di rupiah, kami lihat ini sesuatu yang dalam hal karena faktor eksternal dan juga faktor internal,” ujar Agus, seperti dikutip dari Antara.

Agus menegaskan langkah yang diambil BI selalu selangkah lebih maju ke depan atau “ahead the curve” untuk mengantisipasi tekanan terhadap inflasi dan stabilitas perekonomian domestik.

Ia menegaskan arah kebijakan moneter BI saat ini adalah netral. Namun, kata Agus, bank sentral siap menerapkan langkah kebijakan moneter yang lebih kuat termasuk penyesuaian kembali suku bunga acuan untuk memastikan stabilitas perekonomian terjaga.

“Kalau seandainya kami keluarkan bauran kebijakan seperti sekarang ini, kalau kondisi mengharuskan untuk kami kembali melakukan penyesuaian, maka kami tidak ragu,” kata Agus.

Pemerintah Masih ‘Pangku Tangan’

Kendati berbagai jurus sudah dikeluarkan BI, pemerintah hingga kini belum mengeluarkan kebijakan apapun guna menstabilkan nilai tukar rupiah dalam jangka pendek.

Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro mengaku memang tak banyak yang dapat dilakukan pemerintah guna membantu menstabilkan rupiah dalam jangka pendek. Salah satu yang dapat dilakukan pemerintah adalah mengatur impor, terutama impor migas yang bisa menekan rupiah.

“Pemerintah lebih baik tetap konsisten dengan mendorong industri-industri yang berbasis ekspor agar ke depan bisa mengurangi tekanan terhadap valas,” ungkap dia.

Bhima menambahkan dalam jangka pendek, pemerintah sebenarnya bisa membantu BI menahan keluarnya aliran dana asing yang menyebabkan pelemahan rupiah dengan menaikkan imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN).

“Namun itu tidak sustainable karena porsi asing yang terlalu besar di SBN bisa membuat struktur keuangan rapuh. Selain itu juga memberatkan APBN karena bunga utang yang makin besar. Memang dilematis,” ungkap dia.

Untuk BI, Bhima menilai sebenarnya masih ada kebijakan yang dapat dilakukan guna menjaga rupiah, yakni dengan mengatur kembali devisa hasil ekspor. BI, menurut dia, dapat meniru Thailand yang mewajibkan eksportir untuk menempatkan devisa hasil ekspornya di bank nasional minimal 6 hingga 9 bulan.

“Sejak awal tahun, Thailand berhasih mengalami apresiasi 1,6 persen,” jelas dia.

[ cnnindonesia.com ]



This post first appeared on Belajar Forex, Broker Forex, Informasi Seputar Trading Forex, please read the originial post: here

Share the post

Mengukur Dosis Tepat BI ‘Obati’ Rupiah

×

Subscribe to Belajar Forex, Broker Forex, Informasi Seputar Trading Forex

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×